Judul Utama: Kerangka, Model dan Pendekatan Alternatif dalam Studi Usul al-Fiqh Kontemporer Kerangka Dasar. Guna menunjang pemikiran dan pengembangan aturan Islam dalam kehidupan masyarakat kini sudah saatnya aturan Islam dikembangkan melalui kerangka filsafat ilmu dan kerangka sosiologi aturan dengan pendekatan sejarah sosial. Karena aturan secara sosiologis merupakan refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti bahwa muatan aturan selayaknya bisa menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, melainkan juga sebagai contoh dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik masa depan. Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa aturan bukan sekedar norma statis yang yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus bisa mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa sikap masyarakat dalam mencapai cita-citanya (Ahmad, dkk: xi).
Ahli aturan Islam mendefinisikan aturan Islam dalam dua sisi, yaitu aturan Islam sebagai ilmu dan aturan Islam sebagai produk ilmu. Sisi terakhir ini aturan Islam disebut dengan kumpulan hukum-hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad. Hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang mengupayakan lahirnya aturan syara’ amali dari dalil-dalil rinci (Zahrah,Tanpa Tahun: 5 dan Khallaf,1968:11). Pengertian aturan Islam sebagai ilmu ini mengandung unsur aturan Islam sebagai ilmu.
Hukum Islam sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan, yaitu bahwa aturan Islam (1)dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu,(2) pengetahuan-pengetahuan itu terjaring dalam suatu kesatuan sistem, dan (3) memiliki metode-metode tertentu(Afif,1991:3-5).
Pengetahuan-pengetahuan dalam aturan Islam mencakup pengetahuan wacana dalil (nas-nas), perintah dan larangan, dan lain-lain. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun baik. Asas-asas dimaksud contohnya asas tasyri’ bertahap, sedikitnya tuntutan syara’, dan meniadakan kesulitan. Pengetahuan-pengetahuan tersebut sanggup diakumulasikan dan disusun dengan baik lantaran setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional dalam suatu sstem tertentu. Karakteristik selanjutnya dari aturan Islam sebagai ilmu ialah adanya metode-metode tertentu dalam aturan Islam. Metode-metode tersebut tertuang dalam usul fiqh dan qawa’id fiqhiyah yang dalam operasionalnya melipti (1) Metode deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil umum.Metode ini digunakan untuk menjabarkan atau menginterpretasikan dalil-dalil Al-Quran dan Hadis menjadi masalah-masalah usul fiqh.(2) Metode induktif, yaitu metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Kesimpulan dimaksud yaitu kesimpulan aturan atas suatu kasus yang memang tidak disebutkan rincian ketentuannya dalam nas Al-Quran dan Hadis.(3) Metode genetika, yaitu metode penelusuran titik mangsa dalam mengetahui latar belakang terbitnya suatu nas dan kualitas nas. Metode ini memakai pendekatan historis., dan (4) metode dialektika, yaitu suatu metode yang memakai kebijaksanaan sehat melalui pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa(tesis-tesis) dan anti tesis. Kedua pernyataan (tesa dan anti tesa) tersebut kemudian didiskusikan dengan prinsip-prinsip nalar yang logis untuk memperoleh kesimpulan ( sebagai tesa akhir)(Nasuha, 1989:16).
Dari karakteristik aturan Islam sebagai ilmu di atas memperlihatkan bahwa apapun yang dihasilkan aturan Islam yaitu produk kebijaksanaan sehat yang berarti pula mendapatkan konsekuensi-konsekuensinya sebagai ilmu. Di antara konsekuensi-konsekuensi itu yaitu (1) Hukum Islam sebagai ilmu yaitu skeptis, (2) aturan Islam sebagai ilmu bersedia untuk diuji dan dikaji ulang, dan (3) aturan Islam sebagai ilmu tidak kebal kritik(Afif,1991:5).
