Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan

Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan. (Foto. Repro)
TUGAS MAKALAH

Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata I
 Dosen Pengampu : Novita Dewi Widodo
                                                          


                                                               Disusun Oleh :

Ahmad Arif Hidayat                    122211018
Ahmad Nastain                             122211021
Ahmad Saifi                                   122211022

Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam
IAIN Walisongo Semarang
2013



I.     PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hukum perkawinan sebagai penggalan dari Hukum Perdata ialah peraturan-peraturan aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan aturan serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang usang berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Pasal 26 KUHPerdata, berbunyi: Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.” Dari ketentuan ini sanggup diketahui bahwa KUHPerdata memandang perkawinan semata-mata merupakan perjanjian perdata, tidak ada kaitannya dengan agama yang dianut oleh para pihak (calon mempelai).[1] Dalam redaksi lain, perkawinan merupakan sebuah keadaan aturan yang menyatakan suatu keadaan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan terikat oleh suatu kekerabatan perkawinan.[2]
Oleh lantaran itu sebuah perkawinan mempunyai suatu aturan hukum, dimana aturan tersebut menjadi alat pelurus perbuatan aturan dan akhir aturan yang ditimbulkan antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan. Dalam aturan perkawinan terdapat akibat-akibat tindakan hukum, baik akhir perkawinan terhadap kekerabatan suami istri, terhadap harta kekayaan maupun terhadap kedudukan anak.
Akibat perkawinan terhadap suami istri salah satunya yakni suami dan istri haruslah saling setia atau setia-mensetiai, tolong-menolong, dan bekerjsama serta beberapa akhir yang lainnya. Sedangkan akhir perkawinan terhadap anak sample-nya yakni bahwa seorang anak dikatakan sah bilamana anak tersebut merupakan anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya. Selain dua akhir dari perkawinan yang telah dipaparkan secara singkat, terdapat satu akhir lainnya, yaitu akhir perkawinan terhadap harta kekayaan. Dimana point inilah yang akan ditelusuri lebih lanjut dalam makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
Dari beberapa uraian yang sudah terpampang diatas, sanggup ditarik simpulan pertanyaan yakni, bagaimana akhir perkawinan terhadap harta kekayaan?
II.  PEMBAHASAN
A.      Persatuan bundar atau persatuan berdasarkan UU
Menurut KUHPerdata, diatur dalam Pasal 119 hingga dengan Pasal 138 KUHPerdata. Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 139 hingga dengan Pasal 167 KUHPerdata.Pasal 119 KUHPerdata, berbunyi:Sejak ketika dilangsungkannya perkawinan, demi aturan berlakulah persatuan bundar harta kekayaan suami istri, sejauh perihal hal ini tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Persatuan itu sepanjang perkawinan dilarang ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antar suami-istri.
Menurut Pasal 120-121 KUH Perdata, persatuan bulat, meliputi: 1. Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki kini maupun kemudian hari.  2.  Hasil, penghasilan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan. 3. Utang-utang suami/istri sebelum dan sehabis perkawinan. 4. Kerugian-kerugian yang dialami selama perkawinan. Namun bagaiman jikalau ada perjanjian perkawinan? Dalam KUHPerdata mengambarkan dalam Pasal 139, 147 dan 149 sebagai berikut :
1. Pasal 139 KUHPerdata, menentukan:
Para calon suami-istri dengan perjanjian kawin sanggup menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum, dan di indahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.

2. Pasal 147 KUHPerdata, berbunyi:
Perjanjian kawin harus dibentuk dengan Akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibentuk secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada ketika perkawinan dilangsungkan, dilarang ditentukan ketika lain untuk itu.

3. Pasal 149 KUHPerdata, berbunyi:
Setelah perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan dilarang diubah dengan cara apapun.

