Makalah Ibj Dinamika Islam Dan Budaya Jawa Dalam Menghadapi Modernitas


Dinamika Islam dan Budaya Jawa dalam menghadapi modernitas

I.       PENDAHULUAN
Bangsa yang besar yaitu bangsa yang  terus berpijak pada akar budaya, kemanapun bangsa tersebut berkembang. Apalah arti nilai nilai adiluhung yang terkandung dalam budaya tersebut apabila kelak akan terhenti pada suatu generasi. Seberapa bersahabat sang penerus menjaga akar kebudayaanpun balasannya menjadi suatu factor tertentu kebesaran sebuah bangsa. Budaya jawa, sebagai satu dari sekian ragam budaya yang dimiliki bangsa kita tengah bangun menghadapi tantangan yang juga menjadi tantangan setiap budaya di dunia modernisasi.
Kita patut bersyukur bahwa semenjak dahulu budaya jawa tumbuh sebagai budaya yang mempunyai sansibilitas dan fleksibilitas yang tinggi terhadp perubahan-perubahan di sekitarnya. Nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya pun tak pernah langka oleh waktu, menjadikannya sebagi budaya yang kokoh menghadapi gerusan jaman. Namun, tentu itu semua tak lantas kita terbebas dari kewajiban kita dalam menjaga kelonggaran dalam budaya jawa.  
     II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Perpaduan Nilai Budaya Jawa dan Islam
B.     Isi dan Wujud Budaya Jawa Islam
C.     Enkulturasi Nilai Budaya Jawa Islam
D.    Nilai Budaya Jawa Islam di Tengah Modernisasi
    III. PEMBAHASAN
A.    Perpaduan Nilai Budaya Jawa dan Islam
Perubahan suatu lingkungan sanggup menimbulkan terjadinya perubahan kebudayaan, dan perubahan kebudayaan sanggup pula terjadi lantaran prosedur lain, menyerupai munculnya inovasi gres atau invention, difusi, atau akulturasi. [1]
Islam masuk ke Jawa, masyarakat telah mempunyai kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber dari animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Selanjutnya yang dimaksud dengan nilai ialah ‘…is a normative patterns which defines desirable behaviour for a sistem in relation to its environment, without differention a term of the functional of unit or of their particular situations’ (T. Parsons, 1973: 75). Artinya suatu perbedaan aksara tanpa membedakan fungsi dari kesatuan ataupun situasi. Dengan kata lain ia selalu terangkum dalam segala prilaku dan bahkan menjadi titik tolak dalam memilih kerangka berfikir.[2]
Dengan masuknya Islam di tanah Jawa, perpaduan antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha, dan Islam terjadi pada waktu berikutnya. Islam dengan beberapa unsur budaya Jawa terdahulunya terdapat noktah kesamaan. Nilai budaya pra Hindu yang animistis dan magis sejalan dengan Hinduisme dan Budhisme yang bercorak relagius magis. Sewaktu budaya jawa yang animistis magis bertemu dengan unsur budaya Islam yang monotheistis, maka terjadilah pergumulan yang menghasilkan Jawa Islam yang sinkretis dan islamis yang puritan. Di kalangan Jawa Islam inilah tumbuh dan berkembangnya budaya Jawa Islam, yang mempunyai ciri belahan luar yaitu Jawa sinkretis. Islam digambarkan sebagai ’wadah’ sedangkan ’isinya’ yaitu Jawa.[3]
Menurut pendapat Sahlins wacana pembiasaan dalam persebaran budaya, Frans Magnis Suseno menilai bahwa hal itu juga terjadi pada masyarakat Jawa. Menurutnya, Jawa mmiliki ciri khas (nilai) yang elastis dan terbuka walaupun suatu ketika terpengaruh unsur kebudayaan lain, tetapi kebudayaan Jawa masih tetap sanggup dipertahankan keasliannya. Meski secara hakikat nilai tersebut dipertahankan secara simbolik. Dengan demikian inti budaya Jawa tidak larut dalam Hinduisme dan Budhisme, tetapi juga unsur budaya impor tersebut sanggup dijawakan.[4]
Selain dari sifat dasar budaya yang terbuka, perpaduan nilai budaya Jawa Islam tidak terlepas sikap toleran Walisongo dalam memberikan pedoman Islam ke tengah masyarakat Jawa yang telah mempunyai keyakinan pra Islam yang sinkretis itu. Dengan metode manut milining banyu para wali membiarkan etika istiadat Jawa tetap hidup, tetapi diberi warna nilai keislaman, menyerupai program sesajen diganti kenduri atau selametan. Sesajen yang mulanya disertai mantra, kemudian dalam selametan dialihkan untuk membaca kalimah thayyibah.
