Makalah Hpii Harta Perkawinan

Ilutrasi Gambar Harta Perkawinan. (Foto. Ilustrasi)
TUGAS MAKALAH
HARTA PERKAWINAN
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah HPII
Dosen Pengampu : Nur Kholis S.H, M.Hum
oleh :
Fareh Hariyanto                            122211033


Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013

       I.            PENDAHULUAN
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika mereka belum menikah maka mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh, hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya. Hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian sesudah mereka mengikatkan diri dalam forum perkawinan.Maka mulai ketika itulah hak dan kewajiban mereka menjadi satu.Harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang sanggup dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami istri dan belum dewasa dalam suatu rumah tangga baik keluarga kecil maupun keluarga besar.
Harta perkawinan sanggup memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang manusia.Dengan adanya harta perkawinan aneka macam kebutuhan hidup ibarat makanan, pakaian,tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya sanggup dipenuhi.Dalam perkawinan kedudukan harta perkawinan disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan.Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang mempunyai banyak harta dalam perkawinan menjadi sumber problem dan penyebab terjadinya perselisihan dan perceraian suami isteri.Oleh alasannya ialah itu perlu ditinjau dari beberapa segi semoga hal yang tidak baik sanggup dihindari.
Ada aspek lain yang perlu ditinjau dari segi aturan lantaran status harta perkawinan sebagai salah satu simbol duniawi yang sering membawa mala musibah yang fatal antara suami isteri. Hal ini terjadi lantaran sangat banyak di antara pasangan suami isteri tidak mengerti dengan perkawinan yang sedang dijalaninya secara benar. Oleh lantaran itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai Kedudukan Harta Dalam Perkawinan dan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Walaupun makalah saya jauh dari kesempurnaan, tetapi saya berharap semoga sanggup bermanfaat untuk kita semua. Untuk membatasi pembahasan makalah ini semoga tidak melebar kedalam hal-hal yang lain saya akan menciptakan Rumusan Masalah sebagai berikut :
1.            Apakah pengertian harta?
2.            Apakah jenis-jenis harta dalam perkawinan?
3.            Bagaimanakah harta gonogini dalam Islam?
4.            Bagaimanakah pemanfaatan harta benda dalam perkawinan?


    II.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Harta
Harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya :"Dan janganlah kau serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik".(Q.S.An Nisa' : 5)[1]
Dari ayat di atas kami sanggup memahami bahwa harta merupakan sesuatu yang sangat sakral demi berjalannya sebuah kehidupan lantaran sesungguhnya bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja akan tetapi untuk kepentingan darul abadi juga. Oleh lantaran itu harta dihentikan diserahkan kepada orang yang belum bisa mengatur harta, walaupun orang tersebut telah dewasa.Atau secara ekonomika harta sanggup didefinisikan dengan sesuatu yang sanggup disimpan (iddikhar).
2.      Jenis Harta Dalam Perkawinan
A.    Harta Bawaan
Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing suami istri untuk mempunyai harta benda secara perseorangan, yang tidak sanggup diganggu oleh pihak lain. Suami yang mendapatkan pemberian, warisan, dan sebagainya tanpa  ikut sertanya istri, berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu.  Demikian pula halnya istri yang mendapatkan pemberian, warisan, mahar, dan sebagainya tanpa ikut sertanya suami, berhak menguasai sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu.Harta bawaan yang telah mereka miliki sebelum terjadi perkawinan juga menjadi hak masing-masing.[2]
Yang dimaksud harta / barang bawaan ialah segala perabot rumah tangga yang dipersiapkan oleh isteri dan keluarga, sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya.[3]Dalam hal barang / harta bawaan antara suami dan istri, intinya tidak ada percampuran antara keduanya lantaran perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri  dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga dengan harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.[4]
Sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau isteri sudah mempunyai harta benda.Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil perjuangan sendiri, harta keluarganya atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta benda yang telah ada sebelum perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak akan berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri ialah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Masing-masing berhak memakai untuk keperluan apa saja.
