Masuknya Islam Di Jawa

PENDAHULUAN
Islam di Nusantara, bukan hadir dalam wajah tunggal namun kaya akan corak dan karakteristik sebagai wujud dari artikulasi iman Islam yang beragam. Keberagaman tersebut sanggup dikarenakan oleh sejarah dan konteks yang berbeda yang melahirkan sikap yang bermacam-macam tersebut. Islam nusantara bukanlah bersifat historis.



Faktanya, ada banyak “Islam” sebagai identitas sosial masyarakat muslim Nusantara yang menandakan historisitas Islam Nusantara. Ada Islam NU, Muhammadiyah, Wahabi, Kejawen, Liberal, dan lain sebagainya. Keberagaman tersebut bukan hanya terkait dengan aspek lisan keberagamannya, namun juga menyentuh wilayah nalar epistemisnya. Keberagaman Islam yang demikianlah yang membuat tanah Indonesia semakin kaya akan gambaran beragama rakyat Nusantara.

Salah satu “Islam” yang meramaikan dunia agama Nusantara yakni Islam Jawa. Jawa merupakan satu daerah yang mempunyai kebudayaan yang cukup besar lengan berkuasa di Indonesia. Kedatangan Hindu dan kebudayaannya di Jawa berkembanglah Hindu-Jawa. Demikian pula dengan masuknya Islam. Sampai sekarang, Islamisasi di Jawa masih mengalami perdebatan historiografi. Sementara tanggapan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa telah meluas di kalangan publik. Oleh lantaran itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai teori-teori masuknya Islam di Jawa, proses penyebaran dan peranan walisongo dalam membawa anutan Islam di Jawa.


RUMUSAN MASALAH
A. Apa teori-teori masuknya Islam di Jawa?
B. Apa teori-teori Penyebaran Islam di Jawa?
C. Bagaimana tugas walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa?

PEMBAHASAN
A. Teori-Teori Masuknya Islam di Jawa
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia berdasarkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.

Ketiga teori tersebut di atas menawarkan tanggapan wacana permasalahn waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan wacana pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.

1. Teori Gujarat
Teori beropini bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada periode 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adalah:
  • Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
  • Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lam melalui jalur Indonesia – Cambay - Timur Tengah – Eropa.
  • Adanya kerikil nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Mallik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Di antara para pendukung teori Gujarat yakni Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. vlekke. Para hebat yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada ketika timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marccopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang membuatkan anutan Islam.

Dalam L’arabie et Ies Indes Neerlandaises, Snouck menyampaikan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya tugas dan nila-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada periode ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan kekerabatan yang sudah terjalin usang antara wilayah Nusantara dengan dataran India.

Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, lantaran Snouck dipandanng sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.

2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori gres yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori usang yaitu teori Gujarat. Teori Makkah beropini bahwa Islam masuk ke Indonesia pada periode ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
  • Pada periode ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab): dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton semenjak periode ke-4. Hal ini juga sesuai dengan gosip Cina.
  • Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana imbas mazhab Syafi’i terbesar waktu itu yakni Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India yakni penganut mazhab Hanafi.
  • Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini yakni Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para hebat yang mendukung teori ini menyatakan bahwa periode 13 sudah berdiri kekuasaan polotik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu periode ke-7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya yakni bangsa Arab sendiri.

Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia tiba eksklusif dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada periode ke-12 atau 13, namun pada awal periode ke-7. Artinya, berdasarkan teori ini  Islam masuk ke Indonesia pada awal periode hijriah, bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara ketika sobat Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendli sebagai amirul mukminin.

Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat periode ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas muslim.

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun 651 M atau 31 H. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ yakni sebutan untuk amirul mukminin.

Dalam catatan tersebut , duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslilm tersebut tiba pada ,masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

3. Teori Persia
Teori ini beropini bahwa Islam masuk ke Indonesia periode 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini yakni kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
  • Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meningganya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabuk. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro
  • Kesamaan anutan Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al-Hallaj.
  • Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja abjad Arab untuk gejala bunyi harakat.
  • Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
  • Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren yakni nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Teori Persia, tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam tiba di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja wacana peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempt di Sumatra Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendudukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini tiba dari Iran. Misalnya Jabar dari Zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya. Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada periode ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah yakni Samudera Pasai.

