Makalah Ushul Fiqh - Istihsan


       I.            Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melaksanakan prosedur ijtihad dan istinbath aturan dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jikalau dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga supaya proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak sanggup dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri  ibarat penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian jago Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu yaitu apa yang dikenal dengan al-Istihsan (selanjutnya disebut sebagai Istihsan). Makalah ini akan menguraikan wacana hakikat al-Istihsan tersebut, bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya.
    II.            Rumusan Masalah
1.         Apakah Definisi Istihsan ?
2.         Bagaimana Sejarah Istihsan Sebagai Salah Satu Sumber Tasyri’ Islam?
3.         Bagaimana Pandangan Para Ulama Tentang Istihsan ?
4.         Bagaimana Dasar-dasar Kehujjahan Istihsan?
5.         Sebutkan Macam-macam Istihsan ?

 III.            Pembahasan
1.      Definisi Istihsan
Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu lantaran menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Adapun berdasarkan istilah, Istihsan mempunyai banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya yaitu :[1]
1.Menurut al-Bazdawi,  “Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih berpengaruh dari qiyas yang pertama”
2.Menurut al-Karakhi, “Seorang mujtahid beralih dari suatu aturan , suatu duduk masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada aturan lain yang berbeda, lantaran ada factor yang lebih berpengaruh yang mrnuntut adanya pengalihan tersebut dari aturan yang pertama”
3. Menurut Imam Malik, “Menerapkan yang terkuat diantara dua dalil, atau memakai prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan dalil yang bersifat umum”.
4.Menurut  Wahbah az-Zuhaili Merumuskan dua definisi Yaitu;
First, “Lebih mengunggulkan qiyas khafi daripada qiyas jail berdasarkan alasan tertentu”
Second, “Mengecualikan aturan masalah tertentu dari prinsip aturan atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut”
5.    Ibnu subkijuga mengajukan dua rumusan definisi istihsan[2]:
First, “Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih berpengaruh dari padanya (qiyas yang pertama)”.
Second, “Beralih dari penggunaan sbuah dalil kepada budbahasa kebiasaan lantaran suatu kemaslahatan”.
Dari definisi-definisi tersebut, kita sanggup melihat bahwa inti dari Istihsan yaitu ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan menentukan aturan tertentu dan meninggalkan aturan yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan aturan kedua dari aturan yang pertama. Sebagai pola misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan memakai air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jikalau wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf menawarkan citra aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan menyampaikan “Jika sebuah masalah terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah umum tertentu masalah itu seharusnya dihukumi dengan aturan tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa masalah ini mempunyai kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian dalam pandangannya bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada,justru akan mengakibatkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan aturan tersebut menuju aturan yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan masalah itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya dari kaidah umumnya, atau qiyas ‘khafy’ yang tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’ inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk masalah ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, kemudian menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.”
2.      Sejarah Pemunculan Istihsan Sebagai Salah Satu Sumber Tasyri’ Islam
Satu hal yang niscaya yaitu bahwa penggunaan Istihsan memang tidak ditegaskan dalam banyak sekali nash yang ada; baik dalam al-Qur’an ataupun dalam al-Sunnah. Namun itu tidak berarti bahwa aplikasinya tidak ditemukan di masa sobat Nabi saw dan tabi’in. Meskipun jikalau diteliti lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penggunaan Istihsan di kalangan para sobat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan ra’yu di kalangan mereka. Atau dengan kata lain, Istihsan sebagai sebuah istilah pada masa itu belum pernah disebut-sebut.
Penggunaan ra’yu sendiri secara umum mendapat legitimasi dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang ia tegaskan dalam hadits Mu’adz bin Jabal r.a. Itulah sebabnya, para sobat kemudian menjadikannya sebagai salah satu referensi ijtihad mereka, meskipun diletakkan pada kepingan final dari prosesnya. Abu Bakr al-Shiddiq –misalnya- jikalau dihadapkan pada suatu masalah, kemudian ia tidak menemukan jawabannya dalam Kitabullah, begitu pula dalam al-Sunnah, serta pandangan sobat yang lain, maka ia melaksanakan ijtihad dengan ra’yunya. Kemudian mengatakan:
