Kemacetan merupakan fenomena yang cukup lumrah bagi masyarakat indonesia, dimana kendaraan-kendaraan berjalan lamban bahkan stagnan dalam waktu yang tak dapat diprediksi.
Penulis pernah menghitung berapa menit kemacetannya, saat pulang ke sukabumi, pernah suatu saat naik kendaraan umum angkot, hanya melewati perempatan ciawi yang arah sukabumi atau cianjur dapat hingga 30 menit jikalau memang sedang macet, di caringin saja, jikalau tidak melewati jalan alternatif, dapat mencapai 1 Jam, dan melewati pasar cicurug saja dapat mencapai 45 menit.
memang tak dapat dipungkiri dari kemacetan ini, ada efek faktual dan efek negatifnya. tapi kita lihat seberapa faktual atau negatif fenomena kemacetan di wilayah 3C ini.
Positifnya memang banyak pedagang asongan yang di untungkan, alasannya ialah jualannya laku, apalagi saat siang hari yang panas maka lakulah minumannya, belum disurvey sih berapa jumlah pedagang asongan di tiga wilayah itu dan berapa keuntungannya. mungkin itu saja positifnya, bagi tukang asongan yang rata-rata masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.
efek negatif dari kemacetan tentu sangatlah banyak menyerupai Borosnya penggunaan BBM, alasannya ialah sepanjang perjalanan mesin tetap dihidupkan. dan itu merugikan bagi negara, supir bus yang berAC dll.
Masyarakat yang di kendaraan umum yang tak berAC dapat menjadi stress alasannya ialah kepanasan.
Pergerakan Ekonomi menjadi terhambat alasannya ialah keterlambatan dan masih banyak efek lainnya.
kemudian timbul sebuah pertanyaan siapakah yang salah ? apakah yang salah ?
Pemerintah ? Pengusaha ? Mafia ? ataukah kita yang salah ? sistemkah yang salah ?
ada yang mengatakan, yang menciptakan macet itu alasannya ialah Truk yang lewat, ada yang menyampaikan jumlah motor yang kebanyakan, ada yang menyampaikan kendaraan umum yang terlalu banyak yang mengakibatkan kemacetan.
pemerintah selalu menciptakan kebijakan dalam mengatasi kemacetan hanya sekedar meminimalisir kemacetan dengan memperlebar jalan dan memperbaiki jalan yang rusak. penulis yakin pemerintah sedang memikirkan bagaimana caranya mengatasi kemacetan ini hingga akarnya akan tetapi belum ada yang tepat.
mungkin solusi untuk kemacetan ini diharapkan ilham yang cukup asing tapi realistis dan dapat dilakukan dengan dana yang cukup besar dengan ukuran jangka panjang.
memang sudah ada solusi dari pemerintah menyerupai sedang dibangunnya tol BOCIMI, akan tetapi belum selesai, alasannya ialah masih dalam tahap pembebasan lahan dan pengerjaan sebagian
solusi yang boleh ditawarkan oleh penulis yaitu
1. Cara Ekstrim : Cabut Izin Usaha Pabrik-Pabrik di Cicurug dan Sekitarnya, (tapi solusi ini tampaknya sulit dilakukan pemerintah)
2. Distribusi Produk memakai Motor yang didisain untuk mengangkut barang produksi menyerupai Motor Bak.
3. jikalau point 1 dan 2 tidak bisa, dibangun jalur khusus untuk truk atau jalur khusus untuk kendaraan umum, menyerupai halnya jalur busway di Jakarta.
4. jikalau point 1,2 dan 3 tidak dapat juga, coba iyuran pengusaha-pengusaha di sekitar cicurug dari dana CSR-nya memperlihatkan AC dan komplemen Aki untuk kendaraan Angkot supaya masyarakat tidak stres alasannya ialah kepanasan.
Penulis pernah menghitung berapa menit kemacetannya, saat pulang ke sukabumi, pernah suatu saat naik kendaraan umum angkot, hanya melewati perempatan ciawi yang arah sukabumi atau cianjur dapat hingga 30 menit jikalau memang sedang macet, di caringin saja, jikalau tidak melewati jalan alternatif, dapat mencapai 1 Jam, dan melewati pasar cicurug saja dapat mencapai 45 menit.
memang tak dapat dipungkiri dari kemacetan ini, ada efek faktual dan efek negatifnya. tapi kita lihat seberapa faktual atau negatif fenomena kemacetan di wilayah 3C ini.
Positifnya memang banyak pedagang asongan yang di untungkan, alasannya ialah jualannya laku, apalagi saat siang hari yang panas maka lakulah minumannya, belum disurvey sih berapa jumlah pedagang asongan di tiga wilayah itu dan berapa keuntungannya. mungkin itu saja positifnya, bagi tukang asongan yang rata-rata masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.
efek negatif dari kemacetan tentu sangatlah banyak menyerupai Borosnya penggunaan BBM, alasannya ialah sepanjang perjalanan mesin tetap dihidupkan. dan itu merugikan bagi negara, supir bus yang berAC dll.
Masyarakat yang di kendaraan umum yang tak berAC dapat menjadi stress alasannya ialah kepanasan.
Pergerakan Ekonomi menjadi terhambat alasannya ialah keterlambatan dan masih banyak efek lainnya.
kemudian timbul sebuah pertanyaan siapakah yang salah ? apakah yang salah ?
Pemerintah ? Pengusaha ? Mafia ? ataukah kita yang salah ? sistemkah yang salah ?
ada yang mengatakan, yang menciptakan macet itu alasannya ialah Truk yang lewat, ada yang menyampaikan jumlah motor yang kebanyakan, ada yang menyampaikan kendaraan umum yang terlalu banyak yang mengakibatkan kemacetan.
pemerintah selalu menciptakan kebijakan dalam mengatasi kemacetan hanya sekedar meminimalisir kemacetan dengan memperlebar jalan dan memperbaiki jalan yang rusak. penulis yakin pemerintah sedang memikirkan bagaimana caranya mengatasi kemacetan ini hingga akarnya akan tetapi belum ada yang tepat.
mungkin solusi untuk kemacetan ini diharapkan ilham yang cukup asing tapi realistis dan dapat dilakukan dengan dana yang cukup besar dengan ukuran jangka panjang.
memang sudah ada solusi dari pemerintah menyerupai sedang dibangunnya tol BOCIMI, akan tetapi belum selesai, alasannya ialah masih dalam tahap pembebasan lahan dan pengerjaan sebagian
solusi yang boleh ditawarkan oleh penulis yaitu
1. Cara Ekstrim : Cabut Izin Usaha Pabrik-Pabrik di Cicurug dan Sekitarnya, (tapi solusi ini tampaknya sulit dilakukan pemerintah)
2. Distribusi Produk memakai Motor yang didisain untuk mengangkut barang produksi menyerupai Motor Bak.
3. jikalau point 1 dan 2 tidak bisa, dibangun jalur khusus untuk truk atau jalur khusus untuk kendaraan umum, menyerupai halnya jalur busway di Jakarta.
4. jikalau point 1,2 dan 3 tidak dapat juga, coba iyuran pengusaha-pengusaha di sekitar cicurug dari dana CSR-nya memperlihatkan AC dan komplemen Aki untuk kendaraan Angkot supaya masyarakat tidak stres alasannya ialah kepanasan.