MAKALAH TAUHID WORLD VIEW
URGENSI ISLAMISASI SAINS
PERSPEKTIF ISMAIL RAJI AL-FARUQI
disusun oleh :
Berry Sastrawan
D. 11 10 150
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menyampaikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menuntaskan Makalah ini dengan tepat waktu dalam menyelesaikan makalah Perilaku Organisasi yang berjudul “Urgansi Islamisasi Sains Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi”
Dengan rendah hati penulis membuat makalah ini, mungkin masih jauh dari kesempurnaan. Dimana dalam penyusunan makalah ini penulis melakukannya penuh dengan kerja keras, dari mencari materi materi, penyusunan, hingga peninjauan pustaka dari aneka macam macam buku dan sumber-sumber yang lain, sehingga penulis sanggup menyusun dan menuntaskan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh lantaran itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan hal tersebut dijadikan motivasi dan evaluasi dalam membuat goresan pena karya ilmiah yang lebih baik lagi di hari yang akan datang.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala perjuangan kita. Amin.
Bogor, 14 Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR | ............................... | i |
DAFTAR ISI | ............................... | ii |
BAB I PENDAHULUAN | ............................... | 1 |
1.1.Latar Belakang Masalah | ............................... | 2 |
1.2. Rumusan Masalah | ............................... | 2 |
1.3. Tujuan | ............................... | 2 |
BAB II PEMBAHASAN | ............................... | 3 |
2.1. Definisi Islamisasi Sains | ............................... | 3 |
2.1.1. Definisi Islamisasi Sains Menurut Bahasa dan Istilah | ............................... | 3 |
2.2. Urgensi Islamisasi Sains | ............................... | 3 |
2.3. Islamisasi Sains Perspektif Ismail Raji Al-faruqi | ............................... | 4 |
2.3.1. Riwayat Hidup AI-Faruqi | ............................... | 4 |
2.3.2. Karya-karya AI-Faruqi | ............................... | 6 |
2.3.3. Pokok-Pokok Pemikiran AI-Faruqi | ............................... | 7 |
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN | ............................... | 21 |
3.1. Kesimpulan | ............................... | 21 |
DAFTAR PUSTAKA | ............................... | 22 |
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada hakikatnya insan merupakan makhluk yang tepat yang diciptakan oleh Allah SWT, lantaran Allah telah melebihkan insan dari makhluk lainnya, yaitu budi yang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kemudian Allah juga menjadikan insan pemimpin di muka bumi ini
Manusia memang sama dengan hewan, yaitu sama-sama mempunyai naluri biologis, menyerupai nafsu, lapar, berkelompok, dan lain sebagainya, tetapi insan mempunyai kelebihan yaitu budi pikiranya, dimana kalau disatukan dengan naluri yang ada maka akan membuat sebuah kombinasi yang luar biasa kalau bisa dikendalikan dengan baik yaitu bagaimana insan itu bisa mengendalikan naluri yang negatif semoga menjadi positif selain itu juga dengan adanya budi pikiran, insan menjadi mempunyai sifat-sifat dan sikap yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Berbeda lagi insan dengan jin, insan dilebihkan oleh Allah dengan bentuk fisik materi yang indah dan terlihat nyata, serta dilebihkan oleh Allah yaitu diberikannya amanah seorang pemimpin di muka bumi ini. Maka dari itu, insan bisa lebih jahat dan hina dari pada setan dan binatang kalau tidak menggunakan budi pikirannya dengan benar dan baik, dan juga bisa lebih mulia dan taat daripada malaikat kalau bisa menggunakan naluri dan akalnya dengan benar dan baik.
Akan tetapi dengan hanya menggunakan budi dan naluri saja dalam kehidupan insan belumlah cukup, yaitu untuk membimbingnya ke arah kebaikan, sebagai parameternya ialah agama atau lebih tepatnya dien yaitu sebagai petunjuk jalan kebenarakan menuju kehidupan yang bahagia. Dari ungkapan di atas sudah terperinci bahwa sebuah agama yang haq adalah agama yang tepat dan menyeluruh semua aspek kehidupan manusia, baik itu sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Maka dari itu, Islam hadir di dunia ini untuk menjadikan insan dalam koridor kebenaran dan mencapai kehidupan bahagia.