Skeptisitas aturan Islam sebagai ilmu berarti bahwa pernyataan-pernyataan atau keputusan-keputusan yang dihasilkan aturan Islam melalui metode dan pendekatan-pendekatannya hanya bernilai relatif. Kapasitas nilai nisbi yaitu mendekati kebenaran ajeg, jadi artinya kapasitas kerelatifan yaitu kebenaran nisbi, yaitu suatu kebenaran yang dihasilkan ijtihad(Mu’allim dan Yusdani,1999:33).
Pengertian tersebut memperlihatkan bahwa ijtihad yaitu perjuangan(upaya) memperoleh kepastian aturan dari dalil-dalil. Berarti ijtihad yaitu bukan hanya usaha memahami nas saja, sementara ada masalah-masalah yang tidak tercakup dalam nas lantaran terjadinya perubahan dan perkembangan peradaban manusia. Kondisi inilah yang disinyalir oleh al-Syahrastani dengan menyatakan bahwa nas-nas boleh jadi terhenti, sedangkan peristiwa-peristiwa aturan tak pernah berhenti, sesuatu yang tidak berhenti tidak diatur oleh sesuatu yang terhenti(al-Syahrastani, Tanpa Tahun :200).
Skeptisitas aturan Islam menyerupai disebutkan di atas terang memberi peluang dikaji ulang. Artinya, kesimpulan-kesimpulan aturan Islam bersedia untuk diuji. Misalnya pengujian dan pengkajian ulang terhadap kesimpulan aturan Islam yang dihasilkan dari metode induktif (istiqra’i) yang pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam memilih waktu lamanya menstruasi bagi wanita. Ada kemungkinan generalisasi al-Syafi’i terhadap seluruh perempuan menurut sampel perempuan Mesir tidak sempurna lantaran fisik dan genetik insan di dunia ini tidak sama, apalagi bila bioteknologi ikut campur tangan. Akibatnya, kemungkinan bias dari sample yang ditetapkannya yaitu tidak mustahil. Oleh lantaran itu, tetap berpeluang terhadap kasus ini untuk dilakukan eksperimen. Demikian pula kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh metode analogi, bersedia untuk diuji dan dikaji ulang lantaran analogi berfokus pada kategori yang kriterianya nisbi(Afif,1991:7).
Konsekuensi lebih lanjut dari aturan Islam sebagai ilmu yaitu bahwa hasil-hasil kajian dan metode aturan Islam tidak kebal kritik. Artinya, ketetapan memakai metode dan pendekatan tertentu terhadap suatu kasus dan alasan-alasan tertentu terhadap suatu keputusan terbuka untuk dikritik. Upaya kritik ini sanggup dilakukan melalui studi perbandingan mazhab, tarjih dan tashih. Konsekuensi inilah yang memperlihatkan bahwa suatu pemikiran aturan Islam bisa jadi benar, tetapi ada kemungkinan salah. Terhadap adanya kemungkinan benar dan salah inilah yang memberi peluang untuk dilakukan kritik(Afif,1991:7).
Dari posisi aturan Islam sebagai ilmu dengan karakteristik, metode-metode, dan konsekuensi-konsekuensinya menyerupai tersebut di atas, sanggup dipahami bahwa kitab-kitab fiqh yang disusun oleh ulama-ulama fiqh, di samping masalah-masalahnya yang menyangkut masalah-masalah furu’iyah fiqhiyah, juga sebagai hasil ilmu. Sebagai hasil ilmu tentu memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu, yaitu bersifat skeptis, bersedia dkaji dan duji ulang, dan tidak kebal kritik. Dengan kata lain, Hasil-hasil aturan Islam sebagai ilmu yang termuat dalam kitab-kitab fiqh itu yaitu komoditas informasi yang memperlihatkan bahwa para ulama telah membahas kasus fiqhiyah. Dengan konsekuensi-konsekuensi tersebut juga memperlihatkan bahwa aturan Islam tidak pernah berhenti melaksanakan tugasnya, bahwa dengan konsekuensi-konsekuensi itu pula aturan Islam berkemampuan untuk mengikuti keadaan dengan perkembangan situasi dan kondisi kehidupan manusia, atau menjadi motivasi lahirnya pembaruan peradaban insan dan konsep-konsepnya yang prospektif(Afif,19991:7).
