Makalah Fiqh Siyasah Masa Ali Bin Abi Thalib



Ilustrasi Sahabat Rasulullah Ali bin Abi Thalib. (Foto. Repro)
Siyasah Masa Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Siyasah
 Dosen Pengampu : Rokhmadi, Drs., M.Ag

oleh :
Jannatun   Naimah                        122211040
Arif Lutfi                                         122211029
Fareh Hariyanto                            122211033

Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013


  1. PENDAHULUAN
Jika siyasah syar’iyyah dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Maka ia senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial dan pergumulan budaya. Nyatanya, fakta menyerupai itu telah, sedang, dan akan berjalan dalam perjalanan umat islam. Sejalan dengan pandangan demikian, pemecahan atas pelbagai problem yang terkait dengan ihwal  siyasah syar’iyyah lebih bersifat kontekstual, sehingga dengan demikian tanda-tanda siyasah syar’iyyah, menampakan diri dalam sosok yang bermacam-macam sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat. Meski demikian, nilai siyasah syar’iyyah tidak serta merta menjadi nisbi, lantaran ia mempunyai kemutlakan. Paling tidak, ia terkait kemestian untuk selalu mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah.[1]

Pada kesempatan kali ini kami dari kelompok lima diberi amanah untuk mengupas secara mendalam ihwal siyasah pada Masa kepmimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Dari seluruh sobat Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib ialah salah satu yang pertama kali memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama Rasulullah saw. Kedudukannya sangat istimewa diberikan Rasulullah SAW. Bagi beliau, tingkat kesalehan dan kualitas amal para sobat tersebut tidak sanggup disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah SAw. melarang mencibir dan mencaci karya para sobat utamanya itu.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai sejarah kemajuan dan kebijakan politik pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib  serta kemunduran jawaban pemberontakan-pemberontakan yang ditandai perang terbuka antar umat Islam. Banyak peperangan yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib dan yang terpenting ialah perang Jamal (Unta) dan perang Shiffin. Untuk membatasi pembahasan makalah ini semoga tidak melebar keluar hal-hal yang lain maka kami akan membuat Rumusan Masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Kronologi Pembai’atan Ali Bin Abi Thalib Sebagai Khalifah Dan  Kemajuan Yang Dicapainya ?
  1. Bagaimana Peristiwa Dibalik Pemberontakan Terhadap Ali Bin Abi Thalib ?
  2. Bagaimana Terjadinya Perang Saudara Pada Masa Ali Bin Abi Thalib?
  3. Bagaimanan Akhir Pemerintahan Ali Bin Abi Thalib?
    II.            PEMBAHASAN
Ø  Selayang Pandang  Ali  Bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah, kawasan Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Selisih usia Ali terhadap Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau berjulukan orisinil Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Haydar yang berarti Singa ialah impian keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang sanggup menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang gres lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan tidak suka, lantaran itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).[2]
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah SAW karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi semenjak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika Rasulullah SAW mendapatkan wahyu, riwayat-riwayat usang menyerupai Ibnu Ishaq menjelaskan Ali ialah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya sesudah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada ketika itu Ali berusia sekitar 10 tahun.[3]
Pada usia remaja sesudah wahyu turun, Ali banyak berguru eksklusif dari Rasulullah SAW lantaran sebagai anak asuh, berkesempatan selalu bersahabat dengan Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang berjulukan Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu problem ruhani atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.[4]
Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara problem ruhani hanya sanggup diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan eksklusif dari Rasulullah SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang perjaka yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.[5]
Selain itu Ali ialah orang yang sangat berani dan perkasa dan selalu hadir pada setiap peperangan lantaran itu dia selalu berada di barisan paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah.

