Makalah Nalar Dan Wahyu

PENDAHULUAN
Akal dan wahyu ialah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang menawarkan perbedaan insan untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang Kholiq, nalar pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda Rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu , dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut ialah hanya perbedaan dalam interpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, perbedaan dalam interpretasi inilah, bekerjsama yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu wacana nalar dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang aturan Islam atau fiqih.

Di dalam al-Qur’an, Islam dinyatakan sebagai satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Wahyu Allah sebagai sumber pokok fatwa agama Islam. Sedangkan makhluk yang paling tepat ialah insan yang dianugerahi nalar dengan menggunakan kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai materi pemikiran untuk hingga kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat diktatorial dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui nalar bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.


Oleh lantaran itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya aliran-aliran ilmu kalam yang berlainan sifat ini. Untuk memecahkan kasus tersebut, dalam makalah ini kami akan mencoba membahasnya.

RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian dari akal?
B. Apa pengertian dari wahyu?
C. Bagaimana kemampuan nalar dan fungsi wahyu berdasarkan aliran-aliran ilmu kalam?

PEMBAHASAN
A. Akal
Kata nalar berasal dari bahasa Arab (العقلُ) yang berarti faham dan mengerti. Abu Huzail menyampaikan bahwa “akal merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang menciptakan seseorang sanggup membedakan antara dirinya dan benda lain, dan juga antara benda yang satu dari yang lain”. Lebih jauh lagi berdasarkan kaum teolog nalar juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan.[1] Pengertian lain dari nalar ialah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan.[2] 

B. Wahyu
Wahyu secara etimologi berasal dari kata kerja bahasa Arab وَحَى (waḥā) yang berarti memberi wangsit, mengungkap, atau memberi inspirasi.Dalam syariat Islam, wahyu ialah qalam atau pengetahuan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh makhluk-Nya dengan mediator malaikat ataupun secara langsung. Kata "wahyu" ialah kata benda, dan bentuk kata kerjanya ialah awha-yuhi, arti kata wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.
Selanjutnya dijelaskan lebih dalam bahwa pengertian makna wahyu meluas menjadi beberapa makna, diantaranya ialah sebagai:

  1. Perintah.
  2. Isyarat, menyerupai yang terjadi pada dongeng Zakaria.
  3. Ilham secara kodrati dan insting
Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalah at-Tauhid ialah pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu tiba dari Allah melalui mediator ataupun tidak.[3]

Wahyu juga sanggup diartikan sebagai pengkabaran dari alam metafiska turun kepada insan dengan keterangan-keterangan Tuhan dan kewajiban-kewajiban insan terhadap-Nya.

C. Kemampuan nalar dan fungsi wahyu berdasarkan aliran-aliran ilmu kalam.
1. Aliran Mu’tazilah
Bagi Mu’tazilah, mengenai wajibnya mengenai Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan mengetahui wajibnya menjauhi yang jahat itu diketahui dengan akal. Tanpa wahyu pun nalar insan bisa mengetaui keempat duduk kasus tersebut.Meski Mu’tazilah beropini bahwa nalar sanggup mengetaui empat faktor tersebut, mereka bukan berarti tidak memerlukan wahyu. Akal tidak bisa memastikan apakah setiap diketauinya itu sesuai dengan maksud Tuhan atau tidak. Kaprikornus wahyu diharapkan untuk meyakinkan kebenaran dalil akal.[4]

Mengenai soal Tuhan , betul kaum Mu’tazilah beropini bahwa Tuhan tak mempunyai sifat , tetapi sebagai telah dijelaskan sebelumnya , mereka tetap beropini bahwa  Tuhan mengetahui , berkuasa melihat, mendengar dan sebagainya . Bagi mereka ialah esensi Tuhan dan untuk menggambarkan hal itu mereka tetap menggunakan kata “ sifat “ . Dalam paham mereka, semua “ sifat “ Tuhan sanggup diketahui . Termasuk dalam sifat mendengar dan melihat yang berdasarkan aliran lain sanggup diketahui melalui wahyu . Penglihatan dan pendengaran, sungguhpun mengandung arti materi sanggup diletakkan kepada diri Tuhan yang bersifat immateri, lantaran dalam diri Tuhan “ sifat-sifat “ itu tidak mesti mempunyai bentuk jasmani.Kalau untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu, dalam pendapat Mu’tazilah , tak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diharapkan .

Hal ini terang kelihatan dalam uraian Ibn Abi Hasyim mengenai perlunya wahyu . Segolongan lawan, yang diberinya nama kaum Brahma, memperolokkan sujud sewaktu sembahyang , tawaf, sekitar ka’bah dan ritual – ritual lain dalam ibadat Islam dan beropini bahwa semua itu tidak ada gunanya.

Dan berdasarkan Abd – al Jabbar nalar memang tak sanggup mengetahui semua yang baik . Akal, katanya sanggup mengetahui kewajiban – kewajiban dalam garis besarnya, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya , baik mengenai hidup insan di akhirat, maupun mengenai hidup insan di dunia. Jelaslah bahwa bagi kaum Mu’tazilah tidak semua yang baik dan tidak semua yang jelek dapt diketahui akal. Untuk mengetahui itu, nalar memerlukan dukungan wahyu . Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan nalar wacana baik dan jelek . Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi klarifikasi wacana perincian eksekusi dan upah yang akan diterima insan di akhirat.[5]

2. Aliran Asy’ariah
Bagi kaum Asy’ariah, lantaran nalar sanggup mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan jelek dan mengetahui kewajiban – kewajiban hanya lantaran turunnya wahyu. Dengan demikian bila sekiranya wahyu tidak ada , insan tidak akan tahu kewajiban- kewajibannya . Sekiranya syariat tidak ada, kata Al – Ghazali , insan tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterimaksih kepadaNya  atas ni’mat yang diturunkan – Nya kepada manusia.

