Makalah Ibj Bidang Sastra


Bidang Sastra

Sejarah Islam di Jawa telah berjalan cukup lama. Selama perjalanan tersebut, banyak hal yang menarik dicermati, antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya orisinil Jawa dengan banyak sekali nilai yang tiba dan merasuk kedalam budaya Jawa. Proses tersebut memunculkan banyak sekali varian dialektika, sekaligus pertanda elastisitas budaya Jawa. Pada ketika agama Hindu-Budha datang, memunculkan satu varian dialektika budaya Jawa bercorak Hindu-Budha dengan corak khusus efek budaya India. Demikian juga pada ketika Islam tiba dan berinteraksi dengan budaya Jawa, melebur menjadi satu. Dalam hal ini, ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya Jawa.
Sastra merupakan salah satu hasil dari interelasi nilai budaya Jawa dan Islam. Keberadaan karya sastra dalam perspektif kebudayaan secara eksklusif atau tidak eksklusif telah melahirkan banyak sekali kemungkinan yang sanggup diinterpretasi sebagai kekayaan semesta. Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang mencakup teori sastra (membicarakan pengertian-pengertian dasar wacana sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis sastra dan perkembangan pemikiran sastra), sejarah sastra (membicarakan dinamika wacana sastra, pertumbuhan atau perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra).
Sastra dalam masyarakat Jawa mempunyai peranan cukup penting dalam pembangunan peradaban. Hal ini sanggup dilihat dari banyaknya karya sastra baik verbal maupun goresan pena yang menyertai sejarah perjalanan peradaban masyarakat Jawa. Sastra menjadi media yang dianggap penting dalam mengajarkan dan menjaga nilai-nilai Jawa (kejawen) yang sempat dipengaruhi oleh nilai-nilai atau pemikiran animisme – dinamisme, Hindu dan Budha. Sastra pula tak jarang digunakan untuk memperkokoh kekuasaan dan kedudukan politik para raja.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, penulis sangat tertarik membahas lebih lanjut wacana interelasi nilai Jawa dan Islam dalam bidang sastra tersebut.
    II.            RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan diatas dan untuk membatasi kajian-kajian menjadi lebih spesifik, maka diharapkan rumusan-rumusan duduk kasus yang benar-benar fokus. Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diambil oleh penulis yaitu sebagai berikut :
1.      Apa pengertian sastra dalam islam dan budaya jawa?
2.      Bagaimana periodisasi sastra Jawa?
3.      Bagaimana perkembangan sastra pada masa Hindu – Budha?
4.      Bagaimana interelasi nilai Jawa dan Islam dalam bidang sastra?
5.    Bagaimana perkembangan sastra pada masa Demak, Pajang dan Mataram?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sastra
Menurut Teeuw sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Jamil bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari akar kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra). Su artinya baik, indah. Sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam dalam suatu goresan pena yang berisi hal-hal yang baik dan indah. Sedangkan sastra jawa secara mudah diartikan sebagai suatu bentuk acara tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.[1]
Istilah sastra dalam bahasa inggris juga dikenal sebagai literature yang menunjuk pada karya tulis atau karya tulis ayang dicetak. Berbicara tentang sastra takkan lepas dari fungsi sastra. Fungsi sastra ialah mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Suatu karya sastra diaktakan mempunyai keindahan alasannya sastra yang diungkap melalui prosa, puisi, ataupun drama. Yang terpenting mengenai fungsi karya sastra yaitu mempunyai nilai hiburan dan nilai didaktik, sanggup juga bernilai hiburan dan mengajarkan pesan moral.[2]
B.     Periodisasi Sastra Jawa
Dalam perkembangan sastra Jawa, terdapat beberapa penggolongan hasil karya sastra, diantaranya berdasar kaitannya dengan kurun waktu, yakni sastra Jawa Kuno, Jawa gres dan Jawa modern. Prof. Poerbatjaraka menyuguhkan pembabakan menurut zaman ini dimana pusaka-pusaka itu ditulis oleh penciptanya, yaitu sastra Jawa kuno[3], sastra Jawa pertengahan[4] dan sastra Jawa zaman Islam.