1.      PEMBAIATAN ALI BIN ABI THALIB SEBAGAI KHALIFAH DAN KEMAJUAN YANG DICAPAI
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki bangku khalifah sesudah Usman. Mendengar ajakan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama pejuang Perang Badr.[6]
Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada ketika pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi ketika itu dia masih dianggap sangat muda.
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan Usman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk  memperoleh kekayaan yang sanggup mereka lakukan sebelumnya.
Ali Terpilih menjadi khalifah sesungguhnya mengakibatkan kontradiksi dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Usman bin Affan.[7]
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar yang keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang gampang dan lunak menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba diperhitungkan, hingga banyak yang tidak menyukai Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum elit dan kelas atas dan khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap lantaran keadilan yang akan dijalankan Ali.[8]
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali melaksanakan kebijakan politik menyerupai sebagai berikut:
        i.            Menegakkan  hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis.
      ii.            Memecat Gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru
    iii.            Mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman bin Affan kepada keluarganya, menyerupai hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya secara terperinci dan memfungsikan kembali baitul maal.[9]
Dalam hal Ke-dua, Ali mengangkat Utsman bin Hunaif menjadi Gubernur Basrah menggantikan Abdullah bin Amir, Umarah bin Syihab gubernur Kufah menggantikan Sa’d   bin al-Ash, Ubaidillah bin Abbas gubernur Yaman, Qays ibn Sa’d dan Sahl bin Hunaif Gubernur Syria. Gubernur-gubernur gres tersebut tidak dengan gampang masuk menggantikan pejabat lama. Meskipun sebagian besar mereka diterima di daerah, tidak jarang pula ada yang menolaknya. Bahkan serta merta Muawiyah gubernur Syria masa Usman, mengusir Sahl bin Hunaif.
Sedangkan kebijakan yang ketiga membuat Ali menerima tantangan keras dari mereka yang digeser kedudukannya. Di sisi lain penduduk Madinah tidak secara lingkaran mendukung Ali, sehingga posisi Ali benar-benar sulit.   Ia terjepit diantara keinginannya untuk memperbaki situasi negara yang sudah chaos dengan ambisi lawan-lawan politiknya yang selalau berusaha menjegalnya.
Dengan melihat kondisi Madinah yang tidak memungkinkan baginya untuk menjalankan pemerintahan, pada bulan Oktober 656M, Ali memimpin perjalanan (mars) angkatan perang  keluar dari Madinah. Peristiwa ini, mempunyai  dua  arti  penting:  pertama,  langkah  itu  berarti  akhir  kota  Madinah sebagai ibu kota pemerintahan Islam, dan semenjak itu tidak ada khalifah yang berkuasa di sana. Kedua, untuk pertama kalinya seorang khalifah memimpin angkatan perang untuk berperang melawan sesama muslim. Akhirnya Kufah dijadikan ibu kota menggantikan Madinah. Di sini Ali menerima tunjangan dari rakyat
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit mengalami hambatan yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di kawasan pesisir Arab dan masih tetap peranan penting negara Islam di kawasan yang telah ditaklukkan Abu Bakar di kawasan Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Usman di Sijistan, Khurasa, Azarbaijan, Armenia hingga Georgia.[10]
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-661 M) tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang sanggup dikatakan stabil. Akhirnya mudah selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus problem pemberontkan di aneka macam wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia dan mempercayainya dari pada memikirkan manajemen negara yang teratur dan mengadakan perluasan perluasan wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali berusaha membuat pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ia ingin mengembalikan gambaran pemerintahan Islam sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Terhadap aneka macam tindakan Ali sesudah menjadi khlaifah, para sobat senior sebenarnya  pernah  memberikan  masukan  dan  pandangan  kepada Ali.  Tetapi Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam problem pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama membuktikan kesetiaan  padanya.  Pemecatan  ini  akan  membawa  implikasi  yang  besar  bagi resistensi mereka terhadap Ali.
Kemudian dalam problem Thalhah dan Zubair, Ibnu Abbas dan Mughirah juga menasehati Ali semoga menjadikan mereka berdua sebagai gubernur Kufah dan Basrah. Namun Ali mengabaikan usulan tersebut, sehingga hal itu merupakan salah satu alasan yang membuat Thalhah dan Zubair kecewa dan berakhir dengan bencana ”Perang Jamal”.
2.      PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI THALIB
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali lantaran ia ialah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia sanggup mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah diangkat oleh pendahulunya (Usman) yang mana kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali  bin  Abi Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk memilih bawahannya dan mencari yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh lantaran itu dia memecat Muawiyah yang pada ketika itu telah berhasil membangun syiria menjadi kota menjadi kota yang sangat strategis dan mempunyai tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah . hal  ini membuat tidak tinggal membisu dan ingin melaksanakan pemberontakan. [11]
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang patut disalahkan dalam hal maut khalifah Usman bin Affan dan tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah sesungguhnya tidak sesungguhnya berminat menuntuk maut Usman bin Affan kecuali sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali.[12]
Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang besar pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut andal sejarah Islam pembunuh itu atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah.[13]
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap aneka macam tindakan Ali sesudah menjadi khalifah, para sobat senior sesungguhnya pernah menunjukkan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam problem pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama membuktikan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap Ali.[14]
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun sesudah wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung selama lima tahun). Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori taklukannya yang luas”.[15]
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas dari aneka macam macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para sobat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran pergerakan Islam