“Inilah ‘ra’yu’-ku. Jika ia benar, maka itu dari Allah semata. Namun jikalau ia salah, maka itu dariku dan dari syaithan.”
           Praktek penggunaan ra’yu juga sanggup ditemukan pada Umar bin al-Khaththab r.a. Dalam masalah yang sangat terkenal dimana ia menambah jumlah cambukan untuk peminum khamar menjadi 80 cambukan, padahal yang diriwayatkan dari Rasulullah saw yaitu bahwa ia mencambuk peminum khamar hanya sebanyak 40 cambukan. Tetapi ketika Umar melihat banyak peminum khamar yang tidak takut lagi dengan eksekusi itu, ia pun melipatgandakan jumlahnya, dan itu kemudian disepakati oleh para sobat yang lain. Meskipun sebagian ulama memandang ini sebagai sebuah upaya ta’zir yang menjadi hak seorang imam, namun tetap saja di sini terlihat sebuah proses penggunaan instrumen ra’yu oleh Umar r.a dalam ijtihadnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa para sobat Nabi saw memakai ra’yu dalam ijtihad mereka ketika mereka tidak menemukan nash untuk sebuah duduk masalah dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Ra’yu di sini tentu saja dengan pemahamannya yang luas, yang meliputi qiyas, Istihsan, Istishab (al-Bara’ah al-Ashliyah), Sadd al-Dzari’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah.Semuanya itu dibingkai dengan pemahaman yang dalam wacana maqashid dan prinsip-prinsip Syariat Islam yang luhur.Inilah yang kemudian yang disebut dengan al-ra’yu al-mahmud (logika yang terpuji), sebagai lawan dari al-ra’yu al-madzmum (logika yang tercela) yang hanya didasarkan pada hawa nafsu belaka[3].
Lalu adakah pola Istihsan di masa sahabat?DR. Sya’ban Muhammad Ismail menyebutkan beberapa bukti masalah yang sanggup disebut sebagai “cikal-bakal” Istihsan di masa sahabat, salah satunya yaitu masalah al-Musyarrakah.Dalam masalah ini, sebagian sobat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) jenazah bersama saudara seibunya dalam memperoleh kepingan sepertiga dari warisan.Ini terjadi jikalau seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.
Jika melihat kaidah umum waris yang berlaku, maka seharusnya saudara sekandung tidak mendapat apa-apa, lantaran sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa warisan sesudah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh dalam hal ini suami, ibu dan saudara seibu. Disinilah para sobat Nabi saw berbeda dalam 2 pendapat:
1.      Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu Musa radhiyallahu ‘anhum beropini sesuai kaidah umum waris, yaitu bahwa saudara seibu mendapat 1/3 dan saudara sekandung tidak memperoleh apa-apa.
2.      Sementara Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu‘anhum mengikutsertakan saudara sekandung dalam kepingan saudara seibu (1/3).Bagian ini dibagi rata antar mereka. Alasannya lantaran saudara sekandung mempunyai kesamaan jalur korelasi kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu. Mereka semua berasal dari ibu yang sama, lantaran itu sepatutnya mendapat kepingan yang sama.
Jika kita memperhatikan pendapat yang kedua, nampak terperinci bagaimana para sobat yang mendukungnya meninggalkan kaidah umum waris yang berlaku dan memutuskan apa yang berbeda dengannya. Dan dari prosesnya, mungkin tidak terlalu jauh bagi kita untuk menyampaikan ini sebagai sebuah Istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga karenanya di masa para imam mujtahid, kata Istihsan menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H).Dimana dalam banyak kesempatan, kata Istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami memutuskan ini berdasarkan Istihsan.”
3.      Pandangan Para Ulama Tentang  Istihsan [4]
                                i.            Ulama Hanafiyah
Abu Zahra beropini bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunankan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanifiyah  mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali permasalahan yang menyangkut istihsan.
                              ii.            Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata “bahwa sesungguhnya istihsan itu di anggap dalil yang berpengaruh dalam aturan sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah.Begitu pula berdasarkan Abu Zahra, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan memakai istihsan.
                            iii.            Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib.Akan tetapi, Al-Jalal al-Mahali dalam kitab Syarh Al- Jam’ Al-Jawami’  menyampaikan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama lain mengingkarinya termasuk didalamnya golongan Hanabilah.
                             iv.            Ulama Syafi’iyah
Golongan  Al Syafi’I secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjahui untunk menggunakannya dalam istinbathukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.

