Makalah Ibj Iman Jawa



      I.            Pendahuluan
Setelah dalam pertemuan minggu kemarin kelompok ke-3 membahas ihwal Arti Interelasi dan Interelasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai Jawa.Maka tiba saatnya kami membahas ihwal hasil dari interelasi dan respon budaya Jawa terhadap Islam serta respon Islam terhadap budaya Jawa.Interelasi antara suku Jawa dan Islam mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga menjadi daya tarik bagi para ilmuwan, terutama sejarawan untuk terus mengkaji hal ini.Sejarah masuknya Islam di Jawa telah mengundang antusias yang tinggi dari banyak sekali kalangan.Hubungan-hubungan yang telah terjalin antara suku Jawa dan Islam, hinga ketika ini terus menjadi materi kajian para sejarawan Barat.Hubungan antara keduanya dianggap mempunyai keunikan tersendiri.
Sebelum imbas Hinduisme datang, suku Jawa telah memegang besar lengan berkuasa kepercayaan orisinil yang telah mendarah daging, yakni kepercayaan animisme dan dinamisme. Prof. R.M. Sutjipto Wirjosuparto menyampaikan bahwa kebudayaan orisinil Indonesia yang telah menjalin korelasi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang dianggap telah mengalami perkembangan, menyerupai kebudayaan Hindu, Islam dan Barat, tidak bisa menghilangkan kebudayaan Jawa orisinil dan justru menyerap unsur-unsur kebudayaan aneh ke dalam pola keindonesiaan.[1]
Di Jawa, penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya kejawen, yakni lingkungan budaya istana yang telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan lingkungan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme. Dilihat dari sejarah Islamisasi di Jawa, Tampak bahwa Islam sulit diterima di lingkungan budaya Jawa istana.Dalam dongeng Babad Tanah Jawi dijelaskan bahwa raja Majapahit menolak Islam, sampai para penyebar Islam lebih menekankan dakwanya di lingkungan pedesaan, khususnya daerah-daerah pesisir pulau Jawa.Di lingkungan pedesaan inilah Islam mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat.[2]Dari sini muncul kebudayaan intelektual pesantren yang menjadi pesaing kebudayaan intelektual di lingkungan istana.
Lambat laun, dari proses yang panjang, muncullah kerajaan Islam Demak dan Islam pun mulai berkembang pesat di Jawa. Dari perkembangan ini muncul interelasi-interelasi antara Jawa dan Islam. Dan membuahkan hasil dari keyakinan yang berkembang melalui proses interelasi antara Islam dan budaya Jawa, serata terjadi respon timbal balik antar keduanya. Untuk lebih jelasnya ihwal semua ini mari kita bahas dalam rumusan persoalan sebagai berikut.



   II.            Rumusan Masalah.
A.    Bagaimana Keyakinan Yang Berkembang Dari Hasil Interelasi Nilai Jawa Dan Islam Dalam Bidang Kepercayaan Dan Ritual ?
B.     Bagaimana Respon Budaya Jawa Terhadap Islam ?
C.     Bagaimana Respon Islam Terhadap Budaya Jawa ?