Dalam perjanjian perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam sebuah ikatan perkawinan ada tiga kemungkinan, isi perjanjian kawin, yaitu:[3]
1.    Tidak ada sama sekali persatuan harta kekayaan (pasal 140 ayat (2) KUHPerdata). Dalam hal ini sanggup ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si istri setiap tahun dari harta kekayaan pribadinya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan bawah umur (pasal 145 KUHPerdata).
2.    Persatuan hasil dan pendapatan (pasal 164 KUHPerdata). Dalam hal ini harta persatuan hanya mencakup hasil dan pendapatan saja, tidak termasuk kerugian. Jika terjadi kerugian maka kerugian menjadi tanggung jawab suami sebaagai kepala keluarga.
3.    Persatuan untung dan rugi (pasal155 KUH Pedata). Dalam hal ini Pasal 156 KUHPerdata, menentukan: didalam persatuan ini, segala untung dan rugi selama perkawinan, harus dipikul bersama-sama.
Jika persatuan berakhir, maka diadakan perhitungan. Jika menghasilkan untung akandibagi dua, demikian pula jikalau terjadi karugian.
B.       Pengurusan harta kekayaan
1.    Harta Bersama
Sejak mulai perkawinan, terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri, jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan menyerupai itu berlangsung seterusnya dan tidak sanggup diubah lagi selama perkawinan. Jikalau orang ibgin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan harapan itu dalam suatu “perjanjian perkawinan”.
Harta bersama dalam perkawinan yakni harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Hal itu diatur dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perihal perkawinan, yaitu sebagai berikut:
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1/1974:
1)        Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2)        Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, yakni dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak memilih lain.
Dari pengertian Pasal 35 diatas sanggup dipahami bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah, dan hadiah merupakan harta bersama.Karena itu harta yang diperoleh suami atau istri berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik bersama suami istri.[4]
Lain halnya harta yang diperoleh masing-masing suami dan dan istri sebelum komitmen nikah, yaitu harta asalatau harta bawaan. Harta asal itu akan diwarisi oleh masing-masing keluarganya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak mempunyai anak.
2.    Aturan-aturan mengenai harta kekayaan bersama:
a.         Dalam pasal 85 KHI  dijelaskan:
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
b.         Pasal 86 KHI:
1)        Pada dasarnya tidak ada percamuran antara harta suami dan harta istri lantaran perkawinan.
2)        Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dan dikuasai penuh olehnya.
c.         Pasal 87 KHI:
1)        Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yakni dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak memilih lain dalam perjanjian perkawinan.
2)        Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan aturan atas harga masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah, dan/atau lainnya.
d.        Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1/1974:
1)        Mengenai harta bersama, suami atau istri sanggup baertindak atas persetujuan kedua
2)        Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai haksepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hokum mengenai harta bendanya.
e.         Pasal 89 KHI:
Suami bertanggung jawab menjga harta bersama, harta istri maupun harta hartanya sendiri.
f.          Pasal 90 KHI:
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
g.         Pengaturan kekayaan harta bersama diatur dalam Pasal 91 KHI:
(1)     Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas sanggup berupa benda berwujud atau ntidak berwujud.
(2)     Harta bersama yang berwujud sanggup mencakup benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)     Harta bersama yang tidak berwujud sanggup berupa hak maupun kewajiban.
(4)     Harta bersama sanggup dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Dapat ditambahkan pula bahwa pasal 92 kompilasi Hukum Islam, menentukan: suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
C.      Akibat dari bubarnya persatuan harta
Bila suami istri lantaran sesuatu lantaran yang tidak sanggup dihindarkan lagi terpaksa harus bercerai demi kebaikan masing-masing untuk masa depan, maka dibenarkan bercerai. Jika terjadi perceraian, maka masing-masing mengambil harta yang menjadi haknya dan tidak dibenarkan meminta yang bukan menjadi haknya. Istri yang dithalaq oleh suaminya, maka ia berhak memperoleh harta pesangon yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan kekayaan suami. Pemberian ini disebut dengan istilah mut’ah oleh syari’at Islam.[5]
Pembagian harta suami istri yang bercerai menjadi dua penggalan yang disebut sebagai harta gono gini atau harta bersama, yaitu harta yang diperoleh selama masa sebagai suami istri, sama sekali bukan dari syari’atIslam, tetapi berdasarkan etika tertentu saja. Hal ini tidak benar berdasarkan syari’at.
Dalam Undang-undang Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1/1974 dipaparkan bahwa : Bila perkawinan putus lantaran perceraian, harta bersama diatur berdasarkan hukumnya masing-masing.
Sedangkan dalam hal suami beristri lebih dari seorang maka Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, menentukan:
a.    Suami wajib memperlihatkan jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya.
b.    Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isti kedua atau berikutnya itu terjadi, dan
c.    Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi semenjak perkawinannya masing-masing.
Dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa akhir perkawinan terhadap harta kekayaan, yang diatur oleh KUHPerdata, ada empat kemungkinan, yaitu:
1.    Ada persatuan bundar (pasal 119)
2.    Tidak ada sama sekali persatuan (pasal 140 ayat(2))
3.    Persatuan hasil dan pendapatan (pasal 164)
4.    Persatuan untung dan rugi (pasal 155)