Ketiga teori tersebut, intinya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan tenang pada periode ke-7 dan mengalami perkembangannya pada periode 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam yakni bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).

Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia intinya dilakukan dengan jalan tenang melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan ibarat yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk membuatkan anutan Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, ibarat pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan.

Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang hingga menikah dengan perempuan Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang. Perkembangan Islam yang cepat mengakibatkan muncul tokoh ulama atau mubaligh yang membuatkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.

Pondok pesantren yakni tempat para cowok dari aneka macam daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tamat dari pondok tersebut, maka para cowok meenjadi juru dakwah untuk membuatkan Islam di wilayahnya masing-masing.

Di samping penyebaran Islam melalui terusan yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, contohnya melalui pertunjukan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang gampang diterima oleh rakyat Indonesia.

Secara keseluruhan teori masuknya Islam di Indonesia dimulai dari daerah pesisir, ibarat Pasai, Gresik, Goa, Talo, Cirebon, Banten dan Demak. Ini terjadi lantaran terdapat pelabuhan sebagai sentra perdagangan dan interaksi antar kawasan, realitas ini mencerminkan bahwa masyarakat Islam periode awal yakni masyarakat kosmopolit. Sebagai masyarakat kosmopolit dengan budaya kota dinamis tentu saja umat Islam nusantara telah bekerjasama dengan masyarakat Islam Negara lain.

Sebagaimana Islam di daerah lain, Islam di Jawa juga berangkat dari daerah pesisir. Namun, dalam perkembangannya dari tradisi pesisir ini kemudian melebar menjadi tradisi pedalaman yang mulai dari Pajang ke Mataram (Tofud Abdullah, 1991: 81).[1]

B. Teori-teori Penyebaran Islam di Jawa
Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan pertama disebut “islamisasi kultur jawa”. Islamisasi kultur Jawa yakni proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun substansial.[2] Sebagai teladan adanya Islamisasi kultur Jawa yakni slametan. Menurut Quraish Syihab kata salam berarti luput dari kekurangan, kerasukan, dan aib. Kata selamat diucapkan, contohnya jikalau terjadi hal-hal yang tidak baik diinginkan, tetapi bencana tersebut tidak menjadikan pada kekurangan atau kecelakaan. Salam atau tenang yang demikian yakni “damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar dari keburukan, tetapi lebih dari itu, sanggup meraih kebajikan atau kesuksesan.

Kehadiran Islam di Jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan orisinil (Jawa) melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang gres untuk menggantikan yang usang akan tetapi menambahkan sesuatu kepada yang lama, sehingga Islam sanggup dengan gampang diterima oleh masyarakat.

Pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam yakni pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam. Sebagai contoh:

“Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh wikan Kabatinan akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno Ojo keliru pamilihmu Lamun mardi kabatinan” 
“Saya akhiri pembicaraan ini Saya hanya ingin memberi tahu Kebatinan banyak macamnya Dan artinya sangat gawat Maka itu berhati-hatilah Jangan kau salah pilih Kalau berguru Kebatinan”.[3]
Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Jawa memerlukan proses yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Islamisasi yang beragam, ibarat perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan, dan kesenia.

1. Perdagangan
Saluran Islamisasi melalui media perdagangan sangatlah menguntungkan. Hal tersebut dikarenakan dalam Islam tidak ada pemisah antara acara perdagangan dengan kewajiban mendakwahkan Islam kepada pihak-pihak lain. Selain itu, dalam kegiatan perdagangan ini, golongan raja dan kaum aristokrat lokal umunya terlibat di dalamnya. Tentu saja sangat menguntungkan, lantaran dalam tradisi lokal apabila seorang raja memeluk agama Islam, maka dengan sendirinya akan diikuti oleh lebih banyak didominasi rakyatnya. Ini terjadi lantaran masih kuatnya penduduk pribumi memelihara prinsip-prinsip yang sangat diwarnai oleh hierarki tradisional.

