Makalah Wacana Pengertian Studi Teologi Islam

Makalah Pengertian Studi Teologi Islam

Teologi, sebagai mana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak gampang diumbang-ambing oleh peredaran zaman. Istilah “Theology Islam” sudah usang dikenal oleh penulis-penulis Barat. Teologi dari segi etimologi memiliki pengertian “Theos” artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu (science, studi, discourse). Makara teologi berarti ilmu wacana Tuhan atau ilmu “Ketuhanan”.1 Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam diberi nama mutakallimin yaitu andal debat yang berilmu menggunakan kata-kata.2

Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam yakni ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah wacana keEsaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.3 Teologi lebih luas pandangannya dari pada fikih. Kalau fikih membahas soal haram dan halal, teologi di samping soal ke Tuhan-an membahas pula soal iman dan kufur; siapa yang sebetulnya Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang sebetulnya kafir dan telah keluar dari Islam. Termasuk dalam pembahasan itu soal Muslim yang mengerjakan hal-hal yang haram dan soal kafir yang mengerjakan hal-hal yang baik. Dengan demikian teologi membahas soal-soal dasar dan soal pokok dan bukan soal furu’ atau cabang dan ranting yang menjadi pembahasan fikih. Dengan demikian tinjauan teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang dan perilaku yang lebih toleran dari tinjauan aturan atau fikih.4

Sebelum kajian teologi (ilmu kalam) lahir sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, berdasarkan Imam Abu Hanifah ia termasuk dalam Al-Fiqhul Akbar atau juga disebut dengan Al-Fiqhud Din.5 Sebutan Ilmu Kalam yang berdiri sendiri sebagai suatu ilmu sebagaimana yang kita kenal kini untuk pertama kalinya lahir pada masa khalifah Ma’mun (218 H). Dengan demikian Ilmu Kalam (Teologi) lahir melalui masa yang panjang. Kehadirannya didorong oleh banyak sekali faktor yang mendahului baik yang terjadi dalam badan kaum muslimin sendiri, maupun faktor yang tiba dari luar. Untuk penentuan lapangan dan corak pembahasan, perkataan “Teologi” dibubuhi dengan keterangan kualifikasi, menyerupai “teologi filsafat”, “teologi masa kini” (contemporary theology), “teologi kristen”, “teologi katholik” bahkan dibubuhi dengan kualifikasi lebih terbatas, menyerupai “teologi wahyu” (revealed theology), “teologi polemik”, “teologi pikiran” (teologi yang berdasarkan pikiran=rational theology) “teologi sistematika” dan seterusnya. Ringkasnya, teologi yakni ilmu yang membicarakan wacana Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan nalar murni.6


Pengertian Istilah-istilah Kunci

1. Tawhid

Tawhid ialah ilmu yang membicarakan wacana cara-cara menetapkan ‘aqidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil-dalil itu menggunakan dalil-dalil naqli, naqli ‘aqli ataupun dalil wijdani (perasaan halus). Dinamakan ilmu ini dengan tauhid yakni karena bahasan-bahasan yang paling menonjol ialah pembahasan wacana keesaan Allah yang menjadi sendi asasi agama Islam, bahkan sendi asasi bagi segala agama yang benar yang telah dibawakan oleh para Rasul yang diutus Allah. Ilmu tawhid dinamakan juga dengan ilmu kalam karena problema-problema yang diperselisihkan para ulama-ulama Islam dalam ilmu ini yang menimbulkan umat Islam terpecah dalam beberapa golongan ialah masalah Kalam Allah yang kita bacakan (al Qur’an) apakah ia makhluk (diciptakan) ataukah qadim (bukan diciptakan).7

Teologi yang diajarkan di Indonesia pada umumnya yakni teologi dalam bentuk ilmu tawhid. Ilmu tawhid biasanya kurang mendalam dalam hal pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya karena ilmu tawhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tawhid yang diajarkan dan yang dikenal di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tawhid berdasarkan aliran Asy’ariyah, sehingga timbullah kesan di kalangan sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.

