PENDAHULUAN
Kisah-kisah dalam Al-Qur'an menjadi cuilan tak terpisahkan dari isi Al-Qur'an yang menjadi referensi utama bagi orang-orang umat Islam. Al-Qur’an menganjurkan untuk mempelajari dan memahami sejarah alasannya sejarah yang dilakukan insan di masa kemudian dinilai sebagai materi berharga yang patut dipelajari dan ditelaah secara seksama untuk diambil pelajaran dan pesan yang tersirat yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian sejarah tidak sanggup dipisahkan dalam kehidupan insan alasannya insan menciptakan sejarah dan manusiapun butuh pada sejarah.
Al-Qur’an dengan fungisi utamanya memperlihatkan petunjuk bagi kehidupan insan biar berjalan di atas ketentuan yang benar telah pula memanfaatkan sejarah. Al-Qur’an telah banyak mendorong insan biar memperhatikan perjalanan umat masa kemudian biar diambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi contohnya menginformasikan, bahwa di dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 kali.[1] Allah SWT menyuruh insan untuk mempelajari kehidupan umat masa lampau.
Keterangan wacana sejarah dan kisah umat terdahulu didalam kitab Al-Qur’an tentunya mempunyai tujuan yaitu sebagai petunjuk dan pelajaran bagi umat islam yang selanjutnya supaya sanggup diambil pesan yang tersirat dari kejadian yang sudah terjadi dimasa lalu. Sehingga dimasa kini umat insan khususnya umat islam tidak terjerumus kedalam hal-hal yang menyesatkan, terlebih lagi sanggup mendatangkan azdab Allah SWT.
Oleh alasannya itu, pemakalah akan memaparkan tafsir ayat-ayat wacana sejarah dan kisah biar sanggup kita ambil hikmahnya.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian sejarah dan kisah dalam Al-Qur’an?
B. Bagaiman Konsep sejarah dalam Al-Qur’an?
C. Bagaimana Hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an?
D. Bagaimana tafsir ayat-ayat wacana sejarah dan kisah?
E. Apa fungsi sejarah dalam Al-Qur’an bagi kehidupan manusia
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kisah
Secara leksikal al-qishah diambil dari kata “qashsha-yaqushshu” yang berarti menceritakan. Al-Qishshah sama dengan al-hadis yang artinya cerita, sedangkan al-qishsah sebagai salah satu bentuk sastra yang dalam bahasa Indonesia disebut cerpen atau novel, didefinisikan sebagai media untuk mengungkapkan kehidupanatau fragmen-fragmennya yang menyangkut suatu kejadian atau sejumlah kejadian yang terkait satu sama lainnya.
Yang dimaksud al-Qishshah dalam Al-Qur’an yaitu sejarah umat terdahulu serta para nabi dan orang-orang saleh yang berjuang menegakkan kebenaran. Dengan kata lain , kisah dalam Al-Qur’an secara umum mempunyai dua kategori :
- Cerita para nabi atau orang-orang saleh
- Cerita para penentang kebenaran yang di bawa nabi.[2]
B. Konsep sejarah dalam Al-Qur’an
Konsep sejarah dalam Al-Qur’an yaitu untuk mempelajari sunnah, yakni kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan ilahi dalam masyarakat, sehingga tidak mengalami perubahan bagi umat manusia. Pada konsep ini insan diperlukan sanggup memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang terdahulu, sehingga mereka sanggup mengambil pelajaran dari tingkah laris dan perbuatan orang-orang terdahulu melalui pengamatan langsung, penelitian peninggalan sejarah, atau media-media yang lain. Dari perjalanan ini sanggup diketahui banyak sekali peninggalan umat terdahulu. Diantara mereka itu ada yang memperoleh kejayaan dan ada pula yang mengalami kerugian, penderitaan, kesengsaraan akhir kerusakan atau peristiwa yang menimpa mereka. Ada juga yang beriman dan taat beribadah kepada Allah, tetapi ada pula yang kafir, munafik, dan fasik. Orang-orang yang ditimpa peristiwa itu kebanyakan orang-orang yang musyrik.[3]
C. Hukum-Hukum Sejarah Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an ini terdapat pada Sunnatullah/ hukum-hukum kemasyarakatan, tidak ubahnya hukum-hukum alam atau aturan yang berkaitan dengan materi. Apa yang ditegaskan Al-Qur’an ini dikonfirmasikan oleh ilmuwan: “Hukum-hukum alam, sebagaimana hukum-hukum kemasyarakatan bersifat umum dan pasti, tidak satu pun, di negeri manapun yang sanggup terbebaskan dari hukuman bila melanggarnya. Hukum-hukum itu, tidak memperingatkan siapa yang melanggarnya, dan saksinya pun diam sebagaimana membisunya aturan itu sendiri. Masyarakat dan insan yang tidak sanggup membedakan antara yang haram dan yang halal akan terbentur malapetaka, ketercabikan, dan kematian. Ini semata-mata yaitu hukuman otomatis, alasannya kepunahan yaitu tamat dari semua mereka yang melanggar hukum-hukum alam/kemasyarakatan”.