Proses Islamisasi melalui jalur perdagangan ini sanggup digambarkan sebagai berikut. Pada awalnya, para pedagang berdatangan di pusat-pusat perdagangan ibarat pelabuhan-pelabuhan. Para pedagang ini selanjutnya ada yang tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal tersebut menjadi koloni-koloni, ibarat koloni China dan koloni Arab. Selanjutnya, koloni-koloni tersebut menjadi perkampungan, ibarat pecinan (kampung China) dan Pakojan (kampung orang-orang dari India, yang kemudian diambil alih orang-orang Arab).

2. Perkawinan
Perkawinan juga merupakan cara penyebaran Islam yang menonjol. para pedagang-pedagang yang mendarat di Jawa dan menetap, banyak yang akibatnya menikahi wanita-wanita lokal. Islamisasi melalui terusan ini merupakan proses pengislaman yang paling mudah. Ikatan perkawinan bagi individu yang terlibat, yaitu suami dan istri. Mereka membentuk keluarga yang menjadi inti masyarakat, yang juga membentuk inti keluarga muslim. Dari perkawinan ini, terbentuklah pertalian kekerabatan yang lebih besar antara pihak keluarga pria (suami) dan keluarga perempuan (istri).

Saluran perkawinan atau keluarga merupakan terusan yang memegang peranan penting dalam proses internalisasi anutan Islam di Indonesia, khususnya Jawa, baik dalam arti pengislaman maupun pemasukan nilai-nilai dan norma-norma Islam ke dalam lingkungan masyarakat. Islamisasi melalui perkawinan ini akan semakin menguntungkan apabila perkawinan terjadi antara saudagar Muslim, kiai, atau aristokrat yang menikahi anak seorang raja, keturunan aristokrat atau anggota kerajaan lainnya. Hal ini mengingat status sosial, ekonomi, dan politik mereka -pada konteks waktu itu- akan turut mempercepat proses Islamisasi.

3. Tasawuf
Tasawuf juga menjadi proses penting dalam Islamisasi Jawa. Tasawuf juga termasuk kategori media yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan banyak bukti terang berupa naskah-naskah antara periode ke-13 dan ke-18 M.[4] Hal ini bekerjasama dengan eksklusif dengan penyebaran Islam di Indonesia dan memegang sebagian peranan penting dalam organisasi masyarakat di kota-kota pelabuhan. Tidak jarang anutan tasawuf ini diadaptasi dengan ajaran-ajaran gaib lokal yang sudah dibuat kebudayaan Hindu-Buddha. Mereka berusaha meramu anutan Islam untuk sesuai dengan alam pikiran masyarakat lokal sehingga antara anutan Islam dan kepercayaan masyarakat lokal tidak saling berbenturan.

Di antara hebat tasawuf yang merumuskan ajarannya dan mengandung persamaan dengan alam pikiran (mistik) masyarakat Indonesia yakni Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumeterani, syaikh Siti Jenar, dan Sunan Panggung. Mereka bersedia menggunakan unsur-unsur kultur pra-Islam untuk membuatkan agama Isalam. Menurut A.H. Johns, anutan Jawa, dipertahankan sedangkan tokoh-tokohnya diberi nama Islam, ibarat dalam dongeng Bimasuci yang disadur menjadi Hikayat Syech Maghribi. Ajaran gaib semacam itu juga terdapat pada kelompok-kelompok gaib periode ke-19, ibarat Sumarah, Sapta Dharma, Bratakesawa, dan Pangestu.[5]

4. Pendidikan
Pendidikan juga mempunyai andil yang besar terhadap Islamisasi di Jawa. Sesuai dengan kebutuhan zaman, mereka perlu tempat atau forum untuk menampung bawah umur mereka semoga sanggup meningkatkan atau memperdalam ilmu agamanya. Lembaga umum yang sanggup menampung kebutuhan pendidikan, antara lain: masjid, langgar, atau komunitas yang lebih kecil, ibarat keluarga. Dengan demikian, muncullah lembaga-lembaga pendidikan Islam secara informal di masyarakat. Sebelum masa kolonisasi, daerah-daerah Islam di Jawa sudah mempunyai sistem pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan membaca al-Qur’an, pelaksanaan shalat, dan pelajaran wacana kewajiban-kewajiban pokok agama.

Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Jawa, pendidikan Islam mulai tumbuh, meskipun masih bersifat individual. Kemudian, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar, mulailah secara sedikit demi sedikit dilangsungkan pengajian umum mengenai tulis-baca al-Qur’an dan wawasan keagamaan. Bentuk yang paling fundamental dari bentuk pendidikan ini umumnya disebut pengajian al-Qur’an. Pendidikan ini, selain yang telah disebutkan di atas, berlangsung di rumah imam masjid atau anggota masyarakat Islam yang saleh lainnya. Di tempat-tempat tersebut, bawah umur Muslim diberi bekal pengetahuan agama, pengetahuan membaca al-Qur’an dan kecakapan lainnya yang dibutuhkan bagi kehidupan sehari-hari sebagai seorang Muslim.

Selain itu, ada forum pesantren atau pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai, atau ulama. Oleh lantaran itu, dalam masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya Jawa-secara tradisional- pendidikan telah dijalankan pada dua jenjang, yaitu pengajian al-Qur’an, sebagai pendidikan dasar, dan pondok pesantren, sebagai pendidikan lanjutan, walaupun keduanya secara formal tidak ada keterikatan. Lembaga ini berperan penting dalam penyebaran Islam ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Di forum inilah calon guru agama, calon kiai atau calon ulama dididik dan dibina. Mereka yang telah keluar dari pesantren kemudian menuju ke kampung atau ke desanya masing-masing. Di tempat asalnya inilah mereka menjadi pemimpin agama, dan tidak jarang mendirikan pesantren baru. Tidak jarang pula para raja atau kaum aristokrat mengundang para kiai atau ulama yang diangkat sebagai guru agama bagi keluarganya. Banyak juga para kiai yang diangkat sebagai penasehat kerajaan, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menawarkan imbas di bidang politik kepada raja.

5. Kesenian
Islamisasi juga dilakukan melalui kesenian, yaitu seni bangunan, seni pahat (ukir), seni musik, seni tari dan seni sastra. Seni bangunan dan seni pahat banyak dijumpai dalam masjid-masjid kuno. Di Indonesia, masjid-masjid kuno mempunyai kekhasan sendiri. dalam denahnya, masjid itu berbentuk persegi atau bujur kandang dengan penggalan kaki agak tinggi dan pejal, sedangkan atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih. Masjid tersebut dikelilingi oleh parit atau bak air pada penggalan depan atau sampingnya dan berserambi. Bagian-bagian lain ibarat mihrab dengan lengkung pola kalamakara, mimbar dengan gesekan pola teratai, dan mastaka atau memolo terang menandakan pola-pola seni bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.

Bentuk bangunan pada masjid kuno di Jawa mengadaptasi pola-pola bangunan atau  keyakinan Hindu tersebut menandakan bahwa Islam disebarkan dengan jalan damai. Selain itu, secara kejiwaan dan seni administrasi dakwah, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksana sehingga sanggup menarik orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya. Hal ini sanggup dijumpai dibeberapa masjid kuno yang masih mempertahankan bangunan berasiktektur Hindu. Ada juga daerah kantong Muslim yang masyarakatnya memandang tau menyembelih sapi, sebagai hewan yang disucikan oleh umat Hindu. Kota Kudus merupakan daerah sesuai dengan kedua teladan ini.

Demikian pula terusan Islamisasi melalui seni tari, seni musik dan seni sastra. Dalam upacara-upacara keagamaan, ibarat Maulud Nabi, sering dipertunjukan seni tari atau seni musik tradisional contohnya sekaten yang terdapat di Kerato Yogyakarta dan Surakarta, sedangkan di Cirebon seni musik itu dibunyikan pada perayaan Grebeg Maulud. Begitu pula dengan tarian ibarat dedewan, debus, birahi, dan bebeksan ditampilkan dalam upacara-upacara tertentu. Contoh lainnya yakni Islamisasi pertunjukan wayang. Konon, sunan Kalijaga merupakan tokoh yang mahir memainkan wayang. Dia tidak pernah meminta upah dalam pertunjukannya, tetapi beliau hanya minta semoga para penonton mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian dongeng wayangnya masih diambil dari dongeng Mahabharata dan Ramayana, tetapi dengan sedikit demi sedikit nama tokoh-tokohnya diganti dengan jagoan Islam.