Sebenarnya konsepsi perkawinan budaya Jawa Islam banyak terjadi di sekitar kita. Namun terkadang kita tidak sadar akan kenyataan yang menyerupai itu. Karena salah satu bentuk penyebaran budaya sanggup melalui kisah tutur yang bebuyutan dari nenek moyang tanpa harus melewati pengkajian lebih mendalam wacana hakikat yang diajarkan. Pada gilirannya kopsepsi yang diwariskan itu berakar urat menjadi sebuah mitos. Mitos yang kadang konsepsi tersebut tidak sanggup dinalar secara logika yang sehat. Meskipun itu membawa suatu nilai yang tidak kita sadari pula.
Paling tidak ada dua factor yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam tersebut, yaitu pertama, secara alamiah, sifat dari budaya itu pada hakikatnya terbuka untuk mendapatkan unsure budaya lain. Karena lapangan budaya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, maka tidak ada budaya yang sanggup tumbuh terlepas dari unsure budaya lain.
Selain sifat dasar budaya yang terbuka, maka terjadilah perpaduan nilai budaya Jawa Islam tidak terlepas dari factor pendorong kedua, yaitu sikap toleran para walisongo dalam memberikan pedoman Islam di tengah masyarakat Jawa yang telah mempunyai keyakinan pra Islam yang sinkretis itu.[5]
B.     Isi dan Wujud Budaya Jawa Islam
Manusia dalam laris perbuatannya selalu mempunyai tujuan yang berharga/bernilai. Dan, nilai-nilai itulah yang menggerakkan insan untuk melahirkan konsep, gagasan, ide, sikap serta bentuk-bentuk kebudayaan fisik.
Nilai budaya budaya jawa Islam yang ”religius magis” itu telah tertanam begitu berpengaruh dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang bebuyutan di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seeorang lantaran semenjak kecil telah di biasakan dengan etika istiadat jawa islam yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakat. Upaya mengganti nilai budaya yang sudah mapan dengan nilai budaya lain memerlukan waktu yang lama.[6]
Dilihat dari proses pertumbuhan nilai budaya jawa islam, nilai itu muncul dalam masa transisi antara periode jawa Hinduisme dengan islam. Oleh lantaran itu, nilai budaya pra islam yang bercorak  sinkretis tidak gampang untuk digantikan oleh budaya islam. Yang bersumber pada asas monotheis. Jadi, yang tercipta kemudian yaitu perpaduan antara nilai budaya jawa dengan  nilai budaya islam. Ketika nilai budaya jawa yang animistis magis berbenturan dengan nilai budaya islam yang monotheis, maka bentuk perpaduannya yaitu akulturasi. Di mana unsur budaya jawa masih tampak, demikian pula unsur islamnya. Misalnya puasa yang disertai puji dina.
