Pandangan Dunia Jawa (Masa Hindu-Budha)

PENDAHULUAN
Peran agama-agama di Indonesia mempunyai peranan sangat panjang dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sering disebut negara kaum beragama, religius, dibuktikan dari sekian banyak agama yang diyakini masyarakat.  Jauh sebelum datangnya agama-agama besar mirip Islam, Kristen, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha, bangsa Indonesia menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Inilah yang oleh Karen Armstrong (2002) disebut monoteisme primitive, percaya kepada Tuhan yang Esa.
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan adanya islamisasi di Jawa. Pertama, agama Hindu, Budha, dan kepercayaan usang telah berkembang lebih dahulu jikalau dibandingkan dengan agama Islam. Agama Hindu dan Budha dipeluk oleh elit kerajaan, sedangkan kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh kalangan awam. Walaupun ketiganya berbeda, tetapi semuanya bertumpu pada suatu titik.


RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Masuknya Hindhu-Budha yang Pertama di Jawa?
B. Bagaimana Kepercayaan Jawa pada Masa Hindhu-Budha?
C. Bagaimana Budaya Jawa pada Masa Hindhu-Budha?

PEMBAHASAN
A. Masuknya Hindhu dan Budha yang Pertama di Jawa.
Sejarah mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya disebut indianisasi. Sebenarnya kemungkinan adanya efek India tidak pernah terdeteksi oleh para peneliti Eropa sebelum awal periode ke-19. Raffles mengangkat indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengaitkan antara Jawa dan India. Gagasan indianisasi ini dilanjutkan oleh para peneliti Belanda yang lainnya, yaitu: J.LA. Brandes (1957-1905), H. Kern (1833-1917), N.J. Krom (1883-1945), dan W.F. Stutterheim (1892-1942). Mereka berjasa dalam menginterpretasikan masa lampau Jawa berdasarkan pengetahuan wacana India kuno. Sekarang perlu dipertanyakan apakah tradisi Jawa masih menyimpan bekas-bekas persentuhan dengan Hindhu atau India. Terdapat paling sedikit tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan budaya tersebut, yang telah meresap dalam mentalitas masyarakat Jawa.

Pertama, asal-usul suku bangsa Jawa yang telah dijelaskan oleh C.C Berg dalam bentuk legenda wacana seseorang yang berjulukan Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang muda putra. Aji Saka tiba di tanah Jawa, dan mendapatkan sebuah negri yang berjulukan Medangkamulan, yang kini berada di tempat Grobogan, Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh seorang raja pemakan daging insan yang berjulukan Dewata Cengkar. Aji Saka memperlihatkan diri menjadi masakan raja dengan syarat ia akan mendapatkan satu bidang tanah seluas destarnya sebagai gantinya. Tetapi ia terkejut alasannya ialah destarnya Aji semakin usang semakin lebar. Akhirnya DewataCengkar menyerakan diri dan melepas kekuasaanya kepada Aji pada tahun 78 masehi.

Kedua, penafsiran indianisasi yang lain, yang kurang bersifat historis diberikan dalam naskah jawa periode 16, goresan pena itu menjelaskan wacana asal mula Bhatara Guru (Siva) yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya pulau jawa diberi penghuni. Brahma membuat kaum pria dan wisnu membuat kaum perempuan. Lalu semua tuhan tetapkan untuk menetap di bumi dan memindahkan Gunung Meru yang hingga ketika itu masih berada di  Negeri Jambudvipa atau di India. Sejak ketika itu gunung tertinggi yang menjadi lingga dunia atau sentra dunia itu tertanam di pulau Jawa.

Ketiga, sebagai kelanjutan dari teori mutasi perlu dicacat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang menerangkan adanya kehendak untuk membuat kembali geografi India yang dianggap keramat itu. Bukan hanya hanya gunung-gunungnya tetapi juga kerajaan-kerajaan  yang namanya dipinjam dari Bahabarata. Demikian pula relief-relief candi Borobudur  tidak sanggup ditafsirkan tanpa mengetahui risalah India Mahayana. Namun antara India dan Jawa tidak bisa disamakan. 

Secara artefaktual, beberapa peninggalan agama Hindu dan Budha ialah terawal yang dijumpai di Nusantara. Di Jember pernah dijumpai arca Budha kerikil yang berukuran sekitar 3 m dalam perilaku berdiri. Dua arca Wisnu dijumpai pula di tempat Batujaya-Karawang, arca itu berukura kecil dan terbuat dari kerikil hitam, materi yang tidak dikenal di wiliyah tersebut. 
 