Kedua suami isteri itu berdasarkan pasal 89 dan 90 Inpres nomor 1 tahun 1991 wajib bertanggung jawab memelihara dan melindungi harta isteri atau harta suaminya serta harta milik bersama. Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing jikalau terjadi selesai hidup salah satu diantaranya maka yang hidup selama menjadi hebat waris dari si mati.Kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka kembali sebagai mana adanya sebelumnya.Kalau keduanya meninggal maka hebat waris mereka ialah anak-anaknya.
Sebenarnya yang bertanggung jawab secara aturan untuk menyediakan peralatan rumah tangga, ibarat tempat tidur,perabot dapur dan sebagainya ialah suami.Sekalipun mahar yang diterimanya lebih besar daripada pembelian alat rumah tangga tersebut.Hal ini lantaran mahar menjadi hak perempuan sepenuhnya dan merupakan hak mutlak istri. Berbeda dengan pendapat golongan Maliki  yang menyampaikan bahwa mahar bukan mutlak bagi istri. OLeh lantaran itu, ia tidak berhak membelanjakan untuk kepentingan dirinya. Akan tetapi bagi perempuan yang miskin, ia boleh mengambil sedikit darinya dengan cara-cara yang baik.[5]
Dari uraian diatas kami sanggup menarik simpulan bahwa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas alat-alat rumah tangga ialah suami,sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap Fatimah. Disamping itu juga untuk menyenangkan hati perempuan memasuki hari-hari pernikahan.
عن علي ر. ع. قا ل : جهز رسو ل الله ص.م:خميل و قر بة ووسا دة حشوها ادخر (رواه النسائى)
“Dari ‘Ali RA. berkata: “Rasulullah SAW member barangbawaan pada Fatimah berupa pakaian, kantong tempat air yang terbuat ari klit dan bantal berenda.”
Berkaitan dengan mahar, berdasarkan kami mahar tetap sepenuhnya hak perempuan.Akan tetapi apabila si perempuan dengan kerelaan hatinya memberikannya kepada si laki-laki maka boleh bagi laki-laki tersebut memakai untuk dirinya. Seperti Firman Alloh Dalam Surat An-Nisa Ayat 4.



Artinya : "Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai santunan dengan penuh kerelaan. Kemudian .Jika mereka menyerahkan kepada kau sebagian dari maskawin itu dengan bahagia hati, Maka makanlah (ambillah) santunan itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". (Q.S. An- nisa' : 4 )[6]
B.     Harta Bersama Suami Istri
Ø  Pengertian
Pasal 85 KHI: "Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri".[7] Sedangkan pada Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama. Adapun harta bersama tersebut sanggup mencakup benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, benda berwujud atau benda tak berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada pada ketika kemudian. Hadiah, honor, penghargaan dan sebagainya yang diperoleh masing-masing pihak yang mengakibatkan bertambahnya pendapatan yang ada hubungannya dengan profesi atau pekerjaan sehari-hari suami atau isteri menjadi harta milik bersama.[8]  Sedang yang tidak berwujud sanggup berupa hak atau kewajiban.Keduanya sanggup dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari pihak lainnya.Suami atau istri tanpa persetujuan salah satu pihak dihentikan menjual atau memindahkan harta bersama tersebut.[9]
Dalam hal pertanggungjawaban utang, baik terhadap utang suami maupun istri, bias dibebankan pada hartanya masing-masing. Sedang terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, maka dibebankan pada harta bersama.Akan tetapi apabila harta bersama tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta suami.Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta istri.[10]
Semua harta yang diperoleh sepasang suami isteri selama dalam perkawinan mereka menjadi harta benda kepunyaan bersama. Menurut pasal 1 abjad  F  Inpres nomor 1 tahun 1991 menyampaikan bahwa “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atau diperoleh atas nama siapa, suami atau isteri”.Dalam menentukan apakah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama atau tidak, termasuk problem ijtihadiah, problem yang termasuk dalam tempat wewenang insan untuk menentukannya, bersumber kepada jiwa anutan islam.[11]
Disamping Allah telah menjanjikan karunia-Nya yang banyak, tetapi tiap insan mempunyai kewajiban untuk bekerja mengusahakan adanya penghasilan untuk memenuhi semakin banyaknya kebutuhan hidup, baik kebutuhan untuk masa sekarang dan persiapan untuk masa yang akan datang. Semua orang harus mencari harta benda sebanyak mungkin semoga meperoleh kemulyaan yang banyak.Agar sanggup memberi nafkah semua yang menjadi tanggung jawabnya. Juga untuk membantu orang lain yang wajib dibantu berdasarkan jalan yang diridhai Allah.Tangan di atas ( orang yang memberi ) lebih mulya daripada tangan yang dibawah ( orang yang mendapatkan pemberian). Dalam hal mengumpulakan harta benda sebagai sarana untuk keperluan dunia semoga selamat di darul abadi kelak insan harus selalu berusaha (ikhtiar).
