A. Latar Belakang
Birokrasi dan politik bagai 2 mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Birokrasi serta politik memang ialah dua institusi yg mempunyai huruf yg erbeda, namun saling mengisi. Dua huruf yg tidak sama antara ini memerikan sisi posit
if terkait menggunakan sinergi, tetapi disisi lain tidak sanggup dipisahkan menggunakan aroma perselingkuhan.[1] Syafuan Rozi menyatakan bahwa birokrasi menjadi wewenang atau kekuasaan yang beragai departemen pemerintahan serta cabang-cabangnya memperebutkan sesuatu buat kepentingan diri sendiri mereka sendiri, atau sesame rakyat negara.[2] karakteristik Istimewa birokrasi ialah bentuk institusi yang berjanjang, rekuitmen berdasarkan keahlian, danb ersifat impersonal.Sedangkan politik artinya usaha buat menentukan peraturan-peraturan yang sanggup diterima baik oleh sebahagian besar masyarakat buat membawa masyarakat kearh kehidupan beserta yang harmonis.[3]
sesuai studi Guelermo O'Donnel bahwa negara telah muncul menjadi kekuatan politik yang tidak hanya cukup sanggup berdiri diatas kaki sendiri berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya serta masyaraklu sipil, namun dia sudah menjadi kekuatan lebih banyak didominasi yg marnpu mengatasi keduanya. Otoritarian Birokratik memang diciptakan buat melaksanakan pengawasan yg kuat terhadap warga sipil, terutama pada upaya mencegah massa rakyat di bawah keterlibatan politik yg terlampau aktif semoga proses akselerasi industrialisasi tak tergangggu (Guelermo O'Donnel dalam Muhammad Alaihi Salam Hikam, Jurnal IImu Politik No.8, AIPI LIPI Jakarta 1991: 68).
Studi Fred W Rigg perihal Bureaucratic Polity dan GuelermO'Donnel ihwal Bureaucratic Authoritarian nampaknya menggarisbawahi bahwa dalam rakyat pribadi posisi birokrasi telah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legitimasi politik melalui wahana birokrasi. Bila dalam studi Rigg birokrasi. Berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah, maka pola O'Donnell birokrasi itu tidak hanya berkolaborasi dengan kekuasan namun jua melibatkan diri hampir di seluruh bidang aktivitas. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun menjalar hingga pada kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk pula ideologi.
B. Rumusan masalah
Politik, kekuasaan, serta birokrasi pada dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan kesatuan yg tidak terpisahkan. Korelasi ketiganya sanggup dilacak asal sejarah awal pembentukan negara ini, asal masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik menarik politik serta kekuasaan besar lengan berkuasa kuat terhadap pergeseran fungsi serta kiprah birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani serta berpihak kepada rakyat berkembang sebagai melayani penguasa menggunakan keberpihakan pada politik serta kekuasaan. Sampai waktu ini, efek kuat pemerintah terhadap birokrasi membentuk sulitnya mesin birokrasi member pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Pada Indonesia hubungan birokrasi serta politik sudah melahirkan banyak studi, antara lain, Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi pada Indonesia ialah pola bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan di negara serta menyingkirkan kiprah warga asal ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia menjadi bureaucratic capitalism. Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesiaberkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson merupakan pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran structural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel merupakan pola birokratisasi menjadi proses ekspansi kekuasaan Pemerintah menggunakan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik serta sosial menggunakan peraturan, regulasi serta Jika perlu melalui paksaan. Menggunakan demikian birokrasi di Indonesia tidak menjelma lebih efisien, tetapi justru kebalikannya inefisiensi, berbelit-belit serta poly aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai jua dengan tingginya pertumbuhan pegawai serta pemekaran struktur organisasi serta berakibat birokrasi semakin akbar serta membesar. Birokrasi jua semakin mengendalikan serta mengontrol rakyat dalam bidang politik, ekonomi serta sosial.[4]
Cap birokrasi Indonesia menyerupai itu ternyata bukan hingga pada situ saja, namun melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Identitas asal birokrasi patrimonial merupakan (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dicermati menjadi asal kekayaan serta laba; (tiga) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan langsung serta politik. Keluarnya birokrasi patrimonial di Indonesia ialah kelanjutan dan warisan asal system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau serta bercampur menggunakan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi terkini tetapi warisan birokrasi tradisional pula mewarnai dalam perkembangan birokrasi pada Indonesia.
Bergulirnya roda reformasi semenjak 1998 menuntut supaya terjadi perubahan pada segala bidang, tidak terkecuali problem birokrasi. Terjadinya perubahan sistem politik tentunya pula mensugesti sistem birokrasi apalagi Indonesia yg menggunakan sistem Demokrasi, mau tidak mau Indonesia jua turut membuka arus globalisasi. Penulis berasumsi bahwa, dengan arus demokrasi serta globalisasi tentu mensugesti birokrasi pada nasional.
C. Pertanyaan Penelitian
berdasarkan rumusan kasus yang sudah penulis uraikan sebelumnya maka penulisan makalah ini menitik beratkan Bagaimana hubungan birokrasi serta politik di Indonesia setelah adanya reformasi politik 1998? Terkait dengan adanya perubahan sistem politik serta arus globalisasi yg masuk ke Indonesia secara terbuka.
D. Landasan Teori
Birokrasi berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi suatu rakyat. Semakin terkini suatu rakyat, pada arti semakin demokratis dan semakin makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak tuntutan baru. Berkembangnya jaringan birokrasi (bureaucratization) ialah upaya memenuhi tuntutan gres tersebut (Riswanda Imawan, 1998: 85). Pada terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat pola birokrasi yg umumnya ditemui dalam praktik pembangunan pada beberapa negara di global. Keempat pola tadi meliputi model birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, serta Orwellian. Secara lebih rinci keempat model birokrasi tadi sanggup diuraikan menjadi berikut.
Contoh birokrasi Weberian digagas oleh Max Weber, seprang tokoh krusial yg menjelaskan konsep birokrasi terkini. Weberian mengarah di model birokrasi yang memfungsikan birokrasi sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber. Setidaknya ada 7 (tujuh) kriteria-kriteria ideal birokrasi yg digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya pembagian kerja yang kentara; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4) bersifat tak pribadi (impersonal); lima) pengambilan keputusan perihal penempatan pegawai yg didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan terang asal kehidupan pribadi (Stephen P. Robbins, 1994: 338).
Birokrasi Parkinsonian artinya pola birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi. Parkinsonian dilakukan menggunakan membuatkan jumlah anggota birokrasi buat menaikkan kapabilitasnya menjadi alat pembangunan. Pada satu sisi, Parkinsonian diharapkan untuk mengakomodasikan perkembangan rakyat yang semakin maju, pada sisi lain Parkinsonian diharapkan buat mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin bertumpuk (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 192). Birokrasi Jacksonian merupakan model birokrasi yang membuahkan birokrasi menjadi akumulasi kekuasaan negara serta menyingkirkan rakyat pada luar birokrasi asal ruang politik dan pemerintahan. Jacksonian, sebetulnya diambil berasal nama seseorang jenderal militer yg tangguh dan seorang negarawan yang populer menjadi mantan Presiden Amerika perkumpulan yang ke-7 (1824-1932) – menjabat 2 kali – yaitu Andrew Jackson (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 194).
Birokrasi model Orwellian ini merupakan pola yang menempatkan birokrasi menjadi alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol terhadap rakyat. Ruang motilitas masyarakat sebagai terbatas, tampaknya ”bernafas” saja dikontrol oleh birokrasi. Hal itu dikarenakan pada banyak sekali hal terkait dengan kehidupan masyarakat harus meminta ijin kepada birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu pada Amerika serikat. Di waktu Ronald Reagen menjabat presiden (1981), dia mengadakan pemangkasan terhadap birokrasi. Pada ketika itu pada Amerika serikat buat mengurusi hamburger saja, terdapat ratusan peraturannya yg berimplikasi di semakin banyaknya jumlah pegawai. Buat itu diadakan pemangkasan dan pegawainya dikurangi (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 195).
