Makalah Fiqh Munakahat Perwalian



Perwalian dalam Pernikahan. (Foto. Ilustrasi)
PERWALIAN
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fuqh Munakahat I
 Dosen Pengampu : Rustam D. K. A. H, M. Ag


oleh :

Fareh Hariyanto                            122211033
Fitriya Lina Nurmila                     122211034
Hikmatun Hasanah                       122211036

Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013

                     I.            PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan supaya kelangsungan hidup insan tetap lestari. Oleh lantaran itu, insan dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah bisa dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam persoalan pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.

Seorang laki-laki atau perempuan, ketika mereka belum menikah maka mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh, hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya. Hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian sesudah mereka mengikatkan diri dalam forum perkawinan.Maka mulai dikala itulah hak dan kewajiban mereka menjadi satu.Harta perkawinan merupakan modal kekayaan yang sanggup dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari suami istri dan bawah umur dalam suatu rumah tangga baik keluarga kecil maupun keluarga besar
Agama Islam juga telah mengatur ihwal tata cara pernikahan, di antaranya ialah persoalan sighot kesepakatan nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud supaya nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah sanggup tercapai tanpa suatu halangan apapun.
Selanjutnya makalah ini dibentuk juga, untuk menunjukkan gosip baik bagi pembaca maupun bagi pemakalah sendiri, juga menjadi sebuah pemanis pengetahuan yang lebih dalam lagi mengenai wali dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan dengannya.

                  II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah Pemgertian Wali ?
2.      Bagaimana Kedudukan Wali ?
3.      Bagaimana Syarat Dan Fungsi Wali ?
4.      Bagaimana Tertib (Urutan) Wali ?








               III.            PEMBAHASAN
1.     Pengertian Wali dalam Pernikahan
Kata “wali” berdasarkan bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan berdasarkan istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang berdasarkan aturan (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melaksanakan ijab kabul dengan pengantin pria).[1] Wali dalam nikah ialah orang yang padanya terletak sahnya kesepakatan nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).[2]
Dari beberapa pengertian diatas sanggup diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan ialah orang yang melaksanakan ijab kabul mewakili pihak mempelai wanita, lantaran wali merupakan rukun nikah, dan ijab kabul yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
2.     Kedudukan Wali sebagai salah satu Rukun Nikah
Wali ialah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
        i.            Jumhur ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik
Mereka beropini bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh lantaran itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal). Selain itu mereka beropini perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan perempuan biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pintar memilih, sehingga tidak sanggup memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus eksklusif aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya supaya tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
      ii.            Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka beropini bahwa kalau perempuan itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam kesepakatan nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau perempuan sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat berdasarkan syara’, maka dalam ijab kabul mereka lebih berhak lagi, lantaran nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada perempuan (janda) diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut dia juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila perempuan melaksanakan kesepakatan nikahnya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah perkawinan).
3.     Syarat syarat Wali Dan Fungsi Wali
ü  Syarat syarat Wali
Wali dalam pernikahan diharapkan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh lantaran itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut ialah :
o   Islam[3] ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
Wali harus seorang Muslim, telah dinukil Ijma’ oleh Ibnul Mundzir dalam perkara ini.  Berdasakan Firman Allah ta’ala :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Artinya :“Dan laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman sebagian ialah pemimpin bagi yang sebagian lainnya” (QS. At-Taubah : 71)
 وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).
o   Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
ini ialah pendapat Jumhur Ulama dan ini ialah pendapat yang Shohih. Karena Allah Azza wa jalla telah membatasi bawah umur yang belum baligh di dalam Menggunakan hartanya maka perkara perwalian pernikahan lebih tinggi dibandingkan perwalian harta.
o   Berakal (orang absurd tidak sah menjadi wali)
o   Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang perempuan dihentikan menjadi wali untuk perempuan lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh perempuan sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita dihentikan mengawinkan perempuan dan perempuan dihentikan mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
o   Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya ialah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[4] Ada pendapat yang menyampaikan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini ialah sanggup atau bisa memakai budi pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang  Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR.Ahmad Ibn Hanbal).
o   Tidak sedang ihram haji atau umrah.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang absurd dan anak kecil tidak sanggup menjadi wali, lantaran orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, kalau yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula lantaran yang bukan Islam dihentikan menjadi walinya orang Islam. [5]
ü  Fungsi Wali
Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada persoalan perkawinan. Seorang laki-laki kalau telah cukup umur dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melaksanakan kesepakatan nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melaksanakan kesepakatan nikahnya sendiri.
Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa perempuan (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia sanggup melaksanakan sesuatu yang mengakibatkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.
Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena perempuan itu pada umumnya (fitrahnya) ialah pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya.15 Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan ialah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam kesepakatan nikahnya.
4.     Macam Macam Wali Dan Tertib (Urutan) Wali
v  Macam-macam Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu:
a.      Wali Nasab
Wali nasab ialah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai perempuan dan berhak menjadi wali. Imam Syafi`I beropini bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita.[6] Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan gres dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang erat lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, gres dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.Wali nasab urutannya ialah sebagai berikut:
Ø  Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
Ø  Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
Ø  Saudara laki-laki sebapak
Ø  Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
Ø  Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
Ø  Paman (saudara dari bapak) kandung
Ø  Paman (saudara dari bapak) sebapak
Ø  Anak laki-laki paman kandung
Ø  Anak laki-laki paman sebapak.[7]
Ø  Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib.

