Keragaman Individu Dalam Kecakapan Dan Kepribadian




Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru mungkin akan dihadapkan dengan puluhan atau bahkan ratusan penerima didiknya, dengan masing-masing karakateristik yang dimilikinya.
Di antara sekian banyak karakteristik yang dimiliki penerima didik, yang penting dan perlu diketahui guru ialah berkenaan dengan kecakapan dan kepribadian penerima didiknya.Dari segi kecepatan belajar, ada penerima didik yang memperlihatkan cepat dalam menangkap pelajaran, namun sebaliknya ada juga yang sangat lambat. Dari segi kepribadian, guru akan berhadapan dengan ciri-ciri kepribadian para penerima didiknyanya yang khas atau unik.

Berhadapan dengan penerima didik yang mempunyai kecepatan berguru dan mempunyai ciri-ciri kepribadian yang positif, guru mungkin akan menganggap seperti tidak ada hambatan. Namun ketika berhadapan dengan penerima didik yang lambat dalam berguru atau ciri-ciri kepribadian yang negatif, adakalanya guru dibentuk frustrasi. Ujung-ujungnya ia eksklusif saja akan menyimpulkan bahwa penerima didiklah yang salah. Peserta didik dianggap kurang rajin, bodoh, malas, kurang sungguh-sungguh dan sebagainya.
Jika saja guru tersebut sanggup memahami perihal keragaman individu, belum tentu ia akan eksklusif menarik kesimpulan bahwa penerima didiklah yang salah. Terlebih dahulu mungkin ia akan mempelajari latar belakang sosio-psikologis penerima didiknya, sehingga akan diketahui secara akurat kenapa penerima didik itu lambat dalam belajar, selanjutnya ia berusaha untuk menemukan solusinya dan menetukan tindakan apa yang paling mungkin bisa dilakukan biar penerima didik tersebut sanggup membuatkan sikap dan pribadinya secara optimal.
Membicarakan perihal keragaman individu secara luas dan mendalam bekerjsama sudah merupakan kajian tersendiri yaitu dalam bidang Psikologi Diferensial. Untuk kepentingan pengetahuan guru dalam memahami penerima didiknya, di bawah ini akan diuraikan dua jenis keragaman individu yaitu keragaman dalam kecakapan dan kepribadian.
1. Keragaman Individu dalam Kecakapan
Kecakapan individu sanggup dibagi kedalam dua penggalan yaitu kecakapan nyata (actual ability) dan kecakapan potensial (potential ability).
Kecakapan nyata (actual ability) yaitu kecakapan yang diperoleh melalui berguru (achivement atau prestasi), yang sanggup segera didemonstrasikan dan diuji sekarang. Misalkan, sehabis selesai mengikuti proses perkuliahan (kegiatan tatap muka di kelas), pada selesai perkuliahan mahasiswa diuji oleh dosen perihal materi yang disampaikannya (tes formatif). Ketika mahasiswa bisa menjawab dengan baik perihal pertanyaan dosen, maka kemampuan tersebut merupakan atau kecakapan nyata (achievement).
Sedangkan kecakapan potensial merupakan aspek kecakapan yang masih terkandung dalam diri individu dan diperoleh dari faktor keturunan (herediter). Kecakapan potensial sanggup dibagi ke dalam dua penggalan yaitu kecakapan dasar umum (inteligensi atau kecerdasan) dan kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitudes).
C.P. Chaplin (1975) memperlihatkan pengertian inteligensi sebagai kemampuan menghadapi dan beradaptasi terhadap situasi gres secara cepat dan efektif.
Pada awalnya teori inteligensi masih bersifat unidimensional (kecerdasan tunggal), yakni hanya bekerjasama dengan aspek intelektual saja, mirip teori inteligensi yang dikemukakan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factors”-nya. Menurut pendapatnya bahwa inteligensi terdiri dari kemampuan umum yang diberi isyarat “g” (genaral factor) dan kemampuan khusus yang diberi isyarat “s” (specific factor).
Selanjutnya, Thurstone (1938) mengemukakan teori “Primary Mental Abilities”, bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer, yaitu : (1) kemampuan berbahasa (verbal comprehension); (2) kemampuan mengingat (memory); (3) kemampuan nalar atau berfikir (reasoning); (4) kemampuan tilikan ruangan (spatial factor); (5) kemampuan bilangan (numerical ability); (6) kemampuan memakai kata-kata (word fluency); dan (7) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed).
Sementara itu, J.P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi sanggup dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu:
a. Operasi Mental (Proses Befikir)
1) Cognition (menyimpan informasi yang usang dan menemukan informasi yang baru).
2) Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).
3) Memory Recording (ingatan yang segera).
4) Divergent Production (berfikir melebar=banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).
5) Convergent Production (berfikir memusat= hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif).
6) Evaluation (mengambil keputusan perihal apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai).
b. Content (Isi yang Dipikirkan)
1) Visual (bentuk positif atau gambaran).
2) Auditory.
3) Word Meaning (semantic).
4) Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).
5) Behavioral (interaksi non ekspresi yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara).
c. Product (Hasil Berfikir)
1) Unit (item tunggal informasi).
2) Kelas (kelompok item yang mempunyai sifat-sifat yang sama).
3) Relasi (keterkaitan antar informasi).
4) Sistem (kompleksitas penggalan saling berhubungan).
5) Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
6) Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).
Belakangan ini banyak orang menggugat perihal kecerdasan intelektual (unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah yang sanggup mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, mirip Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Howard Gardner (1993), mengemukakan teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai tampak dalam tabel di bawah ini :
INTELIGENSI
KEMAMPUAN INTI
1. Logical – Mathematical
Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir rasional.
2. Linguistic
Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.
3. Musical
Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik.
4. Spatial
Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melaksanakan tranformasi persepsi tersebut.
5. Bodily Kinesthetic
Kemampuan untuk mengontrol gerakan badan dan mengenai objek-objek secara terampil.
6. Interpersonal
Kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.
7. Intrapersonal
Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.
Kecakapan potensial seseorang hanya sanggup dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan klarifikasi perihal aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka intinya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa menghadapi kendala dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak.
Dengan indikator-indikator sikap inteligensi tersebut, para andal membuatkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur asumsi kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak dipakai di Indonesia ialah Tes Binet Simon -- walaupun bekerjsama berdasarkan hemat penulis alat ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau talenta persekolahan (scholastic aptitude), belum sanggup mengukur aspek – aspek inteligensi secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang dikembangkan oleh Raven.
Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut sanggup diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
Rumus yang biasa dipakai untuk menghitung IQ seseorang ialah :
                        MA (Mental Age)
IQ=  100  x
                    CA (Chronological Age)






Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
IQ
KATEGORI
PERSENTASE
> 140
Jenius (Genius)
0.25 %
130-139
Sangat Unggul (Very Superior)
0.75 %
120-129
Unggul (Superior)
6 %
110-119
Diatas rata-rata (High Average)
13 %
90-109
Rata-rata (Average)
60 %
80 - 89
Dibawah Rata-Rata (Low Average)
13 %
70 - 79
Bodoh (Dull)
6 %
50 - 69
Debil (Moron)
0.75 %
25 - 49
Imbecil
0.20 %
<> 
Idiot
0.05 %
Selain memakai instrumen standar, seorang guru intinya sanggup pula mendeteksi dan memperkirakan inteligensi penerima didiknya, melalui pengamatan yang sistematis perihal indikator – indikator kecerdasan yang dimiliki para penerima didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan, dan kemudahan penerima didik dalam dalam menuntaskan tugas-tugas yang diberikan dan mengerjakan soal-soal pada ketika ulangan atau ujian, sehingga pada karenanya akan diketahui kelompok penerima didik yang tergolong cepat (upper group), rata-rata (midle group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya.
Untuk mengukur talenta seseorang, sanggup memakai beberapa instrumen standar, diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science Research Action – Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude Calassification Test).
Alat tes ini sanggup mengungkap perihal : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak.
Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik memakai instrumen standar atau hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan tingkat kecerdasan atau talenta seseorang namun hanya sekedar memperkirakan (prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan atau talenta seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang memilih tingkat keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang.
Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning), Balitbang Depdiknas (1986) telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan penerima didik dilihat dari aspek kecerdasan, kreativitas dan janji terhadap tugas, yaitu:
a. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya);
b. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan;
c. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis
d. Mampu belajar/bekerja secara mandiri;
e. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);
f. Mempunyai tujuan yang terang dalam tiap aktivitas atau perbuatannya
g. Cermat atau teliti dalam mengamati;
h. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah;
i. Mempunyai minat luas;
j. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi;
k. Belajar dengan dan cepat;
l. Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat;
m. Mampu berkonsentrasi;
n. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.