E. Pembahasan dan Analisis
1. Politisasi Birokrasi di Indonesia.
Pada Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik lantaran kelemahan kelas menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan juga kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yg primer. Menjadi alat primer pembangunan, birokrasi mempunyai posisi dan peran yg sangat strategis alasannya ialah menguasai aneka macam aspek hajat hayati masyarakat. Mulai berasal urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, rakyat tidak bisa menghindar berasal urusan birokrasi. Birokrasi menguasai saluran ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai saluran pengetahuan serta isu yg tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi pula memegang peranan krusial pada perumusan, aplikasi, serta supervisi aneka macam kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis bila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi di area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan buat mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan sang partai pribadi atau pihak pemegang kekuasaan.
Ini terjadi di masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an pada mana partai politik sebagai bintang film sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan awam pertama yg demokratis berlangsung pada periode ini. Dan birokrasi, secara massif, sudah menjadi objek konflik kepentingan serta arena perlombaan imbas oleh partai politik, sebagai balasannya menimbulkan polarisasi serta fragmentasi birokrasi. Ad interim peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tak membuat perubahan mendasar pada birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme ketika itu mengakibatkan kiprah partai mulai termarjinalkan. Seluruh kehidupan politik yg sudah berkembang sebelumnya, diberangus menggunakan menempatkan Presiden Soekarno menjadi patron kekuasaan. Waktu itu, satu-satunya partai yg sanggup menarik keuntungan lantaran kedekatannya menggunakan Presiden Soekarno artinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Tetapi Soekarno, PKI, serta sayap militer angkatan darat yg dimobilisir Soeharto terlibat pada pergolakan politik yang mencapai puncaknya di insiden Gerakan 30 September (G30S). [5]
Ini tentu menimbulkan fragmentasi dalam birokrasi. Peralihan ke Orde Baru (1966-1998) ini artinya insiden perubahan konfigurasi politik yang relatif drastis. Terjadi polarisasi politik yang diperketat menuju ke pola penguasaan militer serta Golongan Karya (Golkar). Hal ini menimbulkan kekuatan militer pada masa Orde Baru berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya menjadi sarana represif. Bedanya menggunakan masa sebelumnya, birokrasi masa Orde Baru tidak lagi terfragmentasi sang pertarungan kepentingan partai-partai, namun terjebak pada hegemoni kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yg didominasi militer. Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi sahih-sahih sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran, sehabis keruntuhan Orde Baru 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralitas politik birokrasi.
Tuntutan reformasi ini sebetulnya telah direspon sebagian sang rezim pemerintahan pascaSoeharto. Korelasi antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi menggunakan Golkar beserta kino-kino derivasinya. Sementara Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), menjadi satu-satunya wadah pegawai negeri, disingkirkan menjadi wadah korporatik yang merantai abdnegara birokrasi. Pasca reformasi, ikhtiar buat melepaskan birokrasi dari kekuatan dan imbas politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden ketika itu, mengeluarkan PP angka 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yg menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan legalisasi UU nomor 43 Tahun 1999 perihal utama-utama Kepegawaian buat menggantikan UU nomor 8 Tahun 1974. Pada dasarnya membolehkan PNS bekerjasama dengan partai, tetapi Bila menjadi anggota partai eksklusif, maka dia dihentikan aktif pada jabatannya pada partai politik. Ketentuan yang sama jua berlaku bagi unsur militer (Tentara Nasional Indonesia) dan kepolisian (Polisi Republik Indonesia).
Meski demikian paras birokrasi pada Indonesia tampaknya tidak pernah berubah dalam hal pelayanan terhadap publik. Asal dulu belum terdapat perubahan yg berarti. Birokrasi tetap diliputi banyak sekali praktik penyimpangan serta inefisiensi. Birokrasi dalam poly hal masih membagikan ”watak buruknya” menyerupai enggan terhadap perubahan (status quo), tertentu, kaku, dan terlalu dominan. Indikator lain yg merefleksikan potret buruk birokrasi ialah tingginya biaya yang dibebankan buat layanan publik baik yg berupa sah cost juga illegal cost, menyerupai ketika tunggu yang usang, banyaknya pintu layanan yg wajib dilalui, atau service style yang tidak berperspektif pelanggan. Penyebab lainnya ialah rendahnya kompetensi birokrat yang disinyalirdisebabkan sang renggangnya kualitas rekrutmen dan rendahnya kualitas training kepegawaian dan dominannya kepentingan politis pada kinerja birokrasi. Buruknya kinerja birorkasi ini pada akhirnya mensugesti motilitas pembangunan serta daya saing usaha. Dari Human Development Index (HDI) yang dipaparkan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2004, Indonesia berada pada peringkat ke-111 dari 177 negara, setingkat di atas Vietnam dan jauh di bawah negara tetangga lainnya macam Singapura atau Malaysia. Sementara merujuk laporan dunia Competitiveness Report 2003-2004 yg meliputi aspek pertumbuhan dan bisnis, indeks daya saing pertumbuhan Indonesia turun ke peringkat 72 berasal 102 negara di tahun 2003, dibandingkan dengan peringkat ke-69 di 2002.
2. Menetralisasi Birokrasi dan Politik
ihwal seputar netralitas birokrasi sebetulnya bukan anutan yang baru. Tema ini telah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhadap filsafat Hegel ihwal negara sedikitnya menggambarkan bahwa netralitas birokrasi itu krusial, sekalipun dalam kritiknya, Marx hanya mengganti "isi" asal teori Hegel wacana 3 kelompok pada warga ; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang diwakili oleh para pengusaha serta profesi, kelompok kepentingan awam (general interest) yang diwakili oleh negara, serta grup birokrasi.
Marx menyatakan bahwa birokrasi usahakan memposisikan dirinya menjadi grup sosial tertentu yang bisa sebagai instrumen gerombolan dominan/penguasa. Jikalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yg diwakili oleh pengusaha serta profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Menggunakan konsep menyerupai ini, Marx menginginkan birokrasi harus memihak pada kelompok pribadi yg berkuasa. Sedangkan Hegel menggunakan konsep 3 kelompok dalam warga di atas menginginkan birokrasi wajib berposisi pada tengah menjadi mediator antara grup kepentingan awam (negara) menggunakan kelompok kepentingan khusus (pengusaha serta profesi). Birokrasi pada hal ini, berdasarkan Hegel, wajib netral (Anshori, 2004). Sedangkan berdasarkan Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, pada kaitannya menggunakan netralitas birokrasi, berada pada luar belahan politik. Sebagai balasannya konflik birokrasi/administrasi hanya terkait menggunakan problem usaha serta wajib terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).
Konsep dasar yg diletakkan Wilson kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya menyerupai D. White, Willoughby dan Frank Goodnow. Berdasarkan Goodnow, ada 2 fungsi pokok pemerintah yg amat tidak selaras satu sama lain, yaitu politik serta adiministrasi. Politik berdasarkan Goodnow wajib menghasilkan dan merumuskan kebijakan-kebijakan, ad interim manajemen bekerjasama menggunakan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan supaya timbul tanggung jawab dan mampu meneguhkan posisi birokrasi di hadapan . Untuk menghindari munculnya birokrasi yg adikara (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat wajib benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial serta politik yang ada melalui lembaga legislatif supaya birokrasi pemerintah tidak kebal kritik, serta merasa tak pernah keliru, serta sombong. Sedangkan menjadi lembaga pelayanan publik, semoga pelayananannya kepada warga serta pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral, pada artian birokrasi tidak memihak kepada atau asal berasal satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan pada proses pembuatan kebijakan
atau pengambilan keputusan.
Di Indonesia, upaya melepas birokrasi berasal efek politik bukan lagi sekedar tentang. Seperti sudah disinggung di atas, di masa kePresidenan Habibie, telah dimuntahkan PP No. Lima Tahun 1999 yang menekankan bahwa PNS wajib netral asal partai politik. Meskipun usaha itu merupakan langkah maju, tetapi belum bisa mewujudkan birokrasi yang netral dan independen mengingat birokrasi di Indonesia belum tanggal berasal imbas pemerintah (eksekutif) yang ialah kekuasaan politik.