4.      Dasar-dasar Kehujjahan Istihsan
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi duduk masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu kepingan metode ijtihad.Berikut ini yaitu klarifikasi wacana kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, Istihsan sanggup dipakai sebagai kepingan dari ijtihad dan hujjah.Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini yaitu sebagai berikut:
1.      Firman Allah:
    
, “Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.”  (Q.S-Az-Zumar (39:55))
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah memperlihatkan bahwa ia yaitu wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari aturan wajib. Maka ini memperlihatkan bahwa Istihsan yaitu hujjah.
2.      Firman Allah:


“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka informasi gembira; alasannya yaitu itu sampaikanlah informasi itu kepada hamba-hamba-Ku” (Q.S Az-Zumar (39:17))

Artinya , “yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”(Q.S Az-Zumar (39:18))
Ayat ini  menurut mereka  menegaskan kebanggaan Allah bagi hambaNya yang menentukan dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan kebanggaan tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
3.   Hadits Nabi saw[5]:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah yaitu baik.”
Hadits ini memperlihatkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini memperlihatkan kehujjahan Istihsan.
4.      Ijma’.
Mereka menyampaikan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa duduk masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:
-         Bolehnya masuk ke dalam hammam[6]tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang dipakai dan jangka waktu pemakaiannya.
-         Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada ketika akad.
Pendapat kedua, Istihsan tidak sanggup dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad.Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak dibutuhkan dalam memutuskan sebuah hukum.