2. Keragaman Individu dalam Kepribadian
Para andal sepertinya masih sangat bermacam-macam dalam memperlihatkan rumusan perihal kepribadian, tergantung sudut pandang masing-masing. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi perihal kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, karenanya ia menemukan satu rumusan perihal kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat ia bahwa kepribadian ialah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang memilih caranya yang unik dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian ialah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas sikap itu khas sehingga sanggup dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, contohnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling bekerjasama dan berpengaruh, sehingga memilih kualitas tindakan atau sikap individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan perihal kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan perihal aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya meliputi :
a. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi akhlak perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
b. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang tiba dari lingkungan.
c. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen
d. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti gampang tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
e. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk mendapatkan resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau mendapatkan resiko secara wajar, basuh tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
f. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan relasi interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Setiap individu mempunyai ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang memperlihatkan ciri-ciri kepribadian yang sehat hingga dengan ciri-ciri kepribadian yang tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth Hurlock (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat atau tidak sehat, sebagai berikut :
KEPRIBADIAN YANG SEHAT
KEPRIBADIAN YANG TIDAK SEHAT
1. Mampu menilai diri sendiri secara realistik
2. Mampu menilai situasi secara realistik
3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik
4. Menerima tanggung jawab
5. Kemandirian
6. Dapat mengontrol emosi
7. Berorientasi tujuan
8. Berorientasi keluar (ekstrovert)
9. Penerimaan sosial
10. Memiliki filsafat hidup
11. Berbahagia
1. Mudah marah
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
4. Bersikap kejam
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari sikap menyimpang
6. Kebiasaan berbohong
7. Hiperaktif
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
9. Senang mengkritik/ mencemooh
10. Sulit tidur
11. Kurang rasa tanggung jawab
12. Sering mengalami pusing kepala
13. Kurang mempunyai kesadaran untuk mentaati aliran agama
14. Pesimis
15. Kurang bernafsu
Berdasarkan uraian diatas kita sanggup memahami bahwa ketika seorang guru berhadapan dengan penerima didiknya di kelas, ia dihadapkan dengan sejumlah keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki para penerima didiknya. Oleh lantaran itu, seyogyanya guru sanggup memperlakukan penerima didik dan membuatkan taktik pembelajaran, dengan memperhatikan aspek perbedaan atau keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki penerima didiknya. Sehingga penerima didik sanggup membuatkan diri sesuai dengan kecepatan berguru dan karakteristik sikap dan kepribadiannya masing-masing.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Keragaman dalam Kecakapan dan Kepribadian
Timbulnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian dipengaruhi oleh bebagai faktor. Kendati demikian, para andal setuju bahwa intinya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu :
a. Herediter; pembawaan semenjak lahir atau berdasarkan keturunan yang bersifat kodrati, mirip : konstitusi dan struktur fisik, kecakapan potensial (bakat dan kecerdasan).
Seberapa kuat imbas keturunan sangat bergantung pada besarnya kualitas gen yang dimiliki oleh orang tuanya (ayah atau ibu). Berdasarkan percobaannya dengan cara mengawinkan bunga merah dengan bunga putih, Gregor Mendel mengemukakan pandangannya, bahwa : (1) tiap-tiap sifat (traits) makhluk hidup itu dikendalikan oleh keturunan; (2) tiap-tiap pasangan faktor keturunan memilih bentuk alternatif sesamanya, dan satu dari pada pasangan alternatif itu memegang imbas besar; dan (3) pada waktu proses pembentukan sel-sel kelamin, pasangan faktor keturunan itu memisah, dan tiap-tiap sel kelaminnya mendapatkan salah satu faktor dari pasangan keturunan itu. Hasil percobaan Mendel ini menjelaskan kepada kita bahwa faktor keturunan memegang peranan penting bagi sikap dan pribadi individu.
Beberapa asas perihal keturunan di bawah ini akan memperlihatkan citra pembanding kepada kita perihal apa-apa yang diturunkan dari orang renta kepada anaknya :
1) Asas Reproduksi
Menurut asas ini bahwa kecakapan (achievement) dari masing-masing ayah atau ibunya tidak sanggup diturunkan kepada anak-anaknya. Sifat-sifat atau ciri-ciri sikap yang diturunkan orang renta kepada anaknya hanyalah bersifat reproduksi, yaitu memunculkan kembali mengenai apa yang sudah ada pada hasil perpaduan benih saja, dan bukan didasarkan pada sikap orang renta yang diperolehnya melalui hasil berguru atau hasil berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Asas Variasi
