Makalah Aturan Perdata Perjanjian Jual Beli



Ilustrasi Perjanjian Jual Beli. (Foto. Repro)
TUGAS MAKALAH
Perjanjian Jual Beli
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata I
Dosen Pengampu : Novita Dewi Widodo







oleh :
Ahmad Hasan                                 122211013
Arif Lutfi                                         122211029
Fareh Hariyanto                            122211033
Novan Indra Herdinata                122211061
Zumrotul Mardiyah                      122211083


Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013
       I.            PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan yang bersifat fisik dan non fisik.Kebutuhan itu tidak pernah sanggup dilarang selama hidup manusia. Untuk mencapai kebutuhan itu, satu sama lain saling bergantung. Manusia sebagai makhluk sosial mustahil sanggup hidup seorang diri. Manusia niscaya memerlukan mitra atau orang lain. Oleh lantaran itu, insan perlu saling hormat menghormati, tolong menolong dan saling membantu dan tidak boleh saling menghina, menzalimi, dan merugikan orang lain
Dalam upaya menanamkan kepekaan untuk saling tolong menolong, kita sanggup mebiasakan diri dengan menginfakkan atau menawarkan sebagian rezeki yang kita peroleh meskipun sedikit, menyerupai menawarkan santunan kepada fakir miskin, orang bau tanah dan jompo, mengangkat anak asuh, memberi pinjaman kepada orang yang sedang menuntut ilmu, membangun sarana umum (jalan), serta menjadi makhluk sosial yang tidak lepas dari kita memerlukan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sebagai mahluk sosial, dalam hal ini tidak di pungkiri insan membutuhkan insan lain termasuk dalam jual beli.
Peristiwa jual beli merupakan kepingan dari Hukum Perdata yang apabila terjadi suatu kasus merupakan hal yang sanggup dituntut atau diajukan tuntutannya di depan pengadilan. Faktanya; Peristiwa jual beli kerap kali kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari namun pada umumnya kita tidak benar-benar menyadari bahwa apa yang kita lakukan yaitu suatu perbuatan aturan yang sanggup mengakibatkan suatu jawaban aturan apabila terjadi kecurangan atau salah satu pihak mengingkari adanya perjanjian tersebut. Kaprikornus apapun yang kita lakukan dalam suatu jual beli sanggup di tuntuk ke muka aturan apabila ada sebuah kecurangan didalamnya. Untuk memahami lebih sepesifik ihwal jual beli mari kita rumuskan dilema sebagai berikut :
Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian perjanjian jual beli tersebut?
2.      Apa saja syarat-syarat dan asas dari jual beli tersebut?
3.      Siapa yang menjadi objek dari jual beli?
4.      Kewajiban apakah yang harus terpenuhi dalam transaksi jual beli?
5.      Bagaimana bentuk-bentuk dalam jual beli?
6.      Apa Saja resiko-resiko yang terdapat dalam jual beli?

