Makalah Pengertian Aturan Pidana

      I.          
Ilustrasi Hukum Pidana. (Foto. Repro)

Pengertian Hukum Pidana

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana I
Dosen Pengampu : A. Turmudi, SH, Msi.



oleh :
Al Muammat                                  122211025
Fareh Hariyanto                            122211033
Muhammad Agus Prasetyo         122211051

IAIN Walisongo Semarang
2013


Pendahuluan
Kehidupan insan di dalam pergaulan masyarakat sendiri diliputi oleh norma-norma, yaitu peraturan hidup yang mensugesti tingkah laris insan di dalam masyarakat. Sejak masa kecilnya insan mencicipi adanya peraturan-peraturan hidup yang membatasi sepak terjangnya. Tetapi dengan adanya norma-norma maka penghargaan dan proteksi terhadap diri dan kepentingan-kepentingannya juga kepentingan-kepentingan setiap warga masyarakat lainnya serta ketentraman dalam masyarakat terpelihara dan terjamin.
Namun dari aspek itu kebanyakan aturan yang berkembang dalam masyarakat lebih Spesifik Kehukum Adat, Namun Pada kesempatan ini kami dari kelompok pertama ingin menjelaskan sekelumit ihwal Hukum Pidana.
Apakah aturan pidana itu ? pertanyaan ini sebetulnya sangat sulit untuk dijawab, mengingat aturan pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Penerapan aturan pidana berkaitan dengan ruang lingkup aturan pidana itu sendiri sanggup bersifat luas dan sanggup pula bersifat sempit.  Dalam tindak pidana sanggup melihat seberapa jauh seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut dikarenakan telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan aturan pidana tidak hanya tercapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang berpengaruh berupa tindakan-tindakan pengamanan. Perlunya pemahaman terhadap  pembelajaran aturan pidana itu sendiri. Maka dari itu Kami merumuskan Rumusan Masalah dalam Makalah ini sebagai berikut :
Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud Ilmu Hukum Pidana & Kriminologi ?
2.    Apakah yang dimaksud Bagian Umum & Bagian Khusus dalam Hukum Pidana?
3.    Apakah sumber hokum Pidana Di Indonesia ?
4.    Bagaimana berlakunya UU Pidana berdasarkan Waktu & Tempatnya ?