Di samping problema-problema akademik aturan Islam sebagai ilmu di atas, upaya mencari solusi dan merumuskan metodologi studi dan pemikiran aturan Islam yang komprehensif yang merupakan kerangka dasar pemikiran aturan Islam , juga sudah saatnya studi aturan Islam sampaumur ini dikembangkan melalui kerangka sosiologi hukum. Karena itu pula kasus yang dikaji terhadap aturan Islam dengan kerangka sosiologi yaitu (1) faktor-faktor sosial, politik, dan kultural apa yang melatarbelakangi munculnya suatu aturan Islam itu, (2) bagaimana dampak ketetapan aturan Islam itu terhadap masyarakat. Kedua aspek tersebut yaitu wilayah kajian sosiologi. Sedangkan pendekatan historisnya yaitu dalam rentang waktu kapan suatu ketetapan aturan Islam itu lahir(Mudzhar,1998a:246).
Sedikitnya ada lima produk pemikiran aturan Islam yang dikenal kaum muslimin dalam sejarah, yaitu kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan, peraturan perundang-undangan dan kompilasi aturan Islam(Mudzhar,1998a:91-92,1998b:245). Kelima produk pemikiran aturan Islam tersebut dalam kaitan dengan upaya mereaktualisasikan aturan Islam, perlu diletakkan pada proporsi yang seharusnya. Proporsi yang dimaksud yaitu sebagaimana dikemukakan oleh N.J. Coulson(1969) bahwa pemikiran aturan Islam tersebut hendaklah diletakkan dan dipahami sebagai produk pemikiran serta diposisikan pada keenam pasangan pilihan tarik-menarik yaitu antara kesatuan dan keragaman, antara universalisme dan partikularisme, antara wahyu dan akal, antara kemapanan dan perubahan, antara idealisme dan realisme, dan antara otoritarianisme dan liberalisme.
Dengan demikian jelaslah bahwa aturan Islam hendaklah dipahami sebagai upaya, hasil interaksi penerjemahan antara wahyu dan respon yuris muslim terhadap duduk kasus sosio-politik, sosio-kultural yang dihadapinya. Karena itu, jikalau aturan Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap banyak sekali duduk kasus umat yang muncul lantaran perubahan zaman, aturan Islam tersebut harus direvisi, diperbarui, bahkan kalau mungkin diganti dengan aturan Islam yang gres sama sekali. Hal ini memperlihatkan bahwa perubahan masa atau perubahan sosial merupakan salah satu faktor yang menuntut adanya perubahan hukum(Zarqa,1968:137, Jauziyah,1955 III:3 dan al-Syahrastani, Tanpa Tahun :200).
Kerangka pemikiran di atas, merupakan pendekatan alternatif dalam studi dan pemikiran aturan Islam. Dalam kaitan inilah mempergunakan kerangka pendekatan sejarah sosial dan sosiologis terhadap aturan Islam menjadi signifikan. Yang dimaksud dengan pendekatan sejarah sosial (social history) dalam pemikiran dan studi aturan Islam dalam konteks ini yaitu bahwa setiap produk pemikiran aturan Islam intinya merupakan hasil interaksi si pemikir aturan Islam dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh lantaran itu produk pemikirannya itu sesungguhnya bergantung kepada lingkungannya itu. Pendekatan ini memeperkuat alasan kenyataan sejarah yang memperlihatkan bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai aturan Islam itu sesungguhnya tidak lebih dari pada hasil interaksi tersebut. Pendekatan sejarah sosial ini penting artinya lantaran (1) untuk meletakkan produk pemikiran aturan Islam pada daerah yang proporsional, dan (2) untuk menyampaikan keberanian kepada para pemikir aturan Islam supaya tidak ragu-ragu, bila merasa perlu melaksanakan perubahan suatu produk pemikiran aturan lantaran sejarah telah pertanda bahwa umat Islam di banyak sekali penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari aturan Islam. Pendekatan sejarah sosial berfungsi menelusuri bukti-bukti sejarah itu dan sebagian dari bukti-bukti itu yaitu adanya imbas faktor lingkungan sosial budaya dalam kitab-kitab fiqh, aturan perundang-undangan negeri-negeri muslim, keputusan pengadilan dan fatwa-fatwa ulama(Mudzhar,1998b: 103-125).