Ada pula pembabakan berdasar pada kerajaan, yakni sastra zaman Hindu, zaman Majapahit, zaman Islam, zaman Mataram dan setelah Mataram. Sedangkan Pigeaud memperinci periodisasi sastra jawa berdasar efek kebudayaan, yaitu:[5]  
Periode pertama yaitu pra Islam (900-1500 M), dimana manuskrip-manuskrip Jawa kuno sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Periode ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Dari perkembangan kebudayaan Jawa ditemukan bukti bahwa kebudayaan Hindu sangat berperan dalam pembentukan sastra Jawa Kuno, mulai dari pengenalan abjad hingga pada sastra keagamaan, mirip Mahabrata dan Ramayana yang mengandung pemikiran moral.
Periode kedua yaitu periode Jawa-Bali. Pada periode ini sastra Jawa berada dalam lingkup efek raja Hindu di Bali. Sastra jawa dipelihara dan dilestarikan di Bali oleh orang-orang Hindu Majapahit yang lari ke Bali alasannya tidak mau memeluk Islam.
Periode ketiga yaitu era sastra pesisiran. Daerah-daerah pesisir utara Jawa yang menjadi sentra perdagangan mirip Surabaya, Gresik, Jepara, Demak, Cirebon dan Banten merupakan sentra munculnya sastra Jawa pesisiran.
Periode keempat yaitu terjadinya renaisains dalam sastra Jawa klasik yang berpusat di Keraton Surakarta masa 18 dan 19. Bahasa “Krama” yaitu mode budaya istana sentris yang berbau feudal dan merupakan salah satu ciri sastra Jawa pada masa tersebut.
C.    Perkembangan Sastra Pada Masa Hindu-Budha
Pada masa Hindu-Budha, rupanya ada hak-hak istimewa raja dalam training kesenian itu meskipun tidak disebut dalam prasasti-prasasti. Dari awal masa itu hingga dengan masa Majapahit awal kesusastraan yang beerbentuk kakawin yang rumit itu hanya dihasilkan oleh istana – istana raja. Contoh kakawin masa itu yang populer yaitu :[6]
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Ramayana
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Arjunawiwaha
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Smaradahana
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Bharatayuddha
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Kresnayana
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Ghatotkacasraya
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Sutasoma
 antara lain terjadinya obrolan budaya antara budaya  orisinil  Makalah IBJ Bidang Sastra      Arjunawijaya, dan lain –lain
Karya – karya kakawin yang agaknya di buat di luar istana raja gres muncul pada masa Majapahit akhir, dengan teladan kakawin “Kunjarakarna”. Keterkaitan raja dengan karya-karya susastra tersebut sanggup diketahui dari ada tidaknya ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada raja yang tertulis di dalam karya-karya itu sendiri.[7]
Peranan istana raja dalam training seni bunyi dan tari pun tersirat dari kutipan karya-karya sastra sejaman yang menceritakan betapa penyanyi dan penari yang baik diberi hadiah-hadiah berupa kain, cincin atau gelang oleh raja. Keunggulan putri-putri raja, bahkan raja sendiri dalam berolah seni diceritakan dalam beberapa karya sastra masa Hindu- Budha, baik yang berupa kekawin berbahasa Jawa kuno maupun yang berupa kidung berbahasa Jawa pertengahan. Salah satu misalnya yaitu Hayam Wuruk dalam Nagarakertagama.[8]
Namun juga terdapat siratan dari karya-karya sastra itu bahwa para pekerja yang mengabdi di istana raja itu bisa direkrut dari pedesaan, dan membawa serta kepercayaan-kepercayaan kerakyatannya. Misalnya kutipan kekawin Bharatayuddha (VI. 2-3) wacana wanita-wanita di dalam istana Hastina yang mencuri-curi mengambil bunga sajian bagi Ganesha, dimasukkan kedalam sanggulnya sebagai semacam azimat cinta. Kepercayaan mengenai daya magis dari hal-hal yang terkait dengan Ganesha lebih sempurna dipaparkan dalam kitab-kitab prosa produk luar ke rotan, mirip Tantu Panggelaran dan Korawasrama yang diciptakan sekitar simpulan kerajaan Majapahit. Benda-benda lambang Ganesha yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan harum tertentu, maupun dari logam dan batu, merupakan tempat mujarab untuk meminta sesuatu. Kitab-kitab untuk itu juga memaparkan kemampuan-kemampuan khas tuhan Gana (Ganesha) untuk menebak dan mengutarakan kenyataan yang tersembunyi. Penggambaran sifat yang demikian dari tuhan berkepala gajah itu sangat berbeda dengan yang ada pada kekawin-kekawin produk keraton. Misalnya, kekawin Samaradahana yang memang memperlihatkan dongeng panjang lebar mengenai kelahiran dan peperangan tuhan berkepala gajah itu melawan musuh-musuh dewa, menggambarkan Ganesha sebagai tokoh yang bersifat wira, gagah berani dan menggemparkan.[9]