Pada konteks Indonesia, aspek kenegaraan serta pemerintah sering tak kentara. Dari Istkantrinah (2003), dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden mempunyai dua kedudukan, sebagai galat satu organ negara yang bertindak buat dan atas nama negara, serta menjadi penyelenggara negara/adminsitrasi negara. Pada prakteknya, tak jarang terjadi pencampuradukan antara Presiden sebagai ketua negara dan ketua pemerintahan. Kiprah administrator yang dimainkan Presiden tak jarang dialamatkan kepada kepala negara, begitu sebaliknya. Ketidakjelasan kiprah ini mengakibatkan birokrasi yang seharusnya sebagai institusi negara, kemudian menjadi institusi pemerintah.
Administrasi negara menjadi organ birokrasi pada Indonesia tampaknya akan sulit bersikap independen serta netral. Pada Indonesia, adminisrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan karenanya disebut manajemen pemerintahan. Posisi ini membentuk birokrasi senantiasa pada bayang-bayang bertenaga pemerintahan, baik Presiden-Wapres, Menteri, dan kepala wilayah provinsi dan kepala wilayah kabupaten/kota. Merujuk pada Rancangan Undang Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan yg dikeluarkan sang tempat kerja Menteri pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan);
Administrasi Pemerintahan merupakan seluruh tindakan aturan dan tindakan materiil pemerintahan yang dilakukan sang instansi Permerintah serta Pejabat Administrasi Pemerintahan dan badan aturan lain yang diberi kewenangan buat melaksanakan seluruh fungsi atau kiprah pemerintahan, termasuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan instansi Pemerintah merupakan seluruh lembaga pemerintah merupakan seluruh lembaga pemerintah yg melaksanakan fungsi manajemen pemerintahan pada lingkungan ekskutif baik pada pusat maupun wilayah termasuk komisi-komisi, dewan, tubuh yang mendapatkan dana berasal APBN/APBN. (RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B, januari 2006)
Rumusan di atas mempertegas posisi manajemen pemerintahan yg berada di bawah kekuasaan administrator (pemerintah). Pandangan itu dikukuhkan menggunakan sistem Presidensiil yang dianut di Indonesia pada mana Presiden serta Wapres merupakan institusi penyelenggara kekuasaan ekskutif negara yang tertinggi pada bawah konstitusi. Pada sistem ini tidak dikenal serta tidak perlu dibedakan adanya ketua negara serta ketua pemerintahan. Keduanya merupakan Presiden serta Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan serta tanggung jawab politik berada pada tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).[6]
Pemahaman menyerupai itu memunculkan kekeliruan kerangka anutan yg telah jamak dibangun, yakni;
a. Kepala pemerintah/daerah artinya penguasa dan penanggung jawab pemerintahan.
B. Birokrasi (administrasi pemerintahan) berada pada wilayah administrator dan adalah abdnegara pemerintah.
C. Pemerintah (Presiden-Wakil, Menteri, ketua wilayah) mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya buat menjalankan roda manajemen pemerintahan.
Pola hubungan atasan-bawahan antara manajemen negara menggunakan pemerintah juga terlihat terang pada aturan Kewajiban, Kesetiaan dan Ketaatan Pegawai Negeri. UU No.43 Tahun 1999 perihal Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 ihwal pokok-pokok Kepegawaian, menjelaskan bahwa setiap Pegawai Negeri setia serta taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah dan harus menjaga kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Pemerintah pada pasal tersebut membagikan adanya pola hubungan yang terang antara pegawai negeri selaku pejabat manajemen pemerintahan menggunakan pemerintah. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah merupakan atasan pegawai negeri sehingga pegawai negeri harus setia terhadap pemerintah. Pola hubungan yg sama jua terlihat pada susunan kata sumpah pegawai negeri [7]yang berbunyi:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya , untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara serta Pemerintah.”
kata Pemerintah di atas menunjukkan aspek keharusan taat serta patuh pegawai negeri terhadap pemerintah. Tidak sinkron menggunakan hubungan antara pemerintah (eksekutif) serta TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang bukan atasan bawahan.[8] Susunan sumpah kesetiaan TNI hampir sama menggunakan sumpah pegawai negeri akan tetapi tanpa kata Pemerintah, yaitu:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yg sesuai Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat besarnya imbas pemerintah terhadap birokrasi yg terus berlangsung hingga kini , maka krusial buat mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi, bahwa birokrasi wajib lepas asal efek pemerintah, birokrasi wajib independen serta bekerja pada kaidah-kaidah profesional. Birokrasi harus lepas asal efek kekuasaan serta memposisikan dirinya sebagai abdi negara serta abdi warga serta bukan abdi pemerintah. Sebagai abdi negara, birokrasi wajib penekanan pada tugas-tugas kenegaraan yang dibebankan kepadanya sesuai dengan hukum-aturan yang ditetapkan.
Menjadi alat negara, organ birokrasi negara menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan hanya tunduk pada negara. Meski pada praktek, manajemen negara menjalankan kiprah pemerintah menjadi atasan formal, tetapi tidak berarti pemerintah bisa semaunya menjalankan ’mesin’ birokrasi yang berjulukan manajemen negara. Administrasi negara menjalankan kiprah pemerintah sejauh kiprah itu telah dimandatkan UU. Administrasi negara berhak menolak perintah pemerintah Jika aturan itu tidak tertera pada UU, apalagi melanggar ketentuan UUD. Di posisi ini, idealnya aministrasi negara mempunyai rujukan di konstitusi. Menggunakan adanya payung aturan tertinggi, maka atasan manajemen negara yg sesungguhnya merupakan Undang-Undang Dasar sebagai balasannya posisinya menjadi alat negara sangat bertenaga.
Tiga. Birokrasi serta Politik pada Indonesia tak Terpisahkan
Reformasi 1998, secara faktual membawa iklim politik gres bagi Indonesia yaitu lahirnya sistem demokrsi liberal. Sistem politik gres ini memawa akhir terhadap kehidupan berpolitik serta sekaligus birokrasi di Indonesia. Jika diawal dikatakan bahwa, Birokrasi dan politik ialah 2 stuktur yg berbeda tetapi tidak terpisahkan. Birokrasi memainkan peranan aktif di dalam proses politik pada kebanyakan negara dan birokrasi menggunakan banyak aktifitas-aktifitas, diantaranya usahausaha paling krusial berupa implementasi Undang-Undang, persiapan proposal legislatif, peraturan ekonomi, lisensi dalam perekonomian dan dilema-persoalan profesional, serta membagi pelayanan kesejahteraan (Herbert M.Levine, 1.982: 241). Warga didominasi sang para birokrat, ditulis oleh James Burnham tahun 1941 yang menekankan pentingnya kelompok manajerial pada dalam perekonomian, serta tidak terdapat pemisahan yang tajam antara grup manajerial clan pejabat politik (Martin Albrow, 1989 : 100) berdasarkan gesekan pena tersebut James member persamaan antara kekuasaan kelas para manajer dengan kelas para birokrasi negara.
Rakyat yg dibuat dan diperintah oleh para birokrat akan menjadi masyarakat -warga birokratis yang nantinya rakyat tersebut akan sebagai birokrasi-birokrasi rakyat yg patuh dan tunduk pada imbas perilaku-perilaku dan nilai-nilai para birokrat, alasannya ialah adanya perubahan sikap asal rakyat akan bergantung kepada impak para birokrat. Hal ini akan cepat menjerat rakyat akan runtuhya nilai-nilai demokrasi sehingga terdapat suatu kontradiksi dengan nilainilai tersebut yang disebut sebagai suatu problema yg memerlukan pemecahan.