2. Kalam

Kalam ialah ilmu yang membicarakan wacana wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya dan membicarakan wacana Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang mustahil ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya. Ilmu ini dinamakan ilmu kalam (teologi) karena dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil fikiran dan efek dalil-dalil ini nampak terperinci dalam pembicaraan-pembicaraan para mutakallimin.8 Mereka berbeda dengan golongan Hanabilah yang berpegangan teguh kepada kepercayaan orang-orang salaf. Berbeda juga dengan orang-orang tasawuf yang mendasarkan pengetahuannya (ilmunya; ma’rifah) kepada pengalaman batin dan renungan atau kasyf (terbuka dengan sendirinya). Mutakallimin juga berbeda dari golongan filosof yang mengambil alih pemikiran-pemikiran filsafat Yunani dan menganggap bahwa filsafat itu benar seluruhnya. Juga mereka berbeda dengan golongan Syi’ah Ta’limiyyah (doctrinaire) yang menyampaikan bahwa dasar utama untuk ilmu, bukan yang didapati nalar bukan pula yang didapati dari dalil-dalil naql (Qur’an dan Hadis), tetapi didapati dari iman-iman mereka yang suci (ma’sum).9

3. Ushul al-Din

Ushul al din ialah ilmu yang membahas padanya wacana prinsip-prinsip kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang qath’i (al Qur’an dan Hadis mutawatir) dan dalil-dalil nalar fikiran. Ilmu ushul al din dinamakan juga dengan ilmu kalam (teologi) alasannya ilmu ini membahas wacana prinsip-prinsip agama Islam.10 Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut ushul al din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama kitab Ushul al Din oleh para pengarangnya. Ajaran dasar itu disebut juga ‘aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan dan buku-buku yang mengupas keyakinan-keyakinan itu diberi judul al ‘aqa’id menyerupai Al ‘Aqa’id al Nasafiah dan Al ‘Aqa’id Adudiah.11

Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Teologis dalam Islam

Pada zaman Rasul saw hingga masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu gres timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan diri karena tidak baiklah dengan perilaku Ali yang mendapatkan tahkim (arbitrase) dalam menuntaskan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam pada waktu perang Shiffin.12

Harun Nasution mengikuti Asy Syahrastani dalam pengungkapannya bahwa dilema politik merupakan alasan pertama munculnya dilema teologi dalam Islam.13 Khawarij berpendapat, tahkim yakni penyelesaian masalah yang tidak didasarkan kepada al Qur’an, tapi ditentukan oleh insan sendiri, dan orang yang tidak menetapkan aturan dengan al Qur’an yakni kafir. Dengan demikian orang yang melaksanakan tahkim dan menerimanya yakni kafir. Argumen mereka sebetulnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena mereka murtakib al Kabirah atau “pendosa besar”.14

Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan al Qur’an sebagai kafir, tetapi setiap muslim yang melaksanakan dosa besar bagi mereka yakni kafir. Pendapat ini mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul aliran gres yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran gres lagi, Mu’tazilah yang beropini muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).15 Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada kala kedua Hijriah membawa efek besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah berbagi pemikirannya secara rasional dengan menempatkan nalar di daerah yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional.

Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi dan mencapai puncaknya ketika al Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran Mu’tazilah Khalifah al Makmun memandang perlu untuk memperlihatkan pelajaran terhadap kelompok andal hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa Quran bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok andal hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut. Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan derma kaum Syi’ah tidak mengherankan jika ia memperlihatkan perilaku bermusuhan terhadap andal hadis. Quran sebagai topik kontroversial mungkin lebih merupakan alasan yang diciptakan guna memperlihatkan casus belli terhadap tokoh-tokoh andal hadis. Hal ini akan menjadi terperinci jika diperhatikan berkobarnya debat dan diskusi antara golongan Mu’tazilah dan para penentang mereka, terutama andal hadis. Juga tindakan-tindakan yang berlebihan oleh unsur-unsur andal hadis terhadap kelompok Mu’tazilah semasa pemerintahan Harun ar-Rasyid telah mengundang reaksi, semacam penebusan. Kecenderungan ini menjadi lebih memungkinkan berkat derma yang diberikan para pembantu khalifah, baik karena dasar politik maupun ideologis.16

