Makalah Aturan Perdata Islam Indonesia

 Ilustrasi Pernikahan. (Foto. Repro)
TUGAS MAKALAH
Perkawinan Wanita Hamil
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah HPII
Dosen Pengampu : Drs. Rokhmadi, M.Ag



 Disusun Oleh:
Nama      :        Jannatun  Naimah
NIM        :        122211040


FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
TP. 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang Masalah
Makalah ini disusun dalam rangka menuntaskan Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia Jurusan Siyasah Jinayah (SJ) Semester kedua. Makalah ini membahas mengenai, bagaimana aturan perkawinan perempuan hamil lantaran zina, bagaimana pandangan-pandangan para ulama ihwal perkawinan perempuan hamil, apa sajakah imbas yang ditimbulkan.

Perkawinan itu mempunyai tujuan yang suci dan tinggi oleh lantaran itu demikian yang akan nikah harus mempunyai kesanggupan dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan hanya semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi saja. Sehingga dengan adanya kesanggupan akan lebih cemerlang untuk kehidupan di masa yang akan mendatang.
B.         Rumusan Masalah
1.          Bagaimana aturan perkawinan perempuan hamil lantaran zina?
2.          Bagaimana pandangan-pandangan para ulama ihwal perkawinan perempuan hamil?
3.          Bagaimana kedudukan nashab (keturunan) bayi yang dilahirkan?
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hukum Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina
Pasal 45 ayat (1) dan (3) memilih perempuan hamil di luar perkewinan sanggup menikah  dengan laki-laki yang menghamilinya apabilaperempuan tersebut menghendakinya. Ketentuan lengkap dari pasal 45 RUU Hukum Perkawinan Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) sebagai berikut,
(1) Perempuan hamil di luar nikah sanggup melangsungkanperkawinan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(2) Laki-laki yang menghamili perempuan di luar perkawinan wajib bertanggung jawab terhadap anaknya.
(3) Laki-laki yang dimaksud ayat (2) wajib mengawini apabila perempuan tersebut menghendaki adanya perkawinan selama tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan.[1]
Di dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yang dilengkapi dengan Kompilasi Hukum  di Indonesia, pada Bab VIII Kawin Hamil pasal 53 menyatakan bahwa,
(1) seorang perempuan hamil di luar nikah sanggup dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
(2)perkawinan dengan wAanita hamil yang disebut pada ayat (1) sanggup dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan  ilangsungkannya perkawinan pada ketika perempuan hamil, tidak dibutuhkan perkawinan ulang sesudah anak yang dikandung lahir. [2]
Pasal 13 ayat (2) RUU Perkawinan Tahun 1973 yang mengatur ihwal "pertunanan". Dalam pasal tersebut dirumuskan bahwa: "apabila pertunagan itu mengakibatkan "kehamilan", maka pihak laki-laki diharuskan kawin dengan perempuan itu, kalau disetujui oleh pihak wanita".
Pendapat tersebut terang sesuai dengan teori receptie yang menyandarkan keberlakuan Hukum Islam kepada Hukum Adat, menyerupai dikemukakan Soepomo dalam buku HukumPerdata Adat Jawa Barat dengan istilah "ngangkat bapak". Maksud dari "ngangkat bapak" yaitu menikahkan perempuan hamil lantaran zina, yang bertujuan semata-mata biar anak yang dikandung diluar nikah itu lahir dalam ikatan perkawinan.