Bahwa penurunan sifat pembawaan dari orang renta kepada anak-anaknya akan bervariasi, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini disebabkan lantaran pada waktu terjadinya pembuahan komposisi gen berbeda-beda, baik yang berasal dari ayah maupun ibu. Oleh lantaran itu, akan didapati beberapa perbedaan sifat dan ciri-ciri sikap individu dari orang yang bersaudara, walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama, sehingga mungkin saja kakaknya lebih banyak ibarat sifat dan ciri-ciri sikap ayahnya sedangkan adiknya lebih banyak ibarat sifat dan ciri-ciri sikap ibunya atau sebaliknya.
3) Asas Regresi Filial
Terjadi pensurutan sifat atau ciri sikap dari kedua orangtua pada anaknya yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik dalam perpaduan pembawaan ayah dan ibunya, sehingga akan didapati sebagian kecil dari sifat-sifat ayahnya dan sebagian kecil pula dari sifat-sifat ibunya. Sedangkan perbandingannya mana yang lebih besar antara sifat-sifat ayah dan ibunya ini sangat tergantung kepada daya kekuatan tarik menarik dari pada masing-masing sifat keturunan tersebut.
4) Asas Jenis Menyilang
Menurut asas ini bahwa apa yang diturunkan oleh masing-masing orang renta kepada anak-anaknya mempunyai target menyilang jenis. Seorang anak wanita akan lebih banyak memilki sifat-sifat dan tingkah laris ayahnya, sedangkan bagi anak pria akan lebih banyak memilki sifat pada ibunya.
5) Asas konformitas
Berdasarkan asas konformitas ini bahwa seorang anak akan lebih banyak mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laris yang diturunkan oleh kelompok rasnya atau suku bangsanya.Misalnya, orang Eropa akan ibarat sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laris mirip orang-orang Eropa lainnya dibandingkan dengan orang-orang Asia.
b. Environment; lingkungan daerah di mana individu itu berada dan berinteraksi, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya ialah belajar.
Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, lantaran dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pada imbas lingkungan itu, lantaran lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.
Sejauh mana imbas lingkungan itu bagi diri individu, sanggup kita ikuti pada uraian berikut :
1) Lingkungan menciptakan individu sebagai makhluk sosial
Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusia-manusia lain yang sanggup memperlihatkan imbas dan sanggup dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya.
Terputusnya relasi insan dengan masyarakat insan pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan menjadikan berubahnya watak insan sebagai manusia. Berubahnya watak insan sebagai insan dalam arti bahwa ia tidak akan bisa bergaul dan bertingkah laris dengan sesamanya.
Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak insan yang semenjak lahirnya dipisahkan dari pergaulan insan hingga kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak ia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah sanggup dipastikan bahwa ia tidak akan bisa berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun ia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali.
2) Lingkungan menciptakan wajah budaya bagi individu
Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber ide dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan sanggup membentuk pribadi seseorang, lantaran insan hidup ialah insan yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Lingkungan mempunyai peranan bagi individu, sebagai :
a) Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air sanggup dipergunakan untuk minum atau menjamu sobat ketika berkunjung ke rumah.
b) Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk sanggup menundukkannya. Contoh : air banjir pada ekspresi dominan hujan mendorong insan untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.
c) Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memperlihatkan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga usang kelamaan ia pun bermetamorfosis anak yang rajin.
d) Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga dikamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melaksanakan manipulation yaitu mengadakan perjuangan untuk menggandakan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu biar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya ia merasa mual lantaran kedaluwarsa obat-obatan, namun lama-kelamaan ia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, lantaran dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.
c. Maturity; kematangan yang mengacu pada tahap-tahap atau fase-fase perkembangan yang dijalani individu. Kematangan pada awalnya merupakan hasil dari adanya perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktural pada diri individu, mirip adanya kematangan jaringan-jaringan tubuh, otot, syaraf dan kelenjar. Kematangan mirip ini disebut kematangan biologis. Kematangan terjadi pula pada aspek-aspek psikis, mirip : kemampuan berfikir, emosi, sosial, moral, dan kepribadian, religius. Kematangan aspek psikis ini diharapkan adanya latihan dan berguru tertentu.
Ketiga faktor tersebut di atas sanggup dibentuk formulasi sebagai berikut :
P= f (H.E.M)


 seorang guru mungkin akan dihadapkan dengan puluhan atau bahkan ratusan penerima didiknya KERAGAMAN INDIVIDU DALAM KECAKAPAN DAN KEPRIBADIAN

P= Pribadi atau sikap
f = fungsi
H= Herediter (pembawaan)
E=Environment (lingkungan, termasuk belajar)
M=Maturity (tingkat kematangan)

Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.