Berdasarkan kerangka contoh di atas, sanggup dikemukakan bahwa dari kenyataan sejarah aturan Islam ternyata faktor sosial budaya memiliki imbas penting dalam mewarnai produk-produk pemikiran aturan Islam, baik berbentuk kitab fiqh, peraturan perundang-undangan di negeri muslim, keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatwa ulama. Oleh lantaran itu, apa yang disebut aturan Islam itu dalam kenyataan sesungguhnya yaitu produk pemikiran aturan Islam yang merupakan hasil interaksi antara yuris muslim sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun Al-Quran dan Hadis memiliki aturan yang bersifat aturan , tetapi jumlahnya amat sedikit dibanding dengan jumlah duduk kasus hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengsisi kekurangan itu, para yuris muslim telah memakai akalnya dan kesannya yaitu produk pemikiran aturan yang ada kini ini. Apa warna atau bagaimana dinamika produk pemikiran aturan itu akan tergantung kepada keberanian para pemikir aturan Islam yang ada kini ini(Mudzhar, 1998b: 127).
Setelah dijelaskan pendekatan sejarah sosial dalam studi dan pemikiran aturan Islam di atas, kemudian penedekatan sosiologis. Yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis dalam studi dan pemikiran aturan Islam yaitu mempelajari faktor-faktor sosial, politik, dan kultural apa yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran aturan Islam, dan bagaimana dampak produk pemikiran aturan Islam itu terhadap masyarakat(Mudzhar,1998a:246).
Studi aturan sosiologis intinya merupakan acara yang belum usang dilakukan oleh para jago hukum, tetapi pernyataan ini tidak bermaksud untuk menutupi pemikiran dan studi yang telah ada mengenai aturan dalam masyarakat. Dalam kekerabatan ini, Alan Hunt menyatakan bahwa kegiatan studi secara sosiologis terhadap aturan sanggup dikenali sebagai kecenderungan intelektual yang muncul pada simpulan masa ke-19, dan sanggup diikuti hingga pada sosiologi modern, studi ini juga memiliki ciri-ciri yang sanggup dipergunakan dalam ilmu aturan kontinental dan dalam teori-teori politik yang menempatkan analisis aturan dalam konteks sosial(Hunt,1978: 1).
Studi Hukum dengan Pendekatan Sosiologis
Sehubungan dengan studi aturan sosiologis, Roscou Pound menyatakan bahwa di Benua Eropa dalam masa kini telah tumbuh suatu cabang sosiologi yang dinamakan sosiologi aturan (Sociology of Law), sedangkan di Amerika Serikat telah tumbuh suatu ilmu aturan sosiologi (Sociological Jurisprudence) (Gurvitch,1963:7). Dengan demikian, studi aturan sosiologis terdapat dua bentuk, yaitu di satu pihak ada sosiologi aturan (Sociology of Law), dan di lain pihak ada ilmu aturan sosiologis (Sociological Jurisprudence).
