Makalah Fiqh Jinayah Jarimah Korupsi




Jarimah Korupsi bukan Rezeki. (Foto. Repro)
TUGAS MAKALAH
“Jarimah Korupsi”
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah I
 Dosen Pengampu : Mashudi,Dr,M.Ag, H

oleh :


Fareh Hariyanto                            122211033

Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013 



                               I.            Pendahuluan
Islam sebagai sistem nilai memegang peranan penting untuk menunjukkan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkn potensi baik setiap indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam menyebarkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati. Sejatinya Islam menyebarkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain, Islam juga menyebarkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim pengawasan administratif danb managerial yang ketat. Oleh lantaran itu dalam menunjukkan dan memutuskan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang biasa. Kebanyakan tujuan hukuman tersebut ialah menunjukkan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga sanggup diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat.
Ulama Ushul Fiqh membagi ayat-ayat aturan dalam al-Quran kepada dua bentuk : yaitu (a) hukum-hukum yang bersifat rinci (juz’iy), sehingga ayat-ayat tersebut oleh mereka disebut sebagai aturan ta’abbudi (yang tidak sanggup dimasuki atau diintervensi akal), dan hukum-hukum yang bersifat global (kulli) yang merupakan sebagian besar kandungan ayat-ayat aturan dalam al-Quran, dalam hal ini Sunnah berperan sebagai penjelas, pengkhusus dan pembatas dari ayat-ayat tersebut.[1]
Hukum Islam dalam suatu masyarakat manapun dan dimanapun, ialah bertujuan untuk mengendalikan, mengatur, dan sebagai alat kontrol masyarakat, ia ialah sebuah system yang ditegakan, terutama untuk melindungi individu maupun hak-hak masyarakat. Sebagai suatu system aturan yang didasarkan kepada wahyu (nash), aturan Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan kemaslatan insan di dunia dan akhirat. Hukum Islam pada pada dasarnya terdiri dari dua aspek pedoman ditinjau dari segi jenis sumbernya, yaitu :
1.      Aspek syari’ah, ia berupa nash atau wahyu yang kebenarannya bersifat mutlak,
2.      Aspek fikih, berupa syari’ah yang telah diintervensi oleh logika dan pemikiran insan yang kebenarannya bersifat nisbi.[2]
Dalam perumusannya aturan Islam mempunyai tujuan utama untuk mewujudkan dan memelihara lima target pokok (al-maqashid al-syar’iyyah), yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan, dan harta. Kelima hal pokok tadi wajib diwujudkan dan dipelihara demi terwujudnya kemaslahatan manusia, yang dengan itu tercapailah apa yang disebut, kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.
Dengan demikian, segala perbuatan atau tindakan yang sanggup mengancam keselamatan salah satu dari kelima hal pokok teersebut, maka patut dianggap sebagai tindak kejahatan (delik) yang dilarang, dan untuk melindungi dan memelihara kelima hal pokok tersebut dan kemaslahatan insan pada umumnya, Islam memutuskan dan menegaskan sejumlah peraturan-peraturan, baik berupa perintah maupun larangan, dan dalam hal tertentu aturan-aturan tersebut disertai dengan bahaya hukuman atau hukuman duniawi dan/atau ukhrawi, kalau peraturan tersebut dilanggar.
Hukuman alam abadi merupakan ganjaran atau jawaban atas perbuatan menyimpang insan selama hidup di dunia. Eksekusinya ialah dengan dimasukan ke dalam siksa neraka. Di dalamnya terdapat variasi hukuman yang diubahsuaikan dengan jenis dan kualitas dosa dan kesalahannya. Hukuman duniawi ialah hukuman yang diputuskan oleh Hakim dan dilaksanakan hukumannya di dunia.[3]
Hukuman duniawi ada dua macam, yaitu pertama yang berlandaskan nash berupa qishash, diyat dan had. Dan yang kedua yang tidak di dasarkan atas nash, melainkan diserahkan pa kebijaksanaan hakim untuk mewujudkan kemaslahatan insan yakni berupa ta’zir yang bentuk dan sifatnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Dengan melihat kepada lima hal pokok di atas, maka tindak kejahatan sanggup dikategorikan ke dalam lima kelompok besar, yaitu kejahatan terhadap agama, kejahatan terhadap jiwa manusia, kejahatan terhadap akal, kejahatan terhadap kehormatan dan keturunan, serta kejahatan terhadap harta benda.[4] Pembahasan wacana masalah-masalah kejahatan inilah, yang dalam banyak literature dikenal dengan fiqh al-jinayah atau yang biasa disebut dengan Hukum Pidana Islam.