Khalifah al Makmun melaksanakan mihnah (inkuisisi) di kalangan pegawanegeri pemerintah yang bertujuan memberlakukan paham bahwa Quran yakni makhluq. Ketika masalah itu ditanyakan kepada Imam Ahmad (164-241 H), dengan tegas ia menentang paham tersebut. Karena berpegang teguh pada pendapatnya ini, Ahmad dipenjarakan pada tahun 218 H. Bahkan ia terus mempertahankan pendapatnya, meskipun banyak di antara para perawi hadis pada masa itu yang lantas sependapat dengan al Makmun. Baru pada tahun 233 H kebijaksanaan mihnah dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dan Ahmadpun dibebaskan. Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti (w. 231 H), murid terbesar asy Syafi’i, di simpulan hayatnya menjadi korban mihnah (inkusisi) karena mempertahankan pendapatnya bahwa Quran bukan makhluq (tidak diciptakan, karena Quran yakni kalam Allah, sedangkan Allah SWT yakni pencipta). Ia kemudian dipenjara hingga wafat.17 Al Mutawakkil naik tahta pada tahun 232/847 melalui banyak sekali intrik dan persaingan di kalangan para perwira Turki. Tindakannya yang perlu dicatat yakni menghentikan mihnah dan pembicaraan mengenai apakah Quran makhluq atau tidak. Kaum Mu’tazilah yang semula memiliki efek besar atas istana, tidak lagi mendapatkan daerah istimewa. Sebaliknya kaum andal hadis yang semula mendapatkan banyak kesulitan dengan adanya mihnah kini mendapat angin, walaupun tidak berarti bahwa mereka menggantikan posisi lawan mereka yang kuat sebelumnya atas para khalifah.18 Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu’tazilah, pada risikonya berwujud dalam bentuk sebuah aliran teologi yang dikenal dengan nama Ahlussunnah waljamaah, dengan tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan debu Mansur al Maaturidi.

Terkecuali beberapa aliran teologi sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa aliran teologi dalam Islam menyerupai Syiah, Qadariyah dan Jabariyah. Aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah yakni aliran yang berkembang pada masa lampau. Sekarang yang dianut secara umum dikuasai umat Islam yakni aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dalam soal iman menganut paham moderat Murji’ah. Tetapi, pemikiran rasional Eropa yang berasal dari Islam kala kedua belas itu masuk kembali ke dunia Islam kala kesembilan belas dan kedua puluh, dan menghidupkan kembali pemikiran rasional Mu’tazilah masa silam. Dalam pada itu, kaum Syi’ah dari semenjak semula tetap menganut aliran rasional dan filosofis Mu’tazilah. Inilah salah satu alasannya yang membawa golongan intelektual muda Islam di Indonesia tertarik kepada buku-buku yang dikarang penulis-penulis Syi’ah. Tulisan-tulisan para pengarang al Asy’ariah pada umumnya bercorak tradisional deskriptif dan jarang bercorak analisis rasional apalagi filosofis.

Fazlur Rahman membenarkan bahwa aliran-aliran teologi semata-mata semakin menjadi bertambah bertentangan dalam pengertian teoritis.19 Selanjutnya akhir-akhir ini muncul gagasan dari sebagian pakar di Indonesia yang menghendaki biar diadakan kajian terhadap teologi yang lebih memusat pada insan (antropo centris) dan bukan teologi yang terlalu memusat pada Tuhan (theo centris). Untuk ini perlu adanya pembaharuan teologi, yaitu pemikiran keagamaan yang merefleksikan respons insan terhadap wahyu Allah. Meskipun di kalangan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, pembaharuan teologi ini kurang terkenal karena cara berfikir fiqh telah begitu mapan di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi walau bagaimanapun pembaharuan teologi mesti dilakukan jika umat Islam ingin menerapkan pemikiran Islam dalam kerangka kehidupan sosial yang gres dan dalam kerangka budaya universal sebagai pedoman dalam merumuskan konsep-konsep hidupnya.20