   II.            Pembahasan
A. Pengertian Pidana
Istilah Pidana berasal dari bahasa hindu Jawa yang artinya Hukuman, nestapa atau sedih hati, dalam bahasa Belanda disebut straf. Dipidana artinya dihukum, kepidanan artinya segala sesuatu yang bersifat tidak baik, jahat, pemidanaan artinya penghukuman. Makara Hukum Pidana sebagai terjemahan dari bahasa belanda strafrecht yakni semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan yang menggunakan hukuman (ancaman) eksekusi bagi mereka yang melanggarnya.[1]
Sedangkan berdasarkan Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana yakni pecahan daripada keseluruhan  Hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1.      Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai bahaya atau hukuman yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.      Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu sanggup dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3.      Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu sanggup dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]
Hukum pidana tidak lahir dengan sendirinya atau dengan kata lain aturan pidana tidak lahir dari norma aturan itu sendiri, tetapi telah ada pada norma lain mirip norma agama, susila dan kesusilaan. Lahirnya aturan pidana yakni untuk menguatkan norma-norma tersebut.
  Hukum Pidana di Indonesia itu sendiri secara umum sanggup dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang memperlihatkan ihwal tindakan-tindakan yang mana yakni merupakan tindakan-tindakan yang sanggup dihukum, siapakah orangnya yang sanggup dipertanggungjawabkan ter-hadap tindakan-tindakan tersebut dan eksekusi yang bagai-mana yang sanggup dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan aturan pidana yang abstrak.[3]
2.      Hukum Pidana Formil merupakan sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara Negara mempergunakan haknya untuk mengadili serta memperlihatkan putusan terhadap seseorang yang diduga melaksanakan tindakan pidana, atau dengan kata lain yakni caranya aturan pidana yang bersifat aneh itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis aturan pidana ini sebagai aturan program pidana.[4]
B. Tujuan & Fungsi Hukum Pidana
o   Tujuan Hukum Pidana
Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan Hukum, oleh lantaran itu peninjauan bahan-bahan mengenai Hukum Pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban insan ihwal “Perbuatan yang sanggup dihukum”. Kalau seorang melanggar peraturan pidana, maka kesannya ialah bahwa orang itu sanggup dipertanggung jawabkan ihwal perbuatannya itu sehingga ia sanggup dikenakan eksekusi (kecuali orang gila, dibawah umur, dsb).
 Tujuan Hukum Pidana itu memberi system dalam bahan-bahan yang banyak dari hokum, azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga sanggup dimasukkan dalam satu system. Penyelidikan secara demikian yakni dogmatis yuridis. Peninjauan bahan-bahan aturan pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban insan ihwal perbuatan yang sanggup dihukum.[5]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat aturan pidana sebagai aturan public tujuan pokok diadakannya aturan pidana ialah melindungi kepentingan –kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu tiba dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Salah satu kesimpulan dari seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, aturan pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk proteksi masyarakat.[6]
Namun demikian, dalam perspektif Barat yang kehidupan bersamannya lebih didasarkan pada paham-paham mirip individualisme dan liberalisme. Konsep ihwal tujuan diadakannya aturan pidana agaknya cenderung diorientasikan untuk memperlihatkan proteksi terhadap banyak sekali macam kepentingan warga Negara secara individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Konsep demikian antara lain sanggup ditelusuri melalui banyak sekali pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan ihwal azas legalitas. Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan diadakannya aturan pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi bahwa aturan pidana diadakan tujuannya yakni disamping untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit) juga melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.[7]
o   Fungsi Hukum Pidana
1. Fungsi Umum
Fungsi umum Hukum Pidana yakni untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat yang berisi ketentuan aturan pidana yang berlaku untuk seluruh lapangan aturan pidana, baik yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun diluar kitab undang-undang hukum pidana , kecuali ditentukan lain. Bagian umum ini, dalam kitab undang-undang hukum pidana dimuat dalam Buku I kitab undang-undang hukum pidana (Aturan Umum), pasal 1-103. Mengatur ihwal ketentuan ihwal batas berlakunya KUHP, pidana, hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana, percobaan, penyertaan, perbarengan daluarsa dsb. Pasal 103 merupakan aturan epilog yang mengatur ihwal sanggup dibuatnya UU pidana lainnya diluar KUHP.
2. Fungsi Khusus
Melindungi kepentingan aturan dari perbuatan yang hendak memperkosanya dengan hukuman pidana yang sifatnya lebih tajam bila dibandingkan dengan hukuman pidana yang terdapat pada cabang aturan yang lain. Kepentingan aturan yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
ü  Kepentingan aturan perorangan (individuale belangen) contohnya kepentingan aturan terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan aturan atas tubuh, kepentingan aturan akan hak milik benda, kepentingan aturan terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan aturan terhadap rasa susila, dsb.
ü  Kepentingan aturan masyarakat (sociale of maatschapppelijke belangen), contohnya kepentingan aturan terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb.
ü  Kepentingan aturan negara (staatsbelangen), contohnya kepentingan aturan terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan aturan terhadap negara-negara sahabat, kepentingan aturan terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb.
