Makalah Aturan Adat


Hukum Adat Indonesia. (Foto. Repro)
TUGAS MAKALAH
Hukum Tanah Adat

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat
Dosen Pengampu : A. Turmudi, SH, Msi.



Disusun Oleh :
Puguh Setyo Winarno                  122211084
Sri Mulyati                                       122211086
Mulyansyah Fatkhimuna             122211087

Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013



I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Membicarakan tentang hukum tanah adat, di dalam hukum adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Dalam bahasan makalah ini kami akan menitik beratkan kepada masalah hokum tanah adat, tanah mempunyai makna yang sangat penting yaitu Sebagai tempat tinggal dan mempertahankan kehidupan, Alat pengikat masyarakat dalam suatu persekutuan (masyarakat), Sebagai modal (aset produksi) utama dalam suatu persekutuan (masyarakat). Tanah adat merupakan milik dari  masyarakat hukum adat yang telah  dikuasai sejak dulu.

Konsep tanah dalam hukum adat juga dianggap merupakan benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam (cosmos), besar (macro cosmos), dankecil (micro cosmos).Tanah dipahami secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan utuh.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Hukum Tanah dan Macam-Macam Tanah Menurut Hukum Adat?
2.      Bagaimana Hak Persekutuan Hukum dan Hak Perseorangan Atas Tanah ?
3.      Bagaimana Transaksi/Perjanjian Jual Beli Tanah dan Transaksi Yang Ada Hubungan dengan Tanah ?

  II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Tanah dan Macam-Macam Tanah Menurut Hukum Adat
1.      Pengertian Hukum Tanah
Hukum tanah (groundrecht) ialah semua norma yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai tanah, yang antara lain mengatur tentang : Hak dan kewajiban subyek aturan atas tanah, Cara-cara memperoleh tanah, Peralihan hak atas tanah dan Semua perjanjian yang berafiliasi dengan tanah.
Menurut Mr.B.Ter Haar Bzn membedakan dua macam pengertian mengenai aturan tanah, yaitu
a.       Hukum tanah dalam keadaan membisu (groundrecht in rust), mengatur wacana hak-hak atas tanah, baik hak masyarakat aturan atas tanah, maupun mengenai hak perseorangan atas tanah, menyerupai hak membuka tanah, hak milik, hak memungut hasil, hak wenang pilih/hak wenang beli, hak laba jabatan atas tanah dan sebagainya.
b.      Hukum tanah dalam keadaan bergerak (grondrecht in bewoging), mengatur wacana hak untuk memperoleh dan memindahkan hak atas tanah, menyerupai hak menjual tanah, menghadiahkan tanah, menghibahkan tanah, menyediakan tanah untuk tubuh aturan watak (wakaf, yayasan) dan sebagainya.[2]
2.      Macam-Macam Tanah Menurut Hukum Adat
Menurut aturan adat, terdapat banyak sekali jenis tanah, yang diberi nama berdasarkan cara memperolehnya atau berdasarkan tujuan penggunaanya.
a.       Berdasarkan cara memperolehnya, sanggup dibedakan antara :  tanah yasan, tanah pusaka dan tanah pekulen.
1). Tanah yasan/tanah trukah/tanah truko, ialah tanah yang diperoleh seseorang dengan cara membuka tanah sendiri (membuka hutan)
2). Tanah pusaka/tanah tilaran, ialah tanah yang diperoleh seseoarang dari proteksi (hibah) warisan orang tuanya.
3). Tanah pekulen/ tanah gogolan, ialah tanah yang diperoleh seseorang dari proteksi desanya.
b. berdasarkan tujuan penggunaanya, sanggup dibedakan antara : tanah bengkok dan tanah suksara.
1). Tanah bengkok/tanah pituwas/tanah lungguh, ialah tanah milik desa (persekutuan hukum) yang diserahkan kepada seseorang yang memegang jabatan pemerintah di desa itu untuk diambil hasilnya sebagai upah jabatannya.
2). Tanah suksara/tanah kemakmuran, ialah tanah milik desa (persekutuan hukum) yang diusahakan/digarap untuk kepentingan desa atau untuk kesejahteraan masyarakat desanya (jawa,bondo deso,sunda,titisara).