    II.            PEMBAHASAN
A.   Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah menawarkan nama tersendiri dan menawarkan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian berjulukan sanggup diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli yaitu suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu :[1]
1.            Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2.            Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Menurut Salim H.S., S.H.,M.S., Perjanjian jual beli yaitu Suatu Perjanjian yang dibentuk antara pihak penjual dan pihak pembeli.[2]Di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak mendapatkan harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak mendapatkan objek tersebut.[3] Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut yaitu :
a.       Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli
b.      Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli ihwal barang dan harga
c.       Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli
            Unsur pokok dalam perjanjian jual beli yaitu barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat ihwal harga dan benda yang menjadi objek jual beli.Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah oke ihwal harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika sehabis mereka mencapai kata sepakat ihwal barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.[4]
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi lantaran tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, kalau para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan ihwal jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.[5]
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, lantaran harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :[6]
1.      Benda Bergerak
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan konkret dan kunci atas benda tersebut.
2.      Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah sertifikat otentik atau sertifikat di bawah tangan.
3.      Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan sertifikat yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
B.   Asas-asas dan syarat Perjanjian Jual Beli
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam perjanjian jual beli. Dalam aturan perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima yaitu :[7]
ü   Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak sanggup dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibentuk secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak yaitu suatu asas yang menawarkan kebebasan kepada para pihak untuk :[8]
a)      Membuat atau tidak menciptakan perjanjian,
b)      Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c)      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d)     Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di dalam perjanjian lantaran di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi insan dalam menciptakan suatu perjanjian serta memberi peluang bagi perkembangan aturan perjanjian.
ü   Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme sanggup dilihat dalam pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian yaitu adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.[9] Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak.
ü   Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana suatu perjanjian yang dibentuk secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.Setiap orang yang menciptakan kontrak, ia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut lantaran kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan komitmen tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
ü   Asas keyakinan baik (Goede Trouw)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan keyakinan baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu :[10]
a.       Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Si A melaksanakan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si A ingin menggunakan keramik cap gajah namun di pasaran habis maka diganti cap semut oleh si B.
b.      Bersifat subjektif, artinya ditentukan perilaku batin seseorang. Contoh, si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak mau membeli lantaran takut bukan barang halal atau barang tidak legal.
ü   Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun sanggup mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ihwal komitmen untuk pihak ketiga.
Namun, berdasarkan Mariam Darus ada 10 asas perjanjian, yaitu :[11]
1.                Kebebasan mengadakan perjanjian
2.                Konsensualisme
3.                Kepercayaan
4.                Kekuatan Mengikat
5.                Persamaan Hukum
6.                Keseimbangan
7.                Kepastian Hukum
8.                Moral
9.                Kepatutan
10.            Kebiasaan
Syarat sahnya suatu perjanjian menyerupai yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian yaitu adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak.Yang dimaksud dengan kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian.Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya.Sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh lantaran kedua belah pihak sama-sama oke mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak, yaitu dengan :[12]
a.       Bahasa yang tepat dan tertulis
b.      Bahasa yang tepat secara mulut
c.       Bahasa yang tidak tepat asal sanggup diterima oleh pihak lawan.
(Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang memberikan dengan bahasa yang tidak tepat tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.)
d.      Bahasa aba-aba asal sanggup diterima oleh pihak lawannya
e.       Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan
Berdasarkan hal tersebut maka sanggup disimpulkan bahwa terjadinya kesepakatan sanggup terjadi secara tertulis dan tidak tertulis .Seseorang yang melaksanakan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan sertifikat otentik maupun sertifikat di bawah tangan.Akta di bawah tangan yaitu sertifikat yang dibentuk oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang menciptakan akta.Sedangkan sertifikat otentik yaitu sertifikat yang dibentuk oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang. Menurut pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas / tidak tepat apabila didasarkan :
Ø   Kekhilafan (dwaling)
Ø   Paksaan (geveld)
Ø   Penipuan (bedrog)
Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan mengikat bagi kedua belah pihak serta sanggup dilaksanakan.


2.      Cakap untuk menciptakan suatu perjanjian
Cakap artinya yaitu kemampuan untuk melaksanakan suatu perbuatan aturan yang dalam hal ini yaitu menciptakan suatu perjanjian.Perbuatan aturan yaitu segala perbuatan yang sanggup mengakibatkan jawaban hukum.Orang yang cakap untuk melaksanakan perbuatan aturan yaitu orang yang sudah dewasa.Ukuran kedewasaan yaitu berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melaksanakan perbuatan aturan yaitu :
a.       Orang yang belum remaja
b.      Orang yang dibawah pengampuan
c.       Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang wanita tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melaksanakan perbuatan aturan tanpa pinjaman atau izin suaminya.