Harta kekayaan dalam hal perkawinan yang kedua kalinya dan seterusnya. Dalam hal adanya perkawinan yang kedua kalinya, berlakulah demi aturan persatuan bundar harta kekayaan suami istri. Tetapi terhadap hal ini sanggup diadakan penyimpangan-penyimpangan dengan perjanjian perkawinan.[6] Jika terjadi perceraian tetap berlaku ketentuan Pasal 128 KUHPerdata, artinya istri kedua dan seterusnya berhak atas setengah penggalan dari harta bersama.
Dalam perkawinan yang kedua kalinya ini, jikalau ada bawah umur dari perkawinan yang pertama, maka baik dalam hal adanya persatuan bundar maupun dalam hal adanya perjanjian kawin, terdapat ketentuan bahwa istri (suami) yang kedua itu, dilarang mendapat keuntungan lebih besar dari penggalan seorang anak dan lebih besar dari seperempat penggalan warisan suami (istri) yang meninggal itu.[7]
D.      Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin yakni perjanjian yang dibentuk oleh calon suami isteri sebelum atau pada ketika perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka.
Perjanjian mulai berlaku antara suami dan isteri, pada ketika pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga semenjak hari pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan telah dilangsungkan.
Orang tidak diperbolehkan menyimpang dari peraturan perihal ketika mulai berlakunya perjanjian ini. Dan juga tidak diperbolehkan menggantungkan perjanjian pada suatu insiden yang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga, contohnya suatu perjanjian antara suami dan isteri akan berlaku percampuran keuntungan rugi kecuali jikalau dari perkawinan mereka dilahirkan seorang anak lelaki. Perjanjian semacam ini tidak diperbolehkan.[8]
Ketentuan Pasal 181 dan Pasal 182 KUHPerdata ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan bawah umur dari perkawinan pertama, jikalau ayah dan ibunya meninggal, dan ayah atau ibunya kawin untuk kedua kalinya dan seterusnya.
Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang perkawinan tidak mengatur mengenai perjanjian kawin. Untuk itu melalui Petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia No: MA/0807/75 memperlihatkan pendapat untuk memperlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya sebagaimana diatur dalam KUHPerdata bagi yang menundukkan peraturan tersebut, aturan etika bagi golongan Bumi Putera dan Huwelijk Ordonnantie Christen Indonesiers bagi golongan Bumi Putera yang beragama Kristen.
Menurut sistem KUHPerdata maka harta kekayaan harta bersama yang menyeluruh [algehele gemeenschap van goederen] yakni akhir yang normal dari suatu perkawinan.Sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta yang menyeluruh hanya sanggup dilakukan dengan suatu perjanjian kawin.
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibentuk dengan alasan:
1.    Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain;
2.    Kedua brlah pihak masing-masing membawa masukan [aanbrengst] yang cukup besar;
3.    Masing-masing mempunyai perjuangan sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh [failliet], yang lain tidak tersangkut;
4.    Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.
Maksud pembuatan perjanjian kawin yakni untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan perihal harta kekayaan bersama [Pasal 119 KUHPerdata].Dengan itu para pihak bebas memilih bentuk aturan yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.
Undang-Undang perkawinan dalam Pasal 29 KUHPerdata., yang pada pada dasarnya bahwa suatu perjanjian perkawinan diperbolehkan asalkan tidak bertentangan hukum, agama dan kesusilaan.Tetapi dalam pasal tersebut tidak diatur mengenai materi dari perjanjian perkawinan menyerupai diatur dalam KUHPerdata.
Perjanjian kawin berdasarkan KUHPerdata harus dibentuk dengan sertifikat notaries [Pasal 147]. Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian kawin, juga bertujuan:
1.         Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh lantaran akhir daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;
2.         Untuk adanya kepastian hukum;
3.         Swbagai satu-satunya alat bukti yang sah;
4.         Untuk mencega kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan Pasal 149 KUHPerdata.
Selain dengan kata notaries, perjanjian kawin harus dilakukan sebelum perkawinan [Pasal 147]. Karena setelah pelangsungan perkawinan dengan cara apapun juga,perjanjian kawin itu tidak sanggup diubah [Pasal 149 KUHPerdata].asas tidak sanggup diubahnya ini berdasarkan Soetojo Prawirohamidjojo, yakni sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada ketika berlangsungnya perkawinan yang menyadarkan pada pokoknya akan kekhawatiran, bahwa semasa perkawinan sang suami sanggup memaksa istrinya untuk mengadakan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan si istri.
Mengenai isi perjanjian kawin Undang-Undang Perkawinan tidak membahas, yang ada bahwa perjanjian kawin dilarang bertentangan dengan dengan hukum, agama dan kesusilaan.Dengan demikian, mengenai isi perjanjian kawin diserahkan kepada pejabat-pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk memperlihatkan penafsirannya.
Dalam KUHPerdata terkandung asas-asas, bahwa kedua belah pihak yakni bebas dalam memilih isi perjanjian kawin yang dibuatnya.Pasal 139 KUHPerdata memutuskan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami istri sanggup menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta bersama, asal saja penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum [openbare orde] dengan mengindahkan pula isi ketentuan Pasal 139 KUHPerdata.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam memilih isi perjanjian kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Tidak menciptakan janji-janji [bedingen] yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum;
2.      Perjanjian kawin tidak bolehmengurangi hak-hak lantaran kekuasaan suami, hak-hak lantaran kekuasaan orang tua, hak-hak suami istri yang hidup terlama;
3.      Tidak dibentuk janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas peninggalan;
4.      Tidak dibentuk janji-janji, bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva;
5.      Tidak dibentuk janji-janji, bahwa harta perkawinan akan diatur oleh Undang-Undang negaraa asing.