2. Firman AllahQ.S. An-Nisa’(4:59):
Ž“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul     serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jikalau kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (Q.S. An-Nisa’(4:59))
Ayat ini memperlihatkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menuntaskan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak sanggup diterima.
3. Firman Allah Q.S  Al-Ma’idah[7] (5: 49)
 “Dan hendaklah kau memutuskan masalah di antara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kau terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kau dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari aturan yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan insan yaitu orang-orang yang fasik”Q.S  Al-Ma’idah (5: 49)
Ayat di atas mengambarkan bahwa tidak boleh memutuskan aturan kecuali berdasarkan nash, dan dihentikan mengikuti hawa nafsu.
4. Firman Allah Q.S An-Nahl (16:44)
 “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, supaya kau menerangkan pada umat insan apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan(Q.S An-Nahl (16:44))
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dan disamping itu yaitu Hadist Rasulullah SAW yang berperan memerinci hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur’an. Dengan demikian ,istihsan tidak dibutuhkan untuk memutuskan aturan syara’.
5. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan aturan dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam duduk masalah yang tidak mempunyai dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, lantaran itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melaksanakan Istihsan dengan logikanya sendiri.
6. Ibnu Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sobat telah berijma’ untuk tidak memakai ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka yaitu musuh-musuh Sunnah...’ ....”
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling berpengaruh dari kedua pendapat tersebut?.Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada ketika mereka memutuskan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan kebijaksanaan dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam duduk masalah dan adanya sandaran yang berpengaruh atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan jikalau kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita sanggup melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya yaitu lantaran kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jikalau seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih menentukan hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan klarifikasi sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini bergotong-royong hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam duduk masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial. Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata memakai Istihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan,Jika (yang dimaksud dengan) Istihsan yaitu menyampaikan sesuatu yang dianggap anggun dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu yaitu sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jikalau yang dimaksud dengan Istihsan yaitu meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.
Imam al-Syafi’i dan Istihsan
Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من استحسن فقد شرع[8]                       
“Barang siapa yang melaksanakan Istihsan, maka ia telah menciptakan syariat (baru).”Maksudnya ia telah memutuskan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.
Disamping penegasan ini, ia juga mempunyai ungkapan-ungkapan lain yang memperlihatkan pengingkaran ia terhadap Istihsan.Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga melaksanakan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan memakai Istihsan. Berikut ini yaitu beberapa contohnya:
1.      Pandangan ia seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan perceraian itu. Sebagian fuqaha menyampaikan bahwa mut’ah semacam ini tidak mempunyai batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan menawarkan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar epilog kepala bagi laki-laki yang miskin. Beliau mengatakan:“Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam proteksi ‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jikalau kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”
2.      Istihsan ia dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya ini hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”
3.      Istihsan ia dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya ketika mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:“Bagus jikalau ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).”
            Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melaksanakan hal tersebut di hadapan Rasulullah saw. Bila kedua hal ini pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadap Istihsan- dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang diingkari oleh al-Syafi’i yaitu Istihsan yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’i. Karena itu, kita belum pernah menemukan riwayat dimana ia contohnya mencela banyak sekali Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah semoga Allah merahmati mereka semua.
4.      Jenis-jenis Istihsan[9]
Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan aturan membagi Istihsan dalam beberapa kepingan berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:
Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya (Istihsan Istina’i) Ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan aturan yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan aturan tertentu yang bersifat khusus[10].Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:
1.      Istihsan dengan nash (berdasarkan ayat atau hadist). Maknanya yaitu meninggalkan aturan berdasarkan qiyas dalam suatu duduk masalah menuju aturan lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.Diantara contohnya adalah: aturan jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah terperinci sifatnya namun belum ada dzatnya ketika akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada ketika akad  terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada ketika tiba ke Madinah menemukan penduduknya melaksanakan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka ia berkata:“Barang siapa yang melaksanakan (jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam dosis dan timbangan yang terperinci (dan) untuk jangka waktu yang terperinci pula.” (HR. Al-Bukhari  no. 2085 dan Muslim no. 3010)
2.      Istihsan bi al-ijma’(istihsan yang didasarkan pada ijma’). Maknanya yaitu terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah aturan yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.Di antara contohnya yaitu duduk masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, lantaran adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan daerah yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
3.      Istihsan bi al-Dharurah (Istihsan berdasarkan keadaan daruratan). Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang mengakibatkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.Salah satu contohnya yaitu ketika para ulama menyampaikan bahwa seorang yang berpuasa tidak sanggup dikatakan telah batal puasanya jikalau ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; ibarat debu dan asap. Maka jikalau benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal lantaran hal tersebut.Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.
4.     Istihsan bi al-‘Urf (Istihsanberdasarkan budbahasa kebiasaan yang berlaku umum atau konvensi yang umum berlaku). Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju aturan lain yang berbeda lantaran ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.Salah satu pola Istihsan dengan ‘urf yang
bersifat yang berupa perkataan yaitu jikalau seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, kemudian ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam masalah ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya: 

, “Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (Q.S An-Nur24:36))
Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat memperlihatkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah dipakai untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jikalau ia masuk ke dalam mesjid. Adapun pola Istihsan dengan ‘urf  yang berupa perbuatan yaitu menawarkan upah berupa pakaian dan masakan kepada perempuan penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, memutuskan upah yang telah tertentu dan terperinci itu dibolehkan secara syara’.Sementara proteksi upah berupa pakaian dan masakan sanggup dikategorikan sebagai upah yang tidak terperinci batasannya (majhul).Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah.Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, lantaran sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk perempuan penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.
5. Istihsan bi al mashlahah al mursalah (Istihsan berdasarkan kemaslahatan). Artinya mengecualikan ketentuan aturan yang berlaku umum berdasarkan kemashlahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan. Seperti pola Putusan Umar bin Khatabr.a  wacana mengadakan peraturan banyak sekali pajak, danputusan ia tidak menjalankan aturan potong tangan terhadap pencuri, yangmencuri lantaran lapar dan masa paceklik.Ulama Malikiyyah mencontohkannya dengan kebolehan dokter melihat aurat perempuan dalam berobat. Menurut kaidah umum (qiyas), seseorang dihentikan melihat aurat orang lain. Tetapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang itu, berdasarkan kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat perempuan yang berobat kepadanya.

6. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi) Misalnya, dalam duduk masalah wakaf  lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy(qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, lantaran pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh alasannya yaitu itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengaliri air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam janji wakaf itu, kecuali jikalau dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-khafiy (qiyas yang tersembunyi) wakaf itu sama dengan sewa menyewa, lantaran maksud dari wakaf yaitu memenfaatkan lahan pertanian yang diwkafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada dilahan pertanian tersebut, ibarat hak melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut, termasuk kedalam janji wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. Apabila seorang mujtahid mengambil aturan kedua (qiyas al-kahafiy), maka ia disebut berdalil Istihsan[11].
Kedua, berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya (Istihsan Qiyasi) Ialah Suatu bentuk pengalihan aturan dari ketentuan aturan yang didasarkan kepada qiyas jaliy kepada ketentuan aturan yang didasarkan kepada qiyas khafi, lantaran ada alasan yang berpengaruh untuk mengalihkan kedua aturan tersebut.Alasan berpengaruh yang dimaksud disini yaitu kemaslahatan.
Ulama Hanafiyah secara khusus menawarkan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan Istihsan ini, yaitu dari sudut pandang  berpengaruh atau tidaknya kekuatan imbas Istihsan tersebut terhadap qiyas.[12] Berdasarkan sudut pandang ini,

 Istihsan kemudian dibagi menjadi 4 jenis:     
1.      Qiyas mempunyai kekuatan yang lemah dan Istihsan yang berpengaruh darinya.
2.      Qiyas lebih berpengaruh pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.
3.      Qiyas dan Istihsan sama-sama mempunyai kekuatan.
4.      Qiyas dan Istihsan sama-sama mempunyai imbas yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua yaitu yang paling masyhur.Salah satu pola untuk yang pertama yaitu penetapan kesucian liur binatang carnivora dari jenis burung.Dalam masalah ini, burung yang carnivora –karena biasa memakan bangkai- seharusnya diqiyaskan kepada binatang buas lainnya ibarat singa dan harimau dalam hal najisnya liur mereka.Akan tetapi ulama Hanafiyah beriistihsan dan menyatakan bahwa liur jenis burung yang carnivora lebih akrab (secara qiyas khafy) dengan liur manusia, lantaran keduanya –manusia dan burung yang carnivora- tidak boleh dimakan.Dan liur insan –sebagaimana terdapat dalam hadits– yaitu suci.Karena itu liur jenis burung yang carnivora juga suci. Di samping alasannya yaitu lain yaitu lantaran burung ini memakan makanannya dengan memakai paruhnya, dan paruh itu yaitu anggota tubuh yang suci dari najis. Kesimpulannya yaitu bahwa dalam masalah ini istihsan lebih berpengaruh pengaruhnya daripada qiyas.
Adapun untuk jenis yang kedua, contohnya yaitu melaksanakan sujud tilawah dalam shalat.Secara qiyas seharusnya sujud tilawah sanggup digantikan dengan ruku’ tilawah, lantaran baik sujud maupun ruku’ keduanya sama-sama sebagai wujud pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Akan tetapi berdasarkan istihsan, sujud tilawah yaitu sama dengan sujud lainnya dalam shalat –yang merupakan rukun di dalamnya-. Maka sebagaimana sujud lainnya dalam shalat tidak boleh diganti dengan ruku’, demikian pula dengan sujud tilawah.Namun dalam masalah ini –menurut Hanafiyah- pengamalan qiyas lebih berpengaruh dibandingkan pengamalan istihsan.
Adapun jikalau keduanya –qiyas dan istihsan- sama kuat, maka qiyas-lah yang ditarjih atas istihsan lantaran ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan qiyas sebagaimana jenis sebelumnya.Dengan melihat pembagian ini, nampak terperinci bahwa istihsan tidak ‘dimenangkan’ atas qiyas kecuali dalam satu kondisi: yaitu ketika ia lebih berpengaruh pengaruhnya daripada qiyas (sebagaimana jenis yang pertama).
Satu hal yang juga patut dicatat di sini yaitu bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk memakai istihsan kecuali ketika ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan qiyas namun qiyas tersebut dianggap tidak sanggup merealisasikan maslahat. Hal ini ibarat yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w.751H) ketika mengomentari masalah seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, kemudian ia menyembelihnya supaya ia tidak mati sia-sia:“Sesungguhnya secara qiyas ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain )”, namun berdasarkan istihsan ia tidak wajib membayar ganti, lantaran ia dibolehkan melaksanakan hal tersebut..”Lalu ia mengatakan,“Tapi ada ulama yang kurang pintar yang masih saja menolak hal ini (baca: istihsan dalam masalah ini) dengan alasan bahwa ini telah melaksanakan suatu tindakan terhadap milik orang lain. Padahal kalau saja ia memahami bahwa melaksanakan suatu tindakan terhadap milik orang lain itu diharamkan oleh Allah jikalau mengandung mudharat terhadapnya. Dan dalam masalah ini, justru tidak melaksanakan tindakan apa-apa (baca: menyembelihnya) justruakan mengakibatkan mudharat”.