Harta bersama dihentikan terpisah atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih berlangsung.Apabila suami isteri itu berpisah akhir selesai hidup atau akhir perceraiain barulah sanggup dibagi.Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai atau salah satunya meninggal tidak mempunyai anak, maka semua harta besama itu dibagi dua sesudah dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang suami isteri.Jika pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi hebat waris ialah suami atau isteri yang hidup terlama dan bersama belum dewasa mereka.
Ø  Penghasilan Isteri Dalam Perkawinan
Salah satu tujuan perkawinan ialah mencari rezeki yang halal ( mengumpulkan harta benda). Mengenai harta yang diperoleh selama dalam perkawinan ini tidak dipertimbangkan apakah yang mempunyai penghasilan itu suami atau isteri. Menurut peraturan perkawinan Indonesia nomor 136 tahun 1946 pasal 50 ayat 4 menetapkan bahwa: Apabila isteri bekerja untuk keperluan rumah tangga, maka semua harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama.
Menurut kami walaupun telah dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa seorang perempuan dihentikan keluar rumah tanpa izin suaminya sekalipun itu pergi untuk berjamaah ke masjid, akan tetapi perlu diiketahui Islam ialah agama yang halus dan selalu mengutamakan kemaslahatan ummatnya. Oleh lantaran itu berdasarkan kami seorang istri yang bekerja diluar rumah untuk membantu penghasilan suaminya dalam mencapai kemaslahatan keluarganya tetap diperbolehkan selama tidak keluar dari atauran syara' dan diizinkan oleh suami.. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang mana seorang perempuan berjulukan Saudah akan keluar rumah untuk memenuhi hajat hidupnya,kemudian mengadu kepada Nabi,dan Nabi bersabda :
............... فقا ل ا نه قد ا ذ ن  لكن ان تخر جن لحختكن. متفق عليه
Artinya : ” …………kamu kaum perempuan telah diizinkan keluar untuk memenuhi keperluanmu.”(Muttafaq Alaih)[12]
Pada ketika kebutuhan hidup yang selalu meningkat dengan harga semua barang yang makin melambung tinggi, kalau sifatnya darurat sanggup saja para isteri bekerja di luar rumah bila diberi izin oleh suaminya, bila pekerjaan itu layak, sesuai dengan anutan agama Islam dan sesuai pula dengan kodratnya sebagai perempuan dalam rangka menunaikan kewajibannya sesuai dengan pasal 30 UU No. 1 tahun 1974 yang menyampaikan bahwa sang isteri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

3.                  Harta Gonogini Dalam Islam
a.       Pengertian Harta Gonogini
Harta Gonogini didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, gonogini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama bersuami isteri. Dalam Kompilasi Hukum Islam  yang berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan istilah “harta kekayaan dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f) ialah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Dikatakan juga harta gonogini ialah harta milik bersama suami  istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, ibarat halnya jikalau seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari honor suami dan honor istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono gini atau harta bersama. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :“ Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. "[13]
Dari beberapa definisi tersebut, sanggup disimpulkan harta gono gini ialah harta benda yang diperoleh oleh suami isteri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan berdua di antara suami isteri.