B. Kepercayaan Jawa pada Masa Hindu-Budha 
Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular berisikan pesan keagamaan yang digubah dari Boddhakawya sehingga berkesan bahwa ia ialah seorang Budha, yang memuja dewata/Ad-Budha. Namun dalam kakawin lain Uttrakanda yang ditulisnya, terang merupakan pemujaan kepada tuhan Wisnu. Tradisi memuja gunung merupakan kepercayaan pada kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada hubungannya dengan pemujaan arwah nenek monyang yang terdapat semenjak usang di Asia Tenggara pada umumnya, sebelum kedatangan Hindu Budha di Jawa. 

Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para Jiuna lainnya dengan Siwa dan para tuhan lain. Masyarakat Jawa mempercayai dalam kisah Porusada dengan Sutasoma, bahwa Porusada telah berubah menjadi Maharudia atau Siwa, kemudian ia murka menjadi Kala, yaitu api yang akan memperabukan dunia. Cemas akan hal ini para tuhan turun dan membujuk Siwa dengan menjelaskan bahwa Siwa tak mungkin mengalahkan Sutasoma yang merupakan penjelmaan Budha. Karena keduanya tidak bisa dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga. Artinya, seorang pendeta Budha akan gagal (tiwas) kalau tidak mengetahui jalan kesiwaan, begitupula sebaliknya. Karena jalan yang harus dilalui untuk menyembah Hyang Agung ialah mirip jalan menuju puncak gunung yang sanggup dicapai dari segenap penjuru.

Kepercayaan keagamaan masyarakat Jawa yang terungkap melelui kakawin pada ketika tertentu tampak berkembang dalam evolusi yang lamban. Namun, yang niscaya ialah kedua ideology yang baru, baik Hindhu dan Budha rupanya lebih rukun antara satu dengan yang lain daripada di India. 

C. Budaya Jawa pada Masa Hindu Budha
Pada dasarnya budaya di masa Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa Hindu-Budha semenjak datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa upacara tradisi yenga sebagian masih sanggup dilihat keberadaannya hingga ketika ini. Upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa.

Di masa Majapahit para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur Raja. Kraton merelakan hasil surplus dari tidak kurang 27 bidang tanah milik otonom (sima switantra), antara lain di Kwak bersahabat Magelang, di Yogya dan Ponorogo yang dianugrahkan kepada rohaniwan agama Siva dan Budha ntuk memohonkan kesejahteraan. Itu belum terhitung tanah lain yang dinamakan tanah milik bebas (dharma lepas) untuk menjadi drwya hyang atau bwat hyang (pajak untuk dewata). Bila disatu pihak para Raja membebaskan tanah milik komunitas agamawan dari pajak, maka di pihak lain mereka memungut pajak dan menuntun kerja rodi dari semua warga desa lainnya yang eksklusif berada di bawah kekuasaannya. Keluarga Raja tak mungkin hidup tanpa adanya pajak kerajaan (drwya aji) dan tugas-tugas wajib untuk Raja (gawai aji) yang mestinya tidak dikenakan pada sima. 

Masyarakat Jawa pada masa Hindu sepertinya berlapis tiga. Pertama, terdiri dari kaum agamawan Hindu-Budha yang mempunyai tanah bebas pajak. Kedua, keluarga Raja yang berkuasa atas para raka (penguasa) lokal dengan proteksi kaum agamawan, dan yang Ketiga ialah masyarakat desa biasa yang dipungut pajak oleh Raja dengan perantaraan mangilala drwya aji atau ekspo pajak. Dengan memperbanyak jumlah sima para Raja berkepentingan menjaring dukungan agamawan, sedangkan dari sudut kekayaan material, mereka juga berkepentingan untuk menyebarkan budidaya padi.

Ritual renta lainnya di Jawa maupun di Pasundan untuk memperoleh kesejakteraan hemat ialah upacara wiwit (permulaan animo tanam) yang diwujudkan pada pemujaan tuhan padi, Dewi Sri. Sekalipun nama Sri berasal dari India, mitos itu terdapat di seluruh Nusantara samapai di pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh efek India. Versinya berbeda-beda, tetapi ceritanya sederhana: Sri telah dikurbankan, dan dari banyak sekali bab tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman budidaya yang utama, termasuk padi. Pemujaan terhadap Dewi Sri remaja ini masih terus dilangsungkan oleh para petani di desa untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Doa ditunjukan kepada tokoh Sri yang bermetamorfosis menjadi padi. Jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan dibuat mirip dua orang (lambang sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang. Diharapkan nantinya sepasang pengantin padi akan mendatangkan panenyang baik. Petani akan mempersembahkan ikatan-ikatan padi pertama yang disimpan dengan hidmat hingga masa penebaran benih berikutnya.