Sejak dahulu, ketika lebih banyak didominasi di dunia menganut sistem kerajaan dan kesukuan, insan sangat meyakini dan mentaati hal-hal diluar jangkauan pemikiran insan menyerupai spiritual dan ritual menjadi acara yang harus ada dalam unsur kehidupan mereka. Namun seiring perubahan zaman, semenjak runtuhnya khilafah Islamiyyah yaitu Daulah Utsmaniyyah dengan salah satu faktornya ialah berkurangnya semagat keilmuan dan berguru yang hilang dalam budaya masyarakat Islam sendiri, maka mulailah bermunculan sistem-sistem kehidupan gres yang berasal dari buah pemikiran rasional insan yang hingga ketika ini eksis di dunia yaitu pemikiran kapitalisme dan komunisme.
Sehingga dari situlah adanya pemisahan kehidupan dunia dengan kehidupan alam abadi ataupun agama, mereka menganggap bahwa sebuah agama ialah simbol ritual personal secara horisontal berafiliasi denga Tuhannya. Kehidupan dunia tidak ada hubungannya, sehingga mereka memandang agama hanya sebelah mata dan mengartikannya secara sempit, dan inilah yang terjadi di masyarakat muslim kebanyakan, seperti mindset mereka sudah ter-setting berpikir menyerupai diungkapkan di atas.
Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk menulis sebuah makalah yang berjudul “Islamisasi Sains”, semoga goresan pena ini bermanfaat bagi pembaca.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa definisi Islamisasi Sains ?
2. Apa urgensi Islamisasi Sains ?
3. Bagaimana perspektif Ismail Raji Al-faruqi mengenai Urhensi Islamisasi Sains ?
1.3.Tujuan
1. Mengetahui definisi Islamisasi Sains;
2. Mengetahui urgensi Islamisasi Sains;
3. Mengetahui bagaimana perspektif Ismail Raji Al-faruqi mengenai Urhensi Islamisasi Sains.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Definisi Islamisasi Sains
2.1.1. Definisi Menurut Bahasa dan Istilah
Islamisasi Sains berasal dari du kata yaitu Islamisasi dan Sains. Islamisasi asal katanya yaitu Islam dan Islamisasi Sains berasal dari du kata yaitu Islamisasi dan Sains. Islamisasi asal katanya yaitu Islam dan penambahan imbuhan final isasi, Islam merupakan salah satu agama samawi yang mengajarkan ihwal keesaan Tuhan yaitu Allah SWT dengan utusan-Nya yaitu Nabi terakhir Nabi Muhammad SAW dengan sumber petunjuk kehidupan dari Quran dan As-Sunnah. Sedangkan imbuhan isasi merupakan tanda sebuah proses yang kontinu dari awal bangkin hingga mencapainya serta selalu melaksanakan proses itu ketika ada hal-hal yang baru. Maka dari itu, islamisasi secara bahasa berarti proses mengislamkan sesuatu.
Sedangkan Sains merupakan ilmu pengetahuan yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Quran merupakan ayat ilahiyah dan Sains merupakan ayat kauniyyah yang bila dikolaborasikan bisa membentuk sebuah pengetahuan yang paripurna dan ketaqwaan dan keimanan seseorang bisa meningkat, lantaran melihat kebenaran dari Islam.
Sehingga bisa disimpulkan, Islamisasi Sains merupakan pengislaman ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara mengkolaborasikan ayat alquran dengan ilmu pengetahuan, bahwa ilmu pengetahuan dengan Quran sangatlah relevan dengan ilmu pengetahuan yang ada ketika ini.
2.2. Urgensi Islamisasi Sains
Islam merupakan agama yang tepat dan paripurna yakni melingkupi seluruh aspek kehidupan dunia maupun akhirat, lantaran dalam Islam mengajarkan mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, dari mulai lahir hingga meninggal.
Kita melihat bahwa masyarakat modern kini semakin mengabaikan urusan spiritualitas menganggap sempit sebuah agama, menganggap bahwa agama hanyalah acara di rumah ibadah saja, tidak hubungannya dengan kehidupan dunia.
Pandangan ini sering disebut sebagai pemikiran yang sekuler, yang lahir dari buah pemikiran barat yang menganut mazhab keilmuan positivisme, yang kemudian dijewantahkan dalam pemikiran kapitalisme yang berasal dari pemikiran seorang nasrani yaitu Maxilian Weber.
Sejak pemikiran itu muncul, yaitu sesudah runtuhnya Daulah Islamiyah Ustamaniyyah, mulailah menyebar pemikiran barat, kemudian seiring berjalannya kemodernan selama puluhan tahun, muncullah para pembaharu islam yang mengkampanyekan islamisasi Sains salahsatunya, lantaran salahsatu penyebab runtuhnya daulah islamiyyah menghilangnya budaya membuatkan ilmu pengetahuan dikalangan umat Islam, maka para pembaharu Islam salah satunya Muhammd Abduh dengan semangat pendidikan.