b.      Hak Istri atas Harta Gonogini
KUHPrdt pasal 125 :"Jika si suami tidak ada atau berada dalam keadaan mustahil untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu diperlukan segera, maka si isteri boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu, sesudah dikuasakan untuk itu oleh pengadilan negeri."[14]

c.       Penggunaan Harta Gonogini
Ada dua macam hak dalam harta gonogini, yaitu hak milik dan hak guna. Harta gonogini suami dan isteri memang telah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa di sana juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak menggunakan  harta tersebut dengan syarat harus menerima persetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan memakai harta gonogini, beliau harus menerima izin dari isterinya. Demikian sebaliknya.[15]
d.      Harta Gonogini Dalam Poligami
KUHPrdt180: "Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, berdasarkan aturan ada harta benda menyeluruh antara suami isteri, jikalau dalam perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain." Artinya, ketentuan perihal harta gonogini juga berlaku untuk perkawinan secara poligami, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan yang dibentuk pasangan suami isteri tersebut.[16]
e.       Pembagian Harta Gonogini
Pembagian harta gonogini sebaiknya secara adil  bijaksana. Agar tidak menjadikan  ketidakadilan antara harta suami dan isteri.[17]KHI Pasal 88 :"Apabila terjadi perselisihan antara suami istri perihal harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada  Pengadilan Agama."[18]Jika pasangan tersebut lebih menentukan cara yang lebih elegan, yaitu dengan cara tenang (musyawarah). Namun, jikalau memang ternyata keadilan itu hanya bisa diperoleh melalui pengadilan maka jalan itulah yang lebih baik.[19]
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gonogini. Islam hanya memperlihatkan rambu-rambu secara umum di dalam menuntaskan problem bersama, diantaranya ialah :Pembagian harta gonogini  tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “ Ash Shulhu “ yaitu perjanjian untuk melaksanakan perdamaian antara kedua belah pihak ( suami istri ) sesudah mereka berselisih. Allah swt berfirman :

Artinya :“Dan jikalau seorang perempuan khawatir akan nusyuz atau perilaku tidak hirau dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). “ (Q.S.An Nisa':128 )[20]
Ayat di atas diperkuat dengan sabda Rasulullah saw :”Perdamaian ialah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan  yang haram. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Begitu juga dalam pembagian harta gonogini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya: suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melaksanakan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40% dari barang yang ada,  sedang  suami mendapatkan 60 %, atau istri  55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yaitu :“ Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan."[21]
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, ibarat dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini ialah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri. Kesepakatan tersebut berlaku jikalau masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jikalau suami dan istri sama-sama bekerja.Namun masalahnya, jikalau istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono gini, dan intinya semua yang dibeli oleh suami ialah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri.
Secara umum  pembagian harta gonogini gres bisa dilakukan sesudah adanya somasi cerai. Keadilan tidak mendeskriminasikan salah satu pihak.Istri yang tidak bekerja tetap menerima pembagian harta gono gini, lantaran pekerjaan istri bersifat domestic. Begitu juga suami, dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain.[22]
Menurut kami pembagian harta gonogini atau harta bersama tetap dengan cara musyawarah dengan memperhatikan factor-faktor lain seperti; masing-masing penghasilan suami dan istri ataupun ta'lik nikah sebelumnya, dll. Kaprikornus aturan dalam KHI tidak wajib  dilaksanakan. Hanya saja bersifat mengikat bagi penduduk Indonesia dikarenakan telah di undangkan.Akan tetapi berdasarkan kami kita mengikuti aturan tersebut hukumnya mubah.