B.     Hak Persekutuan Hukum dan Hak Perseorangan Atas Tanah
1.      Hak Persekutuan / Ulayat Hukum Atas Tanah
Menurut aturan watak yang sanggup mempunyai hak atas tanah bukan hanya orang perseorangan, melainkan juga komplotan hukum. Hak komplotan aturan atas tanah ini biasanya disebut hak pertuanan atau hak ulayat.[3]
Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dalam aturan adat. Dari hak ulayat, lantaran proses individualisasi sanggup lahir hak-hak perorangan (hak individual). Istilah hak ulayat disebut oleh van Vollen Hoven sebagai beschikkingrecht, oleh Soepomo disebut Hak Pertuanan, Teer Haar mengistilahkannya sebagai Hak Pertuanan, dan masyarakat minang menyebutnya dengan kosa kata ulayat.
Menurut Purnadi Purbacaraka[4], hak ulayat yakni hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat aturan watak secara bantu-membantu (komunal). Dengan hak ulayat ini, masyarakat aturan watak yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa hak ulayat yakni hak masyarakat aturan watak terhadap tanah di daerahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berafiliasi dengan tanah lingkungan daerahnya di bawah kepemimpinan kepala adat. 
Subyek hak ulayat yakni Masyarakat Hukum Adat, yang di dalamnya ada anggota masyarakat aturan watak dan ada pula Ketua dan para Tetua Adat.Para anggota masyarakat aturan watak secara bantu-membantu mempunyai hak yang bersifat keperdataan atas wilayah watak tersebut. Ter Haar menyampaikan bahwa anggota masyarakat aturan watak sanggup mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut laba dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini kalau berlangsung usang dan terus menerus menjadi cara yang mengakibatkan potongan dari hak ulayat sebagai hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi hak ulayat. 
Kewenangan untuk mempergunakan oleh para anggota masyarakat aturan watak itulah yang disebut dalam hak ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, hak ulayat juga ‘berlaku keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang legalisasi di depan serta uang penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.[5]
Undang-Undang Pokok Agaria (UUPA) terhadap hak ulayat, yaitu UU no 5 tahun 1960 (LN 1960 no 104) mengakui berlakunya aturan watak mengenai tanah, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 5 UUPA yang berbunyi: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah aturan adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentinagn nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan aturan agama”
 Dengan demikian adanya hak ulayat dalam aturan Agraria yang berdasarkan aturan watak juga diakui oleh UUPA, meskipun tidak dengan kebebasan yang sepenuhnya lantaran harus memperhatikan kepentingan yang lebih tinggi, yaitu kepentingan bangsa dan negara.[6]