b.      Wali Hakim
Wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim sanggup menggantikan wali nasab apabila:
Ø  Calon mempelai perempuan tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
Ø  Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
Ø  Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
Ø  Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
Ø  Wali berada dalam penjara atau tahanan yang dihentikan dijumpai.
Ø  Wali sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh.
Ø  Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
Ø  Walinya absurd atau fasik.
Namun berdasarkan dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai wali hakim ialah KUA Kecamatan.
c.       Wali Muhakkam
Wali muhakkam ialah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam ijab kabul mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam ialah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama ihwal munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[8]
Adapun cara pengangkatannya secara tahkim adalah: calon suami mengucapkan tahkim, “Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon istri) dengan mahar … dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya terima tahkim ini.”. Wali muhakam terjadi apabila:
ü  Wali nasab tidak ada,
ü  Wali nasab mistik atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ,
ü  Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
d.      Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang dimaksud terutama ialah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
v  Tertib (Urutan) Wali 



Mayoritas ulama beropini bahwa urutan wali ialah sebagai berikut, Ayah, Kakek ke atas lalu Anak Laki-laki,  Cucu dari anak laki-laki, kearah bawah. Kemudian saudara laki-laki (kandung atau Seayah)  dan anak-anak  mereka.  Kemudian Saudara laki-laki Ayah, lalu bawah umur mereka
Ada perbedan pendapat di kalangan ulama pada beberapa keadaan , sebagai berikut: Sebagian ulama mendahulukan perwalian anak laki-laki (bagi janda) dibanding ayah, Sebagaimana mereka juga lebih di dahulukan di dalam mendapat sisa harta warisan (ashobah). Ini pendapat yang lebih dikenal dari pendapat Malik, Dan juga ini pendapat Ishaq, Al-Anbary, Ibnul Mundzir, Abu Yusuf, Abu Hanifah Rahimahumullah
Dan Mayoritas ulama menjawab pendapat ini dengan balasan bahwa seorang ayah lebih paham ihwal maslahat untuk puterinya dibanding anak perempuan tersebut dan yang kedua bahwa perwalian ayah telah tsabit ditetapkan dalam syariat ketika sang perempuan tersebut masih belum mempunyai anak, maka dibutuhkan dalil untuk mengubah urutan perwalian ini. Dan pendapat dominan ulama lebih kuat, dan ini ialah pendapat Ibnu Utsaimin  Rahimahullah
Adapun apabila perempuan tersebut tidak mempunyai wali Ashobah baik dari Nasab maupun dari wali yang dahulu membebaskannya dari perbudakan, maka para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama menyampaikan bahwa walinya ialah Hakim, ini ialah pendapat Malik, Ahmad, Asy-Syafi’I, dan juga satu riwayat dari Abu HanifahRahimahumullah 
. Dan ini ialah pendapat yang benar, berdasarkan Hadits :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya :“Maka pemerintah ialah wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi menyampaikan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 )







               IV.            KESIMPULAN
a)      Wali Nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya kesepakatan nikah, maka tidak sah nikah tanpa adanya (wali).
b)      Kedudukan Wali Nikah ialah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki
c)      Syarat Dan Fungsi Wali
ü  Syarat
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal (orang absurd tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
6. Tidak sedang ihrom atau umroh.
ü  Fungsi
Wali dalam nikah berfungsi untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam kesepakatan nikahnya
Bagaimana Tertib (Urutan) Wali ?



                  V.            PENUTUP
Demikian yang sanggup kami paparkan mengenai Fiqh Munakahat Wa bill khusus membahas Perwalian, yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, lantaran terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau tumpuan yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi menunjukkan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berkhasiat bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wallohummuwafiq Illa Aqwammintoriq, Wassalammualaikum Wr. Wb

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, 1989
Al Jaziri Abdurrahman, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib Al- Arba’ah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4
Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997/1998)
Daradjat Zakiah, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, jilid. 2 1995
Sabiq Sayyid, Fiqhus sunnah, Beirut : Dar al Fikr, Juz VI 1968
Abidin Slamet, dkk, FIQIH MUNAKAHAT, Bandung : Pustaka Setia, 1999
Yunus M. Hukum Perkawinan dalam Islam berdasarkan Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996
Ramulyo M. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke-2 1999


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hal. 1007
[2] Abdurrahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib Al- Arba’ah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4, hal. 29
[3] Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997/1998), hal. 33
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, jilid. 2, hal.82
[5] Sayyid Sabiq, Fiqhus sunnah, Beirut : Dar al Fikr, 1968, Juz VI, hal.261
[6] Slamet Abidin, dkk, FIQIH MUNAKAHAT, Bandung : Pustaka Setia, 1999 hal 90
[7]M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam berdasarkan Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996, hal. 55
[8] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1999, cet. Ke-2, hal. 25
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.