Gagasan untuk mencari dan menentukan (antropo centris) sebagaimana dikehendaki itu sebetulnya terdapat dalam teologi Mu’tazilah. Mu’tazilah contohnya menganut paham Qadariyah yang menyampaikan bahwa insan memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Perbuatan yang dilakukannya itu yakni perbuatannya sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Paham serupa ini mendorong insan menjadi kreatif dan dinamis, bertanggung jawab dan berani mengambil inisiatif. Sikap insan yang demikian ini sejalan dengan contoh hidup modern. Demikian pula paham Mu’tazilah wacana keadilan Tuhan yakni sangat mengandung pesan anthropo centris itu. Menurut paham ini Tuhan harus berbuat sesuai dengan kesanggupan yang ada pada manusia, dan dihentikan berbuat di luar kesanggupan insan itu. Manusia juga dianggap sanggup menentukan baik dan jelek berdasarkan kreatifitasnya sendiri, tanpa menunggu komando wahyu dari Tuhan. Dengan demikian terbukalah gagasan inovatif dan kreatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Demikian pula keharusan menjauhi perbuatan yang jelek atau jahat sekalipun wahyu belum tiba sudah harus dilakukan. Dengan demikian tidak akan terjadi perbuatan sekehendak hati melainkan ada aturan yang disepakati dan kemudian berkembang menjadi norma. Selain itu insan juga dituntut untuk berbagi perilaku berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Teologi Mu’tazilah nampaknya akan menjadi teologi yang sejalan dengan tuntutan zaman, dan akan diperhitungkan karena sifatnya yang banyak melahirkan kreatifitas insan walaupun ini gres dalam dataran teoritis yang masih perlu dibuktikan.21

Sebaliknya adanya dominasi teologi Asy’ariyah dengan beberapa karakteristiknya mendorong sementara pengamat dan peneliti mengambil kesimpulan, bahwa aliran teologi ini bertanggung jawab atas keterbelakangan sosial-ekonomi kaum muslim di Indonesia. Aliran Asy’ariyah yang bersifat Jabariyah (predestinasi) dipandang telah melemahkan etos sosial-ekonomi umat Islam, sehingga mereka lebih cenderung mengalah kepada takdir daripada melaksanakan usaha-usaha kreatif untuk memperbaiki dan memajukan diri dan masyarakat mereka. Dalam segi-segi tertentu argumen bahwa paham teologi semacam Asy’ariyah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam masyarakat Islam belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis, anggapan atau argumen itu mungkin benar. Namun, pada tingkat mudah dan empiris, boleh jadi terdapat kenyataan lain yang berlawanan dengan perkiraan teoritis tersebut.22

Islam Sebagai Sumber Kepercayaan

Islam sebagai sumber kepercayaan bagi insan tidak diragukan lagi eksistensinya sebagai suatu sumber kepercayaan dan mengandung nilai-nilai. Di samping berdimensi berpikir, maka insan juga berdimensi percaya. Kepercayaan ialah : (1) anggapan dan perilaku bahwa sesuatu itu benar, (2) sesuatu yang diakui sebagai benar.23 Kita tidak sanggup membayangkan insan sanggup hidup tanpa kepercayaan apapun. Kepercayaan kepada sesuatu zat atau kekuatan dan memeluk kepercayaan itu merupakan sesuatu yang alami pada insan dan merupakan kebutuhan jiwa yang selalu membayangi insan sepanjang hidupnya. Karena itu kebutuhan itu harus dipenuhi, menyerupai kebutuhan-kebutuhan jiwa yang alamiyah yang lain.