Berdasarkan uraian diatas, terang bahwa karya sastra pada masa Hindu-Budha yakni mengenai tuhan tersebut yang dikembangkan dikalangan keraton berbeda dengan yang diluar keraton. Dalam perjalanan waktu yang panjang di masa Hindu Budha itu, yaitu dari masa VII hingga masa XVI. Kiranya dari waktu ke waktu terdapat korelasi saling melihat antara pihak keraton dengan pihak luar keraton, untuk kemudian saling mengambil. Peranan raja sebagai pemimpin kerajaan tentunya cukup besar untuk membuahkan mutu seni dan sastra yang meningkat dan perangkat kaidah yang semakin kuat.
D.    Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Bidang Sastra
Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling renta di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling renta yaitu puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Mantra digunakan untuk berafiliasi dengan religiositas manusia, terutama dalam berafiliasi dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibentuk untuk mempermudah insan berafiliasi dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang gampang dalam melakukan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.[10]
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia yaitu pantun dan syair. Jenis-jenis puisi usang lainnya yaitu gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang mempunyai struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.[11]
Dalam tradisi jawa, karya sastra yang ibarat pantun dan syair yaitu parikan dan wangsalan.[12] Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya. Wangsalan sendiri mempunyai banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah tembang. Contohnya:
Sinom  : Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem wangi
Kayu malang munggen wangan
Sun wota sabudineki
Roning kacang wak mami
Yen tan panggih sira nglayung
Toya mijil sing wiyat
Roning pisang leash ing wit
Edanira tan waras dening usada
Parikan : Tjengkir wungu , wungune ketiban ndaru.
 Wis pestimu, kowe pisah karo aku
Perbedaan yang fundamental antara wangsalan dan parikan, terletak pada maksud. Jika wangsalan mengandung maksud, parikan tidak mengandung maksud.
Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan. Keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa yaitu keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) digunakan untuk sarana memperlihatkan banyak sekali petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada pemikiran Islam. Hal ini terjadi alasannya para pujangga tersebut terang beragama Islam.[13]
Kualitas keislaman para pujangga ketika itu tentunya berbeda dengan kualitas ketika kini ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan pemikiran Islam ketika itu (abad 18-19) belum banyak mirip kini ini, sehingga dalam memberikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan pemikiran Islam. Sedangkan dalam perkembangannya pujangga keraton aktif dalam karya sastranya untuk tujuan politik keraton. Sementara itu, kalangan rakyat banyak menyebarkan sastra yang bernuansa religius untuk kepentingan pengenalan pemikiran islam. Dan semua karya sastra jawa gres yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita, dan Susuhunan Pakubuwana IV) menggunakan puisi (tembang/macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya.[14]
Berdasarkan klarifikasi tersebut, sanggup diambil kesimpulan bahwa munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit.