3.      Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian.Objek perjanjian harus terang dan ditentukan oleh para pihak yang sanggup berupa barang maupun jasa namun juga sanggup berupa tidak berbuat sesuatu.Objek Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :[13]
Ø  Memberikan sesuatu, contohnya membayar harga, menyerahkan barang.
Ø  Berbuat sesuatu, contohnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
Ø  Tidak berbuat sesuatu, contohnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat :
a.    Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya sanggup ditentukan jenisnya. Misalnya : A menyerahkan beras kepada B 1 kwintal.
b.    Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan.
Tanpa suatu kepentingan orang tidak sanggup mengadakan tuntutan. Misalnya Concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik sepatu lagi, lantaran antara A dan B kini tidak ada kepentingan lagi
c.    Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
d.   Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

4.      Suatu alasannya yaitu yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak dijelaskan pengertian alasannya yaitu yang halal.Yang dimaksud dengan alasannya yaitu yang halal yaitu bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif lantaran berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif lantaran berkaitan dengan objek perjanjian.Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu sanggup diminta pembatalannya.Pihak yang sanggup meminta abolisi itu yaitu pihak yang tidak cakap atau pihak yang menawarkan ijinnya secara tidak bebas. Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka balasannya yaitu perjanjian tersebut batal demi aturan artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak sanggup menuntut apapun apabila terjadi dilema di kemudian hari.
C.     Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli yaitu merupakan perbuatan hukum.Subjek dari perbuatan aturan yaitu Subjek Hukum.Subjek Hukum terdiri dari insan dan tubuh hukum.Oleh alasannya yaitu itu, intinya semua orang atau tubuh aturan sanggup menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah remaja dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melaksanakan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:[14]
ü   Jual beli Suami istri
Pertimbangan aturan tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri yaitu lantaran semenjak terjadinya perkawinan, maka semenjak dikala itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:[15]
a.       Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri berdasarkan hukum.
b.      Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, contohnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, kalau benda itu dikecualikan dari persatuan.
c.       Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
ü   Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris.
Para Pejabat ini tidak diperkenankan melaksanakan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa.Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu sanggup dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
ü   Pegawai yang memangku jabatan umum
Yang dimaksud dalam hal ini yaitu membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.
Objek jual Beli
Yang sanggup menjadi objek dalam jual beli yaitu semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik berdasarkan tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan yaitu :[16]
a.              Benda atau barang orang lain
b.              Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang menyerupai obat terlarang
c.              Bertentangan dengan ketertiban, dan
d.             Kesusilaan yang baik
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang aturan Perdata menggunakan istilah zaak untuk menentukan apa yang sanggup menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak yaitu barang atau hak yang sanggup dimiliki.Hal tersebut berarti bahwa yang sanggup dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.
D.   Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian Jual Beli
Hak dari Penjual mendapatkan harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan Kewajiban Penjual yaitu sebagai berikut :
1.      Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut yaitu :[17]
ü  Penyerahan Benda Bergerak
Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang konkret akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
ü  Penyerahan Benda Tidak Bergerak
Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan Akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan sertifikat notaris.
ü  Penyerahan Benda Tidak Bertubuh
Diatur dalam pasal 613 KUH. Perdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan sertifikat notaris atau sertifikat dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang lantaran surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang lantaran surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
2.      Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.
Pasal 30 hingga dengan pasal 52 United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur ihwal kewajiban pokok dari penjual yaitu sebagai berikut :[18]
ü   Menyerahkan barang
ü   Menyerahterimakan dokumen
ü   Memindahkan Hak Milik
Hak dari Pembeli yaitu mendapatkan barang yang telah dibelinya, baik secara konkret maupun secara yuridis.Di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ihwal Penjualan barang-barang Internasional (United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods) telah diatur ihwal kewajiban antara penjual dan pembeli.[19] Pasal 53 hingga 60 United Nations Convention on Contract for the International Sale of Goods mengatur ihwal kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok pembeli yaitu:[20]
ü  Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual
ü  Membayar harga barang sesuai dengan kontrak
ü  Menerima penyerahan barang menyerupai disebut dalam kontrak
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh aturan dan peraturan untuk memungkinkan pelaksanaan pembayaran.Tempat pembayaran di daerah yang disepakati kedua belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli yaitu :
ü  Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan komitmen yang telah dibentuk
ü  Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, contohnya ongkos antar, biaya sertifikat dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.