Adanya dua bentuk studi aturan sosiologis yang dibangun dan tumbuh dari dua disiplin ilmu yang berbeda, sudah tentu memiliki orientasi yang berbeda dengan corak yang berbeda pula.(Taneko,1993:2) Untuk melihat pendekatan sosiologis yang dikemukakan dan mungkin dilakukan terhadap aturan Islam, kedua bentuk studi aturan sosiologis tersebut perlu dijelaskan.
Pemikiran dan studi aturan sosiologis model ilmu aturan sosiologis (Sociological Jurisprudence) tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat (Gurvitch,1963:7) yang dipelopori oleh antara Roscou Pound(Soekanto,1985:30) dan Eugen Ehrlich(Taneko,1993:5) yang berakar dan tumbuh dari tradisi ilmu aturan (Gurvitch,1963:7). Basis intelektual dari ilmu aturan sosiologis ini secara eksplisit berorientasi pada filsafat pragmatisme dengan menekankan pentingnya duduk kasus praktis(Hunt,1978:184). Tema-tema studi aturan sosiologis model ilmu aturan sosiologis yaitu antara lain efektivitas hukum, dampak sosial hukum, dan studi sejarah aturan sosiologis, dengan memakai konsep aturan sebagai forum dan iman yang dirumuskan dalam undang-undang(Taneko,1993:7).
Sedangkan studi aturan sosiologis model sosiologi aturan (Sociology of Law) tumbuh dan berkembang di Benua Erofa (Gurvitch,1963:7), serta dipelopori oleh Emile Durkheim dan Max Weber (Taneko,1993:7) yang berakar dari tradisi sosiologi (Gurvitch,1963:7). Basis intelektual dari sosiologi aturan dengan semata-mata dengan duduk kasus teoritis(Taneko,1993:16). Tema-tema pemikiran atau studi aturan sosiologis model sosiologi aturan (Sociology of Law) antara lain yaitu identifikasi aturan dari dan sebagai tanda-tanda sosial, dan juga menganalisis kekerabatan aturan dengan tanda-tanda sosial lainnya, terutama sekali kasus solidaritas dan system hukum. Dengan demikian, yang menjadi pokok bahasan studi aturan sosiologis model sosiologi aturan ini yaitu kasus identifikasi aturan dan kekerabatan aturan dengan gejala-gejala sosial lainnya(Taneko, 1993:16).
Basis intelektual dan tema-tema baik studi aturan soaiologis model ilmu aturan sosiologis maupun model sosiologi aturan jikalau dikaitkan dengan kerangka dan tema-tema studi aturan Islam sosiologis yaitu sanggup mengkombinasikan studi aturan sosiologis model ilmu aturan sosiologis dan model sosiologi hukum. Hal ini sanggup dicermati baik menurut kerangka dasar berpikir, basis intelektual maupun tema-tema yang mungkin dilakukan untuk studi aturan Islam pada masa mendatang.
Hukum hendaklah dipahami sebagai refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai pranata dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti muatan aturan selayaknya bisa menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang brsifat kekinian, malainkan juga sebagai contoh dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Pemikiran ini memperlihatkan bahwa aturan Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus bisa mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa sikap masyarakat dalam mencapai cita-citanya.
Pengembangan aturan Islam pada masa mendatang akan sangat dipengaruhi bagaimana aturan Islam dikembangkan dengan kerangka filsafat ilmu. Hukum Islam sebagai ilmu memiliki karakteristik keilmuan yang dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu, pengetahuan-pengetahuan tersebut terjaring dalam satu kesatuan sistem, dan memiliki metode-metode tertentu. Dari karakteristik aturan Islam sebagai ilmu tersebut memperlihatkan bahwa apapun yang dihasilkan dari aturan Islam yaitu suatu produk kebijaksanaan sehat yang berarti pula mendapatkan konsekuensi-kosekuensinya sebagai ilmu. Di antara konsekuensi-konsekuensi itu yaitu bahwa aturan Islam sebagai ilmu yaitu skeptis, aturan Islam sebagai ilmu terbuka untuk dikaji ulang dan diuji, dan aturan Islam sebagai ilmu tidak kebal kritik.