Berisi perbuatan yang sanggup dipidana dan bahaya pidananya. Diatur dalam Buku II (kejahatan) dan Buku III (Pelanggaran) KUHP.
Perbedaannya terletak pada berat ringannya pidana yang diancamkan Kejahatan lebih berat daripada pelanggaran. Ancaman pidana terberat hanya diancamkan  dengan kurungan paling usang 1 tahun. Sanksi aturan pidana mempunyai efek preventif (pencegahan) terhadap timbulnya pelanggaran-pelanggaran norma hukum (Theorie des psychischen Zwanges / ajaran Paksaan Psikis)
C. Ilmu Hukum Pidana & Kriminologi
Di samping ilmu aturan pidana, yang sebetulnya sanggup juga di namakan : ilmu ihwal hukumnya kejahatan, ada juga ilmu ihwal kejahatanya sendiri di namakan kriminologi. Kecuali obyeknya berlainan , tujuanyapun berbeda, kalau  obyek ilmu aturan pidana adalah  aturan aturan aturan yang  mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana, dan tujuanya supaya sanggup mengerti dan mempergunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, maka obyek kriminologi  adalah orang yang melaksanakan kejahatan (si penjahat) itu sendiri adapun tujuanya : supaya menjadi  mengerti  apa sebab-sebabnya  sehingga berbuat jahat mirip itu. Apakah  memang bakatnya yakni jahat, ataukah di dorong keadaan masyarakat di sekitarnya (milieu) baik keadaan sosiologis maupun  ekonomis. Ataukah ada sebab-sebab lain lagi. Jika sebab- lantaran itu sudah di ketahui, maka disamping pemidanaan, sanggup di adakan tindakan-tindakan yang tepat , supaya orangtadi tidak lagi berbuat demikian. Atau supaya orang-orang lain tidak melakukanya.[8]
            Berhubung dengan ini, terutama  di negeri-negeri  Angelsaks, kriminologi biasanya di bagi menjadi 3 pecahan : Criminal biology, yang menyidik dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatanya, baik dalam jasmani maupun rohaninya ;Criminal sociology, yang mencoba mencari sebab-sebab itu dalam lingkungan masyarakat di mana penjahat itu berda (dalam milieunya):  Criminal policy, yaitu tindakan –tindakan apa yang disekitarnya harus di jalankan supaya orang lain tidak berbuat itu pula.
            Ada yang beropini bahwa nanti perkembangan kriminologi sudah sempurna, maka tidak diperbolehkan lagi adanya pidana. Sebab lantaran itu meskipun telah berabad-abad orang telah menjatuhi pidana pada orang yang berbuat kejahatan, jadi bukanlah obat bagi penjahat.  Bagaimana akan mungkinya itu. Kalau penjahat di ibaratkan  orang yang  sakit, dan pidananya  yang bersifat memberi nestapa sebagai pembalasan atas  kejahatan yang di lakukan, hal itu di jadikan obat  untuk di sakit tadi? Untuk mengobatinya, tentunya terlebih dahulu  di perlukanmengetahui sebab-sebab penyakit itu. Dan karenanya yang di pelukan bukanlah pidana yang bersifat memberi nestapa sebagai pembalasan atas kejahatan yang di lakukan, melainkan tindakan-tindakan.[9]
Pandangan semacam ini hemat saya agak terlalu simplistis. Sebab kiranya, pandangan bahwa pidana yakni semata-mata sebagai pembalasan kejahatan yang di lakukan, kini sudah ditinggalkan , dan telah di insyafi bahwa senyatanya yakni lebih kompleks. Kalau kini sifat pembalasan masih ada, maka itu yakni faset, suatu segi yang kecil. Faset –faset yang lain dan lebih penting hemat saya seumpamanya yakni menenteramkan kembali masyarakat  yang telah digoncangkan dengan adanya perbuatan pidana disatu pihak, dan dilain pihak, mendidik kembali orang yang melakukan  perbuatan pidana tadi supaya supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Adapun cara untuk mencapai perjuangan permasyarakatan ini yakni bermacam-macam, yang boleh berganti dan berubah berdasarkan perkembangan ilmu  pendidikan dalam bidang tersebut. Dengan  demikian makna pidana seharusnya kemudian berubah. Tidak lagi sebagai penderitaaan fisik dan perendahan martabat insan sebagai pembalasan daripada kejahatan yang telah dilakukan, akan tetapi meliputi seluruh sarana-sarana yang di pandang layak dan sanggup di praktekan dalam suatu masyarakat tertentu. Sebagai pola pasal 21. Fundamentals of Criminal legislation for the USSR an thu Union Republica. 1958 ditentukan ada 7 macam pidana yaitu ;1 ) deprivation of liberty. Transportation 3) exile 4) corrective labour without deprivation of liberty 5) deprivation of the right to occupy a certain post engaged in cartain activity 6) fines 7) social censure.[10]
Pada umumnya  sekarang orang menganggap bahwa dengan adanya kriminologi  di samping ilmu hokum pidana, pengetahuan ihwal kejahatan menjadi lebih luas. Karena dengan demikian orang kemudian mendapat  pengertian baik ihwal pengetahuan hukumnya terhadap kejahatan  maupun ihwal pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara cara pemberantasanya, se hingga memudahkan  penentuan  adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan penjahatnya itu sendiri.
Ilmu aturan pidana dan kriminologi mirip dalam pemandangan di atas , lalu  merupakan pasangan , merupakan  dwi tunggal. Yang stu melenggkapi yang lain. Kedua ilmu ini di Jerman dicakup dengan nama : Die gesammte Strafrechtswissenschaft, dan dalam negeri-negeri  Angelsaks; Criminal scince.  
D. Bagian Umum & Khusus dalam Hukum Pidana
Hukum Pidana di Indonesia terbagi dua, yaitu Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus.Secara definitif Hukum Pidana Umum[11] sanggup diartikam sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum, yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP.
Adapun Hukum Pidana Khusus[12], dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang mempunyai hukuman pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP, baik perundang-undangan pidana maupun bukan pidana tetapi mempunyai hukuman pidana (ketentuan menyimpang dari KUHP). Menurut Andi Hamzah, peraturan aturan yang tercantum di luar kitab undang-undang hukum pidana sanggup disebut undang-undang (pidana) tersendiri atau sanggup juga disebut hukum pidana di luar kodifikasi atau nonkodifikasi.

