PENDAHULUAN
Masa sebelum Islam, khususnya daerah jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah.Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, menimbulkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Dalam Islam, periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan beragama. Suasana semacam ini terus berlangsung sampai tiba Islam di tengah-tengah mereka.
Rentetan insiden yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian lantaran tidak ada satu pun insiden di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu insiden dengan insiden lainnya terdapat kekerabatan yang bersahabat dalam aneka macam aspek kehidupan, termasuk kekerabatan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana letak geografis Jazirah Arab?
B. Apa agama bangsa Arab Pra-Islam?
C. Bagaimana peradaban bangsa Arab Pra-Islam?
D. Bagaimana kehidupan sosial di Jazirah Arab?
E. Bagaimana kehidupan politik di Jazirah Arab?
F. Bagaimana kehidupan ekonomi di Jazirah Arab?
PEMBAHASAN
A. Letak geografis Jazirah Arab
Jazirah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti kepulauan, Arab secara etimologi berasal dari kata Arabia yang bearti gurun pasir atau sahara. Menurut Nuldeke, spesialis ketimuran dari Jerman alasannya sebagian besar wilayah arab terdiri dari gurun pasir.Tetapi berdasarkan Muhammad Hasyim Athiyah, kata Arab berasal dari kata abar artinya rahlah atau kembara, alasannya bangsa Arab ialah bangsa yang suka berpindah.Dari segi geografis bekerjsama arab bukanlah sebuah Kepulauan alasannya dari empat penjuru perbatasannya masih ada satu yang tidak berbatasan dengan laut, yaitu:
- Disebelah utara Jazirah Arab berbatasan dengan gurun Iran dan gurun Syiria,
- Disebelah selatan berbatasan dengan samudra Hindia,
- Disebelah barat berbatasan dengan bahari Merah, dan
- Disebelah timur berbatasan dengan teluk Persia.[1]
Jazirah Arab merupakan suatu daerah berupa pulau yang berada diantara benua Asia dan Afrika. Jazirah Arab mempunyai luas wilayah kurang lebih 1.100.000 mil persegi atau 126.000 farsakh persegi atau 3.156.558 kilometer persegi. Tanah yang sekian luasnya itu sepertiganya tertutupi oleh lautan pasir, yang diantaranya yang paling besar ialah ar-Rabi’l-Khaly. Bukan dengan pasir saja, tetapi dipenuhi pula oleh batu-batu yang besar atau gunung-gunung watu yang tinggi, diantaranya yang paling tinggi dan besar ialah Jabal Sarat. Daerah seluas itu, pada masa itu dihuni oleh 12 juta jiwa, namun ada yang beropini 10 juta jiwa.[2]
Dari sisi kondisi cuaca, semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah yang kering dan terpanas. Hanya Yaman dan Asir yang mendapat curah hujan yang cukup untuk bercocok tanam secara teratur.[3]
B. Agama bangsa Arab Pra-Islam
Agama bangsa Arab sebelum kedatangan Islam sangat beragam, ada yang menyembah Allah, ada yang menyembah Matahari, Bulan, Bintang, Bahkan ada pula yang menyembah patung dan api. Ada pula yang beragama Nasrani dan Yahudi.
Walaupun agama Yahudi dan Katolik sudah masuk jazirah Arab, bangsa Arab masih menganut agama orisinil mereka, yaitu kepercayaan kepada banyak ilahi yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun ditempat-tempat lain juga ada.Menurut riwayat, dalam Ka’bah itu terdapat 360 buah patung yang bermacam-macam bentuk dan warna berdasarkan kemauan masing-masing kabilah dan suku.Berhala-berhala yang penting ialah Hubal, yang dianggap sebagai ilahi terbesar, terletak di Ka’bah; Lata, ilahi tertua, terletak di Thaif; Uzza, bertempat di Hijaz. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat untuk menanyakan dan mengetahui nasib baik dan nasib buruk.[4]
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam tiba selain agama-agama di atas ialah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkotori oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Merekaberpandanganbahwa agama yang benar di sisi Allah ialah Ḥanīfīyah.[5]
C. Peradaban bangsa Arab Pra-Islam
Sebelum membahas perihal Peradaban Islam, tentunya kita harus mendalami terlebih dahulu perihal bangsa Arab yang merupakan bangsa yang sangat berperan dalam pembentukan sejarah peradaban Islam. Hal tersebut dikarenakan hampir semua peradaban Islam dimulai dan terjadi di Jazirah Arab. Baik kelahiran Islam itu sendiri, perkembangannya dan masa kejayaannya.