III.            Pembahasan.
A.     Keyakinan Yang Berkembang Dari Hasil Interelasi Nilai Jawa Dan Islam Dalam Bidang Kepercayaan Dan Ritual.
Keyakinan yaitu suatu sikap yang ditunjukkan oleh insan ketika ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Contoh: Pada suatu masa, insan pernah meyakini bahwa bumi merupakan sentra tata surya, belakangan disadari bahwa keyakinan itu keliru.
Kepercayaan yaitu suatu keadaan psikologis pada ketika seseorang menganggap suatu itu benar menurutnya dan belum tentu benar berdasarkan orang lain.
Ritual yaitu serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis.Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu.Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak sanggup dilaksanakan secara sembarangan.[3]
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentumemiiki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek mendasar itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan, sehingga terdapatlah rukun akidah yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim.
Yang termasuk rukun akidah yaitu akidah kepada Allah, akidah kepada Malaikat, akidah kepada para Nabi, akidah kepada kitab suci, akidah kepada hari tamat dan akidah kepada qodho dan qodar. Namun demikian, diluar semua itu masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan animisme dan dinamisme dalam proses perkembangan Islam itulah yang berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.Dalam tradisi Jawa terdapat banyak sekali jenis barang yang dikeramatkan. Sebagai pola yaitu jimat, menyerupai dalam bentuk cincin, kerikil akik, keris, ikat kepala, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, barang-barang peninggalan para raja Jawa yang diberi sebutan “kyai”, pada umumnya juga dipandang sebagai benda-benda keramat.Begitu juga dengan kuburan-kuburan, hari-hari tertentu, dipandang mempunyai barokah atau sebaliknya.Bagi orang awam Jawa, benda-benda tersebut merupakan penghubung atau wasilah dengan Allah.Oleh sebab itu, bacaan doa-doa tertentu bermetamorfosis mantra.Ayat-ayat suci Al-Quran atau huruf-huruf Arab diyakini mempunyai nilai yang sangat berarti, bukan sebab makna yang terkandung di dalam ayat tersebut, melainkan dari daya gaibnya.Al-Quran tidak dibaca, dipahami, dan dihayati arti dan maknanya, melainkan digunakan sebagai jimat.[4]
Kaitan dalam bidang ritual, pembakaran kemenyan yang semula menjadi sarana dalam penyembahan terhadap para dewa, tetap digunakan oleh Sunan Kalijaga  dengan pemahaman sebatas sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa sehingga doa akan bias khusyuk; Pada forum tradisional Islam, yakni pesantren, merupakan pengalihan dari forum pendidikan Hindu yang disebut Mandala. Dalam bidang kepercayaan digunakan pendekatan persuasive yang berorientasi pada penanaman kepercayaan Islam yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dengan memperhatikan moral istiadatdan tabiat masyarakat setempat, menyerupai larangan menyembelih penyembelihan lembu oleh Sunan Kudus sebagai bentuk toleransi terhadap kepercayaan lama.[5]
Kaitannya dengan takdir, budaya Jawa lebih condong kepada teologi Jabariyah. Dalam teologi tersebut terdapat kecenderungan untuk lebih bersikap pasrah, sumarah lan narima ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Meskipun demikian, mereka mempunyai peluang untuk berikhtiar dengan kemampuan yang dimiliki, setidaknya dengan berdoa kepada-Nya.Selain itu, terdapat pula upaya-upaya ikhtiar yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan primitif maupun yang bersumber dari agama Hindu. Mereka beranggapan tempat-tempat yang baik, hari, bulan serta tahun yang membawa nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan dengan cara magis. Hari-hari yang buruk sering disebut dengan na’as. Pada hari ini sebaiknya orang tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan menyerupai perayaan pesta pernikahan, Melakukan perjalanan jauh, transaksi dagang, dan lain sebagainya.Perhitungan-perhitungan magis dengan melihat neptu dari hari dan pasaran berdasarkan rumus-rumus tertentu sangat menolong untuk mencari dan memilih hari baik, bulan baik, serta menghindari hari-hari na’as.Akan tetapi, jikalau hari na’as itu tidak sanggup dihindari, maka perlu diadakan upacara-upacara tertentu yang disertai dengan doa-doa untuk menangkal jawaban negatif yang ditimbulkan oleh hari na’as tersebut.Hal ini menyerupai upacara-upacara dalam agama Hindu.Sedangkan doa-doa yang digunakan merupakan fatwa dalam agama Islam. Disadari atau tidak, baik upacara maupun doa tersebut telah bercampur dan menjadi tradisi di kalangan orang Islam Jawa.[6]
Pada aspek ketuhanan, prinsip fatwa tauhid Islam telah berkelindan dengan banyak sekali unsur Hindu Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan banyak sekali nama yang terhimpun dalam asma` al husna telah bermetamorfosis Gusti Allah, Gusti kang Murbeng Dumadi (al Khaliq), ingkang Maha Kuwaos (al Qadir), ingkang Maha Esa (al Ahad), ingkang maha suci, dll. nama-nama itu bercampur dengan nama dari agama lain, namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari orang jawa lebih terbiasa dengan menyebut Gusti Allah, sehingga orang jawa sudah terbiasa mengucap ”Bismillah” ketika akan memulai pekerjaan apapun yang baik. Demikian juga ucapan “Ya Allah Gusti” ketika berdoa, “astagfirullah” ketika merasa kecewa dan lain sebagainya.
Namun, penghayatan ihwal prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala pemahaman ihwal ketuhanan itu masuk dalam dimensi gaib bercorak pantheistic. Terdapatlah sebutan hidup (urip), sukma, sehingga Tuhan Allah disebut sebagai Hyang Maha Hidup, sukma kawekas yang mengandalkan bahwa tuhan sebagai dzat yang maha hidup, yang menghidupi segala alam.Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh sebab tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati/ hidup.[7]
Contoh-contoh diatas merupakan bentuk kepercayaan masyarakat jawa terhadap budaya dan agama mereka, sehingga terkadang perpaduan itu memunculkan hal yang tidak semestinya.Tidak hanya dari segi keyakinan saja namun secara ritual juga mengalami perubahan yang cukup drastis.Banyak sekali ritual jawa yang disisipkan nilai keislaman didalamnya.Misal upacara mitoni, kelahiran, kematian, sunatan, parkewinan, dll. Namun kesemua itu yaitu ekspersi loyalitas masyarakat terhadap budaya dan agamanya bukan sebab tujuan merusak satu sama lain.