Demikian juga terlihat bahwa kitab suci yaitu kitab pertama yang mengungkap adanya hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Tidak heran hal tersebut diungkap Al-Qur’an, alasannya kitab suci itu berfungsi untuk mengubah masyarakat dan mengeluarkan anggotanya atau sekelompok orang, dari kegelapan menuju ke jalan yang terang benderang (ke jalan Allah) dari kehidupan negatif menuju kehidupan positif. Dan memang Al-Qur’anlah yang menerangkan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.[4]
D. Tafsir ayat-ayat wacana sejarah dan kisah
1. Q.S. Yusuf: 111
لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ مَا كَانَ حَدِيثٗا يُفۡتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَتَفۡصِيلَ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١١١
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Alquran itu bukanlah dongeng yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. Yusuf : 111)
Tafsir Ayat
Pada ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa semua kisah nabi-nabi, terutama Nabi Yusuf AS bersama ayah dan saudara-saudaranya, yaitu pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Sedangakan orang-orang yang lalai yang tidak memakai nalar pikirannya untuk memahami kenyataan yang ada, maka kisah nabi tersebut tidak akan bermanfaat baginya.[5] Al-Qur’an yang mengandung kisah-kisah mereka bukanlah dongeng yang dibuat-buat, sebagaimana dituduhkan oleh mereka yang yang tidak percaya. Akan tetapi kitab suci itu membenarkan kitab-kitab suci dan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dalam bentuk prinsip-prinsip yang dibutuhkan umat insan menyangkut maslahat dunia dan darul abadi mereka, dan di samping itu ia juga sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang ingin beriman.[6]
2. Q.S. Thaha: 99
كَذَٰلِكَ نَقُصُّ عَلَيۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ مَا قَدۡ سَبَقَۚ وَقَدۡ ءَاتَيۡنَٰكَ مِن لَّدُنَّا ذِكۡرٗا ٩٩
Artinya: Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan bersama-sama telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al Quran) (Q.S. At-Thaha: 99)
Tafsir Ayat
Pada ayat ini Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa kisah-kisah yang diberitakan pada ayat-ayat yang kemudian ibarat kisah Musa AS bersama Firaun dan Samiri itu, demikian pula kisah-kisah nabi sebelunya patut menjadi rujukan dan teladan baginya dalam menghadapi kaumnya yang ingkar dan sangat durhaka. Karena memang demikianlah keadaan setiap rasul walaupun telah diturunkan kepadnya kitab-kitab dan mu’jizat-mu’jizat untuk menyatakan kebenaran dakwahnya, namun kaumnya tetap saja ingkar dan berusaha sekuat tenaga menentang seruannya dan tetap memusuhi bahkan ingin membunuhnya untuk melenyapkannya sehingga tidak terdengar lagi bunyi kebenaran yang disampaikannya.[7]
Munasabah
Pada ayat-ayat yang kemudian Allah telah menerangkan kisah Nabi Musa a.s. bersama Fir’aun dan Samiri, dua pemimpin yang kafir dan durhaka, ini merupakan pengalaman pahit yang biasa diderita oleh setiap Rasul dan orang-orang yang berusaha menegakkan kebenaran dan meninggalkan kalimah Allah. Maka pada ayat-ayat ini Allah menerangkan kepada Nabi Muhammad SAW kisah para Nabi sebelumnya sebagai peringatan bagi umat manysia dan hiburan yang sanggup melenyapkan kesedihan yang bersemi dalam hati Nabi alasannya perilaku kaumnya yang tetap saja ingkar dan tidak mau mendapatkan petunjuk-petunjuk Allah yang telah disampaikannya, ditambah lagi dengan penganiayaan dan cemoohan yang dilontarkan mereka atas dirinya. Makara apa yang diderita oleh Nabi Muhammad SAW dalam memberikan risalah-Nya telah dirasakan pula oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya.[8]
3. Q.S. Ali Imron : 137
قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِكُمۡ سُنَنٞ فَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ ١٣٧
Artinya: Sesungguhnya telah berlalu sebelum kau sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kau di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akhir orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul) (Q.S. Al-imran 137)
Tafsir Ayat