Maka dari itu, begitu pentingnya Islamisasi Sains, lantaran dengan begitu orang yang beragama Islam maupun non-muslim terbuka cakrawala berpikirnya bahwa Islam begitu lengkap dan tepat ajarannya, tidak hanya urusan Ubudiyyah saja, akan tetapi urusan dunia menyerupai ilmu pengetahuan juga dibahas dalam Islam.
Semangat keilmuan ini, dengan Islamisasi Sains diharapkan Islam bisa kembali bangun untuk kedua kalinya, lantaran ini ialah kiprah semua umat muslim dunia yang meyakini bahwa Islam bukan sekedar agama yang hanya mengurusi hal-hal ritual saja.
2.3.Islamisasi Sains Perspektif Ismail Raji Al-faruqi
2.3.1. Riwayat Hidup AI-Faruqi
Islamil Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara luas sebagai mahir ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme.[1]
Memulai studi di College des Freres Libanon. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia peroleh daTi universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di tempat Galile yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat terhenti.
Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun 1948, hingga mencapai gelar mater dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya ia kembali memperoleh gelar master di Harcard University, juga dalam bidang falsafat. Untuk memperdalam keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Selama beberapatahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi keislaman di McGill University (1958-1961) dan di Pana Central institute of Islamic Research, Karachi, sebagai tamu untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama di the University of Chicago, sebagai lektor kepala llmu agama pada Saracus University (1964-1968).
Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pemah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuan. Diantaranya ialah kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut Intemasional pemikir Islam do Washington; dan presiden Institu studi Lanjutan Washington.[2]
Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan wangsit perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978. Al-Faruqi juga berperan penting dalam pembentukan forum Internaional (The Intemasional Institute if Islamic Thought). Kedua forum tersebut secara bersama-sama menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciences.
Tetapi sangat disayangkan aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan insiden yang sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986 bersama istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam insiden pembunuhan secara brutal oleh orang yang tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu berkaitan bersahabat dengan kecamannya terhadap zionisme Israel serta dukungannya kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya. Di lain pihak ada kelompok menilai bahwa final hidup Al-Faruqi ialah salah satu korban dari teori 19, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kahlifah antara lain menulis:
"Ismail AI-Faruqi telah mencurahkan hidupnya untuk melawan Tuhan, Nabiullah Muhammad SAW dan mukjizat Tuhan yang tiba pada kita melalui Muhammad, sesudah sepuluh tahun menolak untuk menyokong kebenaran dan mendukung "mukjizat matematika" AI-Qur'an alhasil Al-Faruqi mendapatkan aturan dan balasannya, ini keputusan Tuhan bukan keputusan kita, di hari kemudian nanti dia akan mendapatkan eksekusi yang jauh lebih butut dan abadi”[3]
Tampaknya, apa yang dikemukakan oleh kelompok 19 ini hanyalah suatu sikap yang bemada emosional belaka, lantaran berkenaan dengan penolakan Al-Faruqi terhadap wangsit yang mereka kemukakan.
2.3.2. Karya-karya AI-Faruqi
Al.-Faruqi ialah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh buku dan seratus artikel. Diantara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid : its Imlications for Thought and file (1982). Buku ini mengupas ihwal tauhid secara lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan ekspresi bahkan lebih dari itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita sanggup melihat titik tolak pemikiran Al-Faruqi yang berplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang lain. Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), walaupun ukurannya sangat sederhana, namun menampilkan pikiran yang cemerlang dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam kasus Islamisasi ilmu pengetahuan, didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam proses islamisasi tersebut.
Karyanya yang berafiliasi dengan ilmu perbandingan agama cukup banyak, hal ini sanggup dimaklumi lantaran ia sendiri ialah orang yang mahir dalam perbandingan agama. Walaupun ia diargumentasikan tak cukup "sukses" sebagai mahir perbandingan agama. Berbagai karya dalam bidang ini memperlihatkan ia kelewat "terbakar" oleh Islam untuk mengaprisiasikan agama-agama lain. Ia lebih mengambil posisi sebagai pendebat dan missionaris eguh yang membela dan mendakwakan Islam.[4]
Bukunya yang secara khusus membahas perbandingan agama ialah Cristian Ethics, Triolouge of Abraham Faits pada buku ini terdapat tiga topik utama: Tiga agama saling memandang. Konsep tiga agama ihwal negara dan bangsa, konsep tiga agam ihwal keadilan dan perdamaian, masing-masing penyumbang dari Yahudi, Nasrani dan Islam memperlihatkan prespektif yang terperinci mengenai pokok problem berdasarkan tiga topik utama tersebut. Buku ini merupakan sebuah langkah gres perbandingan agama yang sanggup membuka jalan bagi pemikiran an diskusi masa depan, serta buku Historical Atlas of the Region of the World.