III.   PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari ulasan materi diatas mengenai akhir perkawinan terhadap harta kekayaan, sanggup disimpulkan bahwa terdapat beberapa akhir yakni persatuan bulat, dimana dikatakan semenjak ketika dilangsungkannya perkawinan, demi aturan berlakulah persatuan bundar harta kekayaan suami istri, sejauh perihal hal ini tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan(Pasal 119 KUH Perdata); Tidak ada sama sekali persatuan (pasal 140 ayat(2); Persatuan hasil dan pendapatan (pasal 164 KUHPerdata), dalam hal ini harta persatuan hanya mencakup hasil dan pendapatan saja, tidak termasuk kerugian. Jika terjadi kerugian maka kerugian menjadi tanggung jawab suami sebaagai kepala keluarga;Persatuan untung dan rugi (pasal155 KUH Pedata), dalam hal ini Pasal 156 KUHPerdata, menentukan: didalam persatuan ini, segala untung dan rugi selama perkawinan, harus dipikul bersama-sama.
Perjanjian kawin yakni perjanjian yang dibentuk oleh calon suami isteri sebelum atau pada ketika perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka.Perjanjian mulai berlaku antara suami dan isteri, pada ketika pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga semenjak hari pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan telah dilangsungkan.

B.       Saran
Dengan bertambahnya ilmu mengenai penggalan perkawinan, diperlukan bekal yang ada diterapkan, diexplore, dan dipakai dengan baik dalam bermasyarakat. Sehingga tercipta ketaatan terhadap kaidah-kaidah yang ada, terkhusus dalam hal akhir perkawinan terhadap harta kekayaan



Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika :2007.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam
Departemen Agama. 2001. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama
Meliala, Djaja S., Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung, Nuansa Aulia : 2012.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermas :2003
ThalibMuhammad,Manajemen Keluarga Sakinah,Yogyakarta :Pro-U.




[1] Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung, Nuansa Aulia, 2012, Hal. 49
[2]Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2006, Hal. 107. Lihat juga, Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 2002, Hal. 18.
[3] Djaja S. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung, Nuansa Aulia, 2012, Hal. 63-64
[4] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, Hal. 56
[5]Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta, Pro-U, Hal. 362
[6]Lihat Pasal 180 KUH Perdata.
[7]Lihat Pasal 181 dan Pasal 182 KUH Perdata.
[8]Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermas, 2003, Hal. 38
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.