3.      PERANG SAUDARA PADA MASA ALI
ü  PERANG JAMAL/ONTA
Dinamakan perang Jamal, lantaran dalam kejadian tersebut, janda Rasulullah SAW dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan mengendarai unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul Akhir tahun 36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun berdasarkan sementara andal sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas maut Utsman bin Affan terhadap Ali, sama menyerupai yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah kemudian disusul oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai impian tipis bahwa aturan akan ditegakkan. Karena berdasarkan ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan sendiri lantaran ia didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan tunjangan dari keluarga Umayah menuntut balas atas maut Utsman. Akhirnya mereka pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka menerima tunjangan masyarakat setempat.[16]
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar bahwa di Syria (Syam) Muawiyah telah berkemas-kemas dengan pasukannya untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, tiga orang tokoh populer yaitu Aisyah tokoh populer Aisyah, Thalhah, dan Zubair beserta para pengikutnya di Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas atas maut Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi antara dirinya dengan Ali. Dia masih teringat terhadap kejadian tuduhan menduakan terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali memberatkan dirinya. Faktor lain ialah persaingan dalam pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan perilaku Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir ada faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah semoga memberontak terhadap Ali.[17]
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubai melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini, sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga kesannya ontanya sanggup dibunuh maka berhentilah peperangan sesudah itu. Ali tidak mengusik-usik Aisyah bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke Mekkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan.[18]
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh lantaran kenigninan dan nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin Zubair bergairah besar untuk menduduki bangku khalifah dan kemudian menghasut Aisyah sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.[19]
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini terperinci bertentangan dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah. Terlebih lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan perang. Ia memberi cuilan yang sama kepada semua orang tanpa memandang status, suku dan asal-usul mereka. [20]
ü  PERANG SHIFFIN DAN TAHKIM
Disebut perang shiffin lantaran perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin bersahabat tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun 37H/658M.[21]
Setelah maut Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di Syam semenjak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas maut Utsman kepada Ali semoga mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah. Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam, untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau memilih pilihan sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan aturan sesuai syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir, kesannya Mu’awiyah mengadakan kampanye besar-besaran di daerahnya menentang Ali, sehingga menerima tunjangan dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali. Walaupun berdasarkan andal sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu sesungguhnya tidak murni menuntut balas atas maut Utsman, tetapi ada ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan oleh Mu’awiyah, akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia politik dan mempunyai kiprah yang sangat penting dalam kejadian perang Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan tunjangan pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, semoga Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah berkemas-kemas melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi ajun Mu’awiyah dan populer sebagai spesialis siasat perang minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.[22]
Dari pihak Ali mendesak mendapatkan tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat hati mendapatkan arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat kedaluwarsa dari Amr bin Ash. Sebagai mediator dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian sesudah itu dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya, Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak menjadi khalifah kini ialah Mu’awiyah.[23]
Bagimanapun kejadian tahkim ini secara politik merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah ialah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur kawasan yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.[24]
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan itu tidaklah berdasarkan aturan Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam lantaran tidak berhukum pada aturan Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendapatkan arbitrase ialah kafir.[25]
Kaum khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi kemudian menjelma sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam (sekte).