B.       Pandangan-Pandangan Para Ulama Tentang Perkawinan Wanita Hamil
Mengenai problem mengawini perempuan hamilyang dizinainya itu ada beberapa macam pendapat antara yang satu dengan yang lainnya ada yang berlawanan.
1.          Pendapat Ulama yang memperbolehkan mengawini perempuan hamil lantaran zina
Para ulama saling berbeda pendapat satu sama lainnya, perbedaan ini pada prinsipnya berbeda dalam memahami kedudukan salah satu ayat di dalam al-Qur'an. Dengan demikian, perbedaan pendapat mengenai mengawini perempuan hamil yang disebabkan dari perzinahan, diantaranya sebagai berikut:
a.         Menurut Muhammad Rasyid Ridla
Pada dasarnya perkawinan itu mubah (hala = diperbolehkan). Oleh alasannya yaitu itu datanglah nash (keterangan) dalam al-Qur'an ihwal perempuan yang haram untuk dikawininya, maka dengan demikian dihalalkan atas kau terhadap wanita-wanita yang selain dari pada itu, lantaran perempuan hamil zina itu termasuk dalam keharaman tersebut maka boleh untuk dikawininya.
b.         Menurut Pendapat Imam Syafi'i
Wanita hamil yang berasal dari zina dan orang yang berzina itu tidak ada kehormatan baginya, maka perempuan tersebut dipandang juga menyerupai perempuan yang tidak hamil yakni tidak ada iddah dan perhitungan bagi mereka sama sekali. Dalam hal ini perempuan hamil yang berasal dari zina boleh dikawini dan boleh diwathi atas laki-laki yang mengawininya.
c.         Menurut Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud dalam keterangannyayang lain menyebutkan juga mujahid, Sulaiman bin Yasar, Said bin Jabir dari kalangan Tabiin dan Ulama' kota besar memperboleh untuk mengawini pezini dan sebaliknya orang yang berzina itu tidak mesti diharamkan untuk dikawininya.
Seperti insiden yang telah terjadi: sewaktu Abu Bakar di Dalam masjid tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang berkata kepadanya dengan perkataan yang kurang jelas (tidak jelas) lalu Umar diperintah oleh Abu bakar untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadany, lalu Umar melapor kepada Abu Bakar bahwa orang laki-laki tersebut kedatangan tamu laki-laki lalu tamu tadi menzinai anak perempuannya. Kemudian Umar memukul orang tersebut dengan berkata: apakah anak perempuan tadi engkau lindungi? Kemudian Abu Bakar menjilid kepada orang yang berzina tersebut dan simpulan dikawinkannya.
d.        Menurut Imam Hanifah dan Tsauri
Wanita yang berzina tidak dibebani pertalian nasab dan tidak ada iddah bagi mereka maka boleh untuk dikawinkan. [3]

e.      Menurut Ibnu Hazm
Mengatakan keduanya boleh dikawinkan dan boleh melaksanakan senggama bilaiatelah bertaubat dan ia mengalami hukuma dera (cambuk), lantaran keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan pada keputusan aturan yang telah diterapkan oleh Sahabat Nabi kepada orang-orang yang telah berbuat hal semacam itu. [4]
2.        Pendapat Ulama yang tidak memperbolehkan mengawini perempuan hamil lantaran zina
  1. Menurut Imam Malik dan Ahmad                                                                                           Tidak memperbolehkan mengawini perempuan hamil lantaran zina disebabkan mereka itu mewajibkannya adanya iddah, namun mengenai iddahnya ada dua macam riwayat, berdasarkan Ahamd iddahnya tiga kali haidl sedangkan untuk yang lainnya iddahnya satu kali haidl.
  1. Menurut Abu Yusuf
Haram tidak memperbolehkannya mengawini perempuan hamil zina, lantaran bila dikawinkan, maka perkawinannya fasid atau batal. [5]
  1. Menurut Ibnul qoyyin
Nikah yang dilakukan dengan perempuan hamil yang berasal dari zina hukumnya bathal
  1. Menurut Ali dan Aisyah
“Tidak boleh”, demikian juga Hasan bahwa orang yang berzina dan telah dijatuhi eksekusi dihentikan kawin selain dengan orang yang telah menerima eksekusi yang sama. [6]
3.        Pendapat-pendapat Fukaha
a.          Zina tidak mempunyai potongan dalam kewajiban beriddah. Sama saja apakah perempuan yang berzina hamil maupun tidak. Dan sama saja apakah beliau mempunyai suami atautidak. Jika beliau mempunyai suami, maka halal bagi suaminya untuk menyetubuhinya secara langsung. Dan kalau beliau tidak mempunyai suami, maka boleh bagi laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain untuk menikahinya, baik beliau hamil atau tidak. Hanya saja, menyetubuhinya dalam keadaan hamil hukumnya makruh, hingga beliau melahirkan. Ini yaitu pendapat para ulama madzhab Syafi’i.
b.         Seorang perempuan hamil lantaran zina, boleh dinikahi berdasarkan bubuk Hanifah dan Muhammad, tapi dihentikan disetubuhi hingga melahirkan. Sementara Abu Yusuf dan Zafar dari madzhab Hanafi memandang bahwa kalau perempuan yang berzina hamil, maka beliau dihentikan dinikahi.
c.          Rabi’ah, ats-Tsauri, al-Auzai, dan Ishaq beropini bahwa perempuan yang berzina dan hamil, beliau wajib ber’iddah dengan waktu yang ditetapkan yakni hingga perempuan tersebut melahirkan kandungannya. [7]