Kebanyakan orang menganggap bahwa konsep birokrasi menjadi manajemen yang tak efisien serta rasional, meliputi software kriteria evaluatif dan spesifikasi sifat nilai-nilai tadi (Martin Albrow,1989 : 1 07). Konsep birokrasi cendrung dianggap sebagai suatu aspek bahaya terhadap demokrasi, apalagi konsep birokrasi menjadi kekuasaan yg dijalankan sang pejabat, konsep ini diamati secara berfokus alasannya ialah mendiskusikan ihwal pejabat-pejabat negara yang menjalankan tujuan-tujuan demokrasi. Perlu dipertanyakan apakah tindakan tergantung pada bagaimana nilai-nilai demokrasl Itu ditafsirkan dan mana diantara penafsiran itu yg ditinjau galat. Friedrich dan Finer prihatin terhadap problem kesesuaian praktek-praktek administrasi negara modem dengan nilai-nilai demokrasi, lantaran mereka percaya bahwa bukan kekuasaan yg dijalankan pejabat yang menimbulkan duduk kasus permanen cara menggunakan kekuasaan itulah yang sebagai masalahnya, untuk itu perlu ditinjau bagaimana masing-masing karakteristik antara birokrasi serta demokrasi dipakai dalam usaha mendiagnosis dan menyembuhkan duduk kasus yg terjadi.
Martin Albrow membedakan tiga posisi dasar perihal fungsi-fungsi pejabat di negara demokrasi, yaitu
1. Pejabat menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu dikembalikan di fungsinya semula.
2. Pejabat benar-sahih merniliki kekuasaan dan tugas yang semakin besar sebagai balasannya jabatan tersebut harus dijalankan secara bijaksana .
3. Kekuaasaan perlu bagi para pejabat sebagai balasannya wajib dicari metode-metode pelayanan yg bisa disalurkan bersama-sama.
Problema yg harus dipecahkan buat sanggup menumbuh kembangkan demokrasi dengan menempatkan birokrasi secara konsisten pada dalam sistem politik. Pada sistem politik demokrasi liberal yang berawal dari Maklumat Wakil Presiden No.X tertanggal tiga November 1945. Terwujud konfirmasi, dimana politik yang ikut memilih sosok manajemen pemerintah di waktu itu. Posisi infrastruktur politlk vis-a-vis suprastruktur politik secara cukup lebih kuat, membuat suatu sosok sistem politik bureau-nomia (Moeljarto Tjokrowinoto,1996: 159).
Menurut teori, supaya sanggup memahami birokratisasi dalam pembangunan nasional, pada Indonesia terlebih dahulu didekatkan melalui dua konsep yaitu :
1. Konsep warga politik birokratik yg dikembangkan pertama sekali oleh Fred Riggs (1966) serta dipakai oleh Karl D.Jackson (1978) pada konteks Indonesia.
2. Konsep kapitalisme birokratik yang dirumuskan oleh Wittfogel (1957).
Berdasarkan konsep Jackson tadi maka identitas utama warga politik birokratik artinya :
1. Lembaga politik yg lebih banyak didominasi merupakan abdnegara birokrasi
dua. Forum–forum politik lainnya, menyerupai parlamenter, partai politik, serta grup kepentingan semuanya lemah serta tidak bisa melaksanakan kontrol terhadap birokrasi.
Tiga. Masa diluar birokrasi secara politis serta hemat pasif, sehingga mengakibatkan lemahnya peranan partai politik dan dampaknya semakin memperkuat peranan birokrasi.
Bertitik tolak asal identitas tadi maka bisa kita simpulkan bahwa birokrasi pada Indonesia cendrung mendekati ke tiga karakteristik tadi, sehingga perlu dipertanyakan kemampuan rakyat politik birokratik ini buat melaksanakan pembangunan ,terutama pembangunan yg bisa mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolak eksternal sehingga bisa mencapai tingkat pertumbuhan yg memadai, yg sanggup mendistribusikan secara merata hasil asal usaha rakyat tadi. Ada tiga kecendrungan yg dialami sang setiap birokrasi pada Indonesia, yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan sang Max Weber.Kedua, proses parkinsonisasi yaitu proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat sang C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin menguasai warga , buat birokrasi pada Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi
sebagai akibatnya, menggunakan syarat birokrasi serta politik di Indonesia yang sulit dipisahkan atau di Netralisasi maka benar dari bahwa birokrasi pada Indonesia sedang “sakit” menggunakan titik tekanannya berdasarkan aturan Parkinson, sedangkan parameter birokrasi “ sehat “ yang dijadikan sandaran ialah konsep birokrasi weber namun di kenyataanya selalu mengakibatkan persoalan, alasannya ialah karakteristik- ciri organisasi yg diharapkan terlalu ideal sebagai balasannya adakala belum tentu cocok dengan kondisi atau situasi di suatu negara. Padahal Demokrasi serta birokrasi sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan suatu negara , akan tetapi semakin bertenaga birokrasi pada negara maka akan semakin rendah demokrasi serta kebalikannya semakin lemah birokrasi maka akan meningkat demokrasi.
F. Penutup
1. Konklusi
Kemajuan suatu bangsa keliru satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi dalam menjalankan kiprah serta fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik pada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila publik bisa terlayani dengan baik sang aparatur birokrasi, maka dengan sendirinya aparatur birokrasi bisa menempatkan posisi dan kedudukannya yaitu menjadi civil servant atau public service. Kondisi ini akan berdampak pada kinerja berasal aparatur birokrasi yg sinkron dengan impian dari rakyat, pada akhirnya akan timbul trust pada aparatur birokrasi tersebut. Hal inilah yg akan membuahkan negara yg maju pada hal pelayanan pada warganya dan melahirkan di terwujudnya birokrasi yang bersih, akuntabel serta transparan.
Birokrasi sebagai garda terdepan pada penyelenggaraan tata pemerintahan dituntut buat profesional serta tidak terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga dia sanggup menunjukkan postur ideal yang pada harapkan publik. Liberalisasi politik menjadi akhir reformasi politik, di sisi lain memberikan godaan bagi birokrasi buat bermain dalam ranah politik atau membuat ruang bagi munculnya politisasi terhadap birokrasi. Beberapa kasus di atas membuktikan bahwa birokrasi sulit sekali melepaskan dirinya berasal ranah politik. Buat itu diharapkan implementasi aturan yang lebih tegas, hukuman yang berat bagi pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Perubahan memang tak berlangsung cepat, namun Bila dilakukan sungguh-benar-benar kelak kita akan menemukan potret birokrasi yg ideal di negara kita. Pada artikelnya, Bowornwathana serta Wescott (2008, p. 1) menyimpulkan bahwa aplikasi birokrasi di negara-negara berkembang tidak berjalan mulus (uneven), dengan “stroke-of-the pen reforms” yang berjalan sangat cepat, namun perubahan struktural yang seharusnya mengikuti, berjalan sangat lambat bahkan tidak sama sekali.
Perubahan mendasar memerlukan “sustained effort, commitment and leadership over many generations. Mistakes and setbacks are a normal and inevitable part of the process. The big challenge is to seize upon mistakes AS learning opportunities, rather than use them AS excuses for squashing reform.”(Schacter 2002: 10). Begitu juga menggunakan Indonesia. Sebagai balasannya dengan demikian, reformasi birokrasi perlu dilancarkan menjadi belahan berasal pembangunan politik. Jika aparatur manajemen bisa mendukung pembangunan nasional, maka sanggup tercipta sistem tersebut sebagai balasannya bisa mendukung demokratisasi politik, liberalisasi dan industrialisasi ekonomi Indonesia.
2. Akibat Teori
Birokrasi dan politik yang terjadi dimasa reformasi ini mengarah tiga kecendrungan yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan sang Max Weber. Ke 2, proses parkinsonisasi yaitu proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat oleh C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin menguasai rakyat, buat birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi. Untuk syarat Indonesia sendiri syarat patologis ini terlihat menggunakan susahnya menetralisasikan birokrasi serta politik sebagai balasannya kita mengenal politik rente serta politik transaksional dan politik oligarkis di birokrasi-biroksi.
Menggunakan demikian, kecendrungan ini mengharuskan Indonesia sanggup mengantisipasi perubahan serta keterbukaan ialah model birokrasi yg mentrasformasikan nilai-nilai, prinsip, serta semangat kewirausahaan ke pada institusi birokrasi.
