metode penelitian islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Untuk setiap umat muslim semua acara yang dilakukan harus berdasarkan atas dasar kehendak Allah dan berdasarkan aturan islam yang telah ditetukan yaitu Al-Qur’an dan juga apa yang pernah di dikatakanv dan dilakukan oleh nabi Muhammad yang disebut dengan Al-Sunnah atau hadits. Namun setelah nabi Muhammad wafat setiap hukun atau kasus yang tak ada pada dikala nabi masih hidup atau hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an menjadi perselisihan diantara para ulama dalam menemukan hokum islam disetiap perbutaan.
Menurut para jago fiqh Al-Qur’an bukanlah kitab aturan islam lantaran didalamnya hanya terdapat titah yang berisi larangan ataupun suruhan atau ungkapan lain yang sama dengan hal itu. Dengan kata lain, Al-Qur’an itu mengandung norma hokum. Untuk memformulikan titah allah ke dalam bentuk hokum syara’ diuperlikan suatu perjuangan pemahaman dajn sebuah penelusuran.
Untuk bisa menemukan sebuah aturan yang bisa menghukumi sebuah kasus diprlukan penalaran. Dan hal ini hanya mungkin dengan cara pengerahan kemampuan kebijaksanaan yag maksimal sehingga sanggup hingga kepada dugaan yang kuat. Usaha yang dilakukan untuk menemukan aturan Allah dengan cara pengerahan kebijaksanaan sehat yang maksimal tersebut, dan disebut sebagai ijtihad. Orag yang melaksanakan ijtihad disebut dengan mujtahid.
Adapun beberapa metode yang digunakan oleh mujtahid dalam memilih dan memutuskan aturan fiqh diluar apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits yaitu dengan cara hasil inovasi seorang mujtahid yang berbeda dari mujtahid lainnya. Salah satunya yaitu yaitu qiyas dan ijma’.
B. Rumusan masalah
1. Metode apa saja yang digunakan jumhur ulama dalam penetapan aturan islam?
2. Metode apa sajakah yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan aturan islam?
3. Dan metode apa saja yang tidak disepakati oleh para ulama untuk dijadikan srbagai penetapan aturan islam?
C. Tujuan masalah
Dari rumusan problem diatas maka tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1. Metode-metode ulama ushul untuk metode penetapan hukum
2. Mengetahui metode apa saja yang telah disepakati oleh para ulama untuk dijadikan penetapan aturan islam
3. Metode –metode yang tidak disepkati oleh para ulama untuk dijadikan aturan islam
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Menetapkan sebuah aturan para mujtahid melaksanakan beberapa metode untuk mengistimbatkan aturan islam. Dan dari semua metode yang digunakan tidak semuanya di sepakati oleh ulama, hanya ada dua metode yang disepakati dan yang lazim digunakan dalam berijtihad yaitu ijma’ dan qiyas. Namun dalam bahasan ini kita juga akan membahas ihwal metode-metode yang lain, Antara lain yaitu: ikhtisan, istishhab, mashlahah mursalah, urf, saddu al-zari’ah
A. Ijma’
Ijma’ didefinisikan sebagai akad bundar mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad ihwal suatu masalah. Menurut definisi ini tumpuan kepada mujtahid mengenyampingkan akad orang-orang awam dari lingkup ijmak. Demikian dengan merujuk kepada mujtahid suatu berarti ada sejumlah mujtahid pada waktu terjadi suatu peristiwa. Oleh lantaran itu, tidak diperhitungkan ebagai ijmak apabila eorang mujtahid atau sejumlah mujtahid gres muncul setelah terjadinya insiden itu.