Jelas bahwa pendapat aliran Asy’ariah wahyu mempunyai fungsi yang berbagai . Wahyu memilih boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, insan akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akhir nya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Oleh lantaran itu pengiriman Rasul-rasul dalam teologi Asy’ariah seharusnya merupakan suatu kemestian dan bukan hanya suatu hal yang boleh terjadi ( ja’iz ) sebagaimana ditegaskan oleh al Ghazali dan al-Syahrastani.Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang dari pada wahyu dalam faham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban wacana baik dan buruk, sedang dalam pendapat golongan kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban manusia.

Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, sanggup dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi terkecil dalam faham Mu’tazilah. Bertambah besar besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam sesuatu aliran, bertambah kecil daya nalar di dalam aliran itu. Oleh lantaran itu di dalam system teologi yang menawarkan daya terbesar kepada nalar dan fungsi terkecil kepada wahyu, dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.[6]

3. Aliran Maturidiah
Sebenarnya aliran ini terdiri atas dua kelompok , Yaitu Maturidiah Sarmakand dan Maturidiah Bukhara. Pemikiran Maturidiah Sarmakand yaitu wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban wacana baik dan jelek , sedangkan pendapat kedua wahyu perlu untuk mengetahu kewajiban – kewajiban manusia.Dari golongan Bukhara berkeyakinan bahwa nalar tidak sanggup mengetahui kewajiban-kewajiban lantaran nalar hanya bisa mengetahui alasannya ialah kewajiban (Tuhan).[7] Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengan Mu’tazilah, juga beropini bahwa nalar sanggup mengetahui kewajiban insan berterimakasih kepada Tuhan. Hal ini sanggup diketahui dari keterangan al-Bazzadawi berikut: “Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu ialah wajib dalam faham al-Mu’tazilah”, al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazilah. Demikian juga umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari alim ulama Irak.
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ‘Uzbah:

“Dalam duduk kasus Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tidak sanggup diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah bakir mempunyai kewajiban percaya kepada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya kepada Tuhan, maka ia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiah anak yang belum baligh, tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu Mansur al-Maturidi beropini bahwa anak yang telah bakir mempunyai kewajiban untuk mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, tidak terdapat perbedaan antara Maturidiah dan Mu’tazilah”.

Kalau urain al-Bazawi, Abu ‘Uzbah, dan lain-lain memberi keterangan yang terang wacana pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahui Tuhan dan berkewajiban berterima kasih kepada Tuhan, keterangan demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan menjauhi yang buruk. Karena nalar hanya sanggup mengetahui baik dan jelek saja, bekerjsama Tuhan-lah yang memilih kewajiban mengenai baik dan buruk.

Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, nalar sanggup mengetahui baik dan buruk. Tetapi tetap menjadi pertanyaan apakah nalar bagi al-Maturidi sanggup mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Uraian diatas tidak memberi pengertian bahwa nalar sanggup mengetahui hal itu. Yang diwajibkan nalar ialah adanya perintah dan larangan, bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tak sanggup mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat, maka keterangan al-Maturidi diatas seharusnya berbunyi fayajib i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih bidarurah al-‘aql. Yang sanggup diketahui nalar hanyalah alasannya ialah wajibnya perintah dan larangan Tuhan.

Dengan demikian bagi al-Maturidi nalar sanggup mengetahui tiga duduk kasus pokok, sedang yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jelek sanggup diketahui hanya melalui wahyu.[8]

KESIMPULAN

  1. Akal ialah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. 
  2. Wahyu sanggup diartikan sebagai pengkabaran dari alam metafiska turun kepada insan dengan keterangan-keterangan Tuhan dan kewajiban-kewajiban insan terhadap-Nya.
  3. Kemampuan nalar dan fungsi wahyu berdasarkan aliran-alitran ilmu kalam:

  • Aliran Mu’tazilah
  • Wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi klarifikasi wacana perincian eksekusi dan upah yang akan diterima insan di akhirat.
  • Aliran Asy-ariah
  • Pada aliran ini beropini  mengenai fungsi wahyu ini, sanggup dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi terkecil dalam faham Mu’tazilah. Bertambah besar besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam sesuatu aliran, bertambah kecil daya nalar di dalam aliran itu. Oleh lantaran itu di dalam system teologi yang menawarkan daya terbesar kepada nalar dan fungsi terkecil kepada wahyu, dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.
  • Aliran Maturidiah
  • Al-Maturidi menyampaikan  akal sanggup mengetahui tiga duduk kasus pokok, sedang yang satu lagi yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jelek sanggup diketahui hanya melalui wahyu

PENUTUP
Demikian makalah yang sanggup penulis berikan, semoga sanggup bermanfaat bagi kita semua. Saran dan kritik yang membangun sangatlah penulis harapkan supaya menjadi makalah yang lebih baik.

REFERENSI
[1]. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1982), hal. 5
[2]. http://id.wikipedia.org/wiki/Akal diunduh pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 22.34 WIB
[3]. http://id.wikipedia.org/wiki/Wahyu diunduh pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 22.45 WIB
[4]. Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, ( Jakarta:Penerbit Erlangga, 2006 ) hlm.38-39
[5]. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010), hlm. 96-97.
[6]. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 101-102.
[7]. Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, hlm 37- 40
[8]. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, , hlm. 88-90.
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.