                IV.            Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, kami sanggup menyimpulkan beberapa hal terkait dengan pembahasan istihsan ini sebagai berikut:
1.      Bahwa istihsan sebagai salah satu metode ijtihad dengan memakai ra’yu telah ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sobat Nabi saw, meski belum menjadi pembahasan yang bangkit sendiri. Lalu kemudian menjadi sebuah metode yang sanggup dikatakan bangkit sendiri sesudah memasuki abad para imam mujtahidin, terutama di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah.
2.      Bahwa istihsan sesungguhnya sanggup dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf.
3.      Bahwa secara umum sanggup dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka supaya sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam banyak sekali ijtihadnya.
V. Penutup
            Dengan mengucapkan Syukur Allhamdhulillah, kami sanggup menuntaskan makalah Ushul Fikih wabill khusus membahas wacana istihsan. Karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, jadi kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah ini, karna sesungguhnya kesempurnaan hanya ada pada Allah SWT dan kekurangan hanya pada milik kami manusia.
Akhiru kalam, Wallahumuwafiq Ila Aqwawamintariq Wassalammualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.



[1]Ushul fiqh, Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Hal.197-198
[2]Amir Syarifuddin, Usul Fiqh jilid II. cetakan 2008 Jakrta: Kencana. hlm: 305
[3]Jenis ra’yu inilah yang ditentang oleh para sahabat, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin al-Khaththab r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu yaitu musuh-musuh Sunnah.Mereka tidak lagi bisa memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa tidak semua ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas koridor Syariat yang semestinya
[4] ILMU USHUL FIQIH,Prof.DR.Rachmat Syafe’I,M.A. hal.112
[5]HR. Ahmad dalam al-Musnad, Kitab al-Sunnah
[6]Hammam yaitu semacam pemandian umum pada waktu yang lalu, biasanya dilengkapi dengan akomodasi air hangat.
[7]Ibid, Hal 205
[8]Pengantar Ilmu Fikih DAN Ushul Fikih, Drs. H.M ASYWADIE SYUKUR, Lc Hal. 115
[9]Abdul Wahab Khalaf. 2003, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Hal. 107-108
[10]Ibid, Ushul fiqh, Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Hal. 200
[11]DR. H. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqih Hal. 107
[12]Abdul Wahab Khalaf. 2003, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Hal. 107-108
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.