Peradaban dunia menjelang lahirnya Islam telah menyimpang jauh dari ketentuan Allah SWT yang telah dititipkan kepada Nabi Isa a.s. Peradaban Arab dikala itu mempunyai corak, yaitu bobroknya moralitas, bahkan sama sekali tidak mencerminkan budaya yang positif, sehingga peradaban Arab dikala itu disebut peradaban Jahiliyah.
Sesungguhnya kata Jahiliyyah sendiri ialah mashdar shina’iy yang berarti penyandaran sesuatu kepada kebodohan. Kebodohan berdasarkan Manna’ Khalil al-Qathtan ada tiga 3 makna, yaitu:[6]
- Tidak adanya ilmu pengetahuan (makna asal).
- Meyakini sesuatu secara salah.
- Mengerjakan sesuatu dengan menyalahi aturan atau tidak mengerjakan yang seharusnya beliau kerjakan.
Masyarakat jahiliyah tidak merujuk pada kurun waktu tertentu, melainkan suatu kondisi masyarakat.Dalam pengetahuan dan peradaban, masyarakat Arab tidak bisa disebut jahiliyyah (bodoh) dalam pengertian barbar dan primitif. Justru banyak sikap dan pengetahuan positif yang dihasilkan mereka, yang kemudian dipelihara oleh Islam, contohnya dalam penghormatan tamu, kedermawanan, tepat janji, bersahaja. Yang dimaksud masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam ialah keseluruhan masyarakat yang menjauhi nilai-nilai fitrah, yang sudah dibawa oleh para Rasul pembawa risalah tauhid.
Sebutan jahiliyah ini perlu mendapat klarifikasi lebih lanjut, jikalau masyarakat jahiliyah kita artikan sebagai masyarakat bodoh dalam pengertian primitif yang tak mengenal pengetahuan atau budaya; tentu sulit dipertanggungjawabkan, lantaran berdasarkan data sejarah, masyarakat Arab waktu itu juga telah mempunyai nilai-nilai peradaban sesederhana pun peradaban itu. . Seorang andal sejarah Islam populer Ahmad Amin mendefinisikan kata-kata “Arab Jahiliyah” yaitu orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran, mereka terus melawan kebenaran, sekalipun mereka telah mengetahui bahwa itu benar.[7]
Banyak kekerabatan antara perempuan dan laki-laki yang diluar wajar, seperti:
- Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali perempuan itu, kemudian beliau sanggup menikahi perempuan itu seketika itu pula sehabis menyerahkan mas kawin.
- Para laki-laki bisa mendatangi perempuan wanita sesuka hatinya, yang disebut perempuan pelacur.
- Pernikahan istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain.
- Laki-laki dan perempuan bisa saling berhimpun dalam aneka macam medan pertempuran. Untuk pihak yang menang, bisa menawan perempuan dari pihak yang kalah dan menghalalkannya berdasarkan kemauannya.
Hal-hal yang menyimpang diluar kewajaran selain itu ialah Poligami tanpa ada batasannya. Menikahi janda bapak mereka sendiri.