2.      Hak Perseorangan Atas Tanah
Hak perseorangan atas tanah merupakan hak yang diberikan kepada warga negara persekutuan/warga desa/orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak pertuanan pada komplotan aturan yang bersangkutan. Hak-hak perseorangan atas tanah berdasarkan aturan watak antara lain[7] :
A.    Hak milik/ hak yasan, ialah hak seseorang yang menunjukkan kekuasaan penuh atas sebidang tanah kepada pemiliknya, dalam batas-batas hak ulayat. ( contohnya hak menjual, mengakibatkan jaminan hutang, mewariskan dan sebagainya). Ada 3 macam hak milik atas tanah, yaitu:
1)      Hak milik perseorangan, yang sanggup dibedakan lagi dalam :
a)      Hak milik perseorangan yang bebas, dalam arti bebas dari efek hak ulayat, menyerupai yang menempel pada tanah yasan di jawa tengah/ tanah-tanah  milik tuan tanah di kawasan jawa barat yang benar-benar sanggup bertindak sebagai yang diperuntukan atas tanah miliknya.
b)      Hak milik perseorangan yang terkekang, yaitu terkekang oleh hak ulayat, menyerupai yang terjadi atas tanah sawah/pekulen di jawa tengah atau tanah kasikepan di kawasan cirebon.
2). Hak milik persekutuan, yaitu tanah milik komplotan yang mungkin berasal dari membuka hutan atau membeli dari perseorangan yang dikerjakan untuk kepentingan komplotan itu sendiri, contohnya tanah suksara di jawa tengah/ drue desa di bali, tanah ulayat di minangkabau
3) hak milik keluarga, yaitu tanah milik bersama para anggota keluarga tertentu, menyerupai tanah tilaran di jawa tengah, tanah pusaka di minangkabau, tanah dati di ambon, tanah pesini di minahasa dan sebagainya.
Hak milik atas tanah ini sanggup diperoleh dengan banyak sekali macam cara, antara lain : dengan membuka tanah/hutan pertuanan, mendapat warisan tanah, mendapat tanah sebagai akhir perbuatan hukum/transaksi tanah, menyerupai lantaran pembelian, penukaran hadiah dan sebagainya, lantaran daluwarsa/lampau waktu.
B.     Hak membuka tanah, ialah hak warga komplotan untuk membuka tanah hutan atau berlukar yang termasuk lingkungan pada pertuanan dengan persetujuan kepala persekutuan.
Hak ini sanggup merupakan hak untuk mengolah tanah hutan berlukar untuk dijadikan lahan pertanian, kawasan pemukiman dan sebagainya. Hak membuka hutan ini dalam prakteknya sanggup pula ia dimiliki oleh orang luar (bukan warga persekutuan) yang telah mendapat izin dari kepala komplotan aturan watak setempat, kalau terjadi demikian maka hak mereka ini bukan berdasarkan hak pertuanan, melainkan berdasarkan perjanjian yang harus disertai dengan pembayaran uang legalisasi atau uang persembahan/upeti (mesi di jawa). Bagi warga komplotan sendiri pada umumnya tidak diharapkan izin dari kepala komplotan dan pembayaran upeti, melainkan cukup dengan sepengetahuan saja.
C.     Hak memungut hasil/hak menikmati hasil/hak anggaduh, ialah hak seseorang yang diberikan oleh komplotan untuk memungut hasil atau mengerjakan tanah tertentu milik komplotan dalam waktu yang terbatas.
Pada dasarnya hak ini hanya diberikan kepada orang yang bukan warga komplotan untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali masa tertentu saja, dan kalau ada yang mendapat lebih dari satu masa panen, bekerjsama hanya merupakan satu rangkaian saja. Hak ini diberikan paling usang seumur hidup sehingga tidak sanggup diwariskan.
Hak anggaduh ini sanggup dipindahkan/dihibahkan oleh pemegang haknya kepada orang lain selama masih hidup, lantaran hak ini berakhir dengan meninggalnya si pemegang hak (jurisprudensi MA tgl 19 Nopember 1958 no 340 k/sip/58).[8]
D.    Hak pakai/ hak anggarap, ialah hak anggota keluarga untuk mengerjakan tanah milik bersama dari anggota keluarga (misalnya hak atas tanah pusaka di kawasan minangkabau yang disebut ganggam bauntuik).
Hak pakai ini merupakan hak sesama warga komplotan atau sesama anggota keluarga, dan berlangsung untuk waktu yang lama. Kaprikornus dalam hak ini pemilikan atas tanah pusaka itu ada di tangan persekutuan, tetapi pemanfaatannya dibagi-bagi diantara para keluarga yang menguasai tanah tersebut.
E.     Hak wenang pilh/ hak kinacek, ialah hak warga komplotan untuk memakai, mengolah atau mendapat tanah lebih dahulu dari orang lain.
F.      Hak wenang beli, ialah hak seseorang yang lantaran sesuatu hal berhak membeli sebidang tanah terlebih dahulu dari orang lain, dengan harga yang sama kalau tanah tersebut dibeli oleh orang lain. Hak ini mencakup tanah pertanian, tanah pekarangan, bak ikan dan sebagainya.
G.    Hak laba jabatan, ialah hak pejabat desa/pamong desa/prabot desa untuk mengerjakan tanah milik desa atau komplotan aturan watak dan mengambil hasilnya sebagai upah jabatannya.[9]