f.       Harta Gonogini Dalam Islam
Ada yang memandang diperbolehkan dan ada yang memandang sebaliknya.Konsep harta gonogini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fikih (Hukum Islam) klasik.Fikih Islam klasik ialah produk hokum yang dihasilkan oleh Ulama-ulama terdahulu.Masalah harta gonogini sesungguhnya merupakan wilayah aturan yang belum disentuh (Ghoir al Mufakkar Fih), alasannya ialah lebih banyak berkembang dan urgent untuk dibicarakan pada masa modern ini.[23]
Secara umum, aturan Islam tidak melihat adanya harta gonogini. Dengan kata lain, Hukum Islam pada umumnya lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa yang dihasilkan istri merupakan harta miliknya, demikian juga apa yang dihasilkan suami ialah harta miliknya.[24]
Pasal 86 KHI:[25]
              i.      Pada dasaranya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri lantaran perkawinan.
            ii.      Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuaai penuh olehnya.
Zahri Hamid memandang bahwa Hukum Islam mengatur system terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan).Hukum Islam juga memeberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk menciptakan perjanjian perkawinan sesuai dengan harapan mereka berdua, dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum.[26]
Hal senada dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir bahwa Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan, baik suami atau istri, untuk mempunyai harta benda secara perorangan, yang tidak bisa diganggu oleh masing-masing pihak. Pandangan Hukum Islam yang memisah harta kekayaan suami istri gotong royong memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami atau harta istri yang diperoleh secara sendiri selama perkawinan, mana yang harta gonogini.Pemisahan antara harta suami atau istri jikalau terjadi perceraian dalam perkawinan mereka.Masalah harta gonogini merupakan problem keduniawian yang belum pernah tersentuh oleh Hukum Islam kontemporer perihal problem ini diteropong melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda yang diperoleh suami istri bersama-sama selama masa perkawinan merupakan harta gonogini.[27]Oleh lantaran itu, hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan mereka.Termasuk masih harta benda, menjadi milik bersama.[28]
Menurut kami intinya mengenai gonogini tidak terdapat pada aturan Islam klasik.Akan tetapi, modernisasi dan globalisasi yang membawa Islam harus menjawab perihal aturan gonogini. Islam sesungguhnya hanya membagi  harta suami dan harta istri secara terpisah. Akan tetapi berdasarkan kami Islam memperbolehkan adanya harta bersama (syirkatul maal) atau yang dikenal dengan harta gonogini.
g.      Pewarisan Harta Benda Milik Bersama.
Apabila meninggal salah seorang suami atau isteri , maka yang menjadi hebat warisnya ialah yang hidup terlama atau suami / isteri yang masih hidup dan kedua orang tuanya. Jika keduanya meninggal dunia dengan meninggalkan anak, maka yang menjadi hebat waris keduanya ialah belum dewasa mereka dan kedua orang orang bau tanah mereka dan kerabat lainnya dengan porsi pembagian masing-masing yang telah ditentukan besarnya porsi masing-masing hebat waris.
4.             Pemanfaatan Harta Perkawinan
Dalam hal penggunaan harta benda milik bersama ini berdasarkan pasal 36 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974 menetapakan bahwa suami atau isteri sanggup bertindak bila atas dasar peretujuan kedua belah pihak. Menurut pasa 92 Inpres nomor 1 tahun 1991 suami atau isteri tanpa adanya persetujuan pihak lainnya dihentikan menjual atau memindahtangankan harta milik bersama. Harta benda milik bersama hanya sanggup dipakai untuk keperluan sehari-hari semua pihak terkait berdasarkan atau untuk memenuhi kebutuhan bersama atau kebutuhan apa yang menjadi tanggung jawabnya.menurut yang masuk akal dan layak. Bila ada ada kelebihan wajib disimpan sebagai cadangan atau sebagai modal dan investasi. Tidak boleh dibelanjakan secara boros , lantaran orang pemboros ialah sobat setan di dunia dan sobat setan juga di dalam neraka kelak. Harta milik bersama sanggup dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai pinjaman atau hibah dengan syarat harus disetujui oleh suami / isteri dan anak-anak.Harta bersama dalam perkawinan ialah milik suami /isteri dan semua anak-anak.