Manusia yang merupakan salah satu atom yang mengisi dunia ini dengan kemampuan dirinya semata-mata mustahil mengetahui alasannya keberadaan dan tujuan hidupnya serta apa yang baik bagi dirinya. Karena itu Allah tidak membiarkannya tersia-sia, melainkan Ia membekalinya dengan nalar yang memperlihatkan jalan kebaikan.24 Al Qur’an pada pokoknya merupakan agama dan etika yang menitikberatkan pada tujuan mudah penciptaan kebaikan moral dan membangun masyarakat insan yang benar dan beragama dengan kesadaran ber-Tuhan secara tegas dan bersemangat, yang memerintahkan berbuat baik dan melarang berbuat dosa.25

Islam sebagai sumber kepercayaan memiliki karakteristik yang membuatnya menjadi risalah Tuhan yang terakhir dan menjadi agama yang diridhai Allah untuk dunia dan seluruh ummat insan hingga datangnya hari Kiamat, dan membedakannya dengan agama-agama lain. Secara ringkas karakteristik yang dimiliki Islam, yaitu mengajarkan kesatuan agama, kesatuan politik, kesatuan sosial, agama yang sesuai dengan nalar fikiran, agama fitrah dan kejelasan, agama kebebasan dan persamaan, dan agama kemanusiaan.26

Dalam Islam kepercayaan disebut dengan istilah keimanan yang bisa bertambah atau berkurang. Seseorang yang tidak beriman dianggap telah kafir karena ia telah melaksanakan dosa besar. Beberapa aliran teologi berbeda-beda dalam memahami konsep iman. Ada yang mengandung unsur tashdiq saja yaitu meyakini akan adanya Allah, dianut oleh mazhab Murji’ah dan sebagian kecil Asy’ariah. Ada yang mengandung unsur tashdiq dan ikrar yaitu mengucapkan apa yang diyakininya itu dengan lidah, dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah. Ada yang menambahnya dengan unsur amaliyah yaitu iman yang telah ditashdiqkan dengan hati, diikrarkan dengan ekspresi kemudian dibuktikan dengan perbuatan, dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij dan lain-lain.27

Aliran Utama dan Pendekatannya

Dalam Islam dilema yang pertama-tama timbul yakni dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi, tetapi dilema politik ini segera meningkat menjadi dilema teologi. Persoalan orang berbuat dosa memiliki efek besar dalam pertumbuhan teologi Islam. Persoalan ini menjadikan lima aliran utama:28 Pertama aliran Khawarij yang menyampaikan bahwa orang berdosa besar yakni kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.

Aliran ke dua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah swt untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.

Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ke tiga tidak mendapatkan pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini berdasarkan mereka mengambil posisi di antara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al manzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi). Kelompok netral politik yang berjulukan Mu’tazilah ini beropini bahwasannya pelaku dosa besar bukanlah sebagai muslim sekaligus juga bukan sebagai kafir, melainkan mereka berada di antara keduanya dan mereka tetap merupakan potongan dari komunitas Muslim.29 Mu’tazilah dipandang sebagai aliran pertama dalam konteks teologi yang sebenarnya, lebih lanjut karena aliran ini berusaha menerapkan rasio terhadap segala permasalahan dan karena mereka menggunakan argumen, rasio dan dialektik. Dengan menggunakan metode tertentu, mereka mengadakan generalisasi seluruh tanggapan yang dipegangi sebagai dogma. Sekalipun sekilas solusi Mu’tazilah ini dalam beberapa cara berbeda dengan ortodoks, namun aliran ini tidak tampil sebagai yang mencerminkan pemahaman yang memadai terhadap realitas spiritual, dan aliran ini mendorong ketekunan terhadap objek-objek kajian dari kalangan pemikir-pemikir keIslaman. Sekitar kala ke 4 H/10 M Mu’tazilah mencapai banyak kemajuan.30

Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al qadariah dan al jabariah. Menurut Qadariah insan memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah Inggerisnya free will dan free act. Jabariah, sebaliknya beropini bahwa insan tidak memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, berdasarkan faham Jabariah bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik insan ditentukan oleh Tuhan. Paham itulah yang disebut paham predestination atau fatalism.31 Perbuatan-perbuatan insan telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadhar Tuhan.

Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau nalar yang memiliki kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Pemakaian dan kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum Mu’tazilah ke dalam lapangan teologi Islam dan dengan demikian teologi mereka mengambil corak teologi liberal, dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikiran mereka selamanya terikat kepada wahyu yang ada dalam Islam. Sudah barang tentu bahwa dalam soal Qadariah dan Jabariah di atas, sebagai golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan nalar untuk berfikir, kaum Mu’tazilah mengambil faham Qadariah.

Di Indonesia aliran Mu’tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai karena dianggap memiliki pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang percaya pada kekuatan nalar yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran ayat-ayat teologi mereka banyak menggunakan pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan di kalangan sebagian umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan rasional daripada wahyu. Anggapan ini selanjutnya membawa tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah yakni golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar. Bahkan tidak sedikit orang Islam yang menganggap mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan bukan Islam lagi.32

Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu al Hasan al Asy’ari (935 M). Al Asy’ari sendiri pada mulanya yakni seorang Mu’tazilah tetapi kemudian berdasarkan riwayatnya sesudah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran gres yang kemudian terkenal dengan nama teologi al Asy’ariah atau al Asya’irah. Menurut suatu riwayat, ketika Al Asy’ari mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, dimana kemudian ia pergi ke mesjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain: Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak sanggup dilihat dengan mata kepala, insan sendiri yang membuat pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia menyampaikan sebagai berikut: “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus memperlihatkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya.”33 Al Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah selain karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran tersebut, juga karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka jika tidak segera diakhiri.

Di samping aliran Asy’ariah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang bermaksud juga menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Maturidiah tidaklah bersifat se-tradisionil aliran Asy’ariah, akan tetapi tidak pula se-liberal aliran Mu’tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dua: cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisionil. Selain dari Abu al Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu berjulukan al Tahawi (w. 933 M) dan sebagaimana halnya dengan al Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah, Imam dari mazhab Hanafi dalam lapangan aturan Islam. Tetapi ajaran-ajaran al Tahawi tidak berubah menjadi sebagai aliran teologi dalam Islam.

Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak memiliki wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada hingga kini ialah aliran-aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut ahl Sunnah wa al Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariah pada umumnya digunakan oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali faham rasionalisme ke dunia Islam, yang jika dahulu itu masuknya melalui kebudayaan Yunani Klasik akan tetapi kini melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah mulai digunakan dalam tulisan-tulisan Islam.34

Dalam hal memperlihatkan klarifikasi terhadap pendekatan wacana teologi Islam, penulis belum mendapatkan buku referensi yang konkrit mengenai hal tersebut. Tetapi mendekatkan kita kepadanya mungkin penulis bisa menggambarkan maupun menunjukan pendekatan yang ada pada literatur lain. Untuk memahami maupun meneliti teologi Islam diharapkan beberapa pendekatan di antaranya: pendekatan historis; sejarah atau historis yakni suatu ilmu yang di dalamnya dibahas banyak sekali kejadian dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari kejadian tersebut.35 Dengan memahami teologi dari pendekatan sejarah seseorang akan melihat sebab-sebab timbulnya aliran-aliran teologi dalam Islam yang berawal dari dilema politik dan bukan dilema agama. Selanjutnya pendekatan bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi), untuk memahami istilah-istilah yang berkaitan dengan kajian teologi Islam. Seperti istilah Khawarij dan Mu’tazilah dengan pendekatan bahasa dan istilah kita akan mengetahui makna dari Khawarij dan Mu’tazilah tersebut dan istilah-istilah lainnya. Kemudian pendekatan studi tokoh, tujuannya mempelajari kronologis tokoh-tokoh aliran teologi dalam Islam, hal-hal yang menghipnotis pemikiran mereka dan pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh setelahnya. Yang tidak kalah pentingnya ialah pendekatan komparatif, munculnya aliran-aliran tersebut salah satunya karena adanya konsep pemikiran yang berbeda antara satu aliran dengan aliran yang lain sehingga menjadikan konsep pemikiran dan aliran baru. Contohnya konsep pemikiran Khawarij wacana pelaku dosa besar yakni kafir menjadikan konsep pemikiran gres bahwa pelaku dosa besar bukan kafir tetapi tetap mukmin yang dianut oleh aliran Murji’ah.