Ayat ini berisi wacana perintah untuk memperhatikan bagaimana keadaan orang-orang terdahulu dan kesudahan mereka. Sesungguhnya telah berlalu sebelum kau sunnah-sunnah, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang tidak mengalami perubahan. Sunnah tersebut antara lain yaitu “yang melanggar perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya akan binasa, dan yang mengikuti-Nya akan berbahagia”. Yang menegakkan disiplin akan sukses. Hari-hari kekalahan dan kemenangan silih berganti dan lain-lain. Sunnah-sunnah itu ditetapkan Allah demi kemaslahatan manusia, dan itu semua sanggup terlihat dengan terang dalam sejarah dan peninggalan umat-umat terdahulu, melalui bacaan atau pelajaran sejarah, karna itu, berjalanlah kau di bumi untuk melihat bukti-buktinya dan perhatikanlah untuk mengabil pelajaran bagaimana kesudahan jelek yang dialami orang-orang yang mendustakan pesan-pesan Allah. Ini, yakni pesan-pesan yang dikandung oleh semua ayat-ayat yang kemudian atau Al-Qur’an secara keseluruhan yaitu penerangan yang memberi keterangan dan menghilangkan kesangsian serta keraguan bagi seluruh manusia.[9]
Ayat ini mengingatkan wacana sunnatullah, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang telah berlaku terhadap umat-umat terdahulu, dan bahwa sunnatullah yang dijelaskan itu berlaku bagi semua umat manusia,tanpa membedakan suku, ras, dan agama.[10]
4. Q.S. Al- Isra’ : 77
سُنَّةَ مَن قَدۡ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ مِن رُّسُلِنَاۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحۡوِيلًا ٧٧
Artinya: (Kami memutuskan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kau dan tidak akan kau dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu. (Q.S. Al-Isra’: 77)
Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu, Allah SWT menjelaskan keingkaran insan yang tidak mau beriman padahal nikmat Allah begitu besar, baik yang terdapat di alam raya maupun yang terdapat pada dirinya, padahal fitrah insan itu beragama tauhid. Hal ini tampak dikala mereka ditimpa malapetaka yang dahsyat, mereka memohon pinjaman hanya kepada Allah. Akan tetapi, setelah terlepas dari malapetaka itu, mereka tidak mau berterimakasih pada Zat yang menolongnya, malah menyembah Tuhan-Tuhan yang lain yang mereka persekutukan dengan Allah. Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT mengungkapkan bagaimana keingkaran kaum musyrikin Mekah kepada seruan Rasulullah. Mereka bukan hanya menolak diajak kembali kepada agama tauhid, bahkan memusuhi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin[11]
Tafsir Ayat
Istilah ( ٱللَّـهِ سُنَّةَ ) sunnatullah, dari segi bahasa terdiri dari kata (سُنَّةَ ) sunnah dan (ٱللَّـه ) Allah. Kata ( سُنَّةَ ) sunnah antara lain berarti kebiasaan. Sedangkan ( ٱللَّـهِ سُنَّةَ ) sunnatullah yaitu kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dan apa yang dinamai hukum-hukum alam pun yaitu kebiasaan-kebiasaan yang dialami manusia. Para pakar merumuskan hukum-hukum alam itu sebagai kebiasaan yang dinyatakan Allah tidak beralih dan tidak pula berubah. Karena sifatnya demikian, maka ia sanggup dinamai juga dengan hukum-hukum kemasyarakatan atau ketetapan-ketetapan Allah terhadap situasi masyarakat.[12]
Asbabun Nuzul Ayat
Pada suatu waktu kaum musyrikin berkata: “wahai Muhammad para Nabi itu bertempat tinggal disyam, mengapa kau bertempat tinggal di madinah? Pada waktu itu Rasulullah saw hampir melakukan saran orang-orang musyrik, Allah swt menurunkan ayat ke 73-77 Al-Isra’ yang memberitahukan kepada Rasulullah wacana maksud jahat kaum musyrikin.[13]
Diriwayatkan oleh Abu syaih Ibnu Hayyan Al-Ansari dari Said bin Jubair bahwa Nabi Muhammad SAW pada suatu kali mengusap hajar aswad dalam tawaf, kemudian dihentikan oleh orang-orang Quraisy. Mereka Berkata “kami tidak akan mengijinkanmu menciumnya sebelum kau tiba kepada tuhan-tuhan kami.” Nabi berkata dalam hatinya, “Apakah salahnya bila saya mengunjungi tuhan-tuhan mereka, bila sesudahnya mereka membiarkanku mencium hajar Aswad. Allah mengetahui motivasiku mencium tuhan-tuhan mereka.” Akan tetapi, Allah tidak mengizinkan Nabi berbuat demikian, kemudian kepada dia kemudian diturunkan ayat ini.