 
 III.            KESIMPULAN
Harta merupakan pondasi kehidupan dan juga amanah dari Allah yang harus disyukuri dan dimanfaatkan dalam hal-hal yang baik.Bahakan harta merupakan sarana untuk mengukuhkan doktrin kita kepada Allah.Karena bagaimanapun Allah memerintahkan kepada kita supaya memikirkan kehidupan darul abadi tanpa melupakan duniawinya.
Dalam perkawinan terdapat harta bawaan istri, harta bawaan suami, dan juga harta bersama (syirkatul maal).Dimana seorang suami dan istri boleh memakai harta mereka masing-masing untuk memenuhi kebutuhannya.Adapun syirkatul maal merupakan harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan.Apabila kemudian terjadi perceraian atau selesai hidup diantara mereka maka dibagi secara adil.
Gonogini dalam Islam sesungguhnya tidak ada.Akan tetapi dengan fenomena yang ada, Islam tetap bisa menjawab aturan harta bersama atau yang kita kenal gonogini.Islam tetap memperbolehkan adanya harta bersama.Bahkan Islam memperbolehkan adanya ta'lik sebelum nikah untuk memudahkan pembagian harta bersama apabila kemudian terjadi perpisahan.
Harta benda harus dimanfaatkan sebaik mungkin dengan tetap memperhatikan aturan-aturan Islam.Dalam perkawinan harta dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga demi kemaslahatan semua anggota keluarga.Apabila harta tersebut lebih maka hendaknya kita menghibahkan atau mensadaqahkan kepada pihak ketiga.
 IV.            PENUTUP
Demikian yang sanggup kami paparkan makalah mengenai Hukum Perdata Islam Indonesia Wa bill khususu membahas Harta Perkawinan, yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, lantaran terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau rujukan yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memperlihatkan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berkhasiat bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wallohummuwafiq Illa Aqwammintoriq, Wassalammualaikum Wr. Wb


[1]Departemen Agama RI. Al Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta : 1971), Hlm. 115
[2]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,UII Pres Yokyakarta, 2000,Hlm. 65.
[3]Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 1 Untuk Fakultas Syari'ah Komponen MKDK, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), Hlm.  181
[4]Ibid., Hlm. 182
[5]Ibid.,
[6]Op. Cit., DepAg RI. Al Qur'an dan Terjemahnya, Hlm.115
[7]Drs. Supriatna ,dkk. Fiqh Munakahat II Dilaengkapi dengan UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2009),Hlm. 157
[8]Ibid.,
[9]Op. Cit., Drs. Slamet Abidin.  Hlm. 183
[10]Ibid.,
[11]Op. Cit.,Ahmad Azhar Basyir, M.A, Hlm.66
[12]K.H.Mudjab Mahalli dan A.Rodli Hasbullah. Hadits-Hadits Muttafaq ‘Alaih,Bag. Munakahat dan Muamalah,(Jakarta : Prenada Media,2004), Hllm. 376
[13]Tim Redaksi Pustaka Yustisia.  Seri Perundang-Undangan, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam. (Yogyakarta : Pustaka Yustisia,2009), Hlm. 21
[14]Happy Susanto. Memahami Peraturan, Menumbuhkan Kesadaran , (Jakarta Selatan: Transmedia Pustaka, 2008), Hlm. 33
[15]Ibid., Hlm. 34
[16]Ibid., Hlm. 35
[17]Ibid., Hlm.37
[18]Op. Cit. Tim Redaksi Pustaka Yustisia. Hlm.84
[19]Op. Cit., Happy Susanto, Hlm. 37
[20]Op. Cit.DepAg RI.Al Qur'an dan terjemahnya, Hlm. 143
[21]Op. Cit.,Seri Perundang-undangan Hlm. 87
[22]Op. Cit., Happy Susanto, Hlm. 43
[23]Ibid., Hlm. 49
[24]Ibid., Hlm. 50
[25]Op. Cit., Drs. Supriatna ,dkk. Fiqh Munakahat II. Hlm. 158
[26] Op. Cit., Happy Susanto Hlm. 51
[27]Ibid., Hlm.52
[28]Ibid., Hlm. 55
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.