Makalah Ibj Bidang Kesenian, Pewayangan

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Balakang Masalah
            Sebelum Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan Hindu dan Budha telah berkembang dan mendarah daging selama ratusan tahun. Wayang kulit yaitu salah satu wujud kebudayaan yang telah berkembang. Sulit untuk mencabut suatu kebudayaan yang telah tertanam dengan begitu berpengaruh kemudian diganti dengan kebudayaan yang bernafaskan Islam. Dalam suatu pertunjukan wayang kulit, biasanya menceritakan suatu lakon yang mengungkapkan suatu permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat dan cara penyelesaiannya. Lakon mempunyai maksud dan tujuan dongeng yang dimainkan dalam wayang kulit (Poerwandarminta, 1995: 552) [1].
            Kesenian wayang kulit mempunyai kelebihan dibandingkan dengan kesenian yang lainnya, kelebihannya yaitu sebab wayang kulit mempunyai kedudukan dan fungsi yang cukup menonjol dalam kehidupan masyarakat. Dimana wayang kulit sanggup digunakan sebagai media pendidikan termasuk didalamnya pendidikan agama, media penerangan dan media hiburan.
            Wayang yaitu sebuah seni pertunjukan khas Indonesia yang sudah sangat terkenal baik itu di dalam atau luar pulau Jawa. Karya seni ini sudah dikenal masyarakat semenjak zaman pra sejarah. Kemudian pada dikala masuknya imbas Hindu dan Budha, dongeng dalam wayang mulai mengadopsi kitab Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Lalu pada masa imbas Islam, wayang oleh para wali digunakan sebagai media dakwah yang tentunya dengan menyisipkan nilai-nilai Islam. Seni pewayangan merupakan perpaduan dari banyak sekali seni mirip seni musik, seni ukir, seni lukis, kesusastraan, dan falsafah ( Sri Mulyono, :1979: 6) [2].
           