Tokoh dan Karya Utama

a. Aliran Khawarij

Aliran ini lahir bersamaan dengan lahirnya Syi’ah yakni pada masa Ali bin Abi Thalib r.a. Orang-orang Khawarij dulunya yakni pendukung Ali, meskipun demikian Syi’ah tiba lebih dahulu dari pemikiran Khawarij.36 Timbulnya aliran ini yakni akhir dari kejadian tahkim (arbitrase), Khawarij menghukum para penerima tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir. Di antara tokoh-tokoh Khawarij yang terpenting adalah; Abdullah bin Wahab al Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pemimpin Khawarij pertama), Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah al Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al Azraq (pemimpin al Azariqah), Abdullah bin Basyir, Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd al Rabih, Abd al Karim bin Ajrad, Ziad bin Asfar dan Abdullah bin Ibad. Tokoh-tokoh tersebut masing-masing memimpin sekte-sekte dalam aliran Khawarij. Sekte-sekte tersebut di antaranya ialah Muhakkimah, Azariqah, Najdat, Bahaisiyah, Ajaridah, Tsalabah, Ibadhiyah, dan sufriyah.37

Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah: orang Islam yang melaksanakan dosa besar yakni kafir; orang-orang yang terlibat pada perang Jamal (perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim (termasuk yang mendapatkan dan membenarkannya) dihukumkan kafir; dan khalifah harus dipilih eksklusif oleh rakyat.

b. Aliran Murji’ah

Pemimpin utama mazhab Murji’ah ialah Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Sallat al Samman, dan Dirar bin Umar. Untuk mendukung usaha Murji’ah dalam berbagi pendapatnya pada zaman bani Umayyah muncul sebuah syair terkenal wacana i’tikad dan keyakinan Murji’ah yang digubah oleh Tsabiti Quthnah.38 Tokoh Murji’ah yang moderat antara lain yakni Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah Jaham bin Shafwan. Ajaran-ajaran pokok Murji’ah sanggup disimpulkan sebagai berikut: iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati; orang Islam yang melaksanakan dosa besar tidak dihukumkan kafir, muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimah syahadat; dan aturan terhadap perbuatan insan ditangguhkan hingga hari kiamat.

c. Aliran Mu’tazilah

Tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing memiliki pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh memiliki aliran sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Tokoh-tokoh aliran Basrah antara lain39 Wasil bin ‘Ata (80-131 H/699-748 M), al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M), an Nazzham (wafat 231 H/845 M), dan al Jubbai (wafat 303 H/915 M). tokoh-tokoh aliran Bagdad antara lain Bisyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M), al Khayyat (wafat 300 H/912 M). Kemudian pada masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M di Ray) dan az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M). Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang diurutkan berdasarkan kedudukan dan kepentingannya, yaitu: keesaan (at tauhid), keadilan (al ‘adlu), kesepakatan dan bahaya (al wa’du wal wa’idu), daerah di antara dua daerah (al manzilatu bainal al manzilataini), menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).40

d. Aliran Asy’ariah

Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah, ialah karena aliran ini memiliki tokoh-tokoh kenamaan yang mengkonstruksikan ajarannya atas dasar filsafat metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain; al Baqillani (wafat 403 H), Ibnu Faurak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al Isfaraini (wafat 418 H), Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H), Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H), Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H), al Ghazali (wafat 505 H), Ibnu Tumart (wafat 524 H), as Syihristani (wafat 548 H), ar Razi (1149-1209 M), al Iji (wafat 756 H/1359 M), dan as Sanusi (wafat 895 H).41 Al Asy’ari banyak meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih 90 buah dalam banyak sekali lapangan ilmu keIslaman. Karangan-karangannya yang terkenal dan hingga kepada kita ada tiga yaitu; Mawalatul Islamiyyin: kitab ini ditulis al Asy’ari sebelum ia keluar dari Mu’tazilah, di dalamnya berisi paham banyak sekali golongan kaum muslimin dan banyak sekali masalah teologi, al Ibanah ‘an Usulid Diyanah: kitab ini berisi pokok-pokok pikiran doktrin Ahlussunnah waljamaah, dan al Luma’ fi al Radd ‘ala Ahl al Ziyaq wa al Bida’: kitab ini juga berisi pandangan dan pemikiran al Asy’ari mengenai ilmu kalam dan tanggapan serta sorotan terhadap bantahan pihak lawan.42