Dan karyanya yang dianggap monumental ialah Cultural Atlas Islam, karya ini ditulis bersama istrinya, Louis lamiya AI-Faruqi, dan diterbitkan tak usang sesudah keduanya meninggal. Tulisan-tulisannya yang lain menyerupai The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan, 1961); Particularisme in the Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of arabe States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969) (AI-Faruqi, 1975:XI), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
2.3.3. Pokok-Pokok Pemikiran AI-Faruqi
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
· Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah pemurnian tauhid, lantaran nilai dari keislaman seseorang itu ialah pengesahan terhadap Allah SWT yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemumian tauhid inipun telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya kita mengenal adanya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab. Menurutnya kalimat "tauhid" tersebut mengandung dua arti yang pertama "nafi" (negatit) dan kedua: itsbat (positif) laa ilaaha (tiada Tuhan yang berhak diibadahi) berarti tidak ada apapun; illaahi (melainkan Allah) berarti yang benar dan berhak diibadahi hanyalah Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan secara gamlang di dalam bukunya Kitab At-tauhid ia menyebutkan setiap tahyul. Setiap bentuk sihir, melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam syirik adalah pelanggaran tauhid. Tetapi tauhid bukan sekedar diakui dengan pengecap dan ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW. Walaupun ikrar dan syahadat oleh seorang muslim mengkonsekuensikan sejumlah aturan aturan di dunia ini, namun tauhid yang merupakan sumber kebahagiaan abadi insan dan kesempurnaanya, tidak berhenti pada kata-kata dan lisan. Lebih dari itu tauhid juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam hati[5].
Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup insan sebagaimana yang dikemukakan[6] bahwa pernyataan ihwal kebenaran universal ihwal pencipta dan pelindung alam semesta. Tauhid sebagai komplemen bagi insan dengan pandangan baru tentang kosmos, kemanusiaan, pengetahuan dan moral serta askatologi memberikan dimensi dan arti gres dalam kehidupan insan tujuannya obyektif dan mengatur manusia hingga kepada hak spesifik untuk mencapai perdamaian global, keadilan, persamaan dan kebebasan. Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam ialah Islam itu sendiri dan esensi Islam ialah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada[7]. Tauhid ialah menyampaikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-bersama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban.
Prinsip pertama tauhid ialah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa realitas bersifat handa yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta. Prinsip kedua, ialah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah ialah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia ialah pencipta atau alasannya ialah sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau alasannya ialah terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
Prinsip ketiga tauhid adalah, bahwa Allah ialah tujuan terakhir alam semeta, berrti bahwa insan mempunyai kesanggupan untuk berbuat, bahwa alam semesta dapat ditundukkan atau sanggup mendapatkan insan dan bahwa perbuatan manusia terhadap alam yang sanggup ditundukkan perbuatan yang membungkam alam, yang berbeda ialah tujuan susila dari agama. Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa insan mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi insan sebuah tanggungjawab terhadap segala tindakannya.
Keempat prinsip tersebut di atas di rangkum oleh al-Faruqi dalam beberapa istilah yaitu :
a. Dualitas yiatu realitas terdiri dari dua jenis: Tuhan dan bukan Tuhan; Khalik dan makhluk. Jenis yang pertama hanya mempunyai satu anggota yakni Allah SWT. Hanya Dialah Tuhan yang kekal, pencipta yang transenden. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Jenis kedua ialah tatanan ruang waktu, pengalaman, penciptaan. Di sini tercakup semua makhluk, dunia bendabenda, tumbuhan dan hewan, manusia, jin, dan malaikat dan sebagainya. Kedua jenis realitas tersebut yaitu khaliq dan makhluk sama sekali dan mutlak berbeda sepanjang dalam wujud dan antologinya, maupun dalam eksistensi dan karir mereka.
b. Ideasionalitas merupakan kekerabatan antara kedua tatanan realita ini. Titik acuannya dalam diri insan ialah fakultas pemahaman. Sebagai organ dan tempat menyimpan pengetahuan pemahaman meliputi seluruh fungsi gnoseologi.