Walaupun demikian, warna islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:[15]
1.   Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2.   Unsur kebajikan (upaya memperlihatkan petunjuk atau nasehat kepada siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa gres :
a)                   Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
·      Serat warganya (1784), menggunakan tembang dandanggula, berisi 10 bait.
·      Serat wirawiyata, menggunakan tembang sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
·      Serat sriyatna, menggunakan tembang dhandanggula (15 bait),
·      Serat nayakawara, menggunakan tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur (12 bait),
·      Serat paliatma (1793), menggunakan tembang mijil (11 bait) dan tembang pucung (11 bait),
·      Serta seloka tama (1799), menggunakan tembang mijil (31 bait),
·      Serat dharmalaksita (1807), menggunakan tembang dhandanggula (12 bait), tembang kinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait),
·      Tembang triparma, menggunakan tembang dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
·      Serat wedhatama, menggunakan tembang pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur (14 bait) dan sinom (18 bait).
b)                  Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
·      Serat katalida, menggunakan tembang sinom (2 bait)
·      Serat sabjati, menggunakan tembang megathruh (19 bait)
·      Serat sandhatama, menggunakan tembang gambuh (22 bait)
·      Serat wedharaga, menggunakan tembang gambuh (38 bait)
c)                   Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :
·      Sastra wulangeh, yang menggunakan tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi (16 bait), gambuh (17 bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh (17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait)
Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa gres diantaranya duduk kasus jihad, duduk kasus ketauhidan dan duduk kasus moral / sikap yang baik.
o   Masalah Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan implementasi, bagi setiap umat islam, sifat dan sikap mirip yang dimiliki prajurit sangat diharapkan dalam menghadapi era globalisasi dan membentuk insan Indonesia dari masa milenium baru, yang akan melahirkan generasi yang handal dan mempunyai kemampuan daya saing tinggi.
o   Mendekatkan diri pada Tuhan, dalam sera naya kawara, dengan implementasi, mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila selalu mendekatkan diri kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya.
o   Memiliki moral yang baik, dalam serat selokatama, dengan implementasi, setiap muslim hendaknya mempunyai sikap akhlakul karimah, alasannya dengan sikap tersebut seseorang akan terhindar dari sikap yang jahat.
Dalam sastra jawa yang digunakan yaitu satra pujangga keraton surakarta yang mempunyai metrum islam, yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana, dhandhanggula, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh.
Maksud dari keterkaitan antara islam dan karya sastra jawa yaitu keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Karya-karya sastra jawa yaitu karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada zaman periode jawa gres yang mempunyai metrum islam.
Pada zaman kemerdekaan karya-karya Jawa islami sulit ditemukan, dikarenakan bahwa kebanyakan pembuat puisi masih enggan menciptakan puisi yang islami. Kebanyakan mereka menciptakan karya-karya sastra yang nJawani dari pada islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang nJawani.[16]
E.     Perkembangan Sastra Pada Masa Demak, Pajang dan Mataram
a)                              Pada Masa Kerajaan Demak[17]
Periode ini diprakarsai oleh Kesultanan Demak Bintoro. Pada masa ini segala daya upaya, pikiran, kekuatan fisik dicurahkan untuk membentuk masyarakat islam. Dan pada masa keemasannya banyak kitab yang ditulis. Kebanyakan kitab yang ditulis alasannya efek agama Islam, diantaranya : het boek van bonang, een javaans geschrift uit de 16 eeuw, suluk sukarsa. Serat nitisruti, serta nitipraja, serat sewaka, serat menak, serat regganis, serat manikmaya, serat ambiya dan serat kandha.