C.     Transaksi/Perjanjian Jual Beli Tanah dan Transaksi Yang Ada Hubungan dengan Tanah
1.      Transaksi/Perjanjian Jual Beli Tanah
Ada dua macam transaksi/perjanjian jual beli tanah yaitu: pertama yang merupakan perbuatan aturan sefihak, dan kedua yang merupakan perbuatan aturan dua fihak.
A.    Transaksi tanah yang bersifat perbuatan aturan sefihak
Sebagai pola dari transaksi tanah semacam ini,dapat disebut:
a.       Pendirian suatu desa, sekelompok orang-orang mendiami suatu tempat tertentu dan menciptakan perkampungan diatas tanah itu,membuka tanah pertanian,mengubur orang-orang yang meninggal dunia di tempat itu dan lain sebagainya, sehingga lambat laun tempat itu menjadi desa, lambat laun timbul kekerabatan religio magis antara desa dengan tanah tersebut, tumbuh suatu kekerabatan aturan antara desa dan tanah dimaksud, tumbuh suatu hak atas tanah itu bagi komplotan yang bersangkutan, yakni hak ulayat.
b.      Pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan, kalau seorang individu, warga komplotan dengan izin kepala desa membuka tanah wilayah persekutuan, maka dengan menggarap tanah itu terjadi suatu kekerabatan aturan dan sekaligus juga kekerabatan religio magis antara warga yang bersangkutan, dengan tanah dimaksud.
B.     Transaksi/perjanjian jual beli tanah yang bersifat perbuatan aturan dua fihak.
Dalam aturan tanah perbuatan aturan ini disebut transaksi jual (jawa disebut adol atau sade. Transaksi jual ini berdasarkan isinya sanggup dibedakan dalam tiga macam:
a.       Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah, sanggup mempunyai kembali tanah tersebut, dengan pembayaran sejumlah uang (sesuai perjanjian)
b.      Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya/selamanya disebut adol plas, run tumurun (jawa), menjual gada (kalimantan), menjual lepas (riau dan jambi)
c.       Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertsi perjanjian, bahwa apabila lalu tidak ada perbuatan aturan lain, setelah satu dua tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula disebut menjual tahunan, adol oyodan (jawa).
Pada umumnya untuk transaksi-transaksi ini dibuatkan suatu sertifikat yang ditanda tangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan serta dibubuhi pula tanda tangan kepala komplotan dan saksi-saksi. Akta ini yakni merupakan suatu bukti. Tentang penyerahan tanahnya sendiri dalam kenyataanya sanggup juga ditunda untuk beberapa waktu lamanya, tetapi hak si peserta atas tanah itu mulai berlaku semenjak ketika persetujuan terjadi.[10]
Masalah jual beli tanah: a) perkaranya : jaksa agung pada tanggal 1 oktober 1958 mengajukan kasasi atas putusan pengadilan negeri semarang, dengan mengajukan keberatan-keberatan sebagai berikut, jual beli tanah watak antara penjual orang eropa dan pembeli bangsa indonesia orisinil supaya dinyatakan tidak sah, lantaran dilakukan tanpa ikut sertanya lurah dari kawasan dimana tanah tersebut terletak. b) keputusan MA tanggal 13 Desember 1958 no. 4 k/Rup/1958 : MA beropini bahwa bagi tanah milik berdasarkan aturan watak tetap berlaku aturan adat, meskipun itu dijual belikan oleh orang Eropa, sehingga mustahil dibalik nama. Namun mengenai sahnya jual beli MA beropini bahwa ikut sertanya kepala desa belum ternyata sebagai syarat mutlak untuk sahnya jual beli tanah dalam aturan adat, campur tangan kepala desa hanyalah merupakan faktor yang lebih menyakinkan akan sahnya jual beli tanah tersebut. c)  suatu permohonan kasasi oleh Jaksa Agung untuk kepentingan aturan dilarang merugikan fihak-fihak yang berkepentingan dan hanya dimaksudkan untuk memperoleh suatu pendapat dari MA mengenai suatu masalah hukum, biar untuk masalah yang serupa dimasa yang akan tiba dianut oleh hakim bawahan.[11]
2.      Transaksi/perjanjian jual beli Yang Ada Hubungan dengan Tanah.
Dalam transaksi-transaksi ini objeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai kekerabatan dengan tanah.
a.       Perjanjian paruh hasil tanam, ialah suatu perjanjian yang populer dan lazim dalam segala lingkungan-lingkungan hukum. Dasar perjanjian paruh hasil tanam ini ialah saja ada sebidang tanah tapi tak ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri hingga berhasilnya, tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya menciptakan persetujuan dengan orang lain supaya ia mengerjakannya, menanaminya, dan menunjukkan kepada saya sebagian hasil panennya, padahal dasar daripada perjanjian jual ialah saya ada sebidang tanah yang saya pergunakan untuk mencukupi kebutuhan saya akan uang yang mendadak ( atau saya lebih suka (buat sementara) mempunyai uang dari pada tanah).[12]
b.      Perjanjian Sewa tanah, yakni suatu transaksi yang mengizinkan orang lain untuk mengerjakan tanahnya atau untuk tinggal di tanahnya dengan membayar uang sewa yang tetap setelah tiap panen atau setelah tiap bulan atau tiap tahun. Di beberapa kawasan untuk transaksi demikian ini, dipergunakan istilah khusus menyerupai mengasidi (Tapanuli Selatan), sewa bumi (Sumatra Selatan), cukai (Kalimantan), ngeputenin (Bali).[13]
c.       Perjanjian bagi hasil/sewa bersama dengan jual gadai tanah, ialah perjanjian dimana seseorang yang membeli gadai sebidang tanah mengizinkan si penjual/pemilik tanah tersebut untuk mengerjakan tanahnya atas dasar perjanjian bagi hasil atau sewa.
d.      Perjanjian tanggungan tanah, ialah suatu perjanjian dimana seseorang meminjam uang dari orang lain dengan ketentuan bahwa apabila perlu si peminjam akan menjual tanah miliknya kepada orang yang meminjami uang lebih dahulu daripada orang lain, untuk keperluan melunasi hutangnya.
e.       Perjanjian menumpang rumah atau pekarangan, ialah suatu perjanjian dimana seseorang pemilik tanah mengizinkan orang lain (numpang,magersari) untuk mendirikan rumah atau mendiami tanah pekaranganya.[14]
 