Ada pula yang sangat pantas jikalau mereka disebut masyarakat jahiliyyah, yakni mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka lantaran malu. Atau ada juga yang membunuh anak laki-laki mereka, apabila anak laki-laki mereka itu dinilai mempunyai watak penakut dan atau pengecut. Karena adanya kepercayaan bahwa akan kelaparan dan mengalami kemiskinan. Walaupun adat menyerupai itu tidak sanggup dibenarkan, namun untuk sanggup memahaminya perlu dilihat motivasi-motivasi yang mendorong adanya adat menyerupai itu. Biarpun masyarakat arab pra-Islam juga mempunyai rasa iba dan kasih sayang kepada anak kandungnya. Akan tetapi sifat-sifat keprimitifan mereka sebagai suku-suku pengembara, terlampau berlebihan dalam mendewa-dewakan harga diri, kehormatan dan nama baik keluarga dan kabilahnya. Mereka sangat takut kalau-kalau di kemudian hari anak perempuannya akan mencemarkan nama baik keluarga dan kabilahnya, mengingat tata sosial pada masa itu tatkala kaum perempuan hanya berkedudukan sebagai pemuas nafsu kaum laki-laki belaka. Dan tidak mempunyai hak apapun dalam memilih nasibnya sendiri.
Akan tetapi dalam hal lain ada pula segi-segi positif sifat dan tabiatnya yang bisa mengalahkan segi-segi negatifnya. Seperti kepekaan mereka apabila harga diri, kehormatan dan kebebasannya diganggu orang, kedermawanan mereka terhadap tamu, keberanian berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar, menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan dan demokrasi, semuanya itu merupakan sifat-sifat yang patut dipuji.[8]
D. Kehidupan sosial di Jazirah Arab
Bila dilihat dari segi sosiologis dan antropologis bangsa Arab mempunyai tingkat solidaritas dan budaya yang tinggi. Tingkat solidaritas yang sangat tinggi itu bisa dilihat dari kehidupan bangsa Arab di padang Pasir yaitu kaum Badui. Mereka mempunyai perasaan kesukuan yang tinggi. Karena sukuisme itulah yang akan melindungi keluarga dan warga suatu suku. Hal ini disebebkan terutama lantaran di padang pasir tidak ada pemerintahan atau suatu tubuh resmi yang sanggup melindungi rakyat atau warga negaranya dari penganiayaan dan tindakan diktatorial dari siapa saja. Kabilah atau suku itulah yang mengikat warganya dengan ikatan darah (keturunan) atau ikatan kesukuan. Kabilah itulah yang berkewajiban melindungi warganya dan melindungi orang-orang yang menggabungkan diri atau meminta proteksi kepadanya.[9]
Kehidupan sosial bangsa Arab juga sanggup kita ketahui dengan adanya syair-syair Arab. Syair merupakan salah satu seni yang sangat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab. Seorang penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam dalam masyarakat bangsa Arab.Salah satu imbas syair pada bangsa Arab ialah bahwa syair itu sanggup meninggikan derajat seseorang yang tadinya hina atau sebaliknya.[10]
E. Kehidupan politik di Jazirah Arab
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab ialah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang populer subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka mustahil menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya saja. Oleh lantaran itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.[11]
Namun dalam bidang perdagangan, kiprah pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibentuk antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih mempunyai kekerabatan famili. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak sanggup membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya menempel pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.[12]
F. Kehidupan ekonomi di Jazirah Arab
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah usang mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain lantaran pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya acara ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman ialah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika ialah kayu, logam, budak; dari Hindia ialah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia ialah intan.[13] Data ini memperlihatkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu ialah sebagai berikut:
- Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
- Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
- Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokalmaupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
- Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
- Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, lantaran keduanya terlibat peperangan terus menerus.
- Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
- Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, menyerupai Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
- Terblokadenya kemudian lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan bahari merah.
- Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di bahari merah lantaran diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.[14]
Data-data yang dikemukakan Dallu memperlihatkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak sanggup dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memperlihatkan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, lantaran kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai sentra acara Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis lantaran terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai sentra perdagangan lokal di samping juga sentra acara agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini menimbulkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya mengakibatkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai sentra perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang glamor menyerupai emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak sanggup dipungkiri ialah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh kesuksesan yang besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di aneka macam bidang bisnis.
KESIMPULAN
Jazirah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti kepulauan, Arab secara etimologi berasal dari kata Arabia yang bearti gurun pasir atau sahara.
Agama bangsa Arab sebelum kedatangan Islam sangat beragam, ada yang menyembah Allah, ada yang menyembah Matahari, Bulan, Bintang, Bahkan ada pula yang menyembah patung dan api. Ada pula yang beragama Nasrani dan Yahudi.
Sebutan jahiliyah perlu mendapat klarifikasi lebih lanjut, jikalau masyarakat jahiliyah kita artikan sebagai masyarakat bodoh dalam pengertian primitif yang tak mengenal pengetahuan atau budaya; tentu sulit dipertanggungjawabkan, lantaran berdasarkan data sejarah, masyarakat Arab waktu itu juga telah mempunyai nilai-nilai peradaban sesederhana pun peradaban itu. Seorang andal sejarah Islam populer Ahmad Amin mendefinisikan kata-kata “Arab Jahiliyah” yaitu orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran, mereka terus melawan kebenaran, sekalipun mereka telah mengetahui bahwa itu benar.
Arab mempunyai tingkat solidaritas dan budaya yang tinggi. Tingkat solidaritas yang sangat tinggi itu bisa dilihat dari kehidupan bangsa Arab di padang Pasir yaitu kaum Badui. Mereka mempunyai perasaan kesukuan yang tinggi. Karena sukuisme itulah yang akan melindungi keluarga dan warga suatu suku.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih mempunyai kekerabatan famili. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak sanggup membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya menempel pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, biar sanggup memberi manfaat pada penyusun khususnya dan pada pembaca yang budiman pada umumnya. Kami sadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kata tepat dan mengandung banyak kekurangan. Oleh lantaran itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Mutholib, dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Dirjend PKAI dan Universitas Terbuka. 1995.
al-Buthy, Muhammah Sa’id Ramadhan. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Robbani Press Cet. 11. 2006.
al-Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz. Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah.
Chalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad. Jakarta: Gema Insani. 2001.
Dallu, Burhan al-Din. Jazirat al-‘Arab Qabl al-IslaM. Beirut: t.p, 1989.
Faisal, Ismail. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: CV. Bina Usaha. 1984.
http://amrikhan.wordpress.com/2011/06/05/resum-sejarah-peradaban-islam/ diakses pada tanggal 1 Oktober 2014 pukul 14:00 WIB.
Lewis, Bernard. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri. Jakarta: Ilmu Jaya, 1994.
Mughni, Syafiq A. “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 2002.
Philiph K. Hitti, History of The Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2010.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra,1997.
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Cet.15. 2003.
Referensi
[1]Abd. Mutholib, dkk., Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Dirjend PKAI dan Universitas Terbuka, 1995), hlm. 184.
[2]Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 13-14
[3]PhiliphK. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 16.
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Cet.15, 2003), hlm. 15-16.
[5]Muhammah Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Robbani Press Cet. 11, 2006), hlm 21
[6]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra,1997), hlm 30.
[7]Ismail Faisal, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984), hlm. 35.
[8]http://amrikhan.wordpress.com/2011/06/05/resum-sejarah-peradaban-islam/ diakses pada tanggal 1 Oktober 2014 pukul 14:00 WIB.
[9]Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 22.
[10]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1999), hlm. 58.
[11]‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), hlm. 41.
[12]Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), hlm. 10.
[13]Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 15.
[14] Burhan al-Din Dallu, Jazirat al-‘Arab Qabl al-Isla, (Beirut: t.p, 1989), hlm. 129-130.