Dari definisi diatas sanggup disimpulkan bahwa ijma’ diterapkan pada semua problem syar;i( yuridis ), aqli ( intelektual ), urfi ( moral ) dan lighawi ( linguistic ). Beberapa ulama membatasi ijmak pada masalah-masalah agama dan ulama lain membatasinya pada masalah-masalah syar’i, tetapi jumhur ulama tidak membatasinya pada kedua hal tersebut.sekalipun jumhur fuqoha mengangagap masalah-masalah doqmatis masuk dalam lingkup ijma’, tetapi beberapa beropini bahwa ijma’ tidak diarahkan untuk mendukung masalah-masalah menyerupai keberadaan Allah dan kebenaran kenabian muhammmad.[1]
Ijma’ memastikan penafsiran yang benar ihwal Qur’an, pemahaman dan periwayatan yang tepat dari sunah dan pemakaian ijtihad yang sah. Ijmak juga mengangkat otoritas ketentuan-ketentuan yang bersifat spekulatif. Ketentuan-ketentuan spekulatif tidak membawa kekuatan yang mengikat, tetapi suatu kali ijma’ terjadi pada ketentuan-ketentuan itu, maka akan menjadi niscaya dan ,mengikat. Misalnya, ketika para sahabat, berdasarkan ijma’ mereka memekai ketentuan-ketentuan dari hadits ahad.dalam masalah tersebut ketentuan diangkat menjadi aturan yang mengikat. Contohnya yaitu bentuk perkawinan yang diharamkan, yaitu poligami dengan keluarga bersahabat dari pihak istri. Ketentuan tersebut yaitu ketentuan qat’i yang didasarkan atas ijma’,, dan hal itu termasuk pada hadits minggu yaitu hadits yang melarang menikah dengan bibi pihak ibu atau bibi pihak ayh dari istri. Demikian juga nenek berhak menerima warisan da ini merupakan ketentuan qat’I dari ijma’ yang didasarkan atas hadits ahad.
Ijma’ sanggup dapat menjadi ketentuan otoritatif syariat bila memenui syarat-syrat sebagai berikut:
1. Terdapat mujtahid pada waktu insiden itu muncul.
2. Menurut jumhur ulama, kebulatan bunyi merupakan prasyarat ijma’.
3. Kesepakatan mujtahid harus ditunjukkan oleh pendapat yang mereka kemukakan terhadap suatu masalah
4. Sebagai akhir masuk akal dari syarat kedua diatas, ijma’ terdiri dari akad seluruh mujtahid dan tidak hanya dominan diantara mereka.[2]
Dalam Al-Qur’an ( an-nisa’, 4;59 ) yaitu eksplisit ihwal keharusan mentaati Allah,rosul dan uluml amri. Juga dikesankan bahwa ayat ini memperlihatkan proteksi terhadap infallibilitas ijma’.menurut al-fakr al-razi, lantaran Allah memerintahkan ketaatan kepada ulul amri, maka keputusan ulul amri harus terlindung dari kesalahan, alasannya yaitu Allah tidak akan memerintahkan ketaatan pada orang yang masih mungkin melaksanakan kesalahan.
Ayat yang paling sering dikutip untuk mendukung ijma’ terdapat dalam surah al-nisa’( 4;155 ), yaitu sebagai berikut:
Dan barang siapa yang menentang Rosul sehabis kebenaran terang baginya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman, maka kami biarkan beliau dijalan yang dipilihnya dan kami memasukkan beliau kedalam neraka yang merupakan kawasan tinggal syaitan.[3]
Adapun hadits yang paling sering dikutip untuk mendukung ijma’ yaitu hadits berikut:
ﻻ ﺗﺟﺗﻤﻊ ﺃﻣﺗﻱ ﻋﻟﻲ ﺍﻟﻀﻼ ﻟﺔ
Yang artinya: umatku tidak akan pernah ihwal suatu kesalahan
Kata terakhir dalam hadits ini, yaitu al-dalalah dalam beberapa riwayat diganti dengan al-khata. Para para jago aturan menukar-nukar kedua kata itu dalm penggunaaanya, tetapi dalam koleksi-koleksi klasik hadis ini ditulis dengan kata al-dalalah. Al-Ghozali menyampaikan bahwa hadits ini tidak mutawatir, lantaran itu bukan otoritas absolute menyerupai Al-Qur’an.