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat wayang dan nilai-nilai apa yang terkandung didalamnya?
2.      Bagaimana sejarah/asal-usul wayang?
3.      Bagaiamana bentuk akulturasi antara Islam dengan kesenian wayang?
4.      Apa tujuan akulturasi antara Islam dengan kesenian wayang?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Wayang
            Wayang yaitu salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang mencakup seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wayang yaitu boneka tiruan orang dan lain sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan lain sebagainya yang sanggup dimanfaatkan untuk memerankan tokoh di pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dan lain sebagainya), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.[3]
B.     Sejarah/Asal-Usul Wayang [4]
Asal-usul wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dkemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan ini cukup berpengaruh sebab seni wayang masih amat akrab kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa, yakni Punakawan tokoh yang terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya dalam pewayangan Indonesia dan tidak ada di Negara lain. Selain itu nama dan istilah teknis pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna) dan bukan bahasa lain.
Pendapat kedua diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahuripan (976-1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi materi dongeng wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, semenjak kala X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910) yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke Bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa Kuna kedalamnya.
Wayang sebagai satu pergelaran dan tontonan sudah dimulai ada semenjak zaman pemerintahan raja Airlangga. Kata “wayang” diduga berasal dari kata “wewayangan” yang artinya bayangan. Untuk lebih menjawakan budaya semenjak awal jaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan dongeng wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak itulah cerita-cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan dongeng wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, diantaranya para Wali Sanga.
Masuknya agama Islam ke Indonesia semenjak kala ke-15 juga member imbas besar pada budaya wayang, terutama konsep religi dari falsafah wayang itu. Sejak zaman Kartasura, pengubahan dongeng wayang yang berinduk pada Ramayana dan Mahabarata semakin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam.
C.    Bentuk Akulturasi Wayang Dan Islam [5]
Berikut beberapa pola akulturasi antara kisah atau pakem pewayangan yang berdasarkan budaya Hindu-Budha yang kemudian digabungkan dengan unsur-unsur Islam:
  1. Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara bau tanah dari Pandawa, sebab kalimah Syahadah memang rukun Islam yang pertama. Dalam dongeng wayang, sifat-sifat  Puntadewa sebagai raja (syahadat bagaikan rajanya rukun Islam) yang mempunyai perilaku berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang bakir bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan, sebagai pengejawantahan dari kalimah Syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat saudaranya dengan penuh suka murung dan kasih sayang. Demikian pula kalimah Syahadat sebagai “rajanya” rukun Islam yang lainnya, sebab biarpun seseorang menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima, namun apabila tak menjalankan rukun Islam yang pertama maka semua amalannya akan sia-sia belaka.
  2. Shalat lima waktu dipersonifikasikan dalam tokoh Bima. Dalam kisah pewayangan tokoh tersebut dikenal juga sebagai Penegak Pandawa. Ia hanya sanggup bangkit saja, sebab memang tidak sanggup duduk. Tidur dan merempun konon bangkit pula. Demikian pula sholat lima waktu selamanya harus ditegakkan. Baginya terpikul kiprah penegak agama Islam dan jangan lupa sholat yaitu tiang agama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Shalat lima waktu yaitu penegak agama Islam. Siapa-siapa yang menjalankannya berarti menegakan Islam”.
  3. Zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa yakni Arjuna. Nama Arjuna diambil dari kata “jun” yang berarti jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang jernih. Kejernihan Arjuna memancar pada jiwa dan tubuhnya. Arjuna juga merupakan seorang pecinta seni keindahan. Perasaannya amat halus dan hangat. Karena kehalusannya, Arjuna jadi sulit menyampaikan “tidak”. Karena kehalusan budi pekertinya tersebut Arjuna seperti mempunyai kesan lemah. Padahal semua itu dilakukan supaya tidak menyakiti hati orang lain. Selain itu dalam perang yang dijalaninya Arjuna tidak terkalahkan. Maka demikianlah, zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, sebab setiap muslim berkewajiban berzakat, mengandung inti kebijaksanaan supaya setiap orang Islam untuk berjuang memperoleh rizki dan kekayaan. Dalam dongeng kepahlawanan Pandawa, Bima dan Arjuna paling menonjol peranannya, satu terhadap lainnya sangat memerlukan hingga menjadi dwi-tunggal yang tidak terpisahkan. Demikian pula sholat lima waktu dan zakat merupakan dua rukun Islam yang tidak terpisahkan, selamanya berjalan seiring-sejalan.
  4. Puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar Nakula-Sadewa. Kedua tokoh ini tampil pada saat-saat tertentu saja. Demikian pula dengan puasa Ramadhan dan Haji tidak setiap hari dikerjakan. Bulan Ramadhan untuk puasa dan bulan Zulhijah, sekali dalam setahun untuk melaksanakan ibadah Haji. Pandawa bukanlah Pandawa tanpa si kembar Nakula dan Sadewa. Memanglah demikian, Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan tertentu, tidak demikian halnya dengan 3 rukun Islam sebelumnya, yang dilakukan setiap dikala tiap hari.