Hukum Pidana ialah aturan yang bersifat publik, artinya ia ialah aturan yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, baik berupa akomodasi umum (negara) maupun kepentingan insan sendiri, menyerupai jiwa, tubuh atau fisik dll. Dalam Hukum Pidana Islam praktek menunjukkan hukuman pidana kepada setiap pelangaran atau kejahatan yang bersifat publik tersebut, terbagai dalam tiga kategori hukuman utama yang sesuai dengan bentuk kejahatannya, yakni hukuman pidana hudud, hukuman pidana qishashdiyat, dan hukuman pidana ta’zir.
Di dalam pembahsan kitab-kitab fikih klasik, problem ‘uqubah itu selalu terintegrasi dengan bentuk-bentuk jarimah (kejahatannya), sehingga terkesan bentuk-bentuk hukuman pidana dalam Islam mempunyai dampak psikologis masing-masing kepada pelaku kejahatan tertentu. Pada umumnya, yang dijadikan dasar pembicaraan justru ialah bentuk kejahatannya. Padahal, bentuk pidananya sendiri tidak terlalu mutlak tergantung kepada bentuk-bentuk tindak pidananya (delik), dan refleksi mengenai imbas atau dampak psikologis itu sendiri sanggup berubah berdasarkan perkembangan zaman, sehingga sanggup saja salah satu bentuk pidana tersebut tidak lagi efektif sebagai bentuk pidana.
Dari ketiga kategori hukuman pidana tersebut, yang menjadi permasalahan dan sering menjadi sorotan publik, ialah hukuman pidana dari jenis hudud, dan qishashdiyat. Kategori hukuman pidana ini yang bersifat nushushiyah, lantaran merupakan hukuman pidana yang telah ditentukan secara tegas dalam nash al-Quran maupun al-Sunnah. Sanksi pidana tersebut, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah, bila telah terpenuhi persyaratan atau pembuktiannya. Adapun hukuman pidana ta’zir,ia merupakan jenis hukuman yang tidak ditentukan secara niscaya oleh nash, baik oleh al-Quran maupun oleh al-Sunnah.
Dengan demikian, kewenangan untuk memilih hukuman pidana ta’zir ini, berada di tangan penguasa setempat (ulil amr), sehingga jenis hukumannya pun bermacam-macam sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Ta’zir merupakan pranata aturan yang memungkinkan aturan pidana Islam untuk mengikuti keadaan dengan perkembanghan kebutuhan berdasarkan ruang dan waktu.
                           II.            Sanksi/Hukuman Pidana Korupsi
Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting untuk menunjukkan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam menyebarkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati. Sejatinya Islam menyebarkan semangat kontrol sosial.
Dalam bentuk lain, Islam juga menyebarkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim pengawasan administratif danb managerial yang ketat.Oleh lantaran itu dalam menunjukkan dan memutuskan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang kebanyakan. Tujuan hukuman tersebut ialah menunjukkan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga sanggup diciptakan rasadamai, dan rukun dalam masyaraka.[5]
Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang tidak boleh oleh syara’, meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan hukuman ta’zir atas kemaksiatn tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa kemiripan, diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta riba dll. Maka perbuatan termasuk ke dalam jarimah ta’zir yang penting.
Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW berikut :
عن جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : ليس على خائن ولا منتهب ولا مختلس قطع )رواه احمد والترمذى (
Artinya : "Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda : Tidak ada (hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet. (HR.Ahmad dan Tirmizy)
Sebagai aturan pokok, Islam membolehkan menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat, pabila dikendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan yang sanggup dijatuhi hukuman ta’zir mustahil ditentukan hukumannya sebelumnya, lantaran hal ini tergantung pada sifat-sifat tertentu, dan pabila sifat-sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidak lagi tidak boleh dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut ialah merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Dan apabila perbuatan tersebut telah dibuktikan di depan Pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai untuknya.
Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini, merujuk kepada perbuatan Rasulullah SAW, dimana ia pernah menahan seorang pria yang dituduh mencuri unta, Setelah diketahui/terbukti ia tidak mencurinya, maka Rasulullah membebaskannya.[6]
Syari’at Islam tidak memilih macam-macam hukuman untuk jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, menyerupai nasehat, ancaman, hingga pada hukuman yang seberatberatnya.[7]
Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan kewenangan yang dimilikinya, ia sanggup memutuskan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum Islam dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1.      Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum
2.      Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat kemanusiaan pelakunya
3.      Sepadan dengan kejahatan, sehingga teras adil
4.      Tanpa pilih kasih, semua sama keudukannya di depan hukum.[8]
Seorang Hakim sanggup mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringannya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan hukuman hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya. Meskipun hukuman aturan bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan sanggup diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
1.      Pengertian dan Jenis-Jenis Ta’zir
Ta’zir ialah hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sanksinya di dalam nash. Hukuman ini dijatuhkan untuk menunjukkan pelajaran kepada terepidana biar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan.. Makara jenis hukumannya disebut dengan ‘uqubah mukhayyarah ( hukuman pilihan).
Jarimah yang dikenakan hukuman ta’zir ada dua jenis, yaitu :
1.      Jarimah yang dikenakan hukuman had dan qishash, kalau tidak terpenuhi salah satu rukunnya, menyerupai pada jarimah pencurian dieksekusi ta’zir bagi orang yang mencuri barang yang tidak disimpan dengan baik, atau bagi orang yang mencurti barang yang tidak mencapai nishab pencurian. Pada jarimah zina dieksekusi ta’zir bagi yang menyetubuhi pada selain lubang kemaluan (oral sex). Pada jarimah qadzaf dihukum ta’zir bagi yang meng-qadzaf dengan tuduhan berciuman bukan berzina.
2.      Jarimah yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, menyerupai jarimah pengkhianatan terhadap suatu amanat yang telah diberikan, jarimah pembakaran, suap dll.
2.      Penerapan Ta’zir Bagi Pelaku Korupsi
Hukuman ta’zir sanggup diterapkan kepada pelaku korupsi. Yang jadi pertanyaan ialah, mengapa korupsi termasuk kepada jarimah ta’zir ? Kita ketahui bahwa korupsi termasuk ke dalam salah satu jarimah yang tidak disebutkan oleh nash secara tegas, oleh lantaran itu ia tidak termasuk ke dalam jenis jarimah yang hukumannya ialah had dan qishash. Korupsi sama menyerupai aturan ghasab, walaupun harta yang dihabiskan si pelaku korupsi melebihi nishab harta yang dicuri yang hukumannya potong tangan. Tidak sanggup disamakan dengan hukuman terhadap pencuri yaitu potong tangan, hal ini lantaran termasuk syubhat. Akan tetapi disamakan atau diqiyaskan pada hukuman pencurian yang berupa pencuri mengembalian uang hasil curian.
Dalam jarimah korupsi ada tiga unsur yang sanggup dijadikan pertimbangan bagi Hakim dalam memilih besar hukuman :
                                                        i.            Perampasan harta orang lain.
                                                      ii.            Pengkhianatan atau penyalahgunaan wewenang, dan
                                                    iii.            Kerjasama, atau kongkalingkong dalam kejahatan.