Ijma’ dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Ijma’ eksplisit ( al-ijma’ al-syarih ), dimana setiap mujtahid megemukakan pendapatnya baik secara verbal maupun perbuatan.
b. Ijma’ rahasia ( al-ijma’ al-sukuti ), diman beberapa mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat ihwal suatu insiden tetapi sementara yang lain tetap diam.
Menurut jumhur ulama, ijma’ sarih bersifat definitif dan mengikat, sedangkan ijma’ sukuti bersifat dugaan yang hanya membuat kemungkinan tetapi tidak menutup kemungkinan dilakukannya ijtihad gres ihwal problem yang sama.
B. Qiyas
Para ulama’ dari banyak sekali mazhab telah mendiskusikan penerapan qiyas kepada personal-personal juridis,teologis, liguistik,rasional dan kebiasaan,tetapi pertanyaan ulama’ yang perlu didiskusikan disini yaitu penerapan analogi terhadap ketentuan-ketentuan pidana (hudud) dan denda(kaffarat)
Jumhur ulama’ tidak menarik perbedaan apapun dalam problem ini dan beropini bahwa qiyas sanggup di terapkan kepada hudud dan kafarat dengan cara yang sama menyerupai di terapkan kepada ketentuan syari’ah yang lain. Tidak satupun yang menarik perbedaan dalam kaitan dengan ketentuan-ketentuan pidana, dan lantaran dalil dalam sumber-sumber didak menyatakan perbedaan apapun ihwal qiyas, sehingga ia di terima dalam semua bidang syari’ah. Contoh qiyas ihwal hudud yaitu penerapan eksekusi pencuri terhadap nabbash, atau pencuri yang mengambil kain kafan mayit, lantaran ‘illahnya sama yaitu mengambil harta orang lain tanpa sepengetahuannya.demikian juga jumhur ulama’ (termasuk ulama’-ulama’ hanafi) menarik analogi antara zina dan homoseks, dan menerapkan hadd zina dengan analogi kepada homosekss.
Ulama-ulama hanafi sepakat dengan jumhur yang menyatakan bahwa qiyas berlaku secara sah bagi ketentuan-ketentuan pidana ta’zir,tetapi mereka tidak sepakat mengenai penerapan qiyas didalam ketentuan – ketentuan pidana kafarat. Oleh lantaran itu,dapat disimpulkan bahwa adanya keraguan dalam memilih i’llah ketentuan-ketentuan pidana hadd mencegah ekspansi analogisnya kepada ketentuan-ketentuan serupa.
Sebagaimana di nyatakan di atas,jumhur mengesahkan penerapan qiyas kepada kafarat. Karena itu analogi antara bentuk abolisi puasa (iftar),yaitu makan dengan sengaja pada waktu siang hari di bulan ramadhan dan abolisi puasa lantaran melaksanakan kekerabatan seksual,akan memperluas kaffarah yang pertama kepada yang terakhir. Demikian juga jumhur, ulama mengesahkan analogi antara pembunuhan yang di sengaja dan yang tidak di sengaja untuk kaffarah. Al-Qur’an hanya memilih kaffarah untuk pembunuhan yang di sengaja,dan hal ini di perluas dengan analogi kepada pembunuhan yang tidak di sengaja.i’llahnya sama yaitu membunuh nyawa orang lain.
Sekalipun kenyatan bahwa para fuqoha’ tidak sependapat ihwal penerapan qiyas kepada ketentuan-ketentuan pidana,tetapi perlu di catat bahwa para ulama’ secara keseluruhan menolak penggunaan qiyas dalam bidang aturan pidana. [4]
C. Istihsan
Secara etimologis istihsan (استحسان ) berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik””,atau “ adanya sesuatu itu lebih baik” ,atau mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “menncari yang lebih baik untuk di ikuti.
Dari arti lughowi diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan memutuskan untuk mengambil yang satunya lagi, lantaran itulah yang di anggaplebih baik untuk di amalkan.
