Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.
JAKARTA, UINJKT.AC.ID -- Kelihatannya sepele dan murah harganya,
namun fungsi cermin sangat vital dalam kehidupan sehari-hari. Mobil
tanpa dilengkapi cermin pun sangat merepotkan dan membahayakan bagi
pengemudinya.Terlebih jika kendaraan itu bernama perusahaan ataupun
pemerintahan.
Perempuan pasti lebih banyak becermin
ketimbang laki-laki untuk bersolek mematut-matutkan diri. Setiap
kesempatan setiap orang selalu ingin melihat potret dirinya lewat
cermin. Ini biasa dilakukan sebelum turun dari mobil. Atau ketika
jalan-jalan di mal ada pintu kaca, orang sejenak melihat pantulan
dirinya sambil berusaha berwajah manis, tersenyum pada diri sendiri.
Pendeknya, ada naluri bawaan, setiap
orang memiliki sifat cinta diri, selalu ingin memuji dirinya, dan
disebut narsistik jika berlebihan. Yang krusial adalah bagaimana caranya
agar kita bisa melihat potret diri nonfisik secara objektif, adakah
pantulan bayangannya itu seindah yang kita harapkan ataukah sebaliknya?
Potret diri dalam aspek kepribadian ini sangat penting diperhatikan
terutama oleh seorang pemimpin, baik dalam ranah keluarga, perusahaan,
maupun pemerintahan.
Untuk ini, agenda pertama adalah
bagaimana menemukan atau menciptakan cermin sosial yang mampu
memantulkan wajah kita seobjektif mungkin. Kedua, andaikan pantulan itu
ternyata mengecewakan, akankah kita memperbaiki diri ataukah–mirip
pepatah lama–“buruk muka cermin dibelah”? Untuk mengetahui karakter
seseorang, salah satu cara termudah dengan menanyakan kesan dan
penilaian orangorang terdekatnya.
Apakah itu anak buah, teman akrab,
tetangga, sopir, atau pembantu rumah tangga. Orang-orang yang berada di
sekeliling kita sesungguhnya cermin hidup yang akan memantulkan karakter
siapa diri kita. Kalau pantulan itu buruk, kita benahi wajah kita
sebagaimana ketika becermin di depan kaca. Masalahnya, kita seringkali
enggan menerima pantulan wajah kita yang mungkin tidak enak.
Akibatnya orang-orang di sekeliling kita memantulkannya pada orang lain sehingga muncullah gosip dan cerita negatif tentang kita. Ini tidak akan terjadi kalau saja kita membiasakan diri menerima masukan dan kritik, atau bahkan secara sadar kita minta, sehingga persahabatan berkembang sehat, konstruktif. Sesama teman dekat saling mengkritik dan mengapresiasi apa yang kita lakukan.
Akibatnya orang-orang di sekeliling kita memantulkannya pada orang lain sehingga muncullah gosip dan cerita negatif tentang kita. Ini tidak akan terjadi kalau saja kita membiasakan diri menerima masukan dan kritik, atau bahkan secara sadar kita minta, sehingga persahabatan berkembang sehat, konstruktif. Sesama teman dekat saling mengkritik dan mengapresiasi apa yang kita lakukan.
Pesan moral demokrasi sesungguhnya
seperti itu. Manusia tidaklah sempurna sehingga diperlukan forum dan
mekanisme kritik yang terlembagakan agar kesalahan dan penyimpangan
tidak kebablasan karena akan merugikan semua. Begitupun dalam kehidupan
rumah tangga dan tempat kerja, mesti dibiasakan dialog terbuka untuk
menyampaikan kesan, pesan, dan penilaian tentang diri kita masing-masing
layaknya kita selalu memerlukan cermin untuk melihat wajah sendiri.
Bukankah memperindah wajah kepribadian
jauh lebih fundamental ketimbang paras muka? Banyak cara dapat ditempuh
untuk mengetahui pantulan wajah kita dari orang-orang sekeliling. Kalau
dalam lingkup pemerintahan dan kantor, bisa dilakukan survei untuk
menanyakan penilaian rakyat, teman, dan anak buah terhadap seorang
pimpinan. Dalam lingkungan kerja metode ini bagus dilakukan sebagai
bahan pertimbangan promosi jabatan seseorang.
Ada lagi cara lain yaitu forum evaluasi
bersama yang dilakukan dengan ikhlas dan jujur, semata untuk menciptakan
kemajuan dan perbaikan bersama. Iklim keterbukaan ini sebaiknya juga
dilakukan dalam kehidupan rumahtangga. Orang tua mesti mau mendengar apa
kata anak-anaknya karena seringkali terjadi orang tua yakin merasa
dirinya selalu okay di mata anak-anaknya, yang ternyata meleset.
Dengan membiasakan dialog dan saling
becermin, berbagai konflik dan gosip akan terhindarkan dan sebaliknya
justru menjadi masukan untuk perbaikan bersama. Saya ingat sabda
Rasulullah: “Al-mar-atu, mir- atun li akhihi-l mukmin”. Setiap
orang itu sesungguhnya cermin bagi saudaranya. Cermin di sini bisa
bermakna positif atau negatif. Yang pasti, apa pun yang kita lakukan
akan terekam oleh orang-orang terdekat dan kemudian terpantul keluar.
Karena itu, sangat tepat nasihat
Rasulullah yang lain: “Sebaik-baik teman adalah yang mau menunjukkan
pada jalan kebenaran, sekalipun kamu merasa pahit ketika dia menunjukkan
kekuranganmu”. Dalam kehidupan bernegara modern, mekanisme kritik ini
lalu dilembagakan dalam sistem demokrasi.Salah satu agenda berdemokrasi
adalah musyawarah, berasal dari bahasa Arab, yang seakar dengan kata
“isyarat” yang arti dasarnya “menunjuk”.
Jadi dalam musyawarah semua peserta
saling menunjukkan sisi baik dan buruk dari sebuah keadaan dan
kepemimpinan. Tujuannya untuk perbaikan bersama, bukan didasari
kebencian untuk mempermalukanatau menjatuhkan.
Formula ini oleh Alquran juga disebut
“saling berwasiat” di jalan kebenaran dengan disertai
kesabaran.Watawashau bilhaqqi watawashau bisshabri. Hendaknya kita
saling memberi wasiat atau nasihat tentang kebenaran dan kesabaran atau
konsistensi.