Untuk menjaga keserasian kosmis antara kekuatan-kekuatan yang slaing berlawanan, di desa juga melaksanakan ritual kesuburan, yaitu semoga menuasia dikarunia keturunan yang banyak. Ketakutan akan kekurangan anak bahu-membahu merupakan ciri arkais pedesaan Jawa yang berlangsung sangat lama. Hal itu merupakan warisan dari suatu masa lampau yang sangat jauh, ketika kekayaan hemat bukanlah berupa tanah atau uang melainkan tenaga kerja. Disaat itu insan harus melawan hutan rimba dan membuat ladang berundak. Di dalam serambi Candi Mandut, yang terletak didekat Borobudur dan dibangun pada masa yang sama (kira-kira 800 M), Tampak dua relief yang indah yang menggambarkan Hariti dan Yaksa Atavaka, dua raksasa yang diajak sang Budha untuk memeluk agamanya dan dijadikan pelindung kesuburan.

Upacara yang dibicarakan diatas pada pokoknya ialah untuk menjaga keseimbangan antara desa dan makrokosmos, serta menghindari goncangan yang sanggup menjadikan turunnya kesejahteraan materiil.

Salah satu upacara yang lain ialah kurban kerbau yang semenjak dini diwarnai mitologi India. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat sejumlah patung Durga Mahisasuramardini, artinya Durga yang sedang membantai rakasa berwujud kerbau. Louis Charles Damais mengumakakan bahwa “batu kuburan” dalam bahasa Jawa disebut maesan, mungkin alasannya ialah kerikil itu menggantikan tonggak kurban temapat penambatan kerbau (maesa) yang umumnya disembelih waktu pemakaman pada zaman pra Islam. Dewasa ini pun tidak ada gedung yang cukup besar yang dibangun tanpa penguburan kepala kerbau.

Upacara ini yang sangat penting ialah pagelaran wayang kulit. Bukti tertua wacana wayang kulit berasal dari periode ke-10, berupa prasasti Bali yang menyebut digelarkannya sebuah lakon kelahiran Bima (Bima bungkus) yang adakala masih dipertunjukan remaja ini. Peran wiracarita-wiracarita India atas lakon-lakon wayang kulit besar sekali. Kebanyakan tokoh dan sejumlah besar lakon diambil dari Ramayana dan Mahabarata. Wayang hanya terdapat di Jawa dan daerah-daerah Nusantara yang tersentuh kebudayaan Jawa itu.

Para dalang ialah pencetus dunia gaib, dan dalam fungsi itulah mereka bersama rombongan niyaga-nya diundang ke desa-desa pada upacara-upacara besar. Dalang diundang pada ketika terjadinya kejadian yang dianggap sanggup mengganggu keselarasan (rta: tata tertib kosmos) pada keluarga atau kelompok masyarakat mirip banjir, gagal panen, dan wabah penyakit yang menimpa insan atau binatang. Di samping itu, dalang pun biasanya dipanggil untuk mengadakan pertunjukan dalam upacara ruwatan kelahiran anak kembar atau putera kelima, sunatan, dan perkawinan.

Selain upacara-upacara diatas masih ada upacara lain untuk memelihara keseimbangan kosmos. Di antara kultus-kultus yang hidup hingga kini terdapat beberapa kultus yang sekalipun tidak disebut dengan terang dalam sumber-sumber pra Islam, dipastikan hanya berasal dari masa lampau. Salah satu bentuk pemujaan yang menarik ialah kultus terhadap Ratu Kidul yang menguasai Laut Selatan atau Samudra Hindia. Ratu Kidul konon tidak hanya menguasai ombak-ombak Samudra Selatan yang mengamuk, tetapi juga semua dedemit yang melanda dan mengancam kerajaan. 

Upacara perawatan dan penjamasan pusaka sebagai tanda kebesaran sudah dikenal semenjak tahun 824 pada prasasti Karang Tengah yang menyebutkan kres (atau keris). Pemilikan alat kebesaran ini, sebagaimna pemilikan wahyu (ketiban andaru, yaitu sebuah cahaya kilat tanda kebesaran yang jatuh dari langit) ialah merupakan tanda keabsahan. Semua benda pasuka dipersonifikasikan dan diberi nama yang dihormati, yakni kiyai untuk pria dan nyai untuk perempuan.

Penampilan kerucut-kerucut nasi dalam upacara keagamaan sebagai garebeg sudah terbukti ada semenjak periode ke-9. Dalam prasasti yang dinamakan Prasasti Pintang Mas dari taun 878 M dan yang mungkin berasal dari tempat dieng, tertulis perintah kepada seseorang dyah Putu apa yang harus disajikannya pada para dewata....”dan bila tiba saatnya untuk pemujaan tuhan (kapujan bhatara buat hyang) sekali setahun (pisan ing setahun) kau harus memberi penghormatan tuhan Brahma (agawaya annalingga pamuja I bhatara Brahma) dengan kata anna yang berasal dari bahasa Sansekerta, artinya nasi dan masakan pada umumnya.