Oleh alasannya yaitu itu sanggup disimpulkan bahwa Kewajiban dari pihak pembeli yaitu merupakan Hak bagi pihak Penjual dan sebaliknya Kewajiban dari Pihak Penjual yaitu merupakan hak bagi pihak Pembeli.
E.    Bentuk bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, sanggup dibentuk secara mulut dan goresan pena yang sanggup bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan.Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut.Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan sertifikat Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :
1.      Lisan, yaitu dilakukan secara mulut dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan dirinya melaksanakan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
2.      Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan sertifikat autentik maupun dengan sertifikat di bawah tangan.
Akta Autentik yaitu suatu sertifikat yang dibentuk di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibentuk oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di daerah dimana sertifikat dibuatnya.[21] Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya sertifikat autentik dibagi menjadi dua, yaitu :
1.            Akta Pejabat (acte amtelijke)
Akta Pejabat yaitu sertifikat yang dibentuk oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Kaprikornus inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam sertifikat itu. Contohnya Akta Kelahiran.
2.            Akta Para Pihak (acte partij)
Akta Para Pihak yaitu sertifikat yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di hadapan pejabat yang berwenang.Contohnya sertifikat sewa menyewa.
Akta di bawah tangan yaitu sertifikat yang dibentuk untuk tujuan pembuktian namun tidak dibentuk di hadapan pejabat yang berwenang.[22] Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian sertifikat di bawah tangan sanggup dipersamakan dengan sertifikat autentik sepanjang para pembuat sertifikat dibawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya. Dengan kata lain sertifikat di bawah tangan merupakan sertifikat perjanjian yang gres mempunyai kekuatan aturan pembuktian apabila diakui oleh pihak-pihak yang menandatanganinya sehingga biar sertifikat perjanjian tersebut tidak gampang dibantah, maka dibutuhkan pelegalisasian oleh notaris, biar mempunyai kekuatan aturan pembuktian yang besar lengan berkuasa menyerupai sertifikat autentik.
Perbedaan prinsip antara sertifikat di bawah tangan dengan sertifikat otentik yaitu lantaran kalau pihak lawan mengingkari sertifikat tersebut, sertifikat di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan sertifikat otentik selalu dianggap asli, kecuali terbukti kepalsuannya.[23] Maksudnya yaitu bahwa kalau suatu sertifikat di bawah tangan disangkal oleh pihak lain, pemegang sertifikat di bawah tangan harus sanggup menunjukan keaslian dari sertifikat di bawah tangan tersebut, Sedangkan apabila sertifikat otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang sertifikat otentik tidak perlu menunjukan keaslian sertifikat tersebut tetapi pihak yang menyangkali yang harus menunjukan bahwa sertifikat otentik tersebut yaitu palsu. Oleh lantaran itu, pembuktian sertifikat di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian sertifikat otentik yaitu pembuktian kepalsuan.
F.    Risiko dalam perjanjian jual beli
Di dalam aturan dikenal suatu fatwa yang dinamakan dengan Resicoleer. Resicoleer yaitu suatu fatwa , yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, kalau ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.[24]Sedengkan Risiko dalam Perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjualbelikan, yaitu [25]
a.       Barang telah ditentukan
Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Hal pertama yang harus dipahami yaitu pengertian dari barang tertentu tersebut.Yang dimaksudkan dengan barang tertentu yaitu barang yang pada waktu perjanjian dibentuk sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli.[26] Mengenai barang menyerupai itu pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapkan bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut yaitu tidak adil dimana pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang tersebut. Si pembeli sanggup resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan terhadap si pembeli.Oleh alasannya yaitu itu, ia harus menanggung segala risiko yang sanggup terjadi lantaran barang tersebut telah diserahkan kepadanya.Ketentuan pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun 1963. Menurut Prof. R. Subekti, Surat edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan suatu proposal kepada semua hakim dan pengadilan untuk menciptakan yurisprudensi yang menyatakan pasal 1460 tersebut sebagai pasal yang mati dan lantaran itu tidak boleh digunakan lagi.
b.      Barang tumpukan
Barang yang dijual berdasarkan tumpukan, sanggup dikatakan sudah dari semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli.[27] Oleh alasannya yaitu itu dalam hal ini, risiko diletakkan kepada si pembeli lantaran barang-barang tersebut telah terpisah
c.       Barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran atau jumlah.
Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau diukur sebelumnya dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan gres dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya sehabis dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran.Setelah dilakukannya penimbangan, penghitungan atau pengukuran, maka segala risiko yang terjadi pada barang tersebut yaitu merupakan tanggung jawab dari si pembeli.Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran maka segala risiko yang ada pada barang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak penjual.Hal ini diatur dalam pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
 III.            Kesimpulan
Dari Sedikit pemaparan diatas, sanggup kita Kesimpulan sebagai berikut :
Ø  Pengertian dari jual beli sanggup berarti suatu perjanjian yang bertimbal balik dan suatu perjanjian yang konsensuil. Maksudnya disini yaitu perbuatan jual beli ini mengakibatkan suatu kewajban bagi kedua belah pihak yang saling berkaitan antara pihak penjual dan pembeli dan ditandai dengan adanya suatu penerimaan yang dilakukan oleh pembeli dan penyerahan yuang dilakukan oleh penjual.