Islamisasi melalui seni juga tampak dalam bidang karya sastra. Banyak dongeng babad dan hikayat yang ditulis dalam abjad Jawi, Pegon, dan Arab. Beberapa kitab tasawuf diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa lagi ke dalam bahasa daerah lainnya. Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri disusun dalam bentuk syair Melayu semoga sudah dimengerti oleh orang-orang Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab atau Persia. Bentuk abjad Jawi dalam sastra Melayu yang merupakan pembiasaan dari huruf-huruf Arab menjadi teladan lain dari hal ini.

C. Peranan Walisongo
Ulama sangat berjasa besar dalam membuatkan agama Islam kepada penduduk pribumi sehingga Islam dipeluk oleh lebih banyak didominasi bangsa Indonesia. Para penyebar agama Islam di Jawa dikenal dengan sebutan Walisongo. Istilah wali berasal dari bahasa Arab yaitu aulia, yang artinya orang yang erat dengan Allah SWT lantaran ketaqwaannya.

Jumlah wali dianggap Sembilan (songo) meskipun bergotong-royong lebih dari itu, lantaran jumlah Sembilan orang itu untuk membuatkan nilai-nilai moral ke segala penjuru. Sehubungan dengan segala pencuru wilayah ini, orang Jawa mengenal istilah keblat papat limo pancer. Keblat papat, yaitu utara-timur-selatan-barat, dilengkapi dengan arah di antaranya berjumlah delapan, ditambah dengan pusatnya (paancer) menjadi sembilan.[6] Istilah keblat papatlimo pancer ini selalu diucapkan oleh orang yang memimpin suatu kenduri berdasarkan budbahasa Jawa, berbeda dengan apa yang diucapkan oleh modin atau kaum yang memimpin kenduri dengan warna Islam. Sembilan wali tersebut ialah sebagai berikut:[7]

1. Sunan Gresik (Syeikh Maulana Malik Ibrahim)
Syeikh Maulana Malik Ibrahim lahir pada tahun 1350 M. Ada yang beropini bahwa nasabnya bertalian dengan seorang sayyid dari Hadramaut. Di samping itu, ada yang menyampaikan bahwa Sunan Gresik berasal dari Gujarat dan merupakan pedagang yang dating ke Pulau Jawa kemudian membuatkan anutan Islam.

Sunan Gresik dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim sehingga tidak heran kalau semenjak kecil ia sudah berguru agama Islam. Setelah dewasa, ia menikah dengan Dewi Candra Wulan, putrid pertama Putri Campa yang telah menganut Islam. Adapun Putri Campa merupakan istri dari raja Majapahit, Brawijaya.

2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden rahmat yakni putra Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Dewi Candra Wulan. Ia memulai dakwahnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, erat Surabaya.

Sunan Ampel sangat besar lengan berkuasa di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya dari kalangan istana. Dengan demikian ia tidak mendapat kendala yang berarti dalam berdakwah. Ia juga merupakan penyokong Kesultanan Demak dan ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1497 M bersama wali-wali yang lain.

Sunan Ampel menginginkan semoga masyarakat menganut keyakinan yang murni. Sebaliknya, Sunan Kalijaga mrngusulkan semoga adat-istiadat Jawa diberi warna Islam. Sunan Ampel setuju, walaupun ia tetap menginginkan adat-istiadat tersebut dihilangkan, lantaran merupakan penggalan dari bid’ah. Sunan Ampel  wafat pada tahun 1481 M di Ampel dan dimakamkan di kompleks pemakaman Masjid Ampel, Surabaya.

3. Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Bonang merupakan sepupu Sunan Kalijaga. Setelah berguru Islam di Pasai (Aceh), ia ke Tuban (Jawa Timur) untuk mendirikan pondok pesantren. Dalam berdakwah, Sunan Bonang mengikuti keadaan dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa. Ia pun menyisipkan ajaran-ajaran Islam ke dalam dongeng wayang dan music gamelan.

Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di Tuban dan menjadikan pesantren sebagai wadah pendidikan kader dakwah. Sunan boning menawarkan pendidikan Islam secara mendalam kepada murid-muridnya, termasuk Raden Fatah. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban.