Ketiga unsur ini telah terperinci tidak boleh dalam syari’at Islam. Selanjutnya tergantung kepada kebijaksanaan logika sehat, keyakinan dan rasa keadilan Hakim yang didasarkan pada rasa keadilan masyarakat untuk memilih hukuman bagi si pelaku korupsi. Meskipun seorang Hakim diberi kebebasan untuk mengenakan ta’zir, namun dalam memilih hukuman, seorang Hakim hendaknya memperhatikan ketentuan umum derma hukuman dalam Hukum Pidana Islam yaitu :
1.      Hukuman hanya dilimpahkan kepada orang yang berbuat jarimah, tidak boleh orang yang tidak berbuat jahat dikenai hukuman
2.      Adanya kesengajaan, seseorang dieksekusi lantaran kejahatan apabila ada unsur kesengajaan untuk berbuat jahat, tidak ada kesengajaan berarti lantaran kelalaian, salah, lupa, atau keliru. Meskipun demikian lantaran kelalaian, salah, lupa atau keliru tetap diberi hukuman, meskipun bukan hukuman lantaran kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan yang bersifat mendididik.
3.      Hukuman hanya akan dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara meyakinkan telah diperbuatnya
4.      Berhati-hati dalam menenetukan hukuman, membiarkan tidak dieksekusi dan menyerahkannya kepada Allah apabila tidak cukup bukti.[9]
Secara umum korupsi dalam pandangan Islam ialah perbuatan kriminal yang bertentangan dengan moral dan etika keagamaan. Prilaku korupsi sanggup memupuskan pahala jihad/syahid. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah menegaskan bahwa akhir korupsi seseorang yang sepantasnya menjadi hebat sorga (karena Syahid), malah masuk neraka lantaran prilaku culasnya. Ketika ada seorang sahabat gugur dalam peretempuran Khaibar, banyak para sahabat memuji dan menyanjungnya sebagai jagoan yang mati syahid, sehingga ia akan menjadi hebat sorga. Akan tetapi Nabi menepisnya dengan menyampaikan “ tidak, selembar sorban yang dicurinya dari harta rampasan perang Khaibar akan memperabukan tubuhnya di neraka[10]
Ibnu Taimiyah menyebut beberapa model hukuman jarimah ta’zir yang pernah dicontohkan oleh nabi dan para sahabatnya : “ Batas minimal hukuman ta’zir tidak sanggup ditentukan, tapi pada dasarnya ialah semua hukuman menyakitkan bagi manusia, sanggup berupa perkataan, tindakan atau perbuatan dan diasingkan. Kadang-kadang seseorang dieksekusi ta’zir dengan memberinya nasehat atau teguran, menjelekakannya dan menghinakannya.
Kadang-kadang seseorang dieksekusi ta’zir dengan mengusirnya dengan meninggalkan negerinya sehingga ia bertaubat. Sebagaimana nabi pernah mengusir tiga orang yang berpaling, mereka itu ialah Ka’ab bin Malik, Maroroh bin Rabi’ dan Hilal bin Umaiyyah. Mereka berpaling dari Rasulullah pada perang Tabuk. Maka nabi memerintahkan untuk mengasingkan mereka, kemudian nabi memaafkan mereka sesudah turun ayat-ayat al-Quran wacana diterimanya taubat mereka. Dan kadang kala hukuman ta’zir berbenuk pemecatan dari dinas militer bagi prajurit yang melarikan diri dari medan perang, lantaran melarikan diri dari medasn perang merupakan dosa besar. Begitu pula pejabat apabila melaksanakan penyimpangan maka ia diasingkan”.
Uraian tersebut menegaskan kepada kita bahwa hukuman jarimah ta’zir sangat bervariasi mulai dari derma teguran hingga pada pemenjaraan dan pengasingan.
Mengacu pada pengalaman nabi dan para sahabat di atas menunjukkan hukuman ta’zir kepada pelaku korupsi ialah sanggup berupa pilihan atau adonan diantara aneka macam jenis ‘uqubah berikut :
1)      Pidana atas jiwa (al-uqubah al-nafsiyah), yaitu hukuman yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang, menyerupai peringatan dan ancaman.
2)      Pidana atas tubuh (al-‘uqubah al-badaniyyah), yaitu hukuman yang dikenakan pada tubuh manusia, menyerupai hukuman mati, hukuman dera (jilid) dan hukuman potong tangan.
3)      Pidana atas harta (al-‘uqubah al-maliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas harta kekayaan seseorang, menyerupai diyat, denda dan perampasan.
4)      Pidana atas kemerdekaan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada kemerdekaan manusia, menyerupai hukuman pengasingan (al-hasb) atau penjara (al-sijn).