C.        Anak Lahir dari Perkawinan Hamil lantaran Zina
Masalah anak yang lahir dari perkawinan hamil (anak hasil zina) ini, sudah diatur dalam Pasal 47 RUU Hukum Perkawinan Islam CLD-KHI menentukan:
(1) status anak yang lahir dari perkawinan hamil dinisbatkan kepada ibu yang melahirkan dan laki-laki yang menghamilinya.
(2) Apabila ada keragu-raguan mengenai status anak, maka status anak ditentukan oleh Pengadilan Agama.
Dalam rumusan pasal tersebut terlihat bahwa relasi nasab antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tidak terhalang oleh apa pun, bahkan tidak memerlukan pengakuan anak atau pengesahan anak sebagaimana dikenal dalam Hukum Perdata Barat yang telah dirumuskan dalam Pasal 49 dan 50 UU No. 23 Tahun 2006 ihwal Administrasi Kependudukan. Yang mana dalam kedua pasal tersebut ditentukan bahwa legalisasi anak hasil zina tidak diberlakukan bagi orang renta yang agamanya tidak membenarkan legalisasi atau ratifikasi anak hasil zina.
Jadi, apakah laki-laki tersebut tidak menjadi suami dari ibu anak hasil zina bersangkutan ataupun tidak, menyerupai yang diatur dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam versi Pemerintah, namun berdasarkan Pasal 47 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) RUU Hukum Perkawinan Islam versi CLD-KHI, laki-laki tersebut tetap mempunyai relasi darah yang sah, dan tetap bertanggung jawab terhadap anak hasil zinanya, serta sanggup saling mewaris di antara mereka.
Padahal berdasarkan Hukum Islam, meskipun ayah biologisnya menjadi suami ibunya, namun antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tersebut tetap tidak mempunyai relasi hukutem (nasab). Di antara mereka tidak sanggup saling mewaris, tetapi hanya sanggup saling memberi wasiat atau hibah. [8]
 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan adanya banyak sekali macam pendapat maka sanggup disimpulkan bahwa mengawini perempuan yang sedang hamil sedang kehamilannya itu disebabkan dari hasil perzinahan sendiri diperbolehkan, kalau dipandang banyak kemaslahatnnya. Hal ini sesuai dengan KHI pasal 53. Wanita hamil berasal dari zina boleh dikawini dengan laki-laki yang menzinainya. Sifat kebolehan mengawini perempuan hamil yang dizinainya yaitu makruh. Ini berdasarkan pendapat para ulama. Islam mensyariatkan bahwa seseorang yang melaksanakan dosa wajib bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya.

DAFTAR PUSTAKA
 Djubaidah,Neng, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
 Undang-Undang Perkawinan diIndonesia, dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
 Asfuri, Mengawini Wanita Hamil yang Dizinainya Menurut Hukum Islam, Jakarta: proyek Pembinaan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Dep. Agama R.I, 1986.
  Abdurrahman al-khatib, Yahya, ahkam al-mar’ah al-hamil fi asy-syari’ah al-islamiyyah, terjemah, Jakarta: Qisthi Press
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Barbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 2008.




[1] Neng djubaidah, pencatatan perkawinan dan perkawinan tidak dicatat berdasarkan aturan tertulis di indonesia dan aturan islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 80
[2] Undang-Undang Perkawinan diIndonesia, dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 195
[3] Asfuri, mengawini perempuan hamil yang dizinainya berdasarkan aturan islam, Jakarta: proyek training kemahasiswaan direktorat jenderal training kelembagaan agama islam dep. Agama R.I, 1986, h. 38-40
[4] Drs. H. Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Barbagai kasus yang dihadapi Hukum Islam masa kini, Jakarta: Kalam Mulia, cet. VII, 2008, h. 45
[5] Ibid, h. 46
[6] Asfuri, op.cit, h. 40-41
[7] Yahya Abdurrahman al-khatib, ahkam al-mar’ah al-hamil fi asy-syari’ah al-islamiyyah, terjemah, Jakarta: Qisthi Press, cet. IV, h. 87-88
[8] Neng djubaidah, Op.cit, h. 78-79
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.