Ø  Dalam kejadian jual beli ada ketentuan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban penjual maupun pembeli mempunyai kewajiban untuk mematuhi perjanjian diantara mereka. Dimana perjanjian tersebut berlaku selayaknya Undang –undang bagi kedua belah pihak.pihak penjual berhak memperoleh pembayaran atas kebendaan yang telah diserahkan dan pembeli berhak untuk memperoleh jaminan atas kebendaan yang diterima dari penjual.

Ø  Dalam hal-hal khusus menyerupai pembelian kembali kebendaan yang telah diperjualbelikan sebagimana yang disepakati dalam perjanjian, pihak penjual harus membayarkan sejumlah harga yang telah dibayarkan oleh pembeli beserta jumlah dari penambahan nilai yang dilakukan pembeli atas kebendaan tersebut sehingga harga jual kebendaan tersebut bertambah.
 IV.            PENUTUP
Demikian yang sanggup kami paparkan mengenai Hukum Perdata Wa bill khususu membahas Perjanjian Jual Beli, yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, lantaran terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau acuan yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi menawarkan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berkhasiat bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wallohummuwafiq Illa Aqwammintoriq, Wassalammualaikum Wr. Wb

DAFTAR PUSTAKA
Darus Mariam Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Bandung : Penerbit Alumni, 2006,
H.S. Salim Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2003
Harahap M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : PenerbitAlumni,1986,
Miru Ahmadi,Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2007
Rahardjo Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Penerbit Pustaka Yustisia, 2009,
Subekti R. Aneka Perjanjian, Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 1995


[1]M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni,1986, hlm. 181
[2]Salim H.S.,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hlm. 49
[3]Ibid.
[4] Prof.R.Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2.
[5]Dr. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 127.
[6]Op.Cit. Salim H.S.hlm. 49.
[7]Ibid.hlm. 9.
[8]Ibid.
[9]Ibid.hlm. 10
[10]Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 45.
[11]Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Bandung : Alumni, 2006, hlm. 108-120 
[12]Op. Cit. Salim H.S., hlm. 33.
[13]Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru hlm. 69
[14]Op. Cit. Salim hlm. 49.
[15]Ibid.
[16]Ibid. hlm. 50.
[17]Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru, hlm. 128
[18]Op. Cit. Salim H.S., hlm. 56.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21]Op. Cit. Handri Rahardjo, Cara Pintar menentukan dan mengajukan kredit, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2003, hlm. 10
[22]Ibid.
[23]Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru, hlm. 15.
[24]Op. Cit. Salim H.S.,hlm. 103.
[25]Op. Cit. Dr. Ahmadi Miru, hlm. 103
[26]Op. Cit. R. Subekti, hlm. 25.
[27]Ibid.
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.