Sunan Kalijaga juga berjasa dalam menambah peralatan yang digunakan untuk pewayangan, mirip “kelir”, “blancong” (lampu waktu pertunjukan) dan menggunakan pohon pisang serta menambah laras Pelog. Demikianlah Wayang sebagai da’wah Islam telah dirintis semenjak zaman para wali. Sebagai akhirnya dalam waktu singkat penduduk pulau Jawa banyak yang memeluk agama Islam, meskipun gres dalam tahap pengucapan kalimah Syahadat.
Falsafah Islam yang lain juga kita dapati dalam gunungan yang merupakan salah satu alat yang digunakan dalam sebuah rangkaian pertunjukan Wayang. Sebelum pertunjukan Wayang dimulai, gunungan ditaruh di tengah-tengah kelir yang merupakan titik sentra jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan citra simbolis dari “Mustika Mesjid”. Jika dibalikan gunungan ini akan tampak mirip jantung manusia, yang terdiri bilik kiri, bilik kanan, serambi kiri dan serambi kanan. Makna yang tersirat tidak sembarangan, sebab mengandung falsfah Islam. Sebagai orang yang hidup, jantung hatinya harus selalu ada di Mesjid. Gunungan oleh dalang selalu ditancapkan ditengah, ini mengandung arti bahwa yang harus diperhatikan pertama-tama dalam hidup ini yaitu masjidnya, atau kepentingan beribadat kepada Allah.
Gunungan mirip jantung manusia. Ia mempunyai tiga sudut. Pertama-tama insan tidak sanggup lepas dari tiga hal, yakni Tuhan yang menurunkan adanya insan di dunia. Kedua, insan dilahirkan lewat permainan asmara antara ayah dah ibu, dan bertindak sebagai mediator dalam proses terjadinya manusia. Ketiga, dalam proses terjadinya insan tak sanggup lepas dari anasir-anasir yang berasal dari bumi, air, angin dan api.
Di tengah gunungan ada gambar batang pohon yang tegak lurus ke atas hingga ujung. Inilah citra Imam Rajatul Yakin. Tanpa iman yang berpengaruh kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita sanggup terombang ambing dalam menjalani kehidupan. Sementara lukisan emapat cabang besar melukiskan empat jenis nafsu kita. Keempat nafsu tersebut dikenal dengan nama supiyah, amarah (nafsu terhadap keserakahan, dalam Wayang dipersonifikasikan sebagai Dasamuka, raja Alengka), mutmainah (pengekangan hawa nafsu sehingga sanggup bertindak bijaksana, adil, tokohnya yaitu Wibisana, adik Dasamuka) dan aluamah (nafsu yang mementingkan makan dan tidur, tokohnya Kubakarna, adik Dasamuka juga). Untuk menuju kesempurnaan hidup, orang harus pintar mengendalikan keempat nafsu tersebut.
Demikianlah beberapa pola percampuran kebudayaan atau biasa disebut akulturasi yang terjadi antara Hindu-Budha dengan Islam yang ditemui melalui simbol-simbol yang mempunyai falsafah ke-Islaman dalam kesenian Wayang. Wayang yang kita saksikan dikala ini pun mengalami perjalanan panjang dan mengalami banyak sekali proses perubahan seiring dengan berkembangnya zaman. Keberadaannya hingga dikala ini patut disyukuri –walaupun kadang-kadang sering terlupakan sebagai salah satu khazanah budaya bangsa.
Perlu diketahui pula bahwa kesenian dalam bentuk Wayang bukan hanya terdapat di Indonesia, namun di bebarapa negara ditemukan pula kesenian yang mirip atau sejenis, tetapi yang membedakan Wayang dengan kesenian yang sejenis lainnya yaitu falsafah kehidupan yang begitu mendalam. Disamping itu, berdasarkan penulis, unsur hiburan dan amanat dalam suatu pertunjukan Wayang, sanggup dibilang disajikan secara berimbang. Nilai plus dari kesenian Wayang inilah yang penting untuk tetap terpelihara sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita terdahulu.
D.    Nilai-Nilai Islam Terkandung Dalam Wayang [6]
Kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menjadikan perubahan kebudayaan yang menempel pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata sebab perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi sebab adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Dalam Sejarah telah menyampaikan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa yaitu Wayang.
Kebudayaan Jawa berupa kesenian pertunjukan wayang sudah ada semenjak zaman dahulu sebelum Indonesia merdeka dan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Pada mulanya wayang masih berafiliasi dengan kepercayaan animisme yang menjadi kepercayaan para leluhur bangsa Indonesia. Sebenarnya wayang berasal dari kata wayangan yang berarti sumber Ilham dalam menggambar wujud tokoh dan dongeng sehingga sanggup tergambar dengan terang dalam batin si penggambar. Pada tahun (898-910) M. Wayang sudah menjadi wayang Purwa, Namun tetap masih ditunjukkan untuk menyembah para SangHyang seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung : Sigaligi MawayangBuat Hyang, Macarita Bhima ya Kumara.
Menurut kitab Centini, wacana asal undangan Wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh raja Jayabaya dari kerajaan Mamenang/ Kediri sekitar kala ke 10, raja Jayabaya berusaha membuat citra dari roh leluhurnya yang digoreskan diatas daun lontar. Bentuk citra wayang tersebut ditiru dari relief dongeng Ramayana pada candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya sebab Jayabaya termasuk penyembah tuhan Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Dewa Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kalinya yaitu Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari tuhan Wisnu.
Dalam perkembangannya, dikala dunia Islam mulai menyentuh pewayangan terjadi perubahan besar diseputar pewayangan. Raden Patah memerintah mengubah beberapa hukum wayang yang segera dilaksanakan oleh para Wali secara gotong royong, wayang Beber karya Prabangkara (zaman Majapahit) segera direka ulang dibentuk dari kulit kerbau yang ditipiskan, dibentuk menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau. Dan disamping itu, Sunan Bonang menyusun struktur dramatikanya, Sunan Prawata menambah tokoh raksasa dan simpanse dan juga menambahakan beberapa sekenario ceritanya. Raden Patah menambahakan tokoh Gajah dan wayang Pramponan. Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu, kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, cempala dan gunungan.