Istihsan Secara istilah ada beberapa definisi, “istihsan” yang di rumuskan ulama’ ushul. Di antara definisi itu ada yang berbeda akhir adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang di sepakati semua pihak,namun di antaranya ada yang perselisihkan dalam pengamalannya.
1. Ibnu subki mengajukan dua rumusan definisi yaitu
a. عن قياس ال قياس اقوي منهعدول
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih besar lengan berkuasa dari padanya(qiyas pertama)
b. عدول عن الد ليل ال العادة للمصلحة
beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada moral kebiasaan lantaran suatu kemaslahatan.
Ibnu subki tidak menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak di perdebatkan lantaran yang terkuat di antara dua qiyas harus di dahulukan.
2. Istilah istihsan di kalangan ulama’malikiyah di antaranya yaitu sebagaimana yang di kemukakan al-syatibi(salah seorang pakar malikiyah)
وهو في مد هبي مالك الاخد بمصلحة جزئية في مقا بلة دليل كلى
Istilah dalam mazhab maliki yaitu memakai kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
Definisi di atas mengandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya memutuskan aturan dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum. Namun lantaran dalam keadaan tertentu mujtahit tersebut melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus,maka ia dalam memutuskan aturan tidak berpedoman kepada dalil umum yang ada,tetapi memakai kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus itu.
3. Di kalangan ulama’ hanabilah, terdapat tiga definisi,sebagai mana di kemukakan ibnu Qudamah.
a. العدل بحكم المسالة عن نظا ئر ها لد ليل خاص مت كتاب او سنة
Beralihnya mujtahid dalam memutuskan aturan terdapat suatu problem dari yang sebanding dengan itu lantaran adanya dalil khusus dalam al-qur’an dan sunnah.
b. ما يستحسنه المجتهد بعقلهانه
istihsan itu ialah apa-apa yang di anggap lebih baik oleh seorang mujahid berdasarkan pemikiran akalnya.
c. د ليل ينقدح في نفس المجتهد لا يقدر علي التعبير عنه
Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak bisa menjelaskannya.
Istihsan termasuk salah satu metode iztihad yang di oerselisihkan oleh para ulama’, meskipun dalam kenyataannya semua ulama’ menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya para ulama’ memakai istihsan dalam arti bahasa,yaitu “ berbuat sesuatu yang lebih bauk”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama’ berbeda pendapat di sebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan “istihsan”itu. Ulama’ yang memakai metode istihsan dalam berjihat mendefinisikan istihsan dengan “pengertian” yang berlainan dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan.[5]
D. Mashlahah Mursalah
1) Pengertian mashlahah mursalah
Mashlahah mursalah berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif ang secara arti kata berarti baik, Dan juga masdar dari kata shalah yang berarti manfaat. Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan.[6] Menurut jumhur ulama mashlahah mursalah yaitu cara menemukan aturan sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits, berdasarkan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.[7]
2) Macam-macam mashlahah mursalah
Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam memutuskan hukum, mashlalah dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a) Mashlahah dharuriyah. Yaitu kemaslahatan yang keberadaaanya sangat diharapkan oleh kebutuhan manusia, artinya kehidupan insan tidak punya arti apa-apa bila satu saja printah-printah yang lima itu tidak ada.
b) Mashlahah hajiyah yaitu kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup insan kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri.
c) Mashlahah tahsiniyah yaitu mashlahah yang kebutuhan hidup insan kepadanya tidak hingga tingkat dharuri, juga tidak hingga tingkat haji, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.