4. Sunan Giri (Raden Paku)
Raden Paku berdakwah di Giri dengan mendirikan pesantren. Para santrinya banyak yang berasal dari rakyat jelata. Sunan Giri populer sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia juga merupakan orang yang besar lengan berkuasa dalam Kesultanan Demak. Hal ini terlihat ketika muncul suatu masalah, wali-wali yang lain selalu menantikan pertimbangannya. Sunan Giri wafat pada awal pertengahan periode XVI M dan dimakamkan di Bukit Gresik, Jawa Timur.

5. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat populer mempunyai jiwa social dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada gotong-royong. Ia selalu menolong orang-orang yang membutuhkan, menyayangi anak yatim, dan menyantuni fakir miskin. Sunan Drajat wafat pada pertengahan periode XVI M dan dimakamkan di Panciran, Lamongan, Jawa Timur.

6. Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Wilayah dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas. Ia suka berkeliling dan memperhatikan keadaan masyarakat. Oleh alasannya itu, semua lapisan masyarakat sangat simpati kepadanya. Begitu pula dengan Raden Fatah. Ia sangat menghormatinya.

Sunan Kalijaga berdakwah menggunakan aneka macam media seni, ibarat pertunjukkan wayang kulit, seni gamelan, seni suara, seni ukir, seni pahat, busana, dan kesusastraan. Ia wafat pada pertengahan periode XV M dan dimakamkan di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.

7. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus yakni putra dari Utsman Haji. Adapun Utsman Haji yakni orang yang membuatkan agama Islam di Jipang Panolan, Blora. Sunan kudus membuatkan agama Islam di Kudus. Ia hebat dibidang ilmu fiqh, ushul fiqh, tauhid, hadits, dan logika. Untuk kepentingan dakwah, ia membuat dongeng keagamaan yang berjudul Gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di pemakaman Masjid Menara Kudus.

8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria yakni putra dari Sunan Kalijaga. Ia berdakwah di Gunung Muria dan di desa-desa terpencil lainnya. Objek dakwahnya yakni pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Ia juga membuat tembang yang berjudul Sinom dan Kinanti. Sunan Muria wafat pada periode XVI M dan dimakamkan di Gunung Muria, Kudus.

9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati dihormati oleh para sultan Demak dan Pajang. Di samping itu, ia diberi gelar Raja Pandita. Dakwahnya dilakukan melalui pendekatan structural. Ia mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon dan Banten. Di samping itu, ia juga mendirikan pesantren Gunung Jati di Cirebon. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati, desa Astana, Cirebon.

Wali-wali tersebut yakni penyebar agama Islam yang terus menerus berjuang dan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan agama Islam dengan aneka macam caranya masing-masing. Gerakan Islamisasi oleh para wali tersebut dipusatkan di daerah pantai utara Jawa dengan mendirikan pusat-pusat pengembangan Islam. Secara garis besar, peranan wali yakni sebagai berikut:
  1. Dibidang agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan pondok pesantren, berdakwah, ataupun dengan media seni.
  2. Dibidang seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang kebudayaan dan kesenian setempat yang diadaptasi dengan agama/budaya Islam.
  3. Dibidang politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam maupun sebagai penasehat raja-raja. 
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam masuk ke Indonesia dengan jalan tenang pada periode ke-7 dan mengalami perkembangannya pada periode 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam yakni bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India). Penyebaran Islam di Jawa melalui dua pendekatan yaitu pendekatan islamisasi kultur jawa dan pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam. Sedangkan proses Islamisasi yaitu melalui perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan dan kesenian. Secara garis besar, peranan wali yakni sebagai berikut:
  1. Dibidang agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan pondok pesantren, berdakwah, ataupun dengan media seni.
  2. Dibidang seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang kebudayaan dan kesenian setempat yang diadaptasi dengan agama/budaya Islam.
  3. Dibidang politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam maupun sebagai penasehat raja-raja.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh lantaran itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

REFERENSI
[1] Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002, hlm.21-27
[2] Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 41.
[3]  Shodiq, Potret Islam Jawa, hlm. 43
[4] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014, hlm. 46
[5] Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hlm. 47
[6] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 50
[7] Samsul Munir Amin, Sejarah Dakwah, Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 229

DAFTAR PUSTAKA 
Amin, Samsul Munir. Sejarah Dakwah. Jakarta: Amzah. 2014
Huda, Nor. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2014
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002
Simon, Hasanu. Misteri Syeikh Siti Jenar: Peran Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.