B.     Respon Budaya Jawa Terhadap Islam.
Pulau jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk.Orang jawa terkenal ramah semenjak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan sipapun.Termasuk ketika pedagang dan Alim Ulama yang bertubuh tingi besar, hidung mancung dan berkulit putih kemerahan.Mereka yaitu para pedagang dan ulama dari timur tengah.kedatangan mereka ternyata membawa sejarah gres yang hampir merubah jawa secara keseluruhan.
Agam Islam masuk kejawa sebagaiamana Islam tiba keMalaka, Sumatra dan Kalimantan. Bukti adanya nisan-nisan raja-raja Aceh yang beragama Islam menerangkan bahwa Islam berkembang di Aceh sekitar kala ke 13 M. Makara bisa diperkirakan mungkinIslam telah tiba ke Indonesia semenjak Abad itu atau bahkan sebelumnya.[8]Bagi orang jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan. Di jawa penyebaran agama Islam harus berhadapan dengan 2 jenis lingkungan budaya kejawen, yakni lingkungan budaya istana yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam animisme dan dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh oleh hinduisme.[9]
Agama tauhid ini telah berkembang di Jawa, kaum pedagang dan nelayan banyak terpikat oleh fatwa yang mengenalkan tuhan Allah SWT ini. Salah satu benda yang gres bagi orang jawa yaitu nisan berukir kaligrafi menyerupai pada kerikil nisan di Leran, Gresik.pada kerikil nisan ini tertulis nama Fatimah binti Maimun wafat tahun 1082.[10] Orang jawa sendiri pada zaman itu masih jarang memberi petanda kerikil nisan bagi orang yang meninggal, apalagi yang mewah. Islam dijawa semakin meluas lagi seiring dengan para ulama` yang selalu ulet mengembangkan agama Islam.
Islam di jawa tidak lepas dari peranan walisongo.Walisongo  adalah tokoh-tokoh penyebar islam di Jawa kala 15-16 yang telah berhasil mengkombinasikan  aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan islam pada masyarakat sehingga penyampaian fatwa islam bersifat fleksibel. Pada umumnya masyarakat jawa menyukai sikap yang santun, maka masyarakat mendapatkan dengan tangan terbuka jikalau ada pendatang yang bersikap santun.Dan itulah yang dilakukan para wali yang kemudian para wali sanggup dengan gampang menelusupkan ajarannya pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Wali dalam bahasa inggris pada umumnya diartikan sain, sementara songo dalam bahasa jawa berarti sembilan.Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tetapi agaknya bagi masyarakat jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri yang cukup istimewa.Para santri jawa berpandangan bahwa walisongo yaitu pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang.