Birokrasi dan politik bagai 2 mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Birokrasi serta politik memang ialah dua institusi yg mempunyai huruf yg erbeda, namun saling mengisi. Dua huruf yg tidak sama antara ini memerikan sisi posit
if terkait menggunakan sinergi, tetapi disisi lain tidak sanggup dipisahkan menggunakan aroma perselingkuhan.[1] Syafuan Rozi menyatakan bahwa birokrasi menjadi wewenang atau kekuasaan yang beragai departemen pemerintahan serta cabang-cabangnya memperebutkan sesuatu buat kepentingan diri sendiri mereka sendiri, atau sesame rakyat negara.[2] karakteristik Istimewa birokrasi ialah bentuk institusi yang berjanjang, rekuitmen berdasarkan keahlian, danb ersifat impersonal.Sedangkan politik artinya usaha buat menentukan peraturan-peraturan yang sanggup diterima baik oleh sebahagian besar masyarakat buat membawa masyarakat kearh kehidupan beserta yang harmonis.[3]
sesuai studi Guelermo O'Donnel bahwa negara telah muncul menjadi kekuatan politik yang tidak hanya cukup sanggup berdiri diatas kaki sendiri berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya serta masyaraklu sipil, namun dia sudah menjadi kekuatan lebih banyak didominasi yg marnpu mengatasi keduanya. Otoritarian Birokratik memang diciptakan buat melaksanakan pengawasan yg kuat terhadap warga sipil, terutama pada upaya mencegah massa rakyat di bawah keterlibatan politik yg terlampau aktif semoga proses akselerasi industrialisasi tak tergangggu (Guelermo O'Donnel dalam Muhammad Alaihi Salam Hikam, Jurnal IImu Politik No.8, AIPI LIPI Jakarta 1991: 68).
Studi Fred W Rigg perihal Bureaucratic Polity dan GuelermO'Donnel ihwal Bureaucratic Authoritarian nampaknya menggarisbawahi bahwa dalam rakyat pribadi posisi birokrasi telah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legitimasi politik melalui wahana birokrasi. Bila dalam studi Rigg birokrasi. Berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah, maka pola O'Donnell birokrasi itu tidak hanya berkolaborasi dengan kekuasan namun jua melibatkan diri hampir di seluruh bidang aktivitas. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun menjalar hingga pada kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk pula ideologi.
B. Rumusan masalah
Politik, kekuasaan, serta birokrasi pada dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan kesatuan yg tidak terpisahkan. Korelasi ketiganya sanggup dilacak asal sejarah awal pembentukan negara ini, asal masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik menarik politik serta kekuasaan besar lengan berkuasa kuat terhadap pergeseran fungsi serta kiprah birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani serta berpihak kepada rakyat berkembang sebagai melayani penguasa menggunakan keberpihakan pada politik serta kekuasaan. Sampai waktu ini, efek kuat pemerintah terhadap birokrasi membentuk sulitnya mesin birokrasi member pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Pada Indonesia hubungan birokrasi serta politik sudah melahirkan banyak studi, antara lain, Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi pada Indonesia ialah pola bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan di negara serta menyingkirkan kiprah warga asal ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia menjadi bureaucratic capitalism. Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesiaberkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson merupakan pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran structural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel merupakan pola birokratisasi menjadi proses ekspansi kekuasaan Pemerintah menggunakan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik serta sosial menggunakan peraturan, regulasi serta Jika perlu melalui paksaan. Menggunakan demikian birokrasi di Indonesia tidak menjelma lebih efisien, tetapi justru kebalikannya inefisiensi, berbelit-belit serta poly aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai jua dengan tingginya pertumbuhan pegawai serta pemekaran struktur organisasi serta berakibat birokrasi semakin akbar serta membesar. Birokrasi jua semakin mengendalikan serta mengontrol rakyat dalam bidang politik, ekonomi serta sosial.[4]
Cap birokrasi Indonesia menyerupai itu ternyata bukan hingga pada situ saja, namun melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Identitas asal birokrasi patrimonial merupakan (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dicermati menjadi asal kekayaan serta laba; (tiga) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan langsung serta politik. Keluarnya birokrasi patrimonial di Indonesia ialah kelanjutan dan warisan asal system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau serta bercampur menggunakan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi terkini tetapi warisan birokrasi tradisional pula mewarnai dalam perkembangan birokrasi pada Indonesia.
Bergulirnya roda reformasi semenjak 1998 menuntut supaya terjadi perubahan pada segala bidang, tidak terkecuali problem birokrasi. Terjadinya perubahan sistem politik tentunya pula mensugesti sistem birokrasi apalagi Indonesia yg menggunakan sistem Demokrasi, mau tidak mau Indonesia jua turut membuka arus globalisasi. Penulis berasumsi bahwa, dengan arus demokrasi serta globalisasi tentu mensugesti birokrasi pada nasional.
C. Pertanyaan Penelitian
berdasarkan rumusan kasus yang sudah penulis uraikan sebelumnya maka penulisan makalah ini menitik beratkan Bagaimana hubungan birokrasi serta politik di Indonesia setelah adanya reformasi politik 1998? Terkait dengan adanya perubahan sistem politik serta arus globalisasi yg masuk ke Indonesia secara terbuka.
D. Landasan Teori
Birokrasi berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi suatu rakyat. Semakin terkini suatu rakyat, pada arti semakin demokratis dan semakin makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak tuntutan baru. Berkembangnya jaringan birokrasi (bureaucratization) ialah upaya memenuhi tuntutan gres tersebut (Riswanda Imawan, 1998: 85). Pada terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat pola birokrasi yg umumnya ditemui dalam praktik pembangunan pada beberapa negara di global. Keempat pola tadi meliputi model birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, serta Orwellian. Secara lebih rinci keempat model birokrasi tadi sanggup diuraikan menjadi berikut.
Contoh birokrasi Weberian digagas oleh Max Weber, seprang tokoh krusial yg menjelaskan konsep birokrasi terkini. Weberian mengarah di model birokrasi yang memfungsikan birokrasi sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber. Setidaknya ada 7 (tujuh) kriteria-kriteria ideal birokrasi yg digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya pembagian kerja yang kentara; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4) bersifat tak pribadi (impersonal); lima) pengambilan keputusan perihal penempatan pegawai yg didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan terang asal kehidupan pribadi (Stephen P. Robbins, 1994: 338).
Birokrasi Parkinsonian artinya pola birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi. Parkinsonian dilakukan menggunakan membuatkan jumlah anggota birokrasi buat menaikkan kapabilitasnya menjadi alat pembangunan. Pada satu sisi, Parkinsonian diharapkan untuk mengakomodasikan perkembangan rakyat yang semakin maju, pada sisi lain Parkinsonian diharapkan buat mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin bertumpuk (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 192). Birokrasi Jacksonian merupakan model birokrasi yang membuahkan birokrasi menjadi akumulasi kekuasaan negara serta menyingkirkan rakyat pada luar birokrasi asal ruang politik dan pemerintahan. Jacksonian, sebetulnya diambil berasal nama seseorang jenderal militer yg tangguh dan seorang negarawan yang populer menjadi mantan Presiden Amerika perkumpulan yang ke-7 (1824-1932) – menjabat 2 kali – yaitu Andrew Jackson (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 194).
Birokrasi model Orwellian ini merupakan pola yang menempatkan birokrasi menjadi alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol terhadap rakyat. Ruang motilitas masyarakat sebagai terbatas, tampaknya ”bernafas” saja dikontrol oleh birokrasi. Hal itu dikarenakan pada banyak sekali hal terkait dengan kehidupan masyarakat harus meminta ijin kepada birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu pada Amerika serikat. Di waktu Ronald Reagen menjabat presiden (1981), dia mengadakan pemangkasan terhadap birokrasi. Pada ketika itu pada Amerika serikat buat mengurusi hamburger saja, terdapat ratusan peraturannya yg berimplikasi di semakin banyaknya jumlah pegawai. Buat itu diadakan pemangkasan dan pegawainya dikurangi (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 195).