Di samping itu, untuk menyebarkan pemikiran dan studi aturan Islam dalam kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang, di samping studi normatif selama ini, sudah saatnya dan sangat urgen bagi para pakar aturan Islam mempertimbangkan studi dan pemikiran aturan Islam dalam kerangka sosiologi dengan pendekatan sejarah sosial. Yang dimaksud dengan kerangka sosiologi tersebut yaitu dalam studi dan pemikiran aturan Islam mempelajari faktor-faktor sosial, politik dan kultural yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk aturan pemikiran aturan Islam, dan bagaimana dampak produk pemikiran aturan Islam tersebut terhadap masyarakat. Sedangkan pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran dan studi aturan Islam yaitu bahwa setiap produk pemikiran aturan Islam intinya yaitu hasil interaksi antara si pemikir aturan dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh lantaran itu produk pemikirannya tergantung kepada lingkungannya. Dengan demikian jelaslah bahwa aturan Islam hendaklah dipahami sebagai upaya, hasil interaksi penerjemahan pedoman wahyu dan respon yuris muslim terhadap duduk kasus sosio-politik, sosio-kultural yang dihadapinya. Karena itu, jikalau aturan Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap banyak sekali duduk kasus umat yang muncul lantaran perubahan zaman, aturan Islam tersebut harus direvisi, diperbarui, bahkan kalau mungkin diganti dengan aturan Islam yang gres sama sekali.
Untuk menghasilkan aturan Islam yang responsif terhadap banyak sekali duduk kasus umat menyerupai yang dimaksud di atas, sudah tentu tidak sanggup dilepaskan dari kajian dan peranan usul al-fiqh. Secara bahasa, usul merupakan bentuk jamak dari aslun yang berarti dasar-dasar, pokok-pokok, ataupun landasan-landasan; sedangkan fiqh arti dasarnya fahm, pemahaman. Dengan demikian secara etimologis usul al-fiqh sanggup diartikan sebagai dasar-dasar pemahaman pedoman Islam. Berangkat dari pengertian etimologis ini sanggup dipahami bahwa usul al-fiqh merupakan suatu ilmu yang mempelajari dasar-dasar, metode-metode, pendekatan-pendekatan, dan teori-teori yang digunakan dalam memahami pedoman Islam. Hal ini berarti menempatkan usul al-fiqh pada posisi sentral dalam studi keislaman dan seringkali disebut sebagai the queen of Islamic sciences (Minhaji,1999:15). Dalam bahasa Taha Jabir al-Alwani, “ usul al-fiqh is rightly considered to be the most important method of research ever devised by Muslim Thought. Indeed, as the solid foundation upon which all Islamic disciplines are based, usul al-fiqh not only benefited Islamic civilization but contributed to the intellectual enrichment of world civilization as a whole (Alwani, 1994 : xi). Jika begitu, semua sarjana yang menggeluti studi Islam diharapkan memiliki bekal cukup, paling tidak mengenal prinsip-prinsip dasar yang dibahas dalam usul al-fiqh, satu ilmu yang sudah ada semenjak masa awal Islam. Sebab, melalui usul al-fiqh para sarjana akan mengetahui, misalnya, bagaimana memahami Alquran, al-Sunnah, bagaimana jikalau terjadi kontradiksi (ta’arud) antara kedua sumber tersebut, dan bagaimana pula menuntaskan duduk kasus kontemporer sesuai dengan tuntutan masa dengan tetap berlandaskan pedoman wahyu melalui proses dan prosedur ijtihad (Minhaji, 1999:15).
