BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa tokoh filsafat Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles dan sebagainya telah menjadi lantaran lahirnya para filsuf muslim, diantaranya ialah al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain.
Peradaban Islam muncul tidak lepas dari banyak sekali pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam ialah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam ialah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Al-Farabi ialah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang semenjak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles.
Tujuan filsafat dan agama bagi Al-Farabi ialah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat menggunakan dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama menggunakan cara iqna’I (pemuasan perasaan) dan kiasan-kiasan serta gambaran,dan ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.
Mengenai pengertian filsafat, ia menyampaikan bahwa filsafat ialah mengetahui semua yang wujud lantaran ia wujud (al-ilm bil maujudat bimahiya maujudah).
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi dan Pendidikannya Al-Farabi
Nama lengkapnya ialah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad IbnTarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Ia dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab, kawasan ia dilahirkan.[1] Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara Turki.
Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang menyampaikan bahwa Farabi sanggup berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang ia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.[2]
Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai sentra kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia berguru kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj dab berguru kecerdikan serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, sentra kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tetapi tidak berapa usang di Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat.
Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di sini ia berada selama sepuluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani.
Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, kemudian diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Dalam dunia intelektual Islam ia menerima kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama ialah Aristoteles yang menyandang delar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan lantaran ia banyak memamhami filsafat Aristoteles.
Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Baghdad merupakan kota yang pertama kali dikunjunginya. Di sini ia berada selama sepuluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani.
Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, kemudian diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Dalam dunia intelektual Islam ia menerima kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama ialah Aristoteles yang menyandang delar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan lantaran ia banyak memamhami filsafat Aristoteles.
Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang yang tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah ia mendapatkan sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya yang tidak terikat dengan dogma-dogma yang berbau politik di kala itu.
Satu sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau dilihat dari segi pemerintahan maka ia juga rugi lantaran kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan kenegaraan, juga untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik di kala itu.
Satu sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau dilihat dari segi pemerintahan maka ia juga rugi lantaran kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan kenegaraan, juga untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik di kala itu.
2. Karya-karyanya
Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga memperlihatkan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka ialah sebagai berikut:
a. Ulasannya terhadap karya Aristoteles
1. Burhan (dalil),
2. Ibarat (keterangan),
3. Khitobah (cara berpidato),
4. Al-Jadal (argumentasi/berdebat),
5. Qiyas (analogi),
6. Mantiq (logika)
b. Ulasannya terhadap karya Plotinus ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
c. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy wacana ”Maqalah Fin-nafsi”.
Sedangkan karya-karya faktual dari al-Farabi lainnya :
Sedangkan karya-karya faktual dari al-Farabi lainnya :
a. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
b. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
c. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
d. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),
e. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
f. As Syiasyah (ilmu politik),
g. Fi Ma’ani Al Aqli,
h. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan banyak sekali ilmu),
i. At Tangibu ala As Sa’adah
j. Isbatu Al Mufaraqat,
3. Pemikirannya
a. Filsafat Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi ialah teori emanasi yang di dapatnya dari teori Plotinus[4] Yaitu teori wacana keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan ialah pikiran yang bukan berupa benda.
Ia berpindirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir lantaran ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia mempunyai Zat yang Agung dan sempurna, ia mempunyai kesanggupan mencipta dalam keseluruhan semenjak azali.
Atau apabila terdapat satu zat yang kedua setelah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini ialah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) ialah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama mirip form (surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.[5]
Oleh lantaran itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, ialah sebuah rasa ingin tau dari al-Farabi lantaran ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles.
Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah ialah pencipta (Shani, Agent), yang membuat dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo). Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik wacana emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggagas Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang membuat sesuatu dari materi yang sudah ada secara pancaran.
Dalam arti, Allah membuat alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam ialah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).
Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah ialah pencipta (Shani, Agent), yang membuat dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo). Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik wacana emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggagas Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang membuat sesuatu dari materi yang sudah ada secara pancaran.
Dalam arti, Allah membuat alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam ialah baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).
Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila ia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).
Al-Farabi beropini Tuhan sebagai akal, berpikir wacana diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut kecerdikan pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir wacana wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir wacana dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
b.Wujud III / Akal kedua mengakibatkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
c.Wujud IV/Akal Ketiga mengakibatkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,
d.Wujud V/Akal Keempat mengakibatkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
e.Wujud VI/Akal Kelima mengakibatkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
f.Wujud VII/Akal Keenam mengakibatkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
g.Wujud VIII/Akal Ketujuh mengakibatkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
h.Wujud IX/Akal Kedelapan mengakibatkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
i.Wujud X/Akal Kesembilan mengakibatkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud ialah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.[6]
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah kecerdikan dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini diubahsuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap kecerdikan diharapkan satu planet pula, kecuali kecerdikan pertama yang tidak disertai sesuatu planet saat keluar dari Tuhan.
Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa berdasarkan Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah kecerdikan ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan kecerdikan sepuluh yaitu kecerdikan bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu zat-Nya saja.
Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan diri kecerdikan itu sendiri. Pemikiran kecerdikan pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul Wujud lantaran Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah kecerdikan kedua dan seterusnya.[7]
Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa berdasarkan Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah kecerdikan ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan kecerdikan sepuluh yaitu kecerdikan bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu zat-Nya saja.
Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan diri kecerdikan itu sendiri. Pemikiran kecerdikan pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul Wujud lantaran Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah kecerdikan kedua dan seterusnya.[7]
b. Filsafat Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, mirip para filosof lainnya, yakni membahas wacana kasus ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu:
pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.
Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri lantaran penelitiannya wacana Wujud tertentu.
Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu? Kemudian terlebih dahulu dibahas apakah Wujud serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa Wujud serupa itu ada. Apakah Wujud serupa itu sedikit atau banyak? Apakah Wujud serupa itu berketerbatasan atau tidak? kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa keterbatasan.[8]
pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.
Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri lantaran penelitiannya wacana Wujud tertentu.
Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu? Kemudian terlebih dahulu dibahas apakah Wujud serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa Wujud serupa itu ada. Apakah Wujud serupa itu sedikit atau banyak? Apakah Wujud serupa itu berketerbatasan atau tidak? kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa keterbatasan.[8]
Al-Farabi saat menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia beropini bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai lantaran pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.
Menurutnya, segala yang ada ini hanya mempunyai dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud ialah wujudnya dilarang tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya ialah sama dan satu. Ia ialah Wujud yang tepat selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak ada, akan timbul kemustahilan lantaran Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan.
Adapun mumkin al-Wujud tidak akan menjelma Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, tidak mungkin terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) lantaran rentetan lantaran akhir itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.[9]
c. Filsafat ke-Nabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud ialah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi ialah insan mirip insan lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh insan lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi ialah utusan Allah yang mengemban kiprah keagamaan.
Nabi ialah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh lantaran itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah ialah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
Nabi ialah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh lantaran itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah ialah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) berdasarkan kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan kecerdikan fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi.
Ia ialah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya wacana keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah:
pertama, Nabi bekerjsama tidak diharapkan insan lantaran Tuhan telah mengaruniakan insan kecerdikan tanpa terkecuali. Akal insan sanggup mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan sanggup pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, mendapatkan suruhan dan larangan-Nya.
Kedua, fatwa agama meracuni prinsip akal. Secara kecerdikan tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya.
Ketiga, mukjizat hanya semacam dongeng khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang sanggup mendapatkan kerikil bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak.
Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan dilema yang luar biasa. Orang yang non-Arab terang saja heran dengan balaghah al-Qur’an, lantaran mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad ialah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab.
Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih mempunyai kegunaan membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, kecerdikan dan obat-obatan menurutnya.
Ia ialah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya wacana keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah:
pertama, Nabi bekerjsama tidak diharapkan insan lantaran Tuhan telah mengaruniakan insan kecerdikan tanpa terkecuali. Akal insan sanggup mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan sanggup pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, mendapatkan suruhan dan larangan-Nya.
Kedua, fatwa agama meracuni prinsip akal. Secara kecerdikan tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya.
Ketiga, mukjizat hanya semacam dongeng khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang sanggup mendapatkan kerikil bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak.
Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan dilema yang luar biasa. Orang yang non-Arab terang saja heran dengan balaghah al-Qur’an, lantaran mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad ialah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab.
Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih mempunyai kegunaan membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, kecerdikan dan obat-obatan menurutnya.
Pendapat yang telah diungkapkannya ialah pendapat yang sangat bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam fatwa Islam, al-Qur’an ialah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber wangsit yang benar, sanggup diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada dijelaskan:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَيُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْيُنْفِقُونَ
”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 2-3)
Nabi ialah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi berdasarkan al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang berpengaruh dan saat bekerjasama dengan Akal Fa’al sanggup mendapatkan visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu.
Wahyu tidak lain ialah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi ialah Jibril. Sementara itu, filosof sanggup berkomunikasi dengan Allah melalui kecerdikan perolehan yang telah terlatih dan berpengaruh daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat aneh murni dari Akal kesepuluh.”[10]
Wahyu tidak lain ialah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi ialah Jibril. Sementara itu, filosof sanggup berkomunikasi dengan Allah melalui kecerdikan perolehan yang telah terlatih dan berpengaruh daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat aneh murni dari Akal kesepuluh.”[10]
Pendapat al-Farabi di atas memperlihatkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jikalau hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, lantaran antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril).
Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari aturan alam lantaran sumber aturan alam dan mukjizat sama-sama berasal dari kecerdikan Mustafad.
Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari aturan alam lantaran sumber aturan alam dan mukjizat sama-sama berasal dari kecerdikan Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk bekerjasama dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya lantaran pada hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah dongeng dan kebohongan yang di buat oleh Nabi.
Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya pribadi dari Allah, melalui mediator Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh insan lainnya.
Ada sebagian insan yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa bekerjasama dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya saat tidur, mereka ini di sebut para Auliya.
Ada lagi lebih ke bawah yakni, insan yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa bekerjasama dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.
Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya pribadi dari Allah, melalui mediator Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh insan lainnya.
Ada sebagian insan yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa bekerjasama dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya saat tidur, mereka ini di sebut para Auliya.
Ada lagi lebih ke bawah yakni, insan yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa bekerjasama dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.
Penjelasan di atas ialah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof ialah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, lantaran keduanya sanggup bekerjasama dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diharapkan bagi kehidupan Negeri.
Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih korelasi dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.[11]
Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih korelasi dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.[11]
Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A. Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof lantaran pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya.
Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, lantaran selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka wacana cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya.
Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi sanggup naik ke alam atas melalui pikiran, lantaran ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, kawasan mendapatkan perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, lantaran selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka wacana cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya.
Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi sanggup naik ke alam atas melalui pikiran, lantaran ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, kawasan mendapatkan perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang Nabi sanggup bekerjasama dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi kasus yang bisa dicari (muktasab), sedangkan berdasarkan Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bisa dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan sanggup bekerjasama dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak gampang diperoleh, lantaran setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang bekerjsama hanyalah sedikit saja.
Al-Farabi juga tetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan belakang layar tertentu. Boleh jadi berdasarkan pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari semenjak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas menyampaikan demikian.
Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak gampang diperoleh, lantaran setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang bekerjsama hanyalah sedikit saja.
Al-Farabi juga tetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan belakang layar tertentu. Boleh jadi berdasarkan pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari semenjak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas menyampaikan demikian.
Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi sanggup terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk insan biasa kadang terdengar oleh Nabi mirip suara lonceng.
Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah kesimpulan bahwa Nabi ialah seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri.
d. Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam dilema filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi beropini bahwa insan ialah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan insan tidak bisa memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa derma atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memperlihatkan kepada insan akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di darul abadi nanti.[12] Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
i. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah). Masyarakat tepat ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri insan unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.[13] Selanjutnya, masyarakat yang sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat tepat besar (gabungan banyak bangsa yang setuju untuk bergabung dan saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat tepat sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat tepat kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara kota).[14]
ii. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum tepat ialah masyarakat yang kehidupannya kecil mirip masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak sempurnaan ialah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang tepat (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan mirip satu anggota badan insan yang lengkap. Jika salah satu organ badan sakit, maka badan yang lain akan merasakannya.
Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka.
Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini ialah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam badan manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini ialah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam badan manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan mempunyai kecerdikan mustafad yang sanggup berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.
Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka.
Fungsi utama dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini ialah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam badan manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini ialah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam badan manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan mempunyai kecerdikan mustafad yang sanggup berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai Wahyu.
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan talenta dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing mempunyai talenta dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya hingga golongan terendah.
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat imajinasi semata.
Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara ialah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang mempunyai sifat-sifat yang akrab dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal.
Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat.
Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat.
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat lantaran pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang jelek ialah mirip orang yang sakit lantaran kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara yang jelek tersebut banyak macamnya, contohnya Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat.
Dalam hal ini, al-Farabi memperlihatkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam:
pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan kawasan tinggal.
Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja.
Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya.
Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melaksanakan cita-cita masing-masing.
Dalam hal ini, al-Farabi memperlihatkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam:
pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan kawasan tinggal.
Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja.
Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya.
Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melaksanakan cita-cita masing-masing.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, sanggup disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Namun dari beberapa ajarannya masih terdapat banyak penyimpangan terhadap fatwa islam yang murni, mirip teori emanasinya yang menggambarkan sosok yang kuasa seakan akan hanya kepingan dari suatu sistem yang terus berkelanjutan. Kemudian pemahaman mengenai nabi dan filosof yang disamakan oleh Al Farabi, menganggap bahwa kenabian ialah sesuatu yang sanggup dicapai oleh semua orang melalui tingkatan-tingkatan proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
A Qadir, C. Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991
Al-Jisr, Nadim, Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan Jakarta : Bulan Bintang, 1966, Jilid I
Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005
Kartanegara, Mulyadi, Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta : Paramadina, 2000
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam Jakarta : Bulan Bintang,1984
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
---------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, Bandung: Rosdakarya, 1988
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI Perss, 1993
http://konsultasi-hukum-online.com/2013/06/teori-emanasi-al-farabi/
[2] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI Perss, 1993), hlm.49
[3] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.127-128
[4] (Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), hal.58-59
[5] A. Mustofa., Filsafat Islam … , hlm.160
[6] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 27-28
[7] A. Mustofa, Filsafat Islam …, hlm.162
[8] Ibid,.133
[9] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam … , hlm. 35-36
[12] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V, (Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 51
[13] Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1988) , hal.138
[14] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran,... , hlm. 51-52