Di kalangan orang jawa dikenal beberapa macam puasa menyerupai puasa putih, patigeni, ngebleng, dan lain-lain, yang merupakan bentuk dari tirakat. Di antara puasa itu ada yang disertai dengan dzikir yang diambilkan dari asmaul husna. Seperti puasa yang dilakukan pada hari jumat, dengan tidak makan nasi sehari semalam, disertai dzikir : Ya Kafiyu (Ya Qowiyyu=Yang maha kuat) sebanyak 103 kali semalam. Orang yang melakukannya dipercayai akan mendapatkan anugerah Tuhan.[7] Selain bentuk akulturasi, ada pula nilai budaya jawa yang berpadu dengan nilai budaya islam dalam bentuk asimilasi, dimana unsur-unsur dua budaya itu sanggup menyatu sehingga tak sanggup dipisahkan, contohnya gapura. Bentuk gapura itu tidak mengalami perubahan pada budaya jawa maupun islam. Gapura yang terdapat ditempat ibadah umat Hindu (pura), tidak berbeda dengan yang ada dimasjid maupun makam-makam.[8]
C.    Enkulturasi Nilai Budaya Jawa Islam
Enkulturasi nilai budaya Jawa Islam selain dilakukan secara individual oleh masyarakat, namun dilakukan juga oleh penguasa istana. Seperti referensi Sultan Agung, mengislamisasi budaya Jawa melalui penggantian kalender tahun Saka menjadi tahun Jawa. Tahun Jawa ialah adopsian hitungan kalender Hijriyah. Usaha islamisasi budaya Jawa tersebut dilanjutkan dengan sosialisasi sehingga budaya Jawa Islam tersebar secara luas di kalangan masyarakat keturunannya, yaitu raja-raja Surakarta dan Yogyakarta pada era 19, di antaranya melalui serat-serat yang memuat pedoman moral maupun gaib Jawa yang dipadukan dengan Islam.
Ditinjau dari kepatuhan terhadap norma-norma beserta sanksinya, terdapat dua kategori norma, yaitu tata cara (folkways) dan etika istiadat (mores). Tata cara yaitu suatu rangkaian perbuatan yang juga telah membaku dalam pelaksanaan suatu jenis adat. Dengan kata lain tata cara itu intinya hanya merupakan rincian teknis pelaksanaan adat. Sedangkan definisi etika berdasar pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) ialah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Dapat disimpulkan bahwa etika bersifat lebih kompleks, yang menyangkut aneka macam nilai.[9]
Adanya beberapa factor yang mengancam eksistensi tradisi jawa merupakan salah satu faktor yang mendorong kalangan Kraton untuk menjaga kelestarian budaya jawa islam. Karena raja-raja Surakarta pada masa itu, walaupun telah memeluk islam, tetapi masih mempertahankan budaya pra islam lantaran adanya aneka macam kepentingan.
  
D.    Nilai Budaya Jawa Islam di Tengah Modernisasi
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Sebagai pandangan dan sikap hidup, sama juga dengan suku-suku bangsa yang ada di Indonesia, kebudayaanpun bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Persentuhan itu menimbulkan akulturasi budaya.[10]
Kebudayaan jawa di tengah arus globalisasi, masyarakat jawa pengusung kebudayaan jawa tidak sanggup tidak terbawa arus glombang masifikasi budaya-budaya dari etnik-etnik yang ada di Indonesia dan belahan bumi mana saja.[11]
Kebudayaan yaitu hasil berfikir dan merasa insan yang terwujut dalam kehidupan sehari-hari. Wujud budaya tidak lepas dari situasi daerah dan waktu di hasilkannya unsure waktu tersebut. Oleh karenanya dalam kebudayaan dikenal adanya perubahan, dengan terjadinya globalisasi di era modern ini ada unsure budaya local yang mempunyai nilai universal dan di temukan pada bangasa-bangsa yang ada di belah dunia lainnya.
Dalam proses perubahan kebudayaan ada unsure-unsur kebudayaan yang gampang berubaha dan yang sukar berubah berkaitan dengan hal ini, linthon membagi kebudayaan menjadi inti kebudayaan kovertkultur dan perwujudan kebudayaan overtkultur belahan inti terdiri dari system budaya keyakinan keagamaan yang di anggap kramat, beberapa pembiasaan yang telah mapan dan telah tersebar luas di masyarakat. Bagian inti kebudayaan sulit berubah menyerupai agama adatiadat maupun system nilai budaya. Sementara itu wujud kebudayaan yang merupaan belahan luar atau fisik dari kebudayaan menyerupai alat-alat atau benda hasil seni budaya gampang untuk berubah.