C.     Respon Islam Terhadap Budaya Jawa
Agama Islam mengajarkan supaya para pemeluknya melaksanakan kegiata-kegiatan ritualistic tertentu, yang dimaksud kegiatan ritualistic yaitu meliputi banyak sekali bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun islam. Khusus untuk sholat dan puasa romadhon, terdapat pula shalat dan puasa sunnah. Intisari dari sholat yaitu do’a kepada Allah.Sedangkan puasa yaitu pengedalian nafsu. Selain itu Islam mempunyai karakter yang dinamis, elastis, dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip islam itu sendiri. Permasalahannya hanya terletak pada tata cara dan tekhnis pelaksanaanya.
Sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun terdapat beberapa ragam dalam pengalaman fatwa Islam. Mereka mengaku orang Islam dalam ketegori umum, legalisasi semacam itu mereka sendiri dengan terang membedakan antara santri yaitu para orang muslim yang taat menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh dan para abangan yang tidak seberapa ibadahnya, sementara cara hidupnya masih dipengaruhi oleh tradisi jawa pra Islam.[11]
Upaya Rekonsiliasi antara agama dan budaya di Indonesia dilakukan semenjak usang serta sanggup dilacak bukti-buktinya.Semisal Masjid Demak yaitu pola konkrit dari upaya Rekonsiliasi/akomodasi itu. Ranggon/atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep ”Meru” dari masa Pra islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seseorang muslim, yakin islam, akidah dan ihsan.[12] Pada mulanya orang gres beriman saja. Kemudian ia melaksanakan islam ketika telah menyadari pentingnya Syariat, barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi ihsan.
Hal ini berbeda dengan kristen yang menciptakan gereja dengan aristektur asing, arsitektur barat ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu.Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya timur tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk Kubah diadaptasi dalam islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat terang terlihat dalam bangunan-bangunan masjidnya.
Kosakata bahasa jawa maupun melayu banyak mengadapi konsep-konsep islam. Istilah –istilah menyerupai ilham, wahyu/wali misalnya, yaitu istilah-istilah pertolongan untuk meliputi konsep-konsep gres yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam Khazanah budaya populer.
Dalam pertunjukan wayang kulit juga yang paling dikenal yaitu dongeng ihwal serat kalimasada (Lembaran yang berisi mantra/sesuatu yang skral) yang cukup ampuh melawan segala keangkara murkaan dibumi. Dalam kisah itu diceritakan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tau apa isi serat ini, namun diakhir dongeng belakang layar serat inipun di beberkan oleh dalang. Isi serat kalimasada berbunyi:
”Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi Nabi Muhammad yaitu utsan-Nya,” Ini tak lain yaitu isi dari kalimat syahadat.[13]























IV.            Kesimpulan.
Ø  Keyakinan Yang Berkembang Dari Hasil Interelasi Nilai Jawa Dan Islam Dalam Bidang Kepercayaan Dan Ritual. Merubah paradikma masyarakat Jawa yang awalnya mempercayai hal-hal renik menyerupai roh-roh leluhur, jimat, keris, pusaka dan benda-benda lain yang di keramatkan menjadi percaya kepada ALLAH SWT dengan memeluk Agama Islam. Walaupun tidak semua masyarakat Jawa tetapi lebih banyak didominasi mempecayai Islam Rahmattallil Allamin.
Ø  Respon Budaya Jawa Terhadap Islam. Karna struktur masyarakat Jawa yang begitu “welcome” terhadap budaya gres yang dinilai santun dan bersahaja, Maka budaya Jawapun mendapatkan dengan tulus kedatangan fatwa Islam ini. Terbukti dengan berkembangnya Islam di pulau Jawa dengan begitu Pesat.
Ø  Respon Islam Terhadap Budaya Jawa.Karna Agam Islam yang mempunyai karakter lentur dan tidak membedakan kasta, Makara Islam bisa mendapatkan segala bentuk pembaharuan asal tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Islam itu sendiri.

  V.            Penutup
Demikian makalah yang sanggup saya buat, saya sadar dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekurangan dan kesalahan, Dari itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Wallahummuwafiq Illaaqwammintoriq. Wassalammualaikum Wr. Wb


[1]Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 39-40
[2]Ibid., hlm. 41
[3]Hariwijaya, M. islam Kejawen (Yogyakarta :  Gelombang Pasang,2004) Hal. 34
[4]M. Darori Amin (Ed), islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 124-125
[5]Ridin Sofwan dkk. Merumuskan kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 5-6
[6]M. Darori Amin Op. Cit  Hal.125-126
[7]M. Darori Amin Op. Cit. hlm. 10-19
[8]Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa.hlm. 10
[9]Ibid
[10]Ridin Sofwan dkk.Op. Cit  hlm. 5
[11]Geertz, Clifford. Op. Cit  Hal. 14
[12]Ridin Sofwan dkk.Op. Cit  hlm. 6
[13]Ridin Sofwan dkk.Op. Cit  hlm. 8
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.