Mashlahah juga disebut sebagai munasib atau keserasian mashlahah dengan tujuan hukum. Mashlahah dalam arti munsib itu dari pembuat aturan dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a) Mashlahah al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang diperhitungkan oleh syar’i.
b) Mashlahah al-mulghah, yaitu mashlahah yang dianggap baik oleh kebijaksanaan tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang
c) Mashlahah al-mursalah yaitu apa yang dipandang baik oleh kebijaksanaan sejalan denagn tujuan syara’ dalam memutuskan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.[8]
E. Istishab
Istishab yaitu penetapan aturan sesuatu hal yang berdasarkan keadaan yang terjadi sebelumnya, hingga ada dalil yang mengubahnya. Atau sanggup dikatakan ihtisab yaitu melangsungkan berlakunya aturan yang telah ada lantaran belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.[9]
Secara bahasa istisab berasal dari kata Is-tash-ha-ba dalam sighat is-tif’al yang berarti teman atau teman dan di artikan selalu atau terus menerus, maka istihsab itu secara lighawi yaitu selalu menemani atau selalu menyertai. Sedangkan secata terminologi terdapat beberapa definisi yang berbeda dari para ulama antara lain yaitu;
1. Al-Syaukani dalam irsyad al-fuhul mendefinisikan bahwa istihsab yaitu apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.
2. Syeh Muhammad Ridha Mudzaffar dari kalangan syiah menyampaikan bahwa istihsab yaitu mengukuhkan apa yang pernah ada.
3. Ibn al-ayyim al-jauziyah mengajukan definsi yang lain yaitumengukuhkan memutuskan apa yang pernahditetapkan dan meniadakan apa yang sebeelumnya ada.
4. Ibn Subki dalam kitabnya yang berjudul jam’u al-jawwami II memperlihatkan
5. definisi Istihsab yaitu berlakunya sesuatu pada waktu kedua lantaran yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama lantaran tidak ada yang patut untuk mengubahnya.
6. Muhammad Ubaidillah al-As’adi merumuskan defini yang artinya mengukuhkan aturan yang ditetapkan denngan suatu dalil yang mengubahnya.
7. Definisi berdasarkan ibn al-Hummam dari kalannngan ulama hanafiyyah:
Tetapnya sesuatu yang sudah niscaya yang belum ada dugaagn besar lengan berkuasa ihwal tiadanya.
F. Adat istiadat atau Urf
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu yang sering diartikan denagn al-ma’rufdengan arti suatu yang dikenal. Kata urf juga terdapat dalam al-Qur’an yang artinya ma’ruf yang berarti kebajikan.[10]
Adat istiadat atau urf yang tidak bertentangan dengan aturan islam sanggup dikukuhkan tetap terus berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat ini tentu yang berkenaan dengan muamalah, contohnya kebiasaan yang berlaku didunia perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya; jual beli buah-buahan dipohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya,-.
Sepanjang moral ini tidak bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an dan As-Sunah, dan juga transaksi di bidang muamalah itu didasarkan tas persetujuan kedua belah pihakserta tidak melannggar asas-asas aturan perdata islam di bidang muamalah, berdasarkan kaidah aturan islam yag menyatakan “ moral sanggup dikukuhkanmenjadi hukum” ( al-adatu muhakkamah ). Hukum moral yang demikian sanggup berlaku bagi umat islam.[11]
G. Saddu Al-Zari’ah
Secara terminologi saddu al-zari’ah yaitu jalan yang yang membawa kepaa sesuatu secara hissi atau ma’nawi, baik ataupun buruk.untuk menempatkannya sesuai denagn bahasan yang dituju, kata zari’ah itu didahului dennagn saddu yang artinya “ menutup ”. maksudnya yaitu menutup jalan terjadinya kerusakan.
Tidak ada dalil yang terang dan niscaya baik dalam bentuk nash atau ijma’ ulama tentanng boleh tidaknya memakai saddu al-zari’ah.oleh kkarena itu dasar pengambilannya hanya semata-mata dengan ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam berinfak dan jangan hingga melaksanakan perbuatan yang sanggup menjadikan kerusakan.kemudian yang dijadikan sebagai aliran dalam tindakan hati-hati itu yaitu faktormanfaat dan mudharat baik dan buruk.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Dalam metode penetapan aturan para jumhur ulama memakai beberapa metode yaitu:
a. Ijma’
Ijma’ didefinisikan sebagai akad bundar mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad ihwal suatu masalah. Menurut definisi ini tumpuan kepada mujtahid mengenyampingkan akad orang-orang awam dari lingkup ijmak. Demikian dengan merujuk kepada mujtahid suatu berarti ada sejumlah mujtahid pada waktu terjadi suatu peristiwa. Oleh lantaran itu, tidak diperhitungkan ebagai ijmak apabila eorang mujtahid atau sejumlah mujtahid gres muncul setelah terjadinya insiden itu.