Hukum Pidana Umum
Hukum Pidana Khusus
1. Definisi




2. Dasar







3. Kewenangan Penyelidikan & Penyidikan


4. Pengadilan
Perundang-undangan pidana yang berlaku umum.


Yang tercantum di dalam kitab undang-undang hukum pidana & semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP.



Polisi & Jaksa



Pengadilan Umum
Perundang-undangan di bidang tertentu yang bersanksi pidana atau tindak pidana yang diatur dalam undang-undang khusus.

Yang tercantum di dalam pertauran perundang-undangan di luar kitab undang-undang hukum pidana baik perundang-undangan pidana maupun bukan pidana, tetapi bersanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP).


Polisi, Jaksa, PPNS, & KPK.



Pengadilan HAM, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tipikor,  Pengadilan Pajak, Pengadilan Industrial, Pengadilan  Niaga, Pengadilan Anak

Law Online Library (Maret 2010) menuliskan, seiring dengan munculnya pengaturan aturan pidana secara khusus, muncul istilah Hukum Pidana Khusus, yang kini diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus.

Apakah ada perbedaan dari kedua istilah itu ? secara prinsipil, tidak ada perbedaan lantaran yang dimaksudkan oleh kedua istilah itu yakni undang-undang pidana yang berada di luar aturan pidana umum, yang mempunyai penyimpangan dari aturan pidana umum baik dari segi aturan pidana materil maupun dari segi aturan pidana formil. Jika tidak ada penyimpangan, maka tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.

Di Indonesia kini berkembang dengan subur undang-undang tersendiri di luar KUHP, mirip UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Tipikor, dan banyak perundang-undangan manajemen yang bersanksi pidana, dengan bahaya pidananya sangat berat 10 tahun, 15 tahun, hingga seumur hidup bahkan ada pidana mati (UU Psikotropika, UU Perbankan, dan UU Lingkungan Hidup).

E. Sumber - Sumber Hukum Pidana Indonesia
1. Sumber aturan tertulis dan terkodifikasi
Ø  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP ini mempunyai nama orisinil Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 3315 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan semenjak tanggal 1 Januari 1918.[13] WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada dikala itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan diadaptasi dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. WvSNI berkembang menjadi kitab undang-undang hukum pidana dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ihwal Peraturan Hukum Pidana dan dipertegas dengan Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 (LN nomor 127 tahun 1958)[14] ihwal Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Ø  Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 ihwal Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981[15] atau biasa disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan aturan program pidana dalam lingkungan peradilan umum sebelum undang-undang ini berlaku yakni "Reglemen Indonesia yang dibaharui atau yang populer dengan nama "Het Herziene Inlandsch Reglement" atau H.I.R.[16] (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 1951, seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman ihwal program masalah pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya.
Dengan Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 1951 itu dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi aturan program pidana, yang sebelumnya terdiri dari aturan program pidana bagi landraad dan aturan program pidana bagi raad van justitie. Adanya dua macam aturan program pidana itu, merupakan akhir semata dari perbedaan peradilan bagi golongan penduduk Bumiputera dan peradilan bagi golongan bangsa Eropa di Jaman Hindia Belanda yang masih tetap dipertahankan, walaupun Reglemen Indonesia yang usang (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16) telah diperbaharui dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.)[17]  karena tujuan dari pembaharuan itu bukanlah dimaksudkan untuk mencapai satu kesatuan aturan program pidana, tetapi justeru ingin meningkatkan aturan program pidana bagi raad van justitie. Meskipun Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 1951 telah memutuskan bahwa hanya ada satu aturan program pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memperlihatkan jaminan dan proteksi terhadap hak asasi manusia, proteksi terhadap harkat dan martabat insan sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Khususnya mengenai pemberian aturan di dalam investigasi oleh penyidik atau penuntut umum tidak diatur dalam R.I.B, sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak terdapat ketentuannya.
Oleh lantaran itu demi pembangunan dalam bidang aturan dan sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka "Het Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) berafiliasi dengan dan Undang-undang Nomor 1 Darurat. Tahun 1951[18] (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai aturan program pidana, perlu dicabut lantaran tidak sesuai dengan keinginan aturan nasional dan diganti dengan undang-undang aturan program pidana gres yang mempunyai ciri kondifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 ihwal Hukum Acara Pidana atau dikenal dengan KUHAP.
2. Sumber aturan tertulis dan tidak terkodifikasi
Sumber aturan ini juga biasa disebut aturan pidana khusus, yaitu aturan pidana yang mengatur golongan-golongan tertentu atau terkait dengan jenis-jenis tindak pidana tertentu. Sumber aturan pidana khusus di Indonesia  ini di antaranya kitab undang-undang hukum pidana Militer, dan beberapa perundang-undangan antara lain:
ü  Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 ihwal Narkotika
ü  Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 ihwal Psikotropika
ü  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Ketentuan Pidana dalamPeraturan perundang-undangan non-pidana
 Contoh UU non pidana yang memuat hukuman Pidana:
· UU Lingkungan
· UU Pers
· UU PendidikanNasional
· UU Perbankan
· UU Pajak
· UU PartaiPolitik
· UU pemilu
· UU Merek
· UU Kepabeana
· UU PasarModal Pidana