Anugrah ini cukup luas untuk memahami kehendak Tuhan melalui pengamatan dan atas dasar penciptaan Kehendak sang penguasa yang hams diatualisasikan dalam ruang dan waktu, dia mesti terjun dalam hiruk pikuk dunia dan sejarah serta membuat perubahan yang dikehendaki.
Sebagai prindip pengetahuan, tauhid ialah legalisasi bahwa Allah, yakni kebenaran (al-alaq), itu ada dan bahwa Dia itu Esa. Pengakuan bahwa kebenaran itu bisa diketahui bahwa insan bisa mencapainya. Skeptesisme[8] menyangkal kebenaran ini ialah kebalikan dari tauhid. Sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakana terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki, ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan atau bertentangan.[9]
Implikasi Tauhid bagi teori sosial, dalam efeknya, melahirkan ummah, suatu kumpulan warga yang organis dan padu yang tidak dibatasi oleh tanah kelahiran, kebangsaan, ras, kebudayaan yang bersifat universal, totalitas dan bertanggung jawab dalam kehidupan bersama-sama dan juga dalam kehidupan pribadi masingmasing anggotanya yang mutlak perlu bagi setiap orang untuk mengaktualisasikan setiap kehendak Ilahi dalam ruang dan waktu.[10]
Dengan demikian pentingnya tauhid bagi Al-Faruqi sama dengan pentingnya Islam itu sendiri. Tanpa Tauhid bukan hanya Sunnah Nabi/Rasul patut diragukan dan perintah-perintahNya bergoncang kedudukannya, pranata-pranata kenabian itu sendiri akan hancur. Keraguan yang sama yang menyangkut pesan-pesan mereka, karena berpegang teguh kepada prinsip Tauhid merupakan pedoman dari keseluruhan kesalehan, religuistas, dan seluruh kebaikan. Wajarlah kalau Alah SWT dan Rasulnya menepatkan Tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya penyebab kebaikan dan pahala yang terbesar. Oleh alasannya ialah itu pentingnya Tauhid bagi Islam, maka anutan Tauhid harus dimanifestasikan dalam seluruh aspek kehidupan dan dijadikan dasar kebenaran Islam.
Pandangan dunia tauhid Al-Faruqi gotong royong berdasarkan pada keinginan untuk memperbaharui dan menyegarkan kembali wawasan Ideasional awal dari pembaharu gerakan Salafiyah, seperti: Muhammad ibnu Abdul Wahab, Muhammad Idris As-Sanusi, Hasan Albana dan dan sebagainya. Landasan dasar yang digunakan olehnya ada tiga yaitu: Pertama, ummat Islam di dunia keadaannya tidak menggembirakan, kedua, diktum Dahi yang menyampaikan bahwa "Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum kecuali mereka mati mengubah diri mereka sendiri” (QS. 13-12) ialah juga sebuah ketentuan sejarah, ketiga, Ummat Islam di dunia tidak akan bisa bangun kemabali menjadi Ummatan Wasa'than kalau ia kembali berpijak pada Islam yang telah menyampaikan kepadanya rasio detre empat belas masa yang lalu, dan tabiat serta kejayaannya selama berabad-abad.
Demikianlah pemikiran Tauhid Al-Faruqi, yang alhasil terkait dengan pemikiran-pemikirannya dalam aspek lain, menyerupai Islamisasi pendidikan politik dan sebagainya.
· Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada hakekatnya wangsit Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan semenjak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya ialah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu goresan pena mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi. Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya menggilimunir unsurunsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi idiologi, makna serta ungkapan sekuler[11]
Ide ihwal islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan bersahabat dengan idenya ihwal tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa ialah fakultas pemahaman yang meliputi seluruh fungsi gnosologi menyerupai ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dsb. Manakala kehendak-kehendak tersebut diungkap dengan kata-kata secara pribadi oleh Tuhan kepada insan dan manakala sebagaimana pola Tuhan dalam penciptaan atau "hukum alam". Dan bila kita kaitkan dengan prinsip telelogi artinya dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu ciptaan yang teratur, bukan chaos. Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud. Pemenuhan lantaran pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam lantaran prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan ihwal dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
Prinsip kedua yaitu tidak ada kontraksi yang hakiki melindunginya dari kontadiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skepetisme; alasannya ialah suatu pertentangan yang hakiki menandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur pertentangan tidak akan pemah sanggup diketahui.
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi ialah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti gres dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang menimbulkan kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hari intelektual. Ia memaksa untuk mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan wallahu' alam lantaran ilia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang sanggup dikuasainya sepenuhnya di ketika manapun.
Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana insan memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan ialah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan[12]. Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul wangsit untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan.
Dan juga melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua wangsit Barat bahkan kadang kala tanpa filter yang alhasil menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah yang kental mengalami proses sukurelisasi yang berobsesi memisahkan kegiatan sekuler dengan kegiatan agama alhasil mengantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai keagaaman.
Semangat ilmuan moderen (Barat) ialah bahwa di bangun dengan faktafakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir ialah ilmu yang terlepas dari nilainilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian mundul ilmu dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan moderen mengakibatkan adanya pertentangan wahyu dan budi dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari agresi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diharapkan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid.
Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri berarti melaksanakan aktifitas keilmuan menyerupai mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia[13].
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang Sains Sastra, dan sains-sains niscaya alam dengan menyampaikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah.
Hingga sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia, ketunggalan umat insan dan penciptaan alam semesta kepada insan dan ketundukan insan kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan memilih presepsi dan susunan realita[14]. Dalam rangka membentangkan gagasannya ihwal bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi memutuskan lima target dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
1. Menguasai disiplin-disiplin moderen;
2. Menguasai khazanah Islam;
3. Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan moderen;
4. Mencari cara-cara untuk melaksanakan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen;
5. Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa kiprah dan langkah-langkah yang perlu dilakukan: Tugas petama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim gres yang terpadu itu sanggup memperoleh kedua macam laba dari sistim-sistim terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim, menyerupai tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistem yang dekuler.
Dengan perpaduan kedua sistim pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler menggunakan cara-cara sistim Islam menjadi pengetahuan yang sesuatu yang pribadi berafiliasi dengan kehidupan kita sehari-hari, sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkan sistim Islam 16. Al-Faruqi dalam mengemukakan wangsit Islamisasi ilmu pengetahuan menganjurkan untuk mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai belahan dari acara studi siswa. Hal ini akan membuat para siswa merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka menaruh kepercayaan kepada diri sendiri sehingga sanggup menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah ditetapkan Allah.
Bagi AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak sanggup ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim. Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam ketika ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak tepat dan terperinci bercorak Barat dan lantaran itu tidak berkhasiat sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga membuktikan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkahlangkah yang harus dilakukan diantaranya adalah:
a. Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya kini di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
b. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk skema mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, ekspansi cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan memutuskan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c. Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diharapkan ialah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalahmasalah masa kini.
e. Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi sanggup ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan kasus yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu kalau dibandingkan dengan hasilhasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang kasus yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan insan harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibentuk ihwal masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
j. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melaksanakan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
k. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
l. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan ialah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat aneka macam mahir di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para mahir yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki problem metoda yang diperlukan[15].
Dari langkah-langkah dan rencana sistematis menyerupai yang terlihat di atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada alhasil merupakan perjuangan menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam. Maka rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini menerima tantangan dari aneka macam pihak, walaupun dilain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, menyerupai IIIT. Dan tidak sedikit pula meresponinya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya menyerupai Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali tidak kreatif. Untuk itu konsep Islamisasi Ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan semoga tidak menimbulkan kerancuan.
Sebagian fakta beropini bahwa pemikir liberalisme Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Hasan Hanafi atau Arkun sanggup dianggap sebagai bentuk pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan. Sementara kelompok lain menolaknya seperti, IIIT bahkan mereka mengkritik pemikiran yang dikemukakan oleh orang tesebut.[16]
Salah senanggap atas gagasan al-Faruqi ialah Fazlur Rahman, ia tidak sependapat dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, menurutnya yang perlu dilakukan ialah membuat atau menghasilkan para pemikir yang memiki kapasitas berpikir konstruktif dan positif.
Adapun berdasarkan Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashiru sependapat dengan Al-Faruqi, lantaran menurutnya seorang pemikir akan sangat dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajarinya (atau ilmuan yang mendidiknya). Kalau seorang mempelajari ilmu yang berbasis sekularisme, maka sangat mungkin pendangan-pandangan juga sekuler.[17]
Adapun penanggap lain ialah Sardar. Ia menyepakati gagasan yang dikemukakan AI-Faruqi. Namun, menurutnya gagasan Al-Faruqi mengandung cacat fundamental. Sardar mengisyaratkan bahwa langkah Islamisasi yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan moderen bisa membuat kita terjebak ke dalam westemisasi Islam. Sebabnya berdasarkan Sardar ialah AI-Faruqi terlalu terobsesi untuk merelevankan Islam dengan ilmu pengatahuan moderen. Upaya ini sanggup mengantarkan pada legalisasi ilmu Barat sebagai standar, dan dengan begitu upaya islamisasi masih mengikuti kerangka berfikir (made of thought) atau pandangan dunia (world view) Barat. Karena itu percuma saja kita melaksanakan islamisasi ilmu kalau semuanya alhasil dikembalikan standanya pada ilmu pengetahuan Bara. Terlepas dari semua polemik yang terjadi diseputar islamisasi ilmu pengetahuan, sebetulnya islamisasi ilmu pengetahuan yang dimunculkan Al-Furuqi, gotong royong sederhana saja. Para pendukung wangsit ini ingin menekankan muatan dimensi moral dan etika dalam batang badan ilmu pengetahuan menyerupai yang dipesankan Al-Qur'an20[18].
