Makalah Tauhid Anutan Mu’Tazilah

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menawarkan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menuntaskan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Pemikiran Teologi Mu’tazilah”. Makalah ini berisikan wacana pemikiran-pemikiran Mu’tazilah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh lantaran itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala perjuangan kita. Amin.
                                                                                                     
                                                                                                                        Kendal, 21 mei 2013
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................            
Daftar isi.............................................................................................................................  
PENDAHULAN................................................................................................................  
A.    Latar Belakang Masalah.......................................................................................  
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................  
C.    Tujuan ...................................................................................................................  
PEMBAHASAN................................................................................................................  
A.    Pengertian dan Asal Usul Mu’tazilah..................................................................  
B.     Prinsip-prinsip Mu’tazilah....................................................................................  
PENUTUP.........................................................................................................................  
A.    Kesimpulan............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, lantaran terus menerus terjadi perpecahan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar logika dan kebebasan berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan logika pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta menawarkan citra yang tidak benar terhadap pedoman Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh lantaran itu pemakalah akan sedikit membahas wacana Pemikiran Teologi Mu’tazilah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Mu’tazilah dan Bagaimana Asal Usulnya?
2.      Apa Saja Prinsip-prinsip Aliran Mu’tazilah?
C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Mu’tazilah dan Asal Usulnya.
2.      Untuk Mengatahui Prinsip-prinsip Aliran Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Asal usul Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Meraka yaitu pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang berjulukan Hasan Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul semenjak zaman sahabat, mereka yaitu golongan pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan bin Ali dari bangku kholifah. Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama yaitu Mu’tazilah lantaran mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.
Masalah pertama yang menyebabkan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melaksanakan dosa besar. Persoalan ini muncul pada ketika seorang berjulukan Wasil bin Atha berada dimajelis kuliah gurunya berjulukan Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil beropini bahwa orang yang melaksanakan dosa besar yaitu fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.
Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu tiba menanyakan suatu soal yang memerlukan tanggapan dari sang guru. Pertanyaan itu ialah bila seorang beriman meninggal dunia sedangkan ia pernah melaksanakan satu dosa besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah diakhirat nanti? Apakah didalam nirwana lantaran ia seorang yang beriman atau dineraka lantaran ia melaksanakan satu dosa yang besar?
Sang murid mendengar soal ini bangun semangatnya untuk menjawab. Secara impulsif ia menyampaikan insan yang demikian bukan ditempatkan di nirwana atau neraka, tetapi ia ditempatkan diantara kedua kawasan ini. Yakni disuatu kawasan ditengah-tengah antara nirwana dan neraka. Pendapatnya ini berlainan secara drastis dengan pendapat gurunya. Karena pendapat ini ia pun mengasingkan diri dan mengadakan kawasan sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh lantaran pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dan alirannya dinamakan mu’tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh lantaran itu Hasan Basri kemudian berkata “I’tazala ‘annawashil, artinya Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum Mu’tazilah sumber pengatahuan yang paling utama yaitu akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi kontradiksi antara ketetapan logika dan ketentuan wahyu maka yang ditamakan yaitu ketetapan akal.
Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap insan untuk mendapatkan atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan insan mempunyai kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana insan tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[1]
Menurut A.hanafi aliran Mu’tazilah yaitu aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua, serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:
1.      Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.
2.      Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.
Banyak kholifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :
1.      Yazid bin Wahid Bani Umayah
2.      Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3.      Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
4.      Al Watsiq bin Al Mu’tashim
Mereka amat bahagia berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari mereka ini, tujuan mereka yaitu mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain ialah :
1.      Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak
2.      Buruk dan baik siapa yang menetapkan, logika atau syara’
3.      Pembuat dosa besar abadi dalam neraka atau tidak
4.      Qur’an itu makhluk atau tidak
5.      Perbuatan insan di buat insan atau yang kuasa
6.      Tuhan itu sanggup dilihat di akherat atau tidak
7.      Qur’an itu sanggup ditiru insan atau tidak
8.      Alam ini qadim atau baru