4.      AKHIR PEMERINTAHAN ALI
Dengan terjadinya aneka macam pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, mengakibatkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir lantaran dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin mengakibatkan kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang kesannya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut.[26]
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, lantaran Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini sanggup mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga mengakibatkan Mu’awiyah menjadi penguasa otoriter dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
 
 III.            KESIMPULAN
Setelah Usman wafat, masyarakat membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan memerintah selama hanya 5 tahun. Banyak yang dicapai Ali sebagai khalifah diantaranya ialah mengembalikan sistem pemerintahan yaitu Administrasi Keuangan dan Harta, Pengembalian harta dan tanah negara yang dikuasai sepihak, mengisi kembali   fungsi baitul mal. Selama masa pemerintahannya ia menghadapi aneka macam pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang sanggup dikatakan stabil, sesudah ia memecat para gubernur (kepala daerah) yang diangkat Usman bin Affan. Dia juga mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagikan Usman dengan alasan yang tidak jelas.
Terjadinya perang Jamal ialah Konflik pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan tiga tokoh Islam yaitu Aisyah, Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Hal ini diakibatkan oleh kepentingan politik yaitu menjadi khalifah khususnya Abdullah bin Zubair.
Perang Shiffin ialah perang khalifah melawan Mu’awiyah yang juga banyak korban sesama orang Islam yang diakhiri dengan arbitrase (tahkim) yang sangat merugikan pihak khalifah Ali bin Abi Thalib. Hal ini mengakibatkan perpecahan tentara Ali yang mendukung tahkim dan menolak. Pihak yang menolak dikenal dengan khawarij.

 IV.            PENUTUP
Demikian yang sanggup kami paparkan mengenai Fiqh Siyasah pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib KW, yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, lantaran terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau rujukan yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi menunjukkan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini mempunyai kegunaan bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wallohummuwafiq Illa Aqwammintoriq, Wassalammualaikum Wr. Wb




DAFTAR PUSTAKA
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982.
Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Budhi Munawwar Rachman, Ensiklopedi Nur Cholish Majid, Mizan, Jakarta, 2006
Djazuli, H.A. Fiqh Siyasah “Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu Syariah”, Kencana, Jakarta, 2009
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008.
Hasan, As’ari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung, 2006
Marshall GS Hudgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999,
Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta, Bulan Bintang, 1979
Syeikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoiril Amru Harahap, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007

Webside Yang Telah Membantu Dalam Penyusunan Makalah Ini
http://id.wikipedia.org/wiki/



[1] Djazuli, H.A. Fiqh Siyasah “Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu Syariah”, Kencana, Jakarta, 2009, h.1
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib,  Rabu 16 Oktober 2013 09.55 AM
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982, h.281
[6] Ibid, h.284
[7] Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008, h. 13
[8] Op. Cit. Syalabi, h. 283
[9] Ibid, 284-285 juga di sanggup klarifikasi lebih lanjut oleh Marshall GS Hudgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 312
[10] As’ari, Hasan, Menguak Syarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung, 2006, h. 253.
[11] Engineer, Asghar Ali, Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h.259
[12] Ibid, h. 260
[13] Rachman, Budhi Munawwar, Ensiklopedi Nur Cholish Majid, Mizan, 2006, h.146-147
[14] Op. Cit  Syalabi, Ibid, h 285
[15] Hudgson, Marshall GS, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 309
[16] Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Jakarta, Bulan Bintang, 1979, h. 471
[17] Op. Cit  Syalabi, h.288-289
[18] Ibid, h.292-293
[19] Ibid, h. 296-297
[20] Engineer, Asghar Ali, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h. 260-262
[22] Op. Cit. Hadariansyah, , h. 14-15
[23] Ibid, h. 16
[24]  Nasution, Harun, Telogi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986 h. 5
[25] Op. Cit  Syalabi, h. 306-307
[26] Ibid
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.