E. Berlakunya UU Pidana berdasarkan Waktu & Tempat
Ø  Waktu
Penerapan aturan pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya aturan pidana berdasarkan waktu menyangkut penerapan aturan pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melaksanakan perbuatan (feit)[19] pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak sanggup dituntut dan sama sekali tidak sanggup dipidana.  Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)[20] Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak sanggup dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar aturan yang berlaku surut tidak sanggup dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin legalisasi serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini sanggup pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
- Nulla Poena[21] sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1) Dalam memilih perbuatan-perbuatan yang tidak boleh di dalam peraturan bukan saja ihwal macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
2)  Dengan cara demikian maka orang yang akan melaksanakan perbuatanyang tidak boleh itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya kalau nanti betul-betul melaksanakan perbuatan;
3) Dengan demikian dalam batin orang itu akan menerima tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata beliau ternyata melaksanakan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang beliau menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Ø  TEMPAT
Teori tetang ruang lingkup berlakunya aturan pidana nasional berdasarkan tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi aturan pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu :
a. Perundang-undangan aturan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
b. Perundang-undangan aturan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.
Pada pecahan ini, akan melihat kepada berlakunya aturan pidana berdasarkan ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas aturan pidana berdasarkan tempat sanggup di kategorikan sebagai berikut:

I. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melaksanakan suatu tindak pidana di Indonesia”.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitik beratkan pada orang yang melaksanakan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas territorial yang pada dikala ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini yakni masuk akal lantaran tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan aturan Negara dimana yang bersangkutan berada.
Ad. II. Asas Personal[22]
Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif mustahil dipakai sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga Negara aneh yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melaksanakan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili berdasarkan aturan Negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 kitab undang-undang hukum pidana aturan Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melaksanakan perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
Ad. III. Asas Perlindungan
Sekalipun asas personal tidak lagi dipakai sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara. Pasal 4 kitab undang-undang hukum pidana (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976)
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan  Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melaksanakan di luar Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau akta hutang atas tanggungan suatu kawasan atau pecahan kawasan Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau akta itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seakan-akan orisinil dan tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 hingga dengan 446 ihwal pembajakan maritim dan pasal 447 ihwal penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak maritim dan pasal 479 abjad j ihwal penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o ihwal kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.  

Ad. IV. Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 kitab undang-undang hukum pidana dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam aturan internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan Internasional (asas universal) yakni dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata aturan sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) lantaran rumusan pasal 4 ke-2 kitab undang-undang hukum pidana (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4   ke-4 kitab undang-undang hukum pidana (mengenai pembajakan kapal maritim dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal maritim dan pesawat terbang negara mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 kitab undang-undang hukum pidana menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal maritim atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 kitab undang-undang hukum pidana sanggup menyangkut kapal maritim Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal maritim atau pesawat terbang Negara asing.
III.            Temuan
1.     Ilmu Hukum Pidana & Kriminologi ternyata mempunyai tujuan yang berbeda, kalau  obyek ilmu aturan pidana adalah  aturan aturan aturan yang  mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana, dan tujuanya supaya sanggup mengerti dan mempergunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, maka obyek kriminologi  adalah orang yang melaksanakan kejahatan (si penjahat) itu sendiri.
2.     Bagian Umum & Bagian Khusus dalam Hukum Pidana ialah Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus.Secara definitif Hukum Pidana Umum  dapat diartikam sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum. Adapun Hukum Pidana Khusus , dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang mempunyai hukuman pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP.
3.     Sumber Hukum Pidana Di Indonesia
1. Sumber aturan tertulis dan terkodifikasi
Ø  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Ø  Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 ihwal Hukum Acara Pidana.
2. Sumber aturan tertulis dan tidak terkodifikasi
Ø  Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 ihwal Narkotika
Ø  Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 ihwal Psikotropika
Ø  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Ketentuan Pidana dalamPeraturan perundang-undangan non-pidana
Contoh UU non pidana yang memuat hukuman Pidana:
Ø  UU Lingkungan
Ø  UU Pers
Ø  UU Pendidikan Nasional Dsb