Memang harus diakui, bahwa selama ini usul al-fiqh hanya selalu dikaitkan dengan duduk kasus aturan Islam, dan seakan-akan disiplin ilmu di luar aturan Islam tidak memerlukan usul al-fiqh. Hal ini terjadi lantaran beberapa hal; pertama, Syafi’i seringkali dinobatkan sebagai pendiri usul al-fiqh, sedangkan ia sendiri dikenal sebagai jago aturan Islam (fiqh). Kedua, aturan Islam dipandang sebagai salah satu pedoman pokok dalam Islam – sebagian sarjana menyampaikan sebagai pedoman paling inti- ; bahkan pada masa awal Islam istilah ulama’ identik dengan fuqaha’. Ketiga pada masa pra-modern aturan Islam, terutama yang terkait dengan duduk kasus mazhab, dipandang bertanggung jawab atas kemunduran umat Islam. Karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan aturan Islam (termasuk usul al-fiqh) dipandang sebelah mata oleh mereka yang menggeluti kajian di luar aturan Islam (Minhaji,1999: 15).
Model-model Studi Usul al-Fiqh Kontemporer
Sebagai agama, Islam mendasarkan segala ajarannya kepada wahyu ilahi yang tertuang di dalam Alquran yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagaimana tertuang dalam hadis atau sunnah. Karena itu, secara doktriner-normatif, setiap individu muslim harus mendasarkan segala aktifitas hidupnya pada Alquran dan Hadis yang dikenal sebagai sumber pedoman yang telah disepakati, dan ini merupakan salah satu potongan terpenting dalam pedoman keimanan Islam . Atas dasar ini masuk akal jikalau model-model berpikir deduktif ( pemikiran yang lebih bernuansa atas-bawah) cukup mendominasi dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam menyerupai seringkali tergambar dalam ceramah-ceramah dan karya-karya keagamaan. Biasanya, pembahasan yang ada dimulai dengan mengutip satu Ayat atau Sunnah Nabi dan dijelaskan arti, makna, dan maksudnya dan ilustrasi lain yang terkait. Tidak jarang, klarifikasi model demikian terlepas dari realitas sosial yang dihadapi umat. Penerapan al-qawa’id al-usuliyyah dan al-qawa’id al-fiqliyyah merupakan contoh lain dari model berpikir doktriner- deduktif tersebut. Itulah model pendekatan pertama dalam usul al-fiqh (Minhaji,1999: 16).
Pada waktu yang sama, model empiris-historis-induktif, sebagai model pendekatan kedua dari usul al-fiqh, juga dibutuhkan dalam rangka menjelaskan sekaligus menjawab persoalan-persoalan aturan atau lainnya. Sebab, walaupun umat Islam meyakini bahwa ayat-ayat Alquran (dan juga Hadis-hadis Nabi yang sahih) mengandung kebenaran mutlak lantaran tiba dari yang otoriter dan mutlak (Allah) namun pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran tidaklah bersifat otoriter tetapi relatif sesuai dengan sifat relatif insan itu sendiri. Sifat relatif ini meruakan ciri pokok dari aktifitas ilmu sosial yang dikenal ketika ini. Karena itu, guna mendapatkan pemahaman ayat-ayat Alquran yang, paling tidak, mendekati kepada yang dikehendaki Allah maka dibutuhkan model-model berpikir induktif sebagaimana dikenal dalam penelitian-penelitian sosial. Model kedua ini memaksa si pemikir untuk melihat realitas sosial yang berkembang di tengah – tengah masyarakat dilanjutkan dengan mengidentifikasi kasus sekaligus memperlihatkan alternatif solusi yang dibutuhkan (Minhaji,1999:16).