Garebeg ialah kelanjutan dari suatu ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk memulihkan keterpaduan kerajaan. Pada kesempatan itu para wakil provinsi tiba menghaturkan upeti dan rakyat bergembira ria. Ritual-ritualnya hampir sama dengan upacara yang lain, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisinil. Upacara di ibukota raja dengan Sekaten di Alun-alun menjaga keserasian antara kerajaannya dan kosmos. Sementara itu, warga desa juga berusaha mencapai tujuan yang sama pada tingkat yang lebih sederhana.

Maka pada ketika itu tempaklah raja melaksanakan miyos dalem (penampilan raja ke hadapan rakyatnya). Raja duduk diats tahta dikelilingi oleh anggota-anggota keraton dan pusaka yang sakti dan perhatiannya mengarah ke Tugu, sebuah monumen lingga yang terletak di bab utara keraton yang melambungkan kesatuan insan dan Tuhan. Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk menegarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja memberikan berkahnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Bagian kedua dari pesta itu ialah arak-arakan sejumlah gunungan ke luar istana. Gunungan yang dibuat dari nasi dan materi masakan lain merupakan lambang kesuburan sekaligus kelimpahan. Kerucut-kerucut besar yang diangkut di atas  usungan, untuk yang besar-besar diharapkan sekurang-kurangnya sepuluh orang, dibuat dalam keraton beberapa hari menjelang upacara. Yang paling tinggi dianggap lelaki (lanang) dan memang mirip lingga. Yang lebar dikatakan wanita (wadon), dan yang terkecil dianggap bawah umur mereka, kemudian dinamakan berdasarkan bentuknya, yaitu darat, pawuhan, atau gepak.

Secara fisik dalam kegiatan garebeg tersebut beras dan materi masakan merupakan persembahan kepada raja. Dan sesudah diolah dan dimasak oleh para abdi dalem, dikembalikan dalam bentuk lain, yang penuh dengan berkah raja. Dengan demikian telah terjadi peralihan wujud dari yang mentah kepada yang masak, dari yang bergairah kepada yang halus, dari yang alamiah ke yang beradab. Slametan ialah santap bersama yang bernilai ritual, yang diadakan pada petang hari di antara kaum lelaki. Mereka menikmati hidangan yang disajikan di atas lembaran daun pisang berupa nasi kuning yang diwarnai dengan kunyit, dan banyak sekali hidangan daging. Disini tujuannya ialah menjinakan roh, seperti: dedemit, lelembut, memedi, dan tuyul yang memang dianggap hadir dan menghirup basi harum hidangan. Bila mereka betul-betul sudah dijinakan, barulah insan sanggup “selamat”, mirip yang terdapat dalam kata selametan itu sendiri. Selametan yang paling ialah slametan higienis desa yang diadakan sekali setahun dan melibatkan semua warga lelaki. Mereka melaksanakan doa bersam di makam yang diyakini sebagai makam danyang desa, yaitu tokoh pendiri yang sekaligus menjadi roh pelindung masyarakat desa. 

Santapan bersama itu merupakan ungkapan nyata semangat kolektif dikalangan penduduk desa dan diwarisi dari zaman kuno. Ketika kelompok harus bersatu mempertahankan kesatuan untuk membela diri terhadap keganasan hutan rimba.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya disebut indianisasi. Setidaknya terdapat tiga pendapat mengenai persentuhan antara agama Hindhu-India terhadap Pulau Jawa, yaitu wacana asal mula Jawa yang diceritakan melalui legenda Ajisaka, penafsiran indianisasi dalam naskah Jawa periode 16 yang menjelaskan wacana asal mula Bhatara Guru (siva) yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya pulau Jawa diberi penghuni, dan sebagai kelanjutan dari teori mutasi perlu dicacat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta.

Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para Jiuna lainnya dengan Siwa dan para tuhan lain. Pada masa sebelum Hindhu-Budha, penduduk Jawa memuja arwah dan tempat-tempat yang dianggap keramat. Namun semenjak datangnya Hindu Budha di Jawa, mereka melaksanakan penyembahan kepada tuhan berupa upacara tradisi yang ditujukan untuk mendapatkan kesejahteraan dari para dewa. Dan pada masa ini, kehidupan masyarakatnya memandang perbedaan kasta antara kaum priyai, penguasa, dan rakyat biasa.

B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh alasannya ialah itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogjakarta: Gama Media:2000.
Paeni, Mukhlis. Sejarah Kebudayaa Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2002.
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.