AI-Faruqi sepertinya melihat bahwa untuk membangun umat tidak sanggup dimulai dari titik nol dengan menolak segala bentuk hasil peradaban yang sudah ada. Pembentukan umat malahan harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari hasil peradaban yang sudah ada dan sedang berjalan. Namun, segala bentuk nilai yang mendasari peradaban itu harus ditambah dengan tata nilai gres yang harmonis dengan hidup ummat Islam sendiri yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah.
AI-Faruqi melihat hanya dengan cara menyerupai ini visi tauhid yang telah hilang akan sanggup kembali ke dalam misi pembentukan ummat. lnilah barangkali yang merupakan pokok pemikiran Al-Faruqi dalam bidang pendidikan sebagaimana yang di kemukakannya alam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Pendapat yang tidak kalan pentingnya yang berkenaan dengan proses islamisasi ialah berdasarkan S.A. Ashraf, para ilmuan masa kini selayaknya menyadari bahwa pengembangan kegiatan ilmuan Islam yang ideal harus didasarkan pada sejumlah perkiraan dasar sebagai berikut ini :
"Pertama konsep ihwal insan berdasarkan agama Islam sangat lengkap dan lebih baik dari konsep ihwal insan lainnya. Menurut anutan Islam insan berkemungkinan untuk menjadi Khalifullah dengan cara menanamkan dan mengamalkan beberapa sifat Tuhan. Oleh lantaran semua dimensi sifat Tuhan itu tidak terbatas, maka pengembangan aspek moral, spritual dan intelektual manusiapun tidak terbatas. Kedua, oleh lantaran pengetahuan merupakan kunci kemajuan dan pengembangan tersebut. Maka Islam tidak menghalangi upaya untuk menuntut pengetahuan. Ketiga, pengembangan tersebut harus bersifat menyeluruh mendayagunakan potensi intelektual, pengembangan yang tidak menyeluruh akan menimbulkan ketidakseimbangan. Keempat, aspek spritual, moral, intelektual, imaginatif emosional dan fisikal insan harus diperhatikan dalam upaya pengkaitan aneka macam disiplin ilmu. Kelima, pengembangan kepribadian insan harus dilakukan dalam konteks kekerabatan insan dengan Tuhan dan insan dengan alam Oleh lantaran itu, penataan disiplin ilmu dan penyusunan pokok batasan harus dirancang dengan mempertimbangkan insan sebagai individu, insan sebagai makhluk yang harus hidup berdampingan secara tenang dengan alam".
Pendapat di atas sangat menarik untuk direalisasikan alam rangka Islamisasi ilmu pengetahuan. Memang terdapat banyak kelemahan struktural dalam pengembangan ilmu dikalangan masyarakat muslim sampaumur ini, semua kelemahan tersebut perlu diperbaiki oleh para perancangnya. Para ilmuan muslim menyadari bahwa pengetahuan Barat itu buuruk dan pengetahuan Islam itu baik. Tetapi terlalu sedikit analisis terhadap kemampuan dan karya sendiri.
Sebagaimana dikemukakan Ahmad[19]. Bahwa beberapa ilmuan muslim, contohnya Al-Faruqi menyarankan semoga ilmuan sosial muslim memainkan kiprah revolusioner, dan menghendaki pengembangan kiprah yang meliputi wilayah agama. Tentu saja pandangan muslim terhadap hal ini, ditentukan oleh sejauh mana pengetahuan mereka ihwal masyarakat sebagaimana adanya bukan sebagaimana seharusnya (seperti yang sering dibayangkan oleh para mahir teologi).