Dalam ayat 73-76 dijelaskan bahwa perjuangan yang dilakukan kaum musyrikin Quraisy untuk menipu Nabi Muhammad SAW, sehingga dia hampir saja terperdaya, berpaling dari wahyu yang telah diterimanya dari Allah SWT, dan memenuhi undangan mereka biar mengakui tuhan-tuhan mereka. Karena pinjaman Allah, Nabi tetap sanggup teguh pendirianya dan tidak berpaling sedikitpun mengahadapi budi bulus orang-orag kafir Quraisy. Hal itu bukan alasannya hati Nabi SAW lemah, tetapi menerangkan bahwa tekanan dan tipuan orang-orang kafir Quraisy sangat hebat.
Kemudian allah mengingatkan rasullullah bila ia sempat terpengaruh oleh tekanan orang-orang kafir itu, Allah akan menimpahkan siksaan berlipat ganda kepadanya, baik didunia maupun akhirat. Dengan demikian, kadar eksekusi terhadap rosulullah dua kali lipat dari eksekusi orang lain, begitu juga para istri Nabi.
Tekanan-tekanan yang dihadapi rosulullah dan kaum muslimin hampir berhasil menciptakan dia tidak tahan lagi berdiam di Mekkah, apalagi setelah orang-orang kafir Quraisy menciptakan rencana untuk membunuhnya. Peristiwa itulah yang melatarbelakangi terjadinya kejadian hijrah ke Madinah.
Allah memberikan ancamanya melalui Nabi Muhammad SAW kepada kaum kafir Quraisy bahwa bila Nabi dan kaum muslimin terusir dari mekkah, maka itu tidak akan dibiarkan oleh Allah. Dalam waktu singkat mereka akan dibinasakan Allah dan selanjutnya negeri Mekkah akan dikuasai kembali oleh kaum mukminin. Janji Allah itu terbukti dengan terbunuhnya para pemimpin Quraisy dalam perang badar yang terjadi pada tahun kedua setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan ditaklukanya kota mekkah pada tahun ke-8 Hijrah.[14]
Dalam ayat ke 77 dijelaskan wacana hukum-hukum Allah yang berlaku umum, sebagaimana yang telah dialami oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Mereka mengalami tekanan-tekanan yang berat dan diusir oleh kaumnya. Tetapi akirnya, Allah memenangkan kaum muslimin dan menghukum mereka yang ingkar. Demikian pula Rosulullah SAW dan para pengikutnya, mereka tidak luput dari tekanan dan penganiayaan kaum musyrikin Mekkah. Namun, hal itu tidak mensugesti keteguhan hati Rosulullah dan pengikut-pengikutnya, meskipun mereka terpaksa hijrah. Janji kemenangan dari Allah akan dating pada waktunya, dan musuh-musuh Allah akan mengalami kekalahan yang besar.
Perlu dijelaskan bahwa eksekusi dengan memusnahkan mereka yang durhaka ibarat yang terjadi pada kaum ‘Ad, Samud, kaum Lut, dan lain-lain yang dikenal dengan istilah azab al-isti’sal (hukuman dengan pemusnahan) tidak diberlakukan lagi setelah Rosulullah Muhammad SAW diutus, alasannya dia pembawa rahmat ke seluruh umat mausia, dan adanya impian bahwa kaum kafir Quraisy atau keturunya akan masuk Islam.[15]
Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ ٣٣
Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kau berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. (Q.S. Al-Anfal: 33)
5. Q.S. Al Ahzab: 62
سُنَّةَ ٱللَّهِ فِي ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗا ٦٢
Artinya: Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kau sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah. (Q.S. Al-Ahzab: 62)
Tafsir Ayat
Dengan demikian, sunah allah yang telah berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw akan berlaku pula bagi generasi yang tiba kemudian. Hal itu mustahil berubah dan pasti berlaku.[16]
Sunah Allah yang dimaksud di dalam ayat tersebut yaitu mengenai azab atau tanggapan kepada orang-orang yang selalu menentang Allah, rasul-rasulnya, serta kaum mukminin. Dalam sejarahnya, bila orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit dihatinya, dan orang-orang yang menyebar informasi bohong di medinah itu tidak berhenti mendustakan allah, menyakiti rasulnya, dan kaum mukminin, pasti Allah memerintahkan Nabinya untuk memerangi mereka sehingga mereka tidak akan sanggup lagi untuk hidup lebih usang lagi di madinah bertetangga dengan Nabi saw. Mereka yang diancam akan diperangi dan dimusnahkan oleh Nabi itu ada tiga golongan manusia:[17]
- Orang-orang munafik yang selalu menetang Allah secara tersembunyi.