III.             KESIMPULAN
Dalam kehidupan insan bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk insan itu sendiri alasannya yakni tanah merupakan tempat bagi insan untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Macam-macam tanah berdasarkan aturan adat:
Berdasarkan cara memperolehnya, antara lain : tanah yasan, tanah pusaka dan tanah pekulen. Dan berdasarkan tujuan penggunaanya, antar lain: tanah bengkok, dan tanah suksara.
Hak komplotan aturan atas tanah, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh sekelompok insan yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat aturan (persekutuan hukum). Lebih lanjut, hak komplotan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
 Hak Perseorangan atas tanah, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai oleh seseorang anggota dari komplotan tertentu.
Transaksi/perjanjian jual beli tanah, Ada dua macam transaksi/perjanjian jual beli tanah yaitu: pertama yang merupakan perbuatan aturan sefihak, dan kedua yang merupakan perbuatan aturan dua fihak.
Transaksi/perjanjian jual beli yang ada hubungannya dengan tanah, antara lain: perjanjian paruh/bagi hasil, perjanjian sewa tanah, perjanjian bagi hasil/sewa bersama dengan jual gadai tanah, perjanjian tanggungan tanah, dan perjanjian menumpang rumah atau pekarangan.

IV.             PENUTUP
Dengan mengucapkan Syukur Alhamdulilah  akhirnya kami sanggup menyelesaikan  tugas makalahhukum adat, demikianlah  paparan  yang  dapat  kami  persembahkan  tentang aturan tanah adat, kami mohon  maaf  apabila  ada  kesalahan  dalam  makalah  ini, kami juga  mengharapkan  kritik  dan  saran  yang  sifatnya  membangun  untuk makalah-makalah kami selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Soesangobeng, Herman, Kedudukan Hakim dalam HukumPertanahan dan Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003.

Effendy,  H.A.M, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang : Duta Grafika, 1990.

Purbacaraka, Purnadi dan Halim, A. Ridwan, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta :Pradnya Paramita,1983.

Effendy,  H.A.M, Capita Selecta Hukum Adat, Jakarta : Duta Grafika, 1996.

Haar Bzn, B. Ter, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta Pusat: Pradnya Paramita,1980.

Wignjodipoero, Seorojo ,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
                   
 


[1]Herman Soesangobeng, Kedudukan Hakim dalam HukumPertanahan dan Permasalahannya di Indonesoa, Yogyakarta: Pusdiklat Mahkamah Agung, 2003,hlm. 12-14. 

[2] H.A.M Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat, Semarang : Duta Grafika, 1990, hlm, 3.
[3] Ibid, hlm,4.
[4] Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983,hlm. 25-26. 
[5] Seorojo Wignjodipoero,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1984, hlm. 19. 
[6] Opcit, H.A.M Effendy, hlm,11.
[7] Ibid,H.A.M Effendy,hlm, 20.
[8] Ibid, H.A.M Effendy, hlm,26.
[9] Ibid, H.A.M Effendy, hlm,30.
[10] Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta :Pradnya Paramita,1983, hlm 116-117.
[11] H.A.M Effendy, Capita Selecta Hukum Adat, Jakarta : Duta Grafika, 1996, hlm,47-48.
[12] B. Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta Pusat: Pradnya Paramita,1980,hlm,125.
[13] Opcit, Bushar Muhammad, hlm,123.
[14] Opcit, H.A.M Effendy,Pokok-Pokok Hukum Adat,hlm,48-50.
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.