Sunan Kudus kebagian kiprah mendalang. ’Suluk’ masih tetap dipertahankan dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha, namun disana sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah. Pada masa Sultan Trenggana, bentuk wayang semakin dipermanis lagi. Mata, mulut, dan indera pendengaran mulai ditatahkan. Susuhan Ratu Tunggal, pengganti Sultan Trenggana, tidak mau kalah. Dia membuat model mata liyepan dan thelengan. Selain wayang Purwa, Sang Ratu juga memunculkan wayang Gedhog, yang hanya digelar dilingkungan dalam keraton saja. Sementara untuk konsumsi rakyat jelata, sunan Bonang menyusun Darmawulan.
Walisanga dalam mengemban kiprah luhur tersebut yaitu dalam rangka mengislamkan tanah Jawa, dalam bukunya Poerbosoebroto yang berjudul “Wayang Lambang Ajaran Islam” banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan maksud Walisanga tadi. Oleh Walisanga, wayang diubah menjadi media dakwah Islam. Akidah Islam disiarakan melalui mitologi Hindhu. Hal-hal yang berkaitan dengan dengan tuhan (hyang Sang Hyang) yang menjadi sesembahan masyarakat waktu itu, dikait-kaitkan dengan dongeng nabi. Mitologi Hindhu berpegang pada tuhan sebagai sesembahannya. Karena itu, Walisanga memadukan cerita-cerita silsilah wayang yang diganti dengan silsilah Nabi.
Cerita silsilah wayang digarap dan diurutkan keatas hingga pada nabi Adam. Metode dakwah Walisanga lewat mitologi Hindu, sangat tepat dengan kontek budaya masyarakat Jawa waktu itu (abad 15). Untuk menyiarkan dogma Islam, Walisanga memlilih cara atau metode Islamisasi Jawa disebut ‘de dewanisasi’ cerita (lebih tepatnya de-sakralisasi Dewa / Tuhan Hindu). Cerita yang berafiliasi dengan dewa-dewa diubah supaya dogma Islam sanggup masuk dalam hati sanubari masyarakat. Hal ini dilakukan sebab adanya dorongan untuk mengembangkan Islam di jawa secara halus dan tidak terkesan memaksa. Perkembangan yang terjadi hingga kini ini masih tersisa bahwa usaha para Walisanga telah mengilhami ketolerensian agama Islam dengan budaya setempat.
E.     Tujuan Akulturasi Islam dengan Kesenian Wayang
Kesenian wayang kulit telah mendarah daging pada masyarakat Indonesia (khususnya Jawa dan Bali) sehingga sulit untuk menghilangkan dan menggantinya dengan kebudayaan Islam. Karena kesulitan untuk menghilangkan sesuatu yang telah menempel di dalam hati, maka para Wali Songo tidak kehilangan akal. Agar dakwah yang mereka lakukan berjalan lancar, maka salah satu cara yang ditempuhnya yaitu dengan cara memasukkan fatwa Islam ke dalam pertunjukan wayang kulit.
Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan dongeng dan obrolan sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu dikala Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan dongeng Mahabarata, para mubaligh sanggup memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah. Sehingga pada masa itu wayang dijadikan sebuah alat metode dakwah Islam oleh para wali dan mubaligh dengan tujuan supaya pengikut agama Islam bertambah banyak khususnya di wilayah Jawa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Wayang merupakan kesenian  tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Berdasarkan asal-usul wayang, ada dua pendapat, pertama bahwa wayang berasal dari Pulau Jawa khususnya Jawa Timur, pendapat yang kedua bahwa wayang berasal dari India dibawa ke Pulau jawa oleh agama Hindu.  Wayang berasal dari dongeng Ramayana dan Mahabarata dn menjadi pertunjukkan dan tontonan, namun seiring dengan beiringan masuknya Islam ke Jawa, sebagai bentuk dakwah Islam di Jawa wayang menjadi salah satu bentuk akulturasinya.
            Bentuk akulturasinya pada tokoh puntadewa, bima, arjuna, nakula-sadewa, dan yang lain. Nilai pergelaran wayang diisyaratkan dengan nilai-nilai islam oleh para walisanga. Adapun beberapa bentuk akulturasi Islam dengan kesenian wayang diantaranya; Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara bau tanah dari Pandawa, shalat lima waktu dipersonifikasikan dalam tokoh Bima, zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa yakni Arjuna. puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar Nakula-Sadewa.
            Akulturasi yang dilakukan oleh walisanga dalam pagelaran wayang di kawasan Jawa tidak lepas dari misi dakwah yang diemban oleh Sunan Kalijaga, dengan melihat realitas sosial pada dikala itu yang mengambarkan kentalnya kesenian wayang dalam kehidupan masyarakat, mendorong sunan Kalijaga untuk menjadikan wayang sebagai salah satu metode dalam dakwahnya, yaitu dengan memasukan ajaran-ajaran maupun nilai-nilai Islam mirip aqidah, akhlak, dan ritual-ritual peribadatan dalam Islam.
           
DAFTAR PUSTAKA
      ejournal.stain.pwt.ac.id (diakses pada 24 Mei 2012, pukul 15.25 WIB)
      Sri Mulyono. 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta:Gunung Agung
      Tim penyusun Sena Wangi. 1999. Ensiklopedia Wayang. Jakarta: Sena Wangi
      Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa  Indonesia. 2005. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
       http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit (dikases pada Minggu, 27 Mei 2012 pukul 09.57 WIB)
       http://hgbudiman.wordpress.com/2010/11/12/wayang-dawah-akulturasi-di-masa-madya/ (diakses pada Minggu, 27 Mei 2012 pukul 09.53 WIB.)
           


           


[2] Ibid,. diakses pada 24 Mei 2012, pukul 15.20 WIB
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2005), hal. 1010
[4] http://mediaonlinenews.com/dunia/asal-usul-wayang-kulit dikases pada Minggu, 27 Mei 2012 pukul 09.57 WIB
           


           


           


Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.