Dari uraian diatas sanggup dilihat bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini lahir lantaran AI-Faruqi sendiri konsisten dengan konsep tauhidnya dan lantaran ingin memumikan anutan tauhid Al-Faruqi menginginkan apa yang dibawa barat tidak harus diterima secara mentah oleh umat Islam. Di samping itu konsep ini muncul lantaran melihat kondisi obyektif umat Islam yang mengalami kemandegan dalam pemikiran yang disebabkan oleh kolonialisme Barat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Islam ialah agama yang tepat dan paripurna melingkupi semua aspek kehidupan insan baik di dunia maupun di akhirat, sehingga Islamisasi Sains merupakan belahan kecil dari agama Islam. Namun mempunyai urgensitas yang cukup strategis, lantaran Sains merupakan ayat kauniyah yang bisa dibuktikan dengan budi insan dan kebenaran bisa di ukur, sehingga ketika Sains itu ada dalam Quran yang ada semenjak 1400 tahun yang lalu, maka insan yang melihat kebenaran pastilah tertarik kepada Islam dan masuk kedalam ajarannya, lantaran melihat kebenaran Islam. Sehingga Al-Faruqi seorang tokoh yang sangat konsen dalam pengembangan pemikiran Islam komtemporer. Gagasan-gagasannya sangat brilian dalam rangka memecahkan problem yang dihadapi umat Islam. Kebesarannya yang pribadi berhadapan dengan Barat membuat Al-Faruqi mengamati sendiri tekanan-tekanan barat terhadap dunia Islam dan hal ini memunculkan ide-ide untuk menghadapi serangan-serangan tersebut. Idenya tidak terlepas dari konsep tauhid, lantaran tauhid ialah esensi Islam yang meliputi seluruh aktifitas manusia. Begitu pula idenya ihwal Islamisasi, tidak terlepasa dari pro dan kontra dan telah membawanya pada puncak ketenaran di dunia. Gagasannya tetap mejadi umat Islam pada masa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-faruqi, Ismail Raji (Ed). 1974. Historical Atlas of the Religions of the World, New
York: Macmillan co. inc.
Abdullah, Amin.1995. Filsafat Kalam di Era Post Modernisasi .Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ancok, Djamaluddin dan Suroso, Nashori, Fuad. 1994. Psikologi Islami, Solusi Islam
atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
Anis, Ahmad, 1988. Reorientation of Islamic History: Some Methodlogical essues. In
Islam.Source and Purpose of Knowledge IIIT. Herndon: The International Institute of Islamic Thought.
Azis, Amin. 1992. Islamisasi Ilmu sebagai Issu dalam Ulumul Qur'an Volume III, no.4 tahun 1992.
H.A.R Giibb. 1978. Aliran-aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Haryati Soedibyo. 1996. Pengantar Mudah Metodologi Penelitian Sosial Budaya, Bahan Kuliah Pascasarjana IAIN Jakarta.
Jalaluddin dan Said. Usman 1996. Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta Raja Grafindo Persada.
J.L. Esposito. 1991. " Ismailo R. Al-Faruqi: Muslim Shcolar activist" dalam Yonne Y.Haddad (Ed). The Muslim of America. New York: Oxford. Sejarah Jakarta: Media Dakwah.
Khalil Imanuddin. 1994. Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Sejarah. Jakarta Media Dakwah.
Misbah, Taqi. Muhammad. 1996. Monoteisme Tauhid sebagai Sistem Nilai dan Akidah
Islam. Terjemahan oleh M. Hashem dari At Tauhid or Monotheisme ..A sign
the Ideological and the value System of Islam, Jakarta : Lenterabastitama.
Muhammad Ibnu Wahab, Kitab Tauhid Haqullah Alal'Abid. Maktabah Darul Harok.
Panjimas. No. 504 Edisi Mei 1986. Jakarta.
[3] Ibid
[4]Ummat, dalam rrubrik ”rampai” No. 25 tahun 1995, hlm. 55
[5] Muhammad Taqi, Misbah,.,Monoteisme Tauhid sebagai sistem Nilai dan Akidah Islam. Terjemahan oleh M.Hashem dari At Tauhid or Monotheisme: asin the ideological and the value Systems of Islam. Jakarta: Lenterabastitama, 1996, hlm.34
Sorce and Porpose og Knowledge IIIT. Herndon: The International Institut of
Islamic Thought
International Institute of Islamic Thought, 1982, hlm.17
[8]Ibid., hlm.42 -43
dalam Knowledge for what? Islamabad-Fakistan: National Hijra Council, 1986,
hlm.45.
Media Dakwah 1994, hlm.40
hlm.1
Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm.14
Islam; Source and Purpose of Knowledge IIIT. Herndon: The International
Institut of Islamic Thought