E. Pembahasan dan Analisis
1. Politisasi Birokrasi di Indonesia.
Pada Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik lantaran kelemahan kelas menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan juga kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yg primer. Menjadi alat primer pembangunan, birokrasi mempunyai posisi dan peran yg sangat strategis alasannya ialah menguasai aneka macam aspek hajat hayati masyarakat. Mulai berasal urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, rakyat tidak bisa menghindar berasal urusan birokrasi. Birokrasi menguasai saluran ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai saluran pengetahuan serta isu yg tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi pula memegang peranan krusial pada perumusan, aplikasi, serta supervisi aneka macam kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis bila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi di area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan buat mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan sang partai pribadi atau pihak pemegang kekuasaan.
Ini terjadi di masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an pada mana partai politik sebagai bintang film sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan awam pertama yg demokratis berlangsung pada periode ini. Dan birokrasi, secara massif, sudah menjadi objek konflik kepentingan serta arena perlombaan imbas oleh partai politik, sebagai balasannya menimbulkan polarisasi serta fragmentasi birokrasi. Ad interim peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tak membuat perubahan mendasar pada birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme ketika itu mengakibatkan kiprah partai mulai termarjinalkan. Seluruh kehidupan politik yg sudah berkembang sebelumnya, diberangus menggunakan menempatkan Presiden Soekarno menjadi patron kekuasaan. Waktu itu, satu-satunya partai yg sanggup menarik keuntungan lantaran kedekatannya menggunakan Presiden Soekarno artinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Tetapi Soekarno, PKI, serta sayap militer angkatan darat yg dimobilisir Soeharto terlibat pada pergolakan politik yang mencapai puncaknya di insiden Gerakan 30 September (G30S). [5]
Ini tentu menimbulkan fragmentasi dalam birokrasi. Peralihan ke Orde Baru (1966-1998) ini artinya insiden perubahan konfigurasi politik yang relatif drastis. Terjadi polarisasi politik yang diperketat menuju ke pola penguasaan militer serta Golongan Karya (Golkar). Hal ini menimbulkan kekuatan militer pada masa Orde Baru berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya menjadi sarana represif. Bedanya menggunakan masa sebelumnya, birokrasi masa Orde Baru tidak lagi terfragmentasi sang pertarungan kepentingan partai-partai, namun terjebak pada hegemoni kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yg didominasi militer. Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi sahih-sahih sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran, sehabis keruntuhan Orde Baru 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralitas politik birokrasi.
Tuntutan reformasi ini sebetulnya telah direspon sebagian sang rezim pemerintahan pascaSoeharto. Korelasi antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi menggunakan Golkar beserta kino-kino derivasinya. Sementara Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), menjadi satu-satunya wadah pegawai negeri, disingkirkan menjadi wadah korporatik yang merantai abdnegara birokrasi. Pasca reformasi, ikhtiar buat melepaskan birokrasi dari kekuatan dan imbas politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden ketika itu, mengeluarkan PP angka 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yg menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan legalisasi UU nomor 43 Tahun 1999 perihal utama-utama Kepegawaian buat menggantikan UU nomor 8 Tahun 1974. Pada dasarnya membolehkan PNS bekerjasama dengan partai, tetapi Bila menjadi anggota partai eksklusif, maka dia dihentikan aktif pada jabatannya pada partai politik. Ketentuan yang sama jua berlaku bagi unsur militer (Tentara Nasional Indonesia) dan kepolisian (Polisi Republik Indonesia).
Meski demikian paras birokrasi pada Indonesia tampaknya tidak pernah berubah dalam hal pelayanan terhadap publik. Asal dulu belum terdapat perubahan yg berarti. Birokrasi tetap diliputi banyak sekali praktik penyimpangan serta inefisiensi. Birokrasi dalam poly hal masih membagikan ”watak buruknya” menyerupai enggan terhadap perubahan (status quo), tertentu, kaku, dan terlalu dominan. Indikator lain yg merefleksikan potret buruk birokrasi ialah tingginya biaya yang dibebankan buat layanan publik baik yg berupa sah cost juga illegal cost, menyerupai ketika tunggu yang usang, banyaknya pintu layanan yg wajib dilalui, atau service style yang tidak berperspektif pelanggan. Penyebab lainnya ialah rendahnya kompetensi birokrat yang disinyalirdisebabkan sang renggangnya kualitas rekrutmen dan rendahnya kualitas training kepegawaian dan dominannya kepentingan politis pada kinerja birokrasi. Buruknya kinerja birorkasi ini pada akhirnya mensugesti motilitas pembangunan serta daya saing usaha. Dari Human Development Index (HDI) yang dipaparkan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2004, Indonesia berada pada peringkat ke-111 dari 177 negara, setingkat di atas Vietnam dan jauh di bawah negara tetangga lainnya macam Singapura atau Malaysia. Sementara merujuk laporan dunia Competitiveness Report 2003-2004 yg meliputi aspek pertumbuhan dan bisnis, indeks daya saing pertumbuhan Indonesia turun ke peringkat 72 berasal 102 negara di tahun 2003, dibandingkan dengan peringkat ke-69 di 2002.
2. Menetralisasi Birokrasi dan Politik
ihwal seputar netralitas birokrasi sebetulnya bukan anutan yang baru. Tema ini telah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhadap filsafat Hegel ihwal negara sedikitnya menggambarkan bahwa netralitas birokrasi itu krusial, sekalipun dalam kritiknya, Marx hanya mengganti "isi" asal teori Hegel wacana 3 kelompok pada warga ; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang diwakili oleh para pengusaha serta profesi, kelompok kepentingan awam (general interest) yang diwakili oleh negara, serta grup birokrasi.
Marx menyatakan bahwa birokrasi usahakan memposisikan dirinya menjadi grup sosial tertentu yang bisa sebagai instrumen gerombolan dominan/penguasa. Jikalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yg diwakili oleh pengusaha serta profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Menggunakan konsep menyerupai ini, Marx menginginkan birokrasi harus memihak pada kelompok pribadi yg berkuasa. Sedangkan Hegel menggunakan konsep 3 kelompok dalam warga di atas menginginkan birokrasi wajib berposisi pada tengah menjadi mediator antara grup kepentingan awam (negara) menggunakan kelompok kepentingan khusus (pengusaha serta profesi). Birokrasi pada hal ini, berdasarkan Hegel, wajib netral (Anshori, 2004). Sedangkan berdasarkan Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, pada kaitannya menggunakan netralitas birokrasi, berada pada luar belahan politik. Sebagai balasannya konflik birokrasi/administrasi hanya terkait menggunakan problem usaha serta wajib terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).
Konsep dasar yg diletakkan Wilson kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya menyerupai D. White, Willoughby dan Frank Goodnow. Berdasarkan Goodnow, ada 2 fungsi pokok pemerintah yg amat tidak selaras satu sama lain, yaitu politik serta adiministrasi. Politik berdasarkan Goodnow wajib menghasilkan dan merumuskan kebijakan-kebijakan, ad interim manajemen bekerjasama menggunakan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan supaya timbul tanggung jawab dan mampu meneguhkan posisi birokrasi di hadapan . Untuk menghindari munculnya birokrasi yg adikara (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat wajib benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial serta politik yang ada melalui lembaga legislatif supaya birokrasi pemerintah tidak kebal kritik, serta merasa tak pernah keliru, serta sombong. Sedangkan menjadi lembaga pelayanan publik, semoga pelayananannya kepada warga serta pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral, pada artian birokrasi tidak memihak kepada atau asal berasal satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan pada proses pembuatan kebijakan
atau pengambilan keputusan.
Di Indonesia, upaya melepas birokrasi berasal efek politik bukan lagi sekedar tentang. Seperti sudah disinggung di atas, di masa kePresidenan Habibie, telah dimuntahkan PP No. Lima Tahun 1999 yang menekankan bahwa PNS wajib netral asal partai politik. Meskipun usaha itu merupakan langkah maju, tetapi belum bisa mewujudkan birokrasi yang netral dan independen mengingat birokrasi di Indonesia belum tanggal berasal imbas pemerintah (eksekutif) yang ialah kekuasaan politik.