b)                              Pada Masa Kerajaan Pajang[18]
Periode ini diprakarsai oleh Sultan Hadiwijaya. Pada periode ini ditandai dengan pergeseran kebudayaan pesisir menjadi kebuudayaan pedalaman. Selama pemerintahan raja Adiwijaya dari Pajang. Kesusasteraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Pada paruh kedua masa ke-16 pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistic Jawa nitisruti. Dalam dongeng tutur sastra Jawa menerima julukan “Pujangga PaJang”. Dari dongeng tutur mengenai nitisruti dan pengarangnya pangeran Karang Gayam, boleh diambil kesimpulan bahwa pada zaman kesultanan Pajang kesusasteraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah cuilan selatan.
c)                              Pada Masa Kerajaan Mataram
Pada masa kerajaan Islam, kesusasteraan Jawa berkembang dengan pesat. Sultan Agung sebagai raja pada masa itu menuliskan kitab sastra gendhing yang serupa dengan kitab filsafat yang memuat filsafat Jawa pada umumnya. Selain itu ada pula kitab yang diilhami dari dongeng Ramayana, yaitu : nitisruti, niti, sastra dan astabrata.

 IV.            KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa pembahasan diatas, maka selanjutnya penulis akan memperlihatkan kesimpulan sebagai balasan dari banyak sekali pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Sastra merupakan suatu keindahan atau sanggup dikatakan suatu karya tertulis yang bisa menghanyutkan suasana sang pembaca, pendengar, dan juga penonton menjadi terlena karna sastra yang diungkap melalui prosa, puisi, ataupun drama. Sedangkan fungsi dari sastra itu sendiri yaitu mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Selain itu sastra juga mempunyai nilai hiburan yang tinggi.
2.      Sastra jawa mempunyai 4 periode diantaranya yaitu: Periode Pra Islam, periode Jawa-Bali, periode sastra pesisiran dan periode renaisains sastra jawa klasik.
3.      Sedangkan dalam perkembangannya, sastra pada masa hindu budha dikenal dengan yang namanya mantra. Mantra tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap mempunyai daya linuwih saja. Namun karya sastra itu tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya pantun atau syair, yang lebih dikenal pada ketika itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
4.      Interelasi atau keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa yaitu keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu memperlihatkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Sedangkan perbedaan dari karya sastra pada masa Hindu – Budha dengan karya sastra hasil dari interelasi tersebut yaitu:
·         karya sastra pada masa Hindu Budha lebih banyak menceritakan wacana kepercayaan terhadap dewa-dewa.
·         Sedangkan setelah terjadi interelasi karya sastra yang dibentuk sudah terpengaruh dengan unsur Islam yaitu unsur ketauhidan dan unsur kebijakan yang salah satu tujuannya sebagai jalan dakwah Islam.




DAFTAR PUSTAKA
Anasom, dkk, Merumuskan Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981.
Hadisutrisno, Budiono, Islam Kejawen, Yogyakarta: Eule Book, 2009.
Jamil, A, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Sedyawati, Edi, Budaya Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.



[1] Abdul Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media: Yogyakarta, 2000, hlm. 140.
[2] Ibid.
[3] Karya sastranya yaitu kakawin Ramayana dan kakawin bharatayudha. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/sastra_jawa_kuno, diakses hari Jum’at, 20 April 2012, pkl. 09.30.
[4] Jangka waktu mulai 1400-1700 M. Karya sastranya yaitu Tantu Pangelaran.
[5] Anasom, dkk, Merumuskan Interelasi Islam – Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004, hlm. 118.
[6] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 221.
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 222.
[9] Ibid, hlm. 222-223.
[10] A. Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 144.
[11] Ibid
[12] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981, hlm. 375-376.
[13] A. Jamil, op.cit, hlm.144.
[14] Anasom, Op cit, hlm 119.
[15] A. Jamil, dkk, Op Cit, hlm 145.
[16] Ibid, hlm 153
[17] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, Yogyakarta: Eule Book, 2009, hlm. 132.
[18] Ibid
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.