9.      Syurga dan neraka itu abadi atau tidak
10.  Arwah itu pindah-pindah atau tidak
11.  Tuhan itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
12.  Mi’raj itu dengan badan atau tidak
13.  Dan lain-lain[2]
B.     PRINSIP-PRINSIP ALIRAN MU’TAZIAH
1.      Tauhid (Keesaan Tuhan)
At-Tauhid (kemahaesaan tuhan) merupakan pedoman dasar terpenting bagi kaum Mu’tazilah. Bagi mereka, Tuhan dikatakan Maha Esa bila ia merupakan zat yang unik, tiada sesuatu yang serupa dengan dia. Oleh lantaran itu, mu’tazilah menolak paham anthropomorphisme/al-tajassubertanganm, yaitu paham yang menggambarkan yang kuasa mirip makhluk-Nya. Misalnya, yang kuasa bertangan dan sebagainya. Untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melaksanakan interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat al-quran yang zhanny: yad allah (tangan allah), berarti kekuasaan allah, wajh allah (wajah allah), berarti keridhaannya, dan sebagainya.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung mendapatkan ayat-ayat tersebut itu untuk evaluasi wacana wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menunjukan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.[3]
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa yang kuasa sanggup dilihat di alam abadi nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat yang kuasa yang betul-betul mustahil ada pada makhluknya yaitu sifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat yang kuasa yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini lantaran yang kuasa bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat bahan  , yang immateri hanya sanggup diterima oleh yang immateri pula. Oleh lantaran itu, mu’tazilah beropini yang kuasa tuhan memang sanggup dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah beropini bahwa hanya dzat yang kuasa yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat yang kuasa yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, mirip maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan yang kuasa mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat yang kuasa dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa berpengaruh imbas logika dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum rasional.
2.      Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Al-adl merupakan kelanjutan dari pedoman at-tauhid. Jika pedoman pertama mu’tazilah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan dengan makhluk-Nya, pedoman kedua ini mereka ingin mensucikan Tuhan dari perbuatan makhluk. Hanya yang kuasa yang berbuat seadil-adilnya. Tuhan mustahil berbuat dholim.
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak membuat perbuatan manusia, insan sanggup mengerjakan perintah-perintahnya dan meninggalkan ajaran-ajaran-Nya dengan kekuasaan yang ditetapkan Tuhan pada diri insan itu.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan berdasarkan salah satu sekte mu’tazilah, Tuhan tidak bias berbuat jelek lantaran perbuatan yang demikian hanya dilakukan oleh orang yang tidak tepat sedangkan Tuhan Maha Sempurna.
Selanjutnya, masalah keadilan Tuhan ini mendorong timbulnya masalah perbuatan insan apakah perbuatan insan itu diwujudkan oleh Tuhan atau oleh insan sendiri?. Dalam pandangan mu’tazilah yang menganut paham qadariyah, perbuatan insan diwujudkan oleh insan sendiri. Tuhan dikatakan adil bila menghukum orang yang berbuat jelek atas kemauannya sendiri.  
3.      Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan niscaya akan menawarkan pahala dan siksa kepada insan di akhirat. Orang yang melaksanakan kebaikan berhak menerima pahala, sedangkan orang yang melaksanakan keburukan berhak menerima siksa dan ini niscaya terjadi. Tuhan tidak sanggup berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya.
Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana mustahil orang yang berbuat baik dihalang-halangi mendapatkan pahala. Dalam hal ini mu’tazilah beropini bahwa Tuhan tidak disebut adil bila ia tidak member pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan prinsip akad dan ancaman.
4.      Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
Ajaran keempat yang disebut posisi tengah berdasarkan Mu’tazilah maksudnya kawasan diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat penting. Dengan pedoman ini, Washil rela memisahkan diri dari gurungya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara iamn dan kafir.
Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an dan Hadits. Ayat al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik masalah yaitu yang tengah-tengah.
5.      Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya. Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah permintaan berbuat baik dan larangan berbuat jelek itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Mu’tazilah beropini bahwa amar ma’ruf nahyi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu bila dibutuhkan bias dengan kekerasan. Bagi kaum Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus diluruskan.
Pandangan rasional Mu’tazilah sanggup dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan logika dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1.      Mengenai wacana mengetahui Tuhan.
2.      Kewajiban mengetahui Tuhan.
3.      Mengetahui baik dan jahat.
4.      Kewajiban mengatahui baik dan jahat.[4]
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Meraka yaitu pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang berjulukan Hasan Basri.
Washil memisahkan diri dari guruya yakni Hasan Basri lantaran berbeda pendapat mengenai orang beriman yang melaksanakan dosa besar. Menurut Washil orang tersebut tidak mukmin dan juga tidak kafir, melainkan fasik. Mereka akan ditempatkan diantara nirwana dan neraka.
Ada lima prinsip yang dipegang oleh Mu’tazilah, yakni
1.      Tauhid
2.      Keadilan Tuhan
3.      Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
4.      Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
5.      Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
DAFTAR PUSTAKA
Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas


[1] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
[2] Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
[3] Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
[4] Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.