Masalah wacana ta'zir ini saya kemukakan lebih terperinci dan lebih gamblang pada makalah kelompok saya yang khusus berbicara wacana jarimah ta'zir.
This my Opinion
Salah satu problem terbesar bangsa ini ialah budaya korupsi yang sudah dilegalkan oleh masyarakat, ketika berhadapan dengan masalah korupsi baik itu pada level terbawah pada struktur birokrasi pemerintahan atau pekerjaan yang sedang digeluti, masyarakat cenderung membisu bahkan ikut didalamnya. Sudah saatnya seluruh element masyarakat saling pundak membahu mensosialisasikan gerakan anti korupsi dan anti penyalahgunaan wewenang yang telah mengakibatkan negara ini terpuruk dan mendapat laknat dari Allah SWT.
Mungkin yang paling terpenting keseriusan para aparatur Negara untuk konsen dalam pemberantasan korupsi. Tidak hanya malah menunjukkan ruang kepada para pelaku tindak pidana korupsi sehingga mereka semakin merajalela di Negara ini. For exempele Kasus korupsi Ahmad Fatonah, ia yang sudah merugikan Negara hingga 40 milyar, hamya di jatuhi hukuman 10th penjara dengan denda 1 milyar. Bukankah ini sangat ironis,,? Di satu sisi masyarakat menuntut Haknya biar para koruptoor di aturan seberat-beratnya, namun di sisi lain para aparatur Negara seakan memberi cela pada mereka yang beruang.
Hal ini sangat berbeda dengan Hukum yang ada di Arab, bagai mana tidak. Ketika datang sholat saja di sana para pedagang akan meninggalkan dagangannya dan menuju ke masjid-masjid terdekat untuk menunaikan ibadah sholat. Dengan tanpa penjagaan pun dagangan mereka masih tetap kondusif lantaran hokum disana secara tegas dan meyakinkan ditegakannya sehingga mengakibatkan rasa Jera pada pelakunya.
Yah … walaupun Indonesia bukan Negara islam, saya sangat amat berharap semoga aturan di Indonesia mengambarkan Tajinya sehingga sanggup menunjukkan rasa jera pada pelakunya. Waa bill khusus problem yang menyangkut masalah korupsi. Yaa mungkin Indonesia membutuhkan seseorang Agen Of Change. Untuk membawa Indonesia kearah yang lebih baik. Amin-Amin Ya Rabbal Allamin.
                       III.            Penutup
Demikian yang sanggup saya paparkan mengenai |Fiqh Jinayah Wa bill khusus membahas Jarimah Korupsi, yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, lantaran terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau rujukan yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi menunjukkan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini mempunyai kegunaan bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wallohummuwafiq Illa Aqwammintoriq, Wassalammualaikum Wr. Wb
DAFTAR PUSTAKA
A.Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Arifin, Jaenal dan M.Arskal Salim GP, Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.
Muhammad Syah, Ismail, dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Jakarta : Zikrul Hakim 1997.
Nasir S.Tanjung, “Jarimah dan ‘Uqubah Merupakan Dua Sisi Ta’zir”. Mimbar Agama dan Budaya, III, 1985.
Umam, Khairul, Ushul Fikih I, Bandung : Pustaka Setia, 1998.
Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten : Yayasan Ulumul Quran, 1988.


[1]Khairul Umam, Ushul Fikih,I, (Bandung, Pustaka Setia, 1998), h. 55
[2] Jaenal Arifin dan M.Arskal Salim GP, Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek, dan Tantangan, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001), h.57
[3]Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.227
[4] Ibid., h. 107
[5]  Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta, Zikrul Hakim, 1997),
h.154-155
[6] A.Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), h.69
[7] Nasir S.Tanjung, “Jarimah dan ‘Uqubah Merupakan Dua Sisi Ta’zir”. Mimbar Agama dan Budaya, III, 1985, h.13
[8]  Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten, Yayasan Ulumul Quran, 1988), h. 214
[9]  Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.87
[10] Op.Cit., Munawar Fuad Noeh, h.90-91
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.