Pada konteks Indonesia, aspek kenegaraan serta pemerintah sering tak kentara. Dari Istkantrinah (2003), dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden mempunyai dua kedudukan, sebagai galat satu organ negara yang bertindak buat dan atas nama negara, serta menjadi penyelenggara negara/adminsitrasi negara. Pada prakteknya, tak jarang terjadi pencampuradukan antara Presiden sebagai ketua negara dan ketua pemerintahan. Kiprah administrator yang dimainkan Presiden tak jarang dialamatkan kepada kepala negara, begitu sebaliknya. Ketidakjelasan kiprah ini mengakibatkan birokrasi yang seharusnya sebagai institusi negara, kemudian menjadi institusi pemerintah.
Administrasi negara menjadi organ birokrasi pada Indonesia tampaknya akan sulit bersikap independen serta netral. Pada Indonesia, adminisrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan karenanya disebut manajemen pemerintahan. Posisi ini membentuk birokrasi senantiasa pada bayang-bayang bertenaga pemerintahan, baik Presiden-Wapres, Menteri, dan kepala wilayah provinsi dan kepala wilayah kabupaten/kota. Merujuk pada Rancangan Undang Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan yg dikeluarkan sang tempat kerja Menteri pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan);
Administrasi Pemerintahan merupakan seluruh tindakan aturan dan tindakan materiil pemerintahan yang dilakukan sang instansi Permerintah serta Pejabat Administrasi Pemerintahan dan badan aturan lain yang diberi kewenangan buat melaksanakan seluruh fungsi atau kiprah pemerintahan, termasuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan instansi Pemerintah merupakan seluruh lembaga pemerintah merupakan seluruh lembaga pemerintah yg melaksanakan fungsi manajemen pemerintahan pada lingkungan ekskutif baik pada pusat maupun wilayah termasuk komisi-komisi, dewan, tubuh yang mendapatkan dana berasal APBN/APBN. (RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B, januari 2006)
Rumusan di atas mempertegas posisi manajemen pemerintahan yg berada di bawah kekuasaan administrator (pemerintah). Pandangan itu dikukuhkan menggunakan sistem Presidensiil yang dianut di Indonesia pada mana Presiden serta Wapres merupakan institusi penyelenggara kekuasaan ekskutif negara yang tertinggi pada bawah konstitusi. Pada sistem ini tidak dikenal serta tidak perlu dibedakan adanya ketua negara serta ketua pemerintahan. Keduanya merupakan Presiden serta Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan serta tanggung jawab politik berada pada tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).[6]
Pemahaman menyerupai itu memunculkan kekeliruan kerangka anutan yg telah jamak dibangun, yakni;
a. Kepala pemerintah/daerah artinya penguasa dan penanggung jawab pemerintahan.
B. Birokrasi (administrasi pemerintahan) berada pada wilayah administrator dan adalah abdnegara pemerintah.
C. Pemerintah (Presiden-Wakil, Menteri, ketua wilayah) mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya buat menjalankan roda manajemen pemerintahan.
Pola hubungan atasan-bawahan antara manajemen negara menggunakan pemerintah juga terlihat terang pada aturan Kewajiban, Kesetiaan dan Ketaatan Pegawai Negeri. UU No.43 Tahun 1999 perihal Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 ihwal pokok-pokok Kepegawaian, menjelaskan bahwa setiap Pegawai Negeri setia serta taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah dan harus menjaga kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata Pemerintah pada pasal tersebut membagikan adanya pola hubungan yang terang antara pegawai negeri selaku pejabat manajemen pemerintahan menggunakan pemerintah. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah merupakan atasan pegawai negeri sehingga pegawai negeri harus setia terhadap pemerintah. Pola hubungan yg sama jua terlihat pada susunan kata sumpah pegawai negeri [7]yang berbunyi:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya , untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara serta Pemerintah.”
kata Pemerintah di atas menunjukkan aspek keharusan taat serta patuh pegawai negeri terhadap pemerintah. Tidak sinkron menggunakan hubungan antara pemerintah (eksekutif) serta TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang bukan atasan bawahan.[8] Susunan sumpah kesetiaan TNI hampir sama menggunakan sumpah pegawai negeri akan tetapi tanpa kata Pemerintah, yaitu:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yg sesuai Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat besarnya imbas pemerintah terhadap birokrasi yg terus berlangsung hingga kini , maka krusial buat mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi, bahwa birokrasi wajib lepas asal efek pemerintah, birokrasi wajib independen serta bekerja pada kaidah-kaidah profesional. Birokrasi harus lepas asal efek kekuasaan serta memposisikan dirinya sebagai abdi negara serta abdi warga serta bukan abdi pemerintah. Sebagai abdi negara, birokrasi wajib penekanan pada tugas-tugas kenegaraan yang dibebankan kepadanya sesuai dengan hukum-aturan yang ditetapkan.
Menjadi alat negara, organ birokrasi negara menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan hanya tunduk pada negara. Meski pada praktek, manajemen negara menjalankan kiprah pemerintah menjadi atasan formal, tetapi tidak berarti pemerintah bisa semaunya menjalankan ’mesin’ birokrasi yang berjulukan manajemen negara. Administrasi negara menjalankan kiprah pemerintah sejauh kiprah itu telah dimandatkan UU. Administrasi negara berhak menolak perintah pemerintah Jika aturan itu tidak tertera pada UU, apalagi melanggar ketentuan UUD. Di posisi ini, idealnya aministrasi negara mempunyai rujukan di konstitusi. Menggunakan adanya payung aturan tertinggi, maka atasan manajemen negara yg sesungguhnya merupakan Undang-Undang Dasar sebagai balasannya posisinya menjadi alat negara sangat bertenaga.
Tiga. Birokrasi serta Politik pada Indonesia tak Terpisahkan
Reformasi 1998, secara faktual membawa iklim politik gres bagi Indonesia yaitu lahirnya sistem demokrsi liberal. Sistem politik gres ini memawa akhir terhadap kehidupan berpolitik serta sekaligus birokrasi di Indonesia. Jika diawal dikatakan bahwa, Birokrasi dan politik ialah 2 stuktur yg berbeda tetapi tidak terpisahkan. Birokrasi memainkan peranan aktif di dalam proses politik pada kebanyakan negara dan birokrasi menggunakan banyak aktifitas-aktifitas, diantaranya usahausaha paling krusial berupa implementasi Undang-Undang, persiapan proposal legislatif, peraturan ekonomi, lisensi dalam perekonomian dan dilema-persoalan profesional, serta membagi pelayanan kesejahteraan (Herbert M.Levine, 1.982: 241). Warga didominasi sang para birokrat, ditulis oleh James Burnham tahun 1941 yang menekankan pentingnya kelompok manajerial pada dalam perekonomian, serta tidak terdapat pemisahan yang tajam antara grup manajerial clan pejabat politik (Martin Albrow, 1989 : 100) berdasarkan gesekan pena tersebut James member persamaan antara kekuasaan kelas para manajer dengan kelas para birokrasi negara.
Rakyat yg dibuat dan diperintah oleh para birokrat akan menjadi masyarakat -warga birokratis yang nantinya rakyat tersebut akan sebagai birokrasi-birokrasi rakyat yg patuh dan tunduk pada imbas perilaku-perilaku dan nilai-nilai para birokrat, alasannya ialah adanya perubahan sikap asal rakyat akan bergantung kepada impak para birokrat. Hal ini akan cepat menjerat rakyat akan runtuhya nilai-nilai demokrasi sehingga terdapat suatu kontradiksi dengan nilainilai tersebut yang disebut sebagai suatu problema yg memerlukan pemecahan.