IV.            Kesimpulan
Secara garis besar,  Hukum Pidana di Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta ini, belum sanggup keluar dari pengaruh-pengaruh Hukum dari Negeri Belanda, secara tidak pribadi dikala ini kita masih terjajah dalam segi Hukum yang kita Anut, Hal ini karna telah mirip yang di paparkan di atas bahwa kitab undang-undang hukum pidana kita masih  banyak mengadopsi dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI). Ya ini memang resiko sebuah Negara bekas Jajahan.
Hukum Pidana disusun dan dibuat dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat supaya sanggup dipertahankan segala kepentingan aturan yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal diberlakukannya aturan pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting,   yaitu :
1.      Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2.      Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
 Berlakunya aturan pidana berdasarkan waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan dikala kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan ihwal berlakunya aturan pidana berdasarkan waktu sanggup dilihat dari Pasal 1 KUHP.
 Selanjutnya berlakunya undang-undang aturan pidana berdasarkan tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan ihwal hingga dimana berlakunya aturan pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya aturan pidana berdasarkan tempat ini sanggup dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas proteksi atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan ihwal asas berlakunya aturan pidana ini sanggup dilihat dalam Pasal 2 hingga dengan Pasal 9 KUHP.
 Sumber Hukum Pidana sanggup dibedakan atas sumber aturan tertulis dan sumber aturan yang tidak tertulis. ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat sehabis kemerdekaan. Dalam makalah ini telah kita lihat pembahasannya dan sanggup dipahami ruang lingkup aturan pidana tersebut.




  V.            Penutup
Demikian yang sanggup kami paparkan mengenai Hukum Pidana yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, lantaran terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau rujukan yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memperlihatkan kritik dan saran apapun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini mempunyai kegunaan bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
Wallohummuwafiq Illa Aqwammintoriq, Wassalammualaikum Wr. Wb




[1] Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992. Hlm 114
[2] Prof. Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana.  Hal. 1 (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pidana) 12 september 2013 02.00 pm
[3] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar  Grafika, 2005. Hlm 2
[4]  Ibid. Hal. 2
[5] CST. Kansil, Pengantar ilmu aturan dan Tata aturan Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 250
[6] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.52
[7] Ibid. Hal. 52
[8] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT RINEKA CIPTA 1993 Hal 13
[9] Ibid.14
[10] Ibid.15
[11] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; Rieneka Cipta Pustaka 1991
[12] Ibid.
[13] A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia; Bandung, PT Refika Aditama 2007 Hal 61
[14] Ibid. hal. 62
[15] Ibid. hal. 77
[16] Ibid. hal. 73
[17] Op. Cit CST. Kansil hal. 250
[18] Op. Cit. CST. Kansil hal. 324
[19] Oemar Seno Adji, Perkembangan Hukum Pidana & Hukum Acara Pidana Sekarang Dan Dimasa Jang Akan datang, Jakarta CV. Pantjuran Tujuh 1971 hal. 40
[20] Op. Cit.Adi Hamzah Hal. 27
[21] Ibid. Hal 41
http://karyailmiahkampus.blogspot.com/search?q=berlakunya-hukum-pidana-menurut-tempat Semarang, 13 september 2013 03.00 pm



DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; Rieneka Cipta Pustaka 1991
Kansil, CST.  Pengantar ilmu aturan dan Tata aturan Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993,
Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar  Grafika, 2005.
Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana.  Jakarta: PT RINEKA CIPTA 1993
Prasetyo Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005,
Seno.Oemar,Adji, Perkembangan Hukum Pidana & Hukum Acara Pidana Sekarang Dan Dimasa Jang Akan datang, Jakarta CV. Pantjuran Tujuh 1971
Soetami A. Siti. Pengantar Tata Hukum Indonesia; Bandung, PT Refika Aditama 2007
 
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.