Dengan memakai kerangka teori tersebut maka nilai budaya jawa islam sulit berubah dimasa modern ini lantaran berkaitan dengan keyakinan keagamaan dan etika istiadat. Dalam konteks terjadinya perubahan kearah mordenesasi yang berciri nasionalistis, matrealistis, legaiter maka nilai budaya jawa di harapkan pada tantangan budaya global. Diantara nilai keuniversalan itu terletak pada nilai spiritual yang relegius magis. Nilai yangrelegius magis pada era modern ini juga di temukan pada budaya-budaya bangsa di negeri ini, tidak terbatas pada budaya jawa.  Maka nilai ini tampak akan hidup di masyarakat menganutnya lantaran adanya mengembangkan factor penyebab antara lain nilai spiritual jawa yang sinkretis, yang dalam realitsnya tidak gampang hilang dengan munculnya rasionalisasi diberbagi segi kehidupan lantaran di perlukan dalam menghadapi aneka macam tantangan hidup yang muncul di abat modern. Namun, dalam kenyataannya masyrakat, ada adapt istiadat jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga di pandang tidak mempunyai nilai magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni. Misalnya, rangakaian upacara dalam perkawinan.
Kehidupan spiritual di era modern ini secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk di kalangan masyarakat jawa. Hal ini di sebabkan lantaran sebagian besar orang muali merasa efek negative dari budaya modern yang hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering dari nilai spiritual. Mereka cenderung mengutamakan hal yang bersifat materi dan rasional., tetapi melupakan nilai social dan batiniah. Sejalan dengan hal itu, maka banyak orang merindukan keetenangan batin dan larilah mereka ke pedoman agama dan kehidupan spiritual termasuk spiritualitas jawa islam, yang mulai banyak dilirik kembali oleh masyrakat modern.
Kehidupan spiritual di butuhkan pula oleh insan modern di ketika terjadi persaingan ketat yang menuntut profosionalisme dan kualitas tinggi di aneka macam bidang. Hal ini mengakibatkan banya orang yang sters, dan mereka mencari ketenangan batin, di antaranya dengan kembali pada tradisi spiritual jawa islam yang sinkretis. Tidak mengherankan jikalau di era moderen ini upacara yang semenjak dulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak dilakukan lagi, seperi ruwatan untuk membuang sial.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, unsure budaya jawa islam dalam beberapa bidang memang memerlukan reinterprestasi biar sesuai dengan perubahan yang terjadi pada msyarakat. Misalanya ungkapan-ungkapan yang selama ini di tangkap secara tekstual tidak sesuai lagi, perlu di beri pemakanaan rasional. Seperti selogan alon-alon waton kelakon. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan etos kerja dan sikap orang jawa yang  terkesan selalu lambat. Untuk masa sekarang, hal ini tentu tidak cocok lagi lantaran dalam kehidupan modern di tuntut adanya efisiensi waktu sehingga pekerjaan perlu dilakukan secara cepat dan tepat.[12]


[1] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hal. 278
 [2] http://www.waspada.com
[3] M. Darori Amin, Op., cit., hal. 278-279
[4] http://www.waspada.com
 [5] M. Darori Amin, Op., cit., hal. 277-279
[6] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 76
[7] Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa : Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: IKAPI,  1995), hal 269
[8] M. Darori Amin, Op., cit., hal. 281-282
[9] M. Darori Amin, Op., cit., hal. 282-283
[11] Koenjaraningrat, manusia dan kebudayaan di  indonesia, (Jakarta: djambatan, 2002), hal. 97-98
             [12] Ibid, hal. 101-102
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.