- Orang-orang berpenyakit di dalam hatinya , ibarat dengki dan dendam yang selalu menyakiti orang mukmin ibarat mengganggu para perempuan.
- Orang-orang yang menyiarkan kabar bohong dimadinah sehingga menyakiti nabi saw, dengan ucapan mereka bahwa Nabi Muhammad saw akan dikalahkan dan diusir dari medinah dan sebagainya.
Ketiga golongan itu dilaknat di mana saja mereka berada, alasannya sikapnya yang selalu bermusuhan dan meruikan agama dan negara, mereka selalu dikejar untuk ditangkap dan dibunuh. Perlakuan ini termasuk sunah Allah yang tetap berlaku dan tidak akan berubah sepanjang masa.
E. Fungsi Sejarah bagi Kehidupan Manusia
Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam QS Hud ayat 120, yaitu:
“Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), biar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.” (QS Hud : 120).[18]
- Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati.
- Sejarah berfungsi sebagai pengajaran
- Sejarah berfungsi sebagai peringatan
- Sejarah sebagai sumber kebenaran
KESIMPULAN
Secara leksikal al-qishah diambil dari kata “qashsha-yaqushshu” yang berarti menceritakan.
Kisah didalam Al_qur'an yaitu pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Sedangakan orang-orang yang lalai yang tidak memakai nalar pikirannya untuk memahami kenyataan yang ada, maka kisah nabi tersebut tidak akan bermanfaat baginya.
Konsep sejarah dalam Al-Qur’an yaitu untuk mempelajari sunnah, yakni kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan ilahi dalam masyarakat, sehingga tidak mengalami perubahan bagi umat manusia. Sunnatullah itu berlaku bagi semua insan tanpa membedakan suku, ras, dan agama.
Hukum-hukum Allah yang berlaku umum, sebagaimana yang telah dialami oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Mereka mengalami tekanan-tekanan yang berat dan diusir oleh kaumnya. Tetapi akirnya, Allah memenangkan kaum muslimin dan menghukum mereka yang ingkar.
Sunnatullah, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan yang telah berlaku terhadap umat-umat terdahulu, dan bahwa sunnatullah yang dijelaskan itu berlaku bagi semua umat manusia,tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Sunnah tersebut antara lain yaitu “yang melanggar perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya akan binasa, dan yang mengikuti-Nya akan berbahagia”. Yang menegakkan disiplin akan sukses.
Mereka yang menjadi pemimpin masyarakat seharusnya menjadi rujukan teladan bagi masyarakatnya. Bila mereka melanggar hukum, hukumanya lebih berat, yaitu dua kali lipat dari eksekusi orang biasa.
Terdapat empat fungsi sejarah bagi kehidupan manusia, yakni sebagai peneguh hati, pengajaran, peringatan dan sumber kebenaran.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga sanggup memberi manfaat pada penyusun khususnya dan pada pembaca yang budiman pada umumnya. Kami sadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kata tepat dan mengandung banyak kekurangan. Oleh alasannya itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Referensi
[1] Muhammad Fuad Al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut: Daar al-Fikr, 1987), hal. 706
[2] Rachmat Syafe’I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hal. 137-138.
[3] A. Mustofa, Al-Qur’an Hadits kelas XII, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994), hal. 17.
[4] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 225.
[5] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya( edisi disempurnakan), (Jakarta : Lentera Abadi, 2010), hal. 54-57.
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tangerang : Lentera Hati, 2008), hal. 538-539.
[7] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hal. 191.
[8] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hal. 190.
[9] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hal 363
[10] M.Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan dan Pembelajaran dari surah-surah Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hal 135.
[11] Kemetrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid V, (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi, 2010), hal.521
[12] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hal 521.
[13] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 94.
[14] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 521-523.
[15] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hal. 523.
[16] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid VIII, (Jakarta : Penerbit Lentera Abadi, 2010), hal. 42.
[17] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid VIII, (Jakarta : Penerbit Lentera Abadi, 2010), hal. 43.
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007), hal. 235.