Kebanyakan orang menganggap bahwa konsep birokrasi menjadi manajemen yang tak efisien serta rasional, meliputi software kriteria evaluatif dan spesifikasi sifat nilai-nilai tadi (Martin Albrow,1989 : 1 07). Konsep birokrasi cendrung dianggap sebagai suatu aspek bahaya terhadap demokrasi, apalagi konsep birokrasi menjadi kekuasaan yg dijalankan sang pejabat, konsep ini diamati secara berfokus alasannya ialah mendiskusikan ihwal pejabat-pejabat negara yang menjalankan tujuan-tujuan demokrasi. Perlu dipertanyakan apakah tindakan tergantung pada bagaimana nilai-nilai demokrasl Itu ditafsirkan dan mana diantara penafsiran itu yg ditinjau galat. Friedrich dan Finer prihatin terhadap problem kesesuaian praktek-praktek administrasi negara modem dengan nilai-nilai demokrasi, lantaran mereka percaya bahwa bukan kekuasaan yg dijalankan pejabat yang menimbulkan duduk kasus permanen cara menggunakan kekuasaan itulah yang sebagai masalahnya, untuk itu perlu ditinjau bagaimana masing-masing karakteristik antara birokrasi serta demokrasi dipakai dalam usaha mendiagnosis dan menyembuhkan duduk kasus yg terjadi.
Martin Albrow membedakan tiga posisi dasar perihal fungsi-fungsi pejabat di negara demokrasi, yaitu
1. Pejabat menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu dikembalikan di fungsinya semula.
2. Pejabat benar-sahih merniliki kekuasaan dan tugas yang semakin besar sebagai balasannya jabatan tersebut harus dijalankan secara bijaksana .
3. Kekuaasaan perlu bagi para pejabat sebagai balasannya wajib dicari metode-metode pelayanan yg bisa disalurkan bersama-sama.
Problema yg harus dipecahkan buat sanggup menumbuh kembangkan demokrasi dengan menempatkan birokrasi secara konsisten pada dalam sistem politik. Pada sistem politik demokrasi liberal yang berawal dari Maklumat Wakil Presiden No.X tertanggal tiga November 1945. Terwujud konfirmasi, dimana politik yang ikut memilih sosok manajemen pemerintah di waktu itu. Posisi infrastruktur politlk vis-a-vis suprastruktur politik secara cukup lebih kuat, membuat suatu sosok sistem politik bureau-nomia (Moeljarto Tjokrowinoto,1996: 159).
Menurut teori, supaya sanggup memahami birokratisasi dalam pembangunan nasional, pada Indonesia terlebih dahulu didekatkan melalui dua konsep yaitu :
1. Konsep warga politik birokratik yg dikembangkan pertama sekali oleh Fred Riggs (1966) serta dipakai oleh Karl D.Jackson (1978) pada konteks Indonesia.
2. Konsep kapitalisme birokratik yang dirumuskan oleh Wittfogel (1957).
Berdasarkan konsep Jackson tadi maka identitas utama warga politik birokratik artinya :
1. Lembaga politik yg lebih banyak didominasi merupakan abdnegara birokrasi
dua. Forum–forum politik lainnya, menyerupai parlamenter, partai politik, serta grup kepentingan semuanya lemah serta tidak bisa melaksanakan kontrol terhadap birokrasi.
Tiga. Masa diluar birokrasi secara politis serta hemat pasif, sehingga mengakibatkan lemahnya peranan partai politik dan dampaknya semakin memperkuat peranan birokrasi.
Bertitik tolak asal identitas tadi maka bisa kita simpulkan bahwa birokrasi pada Indonesia cendrung mendekati ke tiga karakteristik tadi, sehingga perlu dipertanyakan kemampuan rakyat politik birokratik ini buat melaksanakan pembangunan ,terutama pembangunan yg bisa mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolak eksternal sehingga bisa mencapai tingkat pertumbuhan yg memadai, yg sanggup mendistribusikan secara merata hasil asal usaha rakyat tadi. Ada tiga kecendrungan yg dialami sang setiap birokrasi pada Indonesia, yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan sang Max Weber.Kedua, proses parkinsonisasi yaitu proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat sang C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin menguasai warga , buat birokrasi pada Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi
sebagai akibatnya, menggunakan syarat birokrasi serta politik di Indonesia yang sulit dipisahkan atau di Netralisasi maka benar dari bahwa birokrasi pada Indonesia sedang “sakit” menggunakan titik tekanannya berdasarkan aturan Parkinson, sedangkan parameter birokrasi “ sehat “ yang dijadikan sandaran ialah konsep birokrasi weber namun di kenyataanya selalu mengakibatkan persoalan, alasannya ialah karakteristik- ciri organisasi yg diharapkan terlalu ideal sebagai balasannya adakala belum tentu cocok dengan kondisi atau situasi di suatu negara. Padahal Demokrasi serta birokrasi sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan suatu negara , akan tetapi semakin bertenaga birokrasi pada negara maka akan semakin rendah demokrasi serta kebalikannya semakin lemah birokrasi maka akan meningkat demokrasi.
F. Penutup
1. Konklusi
Kemajuan suatu bangsa keliru satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi dalam menjalankan kiprah serta fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik pada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila publik bisa terlayani dengan baik sang aparatur birokrasi, maka dengan sendirinya aparatur birokrasi bisa menempatkan posisi dan kedudukannya yaitu menjadi civil servant atau public service. Kondisi ini akan berdampak pada kinerja berasal aparatur birokrasi yg sinkron dengan impian dari rakyat, pada akhirnya akan timbul trust pada aparatur birokrasi tersebut. Hal inilah yg akan membuahkan negara yg maju pada hal pelayanan pada warganya dan melahirkan di terwujudnya birokrasi yang bersih, akuntabel serta transparan.
Birokrasi sebagai garda terdepan pada penyelenggaraan tata pemerintahan dituntut buat profesional serta tidak terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga dia sanggup menunjukkan postur ideal yang pada harapkan publik. Liberalisasi politik menjadi akhir reformasi politik, di sisi lain memberikan godaan bagi birokrasi buat bermain dalam ranah politik atau membuat ruang bagi munculnya politisasi terhadap birokrasi. Beberapa kasus di atas membuktikan bahwa birokrasi sulit sekali melepaskan dirinya berasal ranah politik. Buat itu diharapkan implementasi aturan yang lebih tegas, hukuman yang berat bagi pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Perubahan memang tak berlangsung cepat, namun Bila dilakukan sungguh-benar-benar kelak kita akan menemukan potret birokrasi yg ideal di negara kita. Pada artikelnya, Bowornwathana serta Wescott (2008, p. 1) menyimpulkan bahwa aplikasi birokrasi di negara-negara berkembang tidak berjalan mulus (uneven), dengan “stroke-of-the pen reforms” yang berjalan sangat cepat, namun perubahan struktural yang seharusnya mengikuti, berjalan sangat lambat bahkan tidak sama sekali.
Perubahan mendasar memerlukan “sustained effort, commitment and leadership over many generations. Mistakes and setbacks are a normal and inevitable part of the process. The big challenge is to seize upon mistakes AS learning opportunities, rather than use them AS excuses for squashing reform.”(Schacter 2002: 10). Begitu juga menggunakan Indonesia. Sebagai balasannya dengan demikian, reformasi birokrasi perlu dilancarkan menjadi belahan berasal pembangunan politik. Jika aparatur manajemen bisa mendukung pembangunan nasional, maka sanggup tercipta sistem tersebut sebagai balasannya bisa mendukung demokratisasi politik, liberalisasi dan industrialisasi ekonomi Indonesia.
2. Akibat Teori
Birokrasi dan politik yang terjadi dimasa reformasi ini mengarah tiga kecendrungan yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan sang Max Weber. Ke 2, proses parkinsonisasi yaitu proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat oleh C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin menguasai rakyat, buat birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi. Untuk syarat Indonesia sendiri syarat patologis ini terlihat menggunakan susahnya menetralisasikan birokrasi serta politik sebagai balasannya kita mengenal politik rente serta politik transaksional dan politik oligarkis di birokrasi-biroksi.
Menggunakan demikian, kecendrungan ini mengharuskan Indonesia sanggup mengantisipasi perubahan serta keterbukaan ialah model birokrasi yg mentrasformasikan nilai-nilai, prinsip, serta semangat kewirausahaan ke pada institusi birokrasi.