Dua model pendekatan usul al-fiqh di atas sanggup dijelaskan melalui contoh berikut. Salah satu pembahasan pokok dalam usul al-fiqh yaitu wacana masadir al-tasyri’ al-islami (sumber-sumber penetapan pedoman Islam). Jika mengikuti pola Syafi’i, sumber pedoman itu terdiri dari Alquran, Sunnah, ijma’, dan qiyas, atau jikalau mengikuti pola Mahmud Syaltut yaitu Alquran, Sunnah, dan ijtihad (al-ra’y wa al-nazar). Secara doktriner-normatif-deduktif kita mendapatkan sumber-sumber tersebut, apalagi sumber pertama dan kedua. Namun bagaimana memahami Alquran, memahami Sunnah, kekerabatan antara keduanya apalagi jikalau terjadi kontradiksi dalil (ta’arud), sejarah munculnya ijma’, sebagaimana proses ijtihad dan bagaimana pula memahami hasil-hasil ijtihad itu sendiri, semua itu membutuhkan penelitian yang mendalam menyangkut persoalan-persoalan seputar dalil dan hal-hal yang berkaitan dengan proses ijtihad tersebut; dan di sinilah model pendekatan doktriner-normatif-deduktif tidak lagi cukup dan harus dikombinasikan dengan model pendekatan kedua, empiris-historis-induktif. Model pemahaman Alquran Abu Ishaq al-Syatibi, double movement-nya Fazlur Rahman, konsep nasakh model Mahmoud Muhammad Taha, Pendekatan yang diperkenalkan Ali Syari’ati, ijtihad intiqa’i dan insya’i yang ditawarkan Yusuf al-Qardlawi, teori batas (Theory of limits, hudud) yang diajukan Muhammad Syahrur, semuanya melibatkan kedua model pendekatan usul al-fiqh di atas (Minhaji,1999:16-17).
Daftar Pustaka
Afif, Abdul Wahab. 1991. Fiqh (Hukum Islam ) antara Pemikiran Teoritis dengan Praktis. Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati.
Ahmad, Amrullah dkk (Ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press.
Alwani, Taha Jabir al-.1994. Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Usul al-Fiqh al Islami), A New Revised English Edition by Yusuf Talal DeLorenzo dan Anas S. Al Shaikh-Ali. Herndon, Virginia USA : International Institute of Islamic Thought.
Coulson, N.J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University of Chicago Press.
Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. Alih bahasa Sumantri Mertodipuro, 1963. Jakarta: Bhratara.
Hunt, Alan. 1978. The Sociological Movement in Law. Philadelphia: Temple University Press.
Khallaf, Abdul Wahhab.Tanpa Tahun. Ilm Usul al-Fiqh. Mesir : Maktabah ad-Dakwah.
Manan, Abdul.2006.Reformasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Minhaji, Akh..1999. “ Reorientasi Kajian Ushul Fiqh “ dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta Indonesia No.63/VI/1999, hlm.15-17.
Mu’allim, Amir dan Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta : UII-Press.
Mudzhar, M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA Terj.Soedarso Soekarno dari judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of Indonesian Ulama : A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Edisi Dwibahasa (Indonesia dan Inggris ). Jakarta :INIS.
----------. 1998a. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
----------.1998b. Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
----------.1999. Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, 15 September 1999. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.
Nasuha, A. Ghozin.1989. “ Epistemologi Kitab Kuning”. Pesantren. Tahun l Vol. VI. Jakarta : P3M, hlm.16
Rahman, Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law. International Law and Politic.
----------.1980. Major Themes of the Quran. Chicago : Bibliotheca Islamic.
Soekanto, Soerjono.1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: C.V. Rajawali.
Syahrastani, asy-. Tanpa Tahun. Al-Milal wa an-Nihal. Beirut : Dar al-Fikr.
Taneko, Soleman B. 1990. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta : Rajawali.
----------.1993. Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahjono, Padmo.1996. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di Indonesia Masa Datang, dalam Amrullah ahmad dkk (Ed.) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 TH Prof. Dr. H. Busthanul Arifin SH. Jakarta : Gema Insani Press. Hlm.167-176.
Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta : UII-Press.
Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun.Usul al-Fiqh. Mesir : Darul Fikr al-Arabi.