b. Qiyas
Para ulama’ dari banyak sekali mazhab telah mendiskusikan penerapan qiyas kepada personal-personal juridis,teologis, liguistik,rasional dan kebiasaan,tetapi pertanyaan ulama’ yang perlu didiskusikan disini yaitu penerapan analogi terhadap ketentuan-ketentuan pidana (hudud) dan denda(kaffarat).
c. Istihsan
Secara etimologis istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik””,atau “ adanya sesuatu itu lebih baik” ,atau mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “menncari yang lebih baik untuk di ikuti. Dari arti lughowi diatas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan memutuskan untuk mengambil yang satunya lagi, lantaran itulah yang di anggap lebih baik untuk di amalkan.
d. Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif ang secara arti kata berarti baik, Dan juga masdar dari kata shalah yang berarti manfaat. Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan. Menurut jumhur ulama mashlahah mursalah yaitu cara menemukan aturan sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits, berdasarkan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
e. Istishab
Istishab yaitu penetapan aturan sesuatu hal yang berdasarkan keadaan yang terjadi sebelumnya, hingga ada dalil yang mengubahnya. Atau sanggup dikatakan ihtisab yaitu melangsungkan berlakunya aturan yang telah ada lantaran belum ada ketentuan lain yang membatalkannya.
f. Adat istiadat atau Urf
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu yang sering diartikan denagn al-ma’rufdengan arti suatu yang dikenal. Kata urf juga terdapat dalam al-Qur’an yang artinya ma’ruf yang berarti kebajikan.
g. Saddu Al-Zari’ah
Secara terminologi saddu al-zari’ah yaitu jalan yang yang membawa kepaa sesuatu secara hissi atau ma’nawi, baik ataupun buruk.untuk menempatkannya sesuai denagn bahasan yang dituju, kata zari’ah itu didahului dennagn saddu yang artinya “ menutup ”. maksudnya yaitu menutup jalan terjadinya kerusakan.
B. kritk dan saran
Ungkapan terima kasih kepada pembaca dan pendengar makalah ini , dan partisipasi dari kalian sangat pemakalah harapkan, lantaran makalah ini masih jauh dari sempurna. terutama bagi pengampu materi kuliyah sejarah dakwah. beribu terima kasih dan maaf kami ucapkan, Karena apa alhasil kami kalau tanpa bimbingannya, dan untuk kesabarannya dalam mendidik kami.
DAFTAR PUSTAKA
Kamali,Hashim muhammad. 1996. Prinsip-prinsip dan teori hukum islam. Yokjakarta: Pustaka pelajar
Syaifuddin,Amin. 1999. Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: PT. Logos wacana ilmu
Ali,Mmuhammad Daud. 2007. Hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
[1] Muhammad hashim kamali, prinsip dan teori-teori aturan islam. ( jogjakarta: pustaka pelajar 1996 ). Hlm. 219
[2] Muhammad hashim kamali, hlm.223
[3] Muhammad hashim kamali, hlm. 226
[4] Muhammad Hashim kamali, hlm.286-288
[5] Amir Syifudin, ushul Fiqh jilid 2. ( jakarta: logos wacana ilmu 1999) hlm. 305-307
[6] Amir Syaifudin. Hlm. 323
[7] Muhammad Daud Ali, Hukum islam. ( jakarta: Raja Grafindo persada 2007 ) hlm. 121
[8] Amir Syaifudin, Hlm. 326-331
[9] Muhammad Daud Ali, Hlm. 122
[10] Amir Syaifudin, Hlm. 363
[11] Muhammad Daud Ali, 123-124