Pokok-pokok pikiran al Asy’ari yang terpenting antara lain ialah: Tuhan memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam al Qur’an, al Qur’an yakni qadim bukan makhluk (diciptakan). Tuhan sanggup dilihat dengan mata kepala di alam abadi kelak. Perbuatan insan diciptakan oleh Tuhan bukan diciptakan oleh insan itu sendiri. Antropomorphisme; Tuhan bertahta di ‘Arsy, memiliki muka, tangan, mata dan sebagainya tetapi bentuknya tidak sama dengan makhluk. Keadilan Tuhan; Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke nirwana dan memasukkan orang jahat ke neraka. Muslim yang melaksanakan dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertobat tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada di antara mukmin dan kafir sebagaimana pendapat Mu’tazilah.43

e. Aliran Maturidiah

Pengikut dan tokoh besar Maturidiah yakni Abu al Jasr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al Bazdawi (421-493 H). Tokoh ini banyak berjasa dalam perkembangan aliran al Maturidiah. Al Bazdawi sendiri memiliki murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al Din Muhammad al Nasafi (460-537 H), pengarang buku al ‘Aqa’id al Nasafiah. Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte menyerupai buku-buku al Syahrastani, Ibn Hazm, al Bagdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan wacana al Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Seterusnya ada pula karangan-karangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi yaitu Risalah Fi al ‘Aqa’id dan Syarh al Fiqh al Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi sanggup diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya menyerupai Isyarat al maram oleh al Bayadi dan Usul al Din oleh al Bazdawi.44 Karena pendapat al Bazdawi tidak sama dengan pemikiran al Maturidi maka aliran Maturidiah dibagi menjadi dua bentuk: Maturidiah Samarkand yaitu pengikut al Maturidi sendiri, dan Maturidiah Bukhara yaitu pengikut-pengikut al Bazdawi. Kalau golongan Samarkand memiliki faham-faham yang lebih erat kepada faham Mu’tazilah dan dikategorikan bahkan tokoh utama Ahlussunnah waljamaah, golongan Bukhara memiliki pendapat-pendapat yang lebih erat kepada pendapat-pendapat al Asy’ari.

Di antara pemikiran al Maturidi yang penting adalah:45 Tuhan memiliki sifat-sifat; pendapat ini sejalan dengan pendapat al Asy’ari; dalam hal ini al Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Al Qur’an yakni kalam Allah yang qadim bukan diciptakan sebagaimana paham Mu’tazilah; untuk ini al Maturidi sepaham dengan al Asy’ari. Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu; pendapat ini sejalan dengan Mu’tazilah. Ia beropini menyerupai pendapat al Asy’ari bahwa muslim yang melaksanakan dosa besar tidak mukmin, tidak kafir dan tidak pula berada di antara dua tempat. Tuhan tidak akan mungkir terhadap janjinya, pendapat ini sejalan dengan Mu’tazilah. Antropomorphisme, al Maturidi beropini ayat-ayat al Qur’an yang menggambarkan seolah Tuhan memiliki bentuk jasmani menyerupai insan harus ditakwil diberi arti majazi, bukan diartikan secara harfiah. Pendapat ini juga sejalan dengan Mu’tazilah dan bertolak belakang dengan al Asy’ari.



Kesimpulan

Teologi (Theos/Tuhan+Logos/Ilmu) merupakan rangkaian ilmu wacana Tuhan atau keTuhanan. Istilah teologi lebih sering digunakan oleh penulis-penulis barat, oleh penulis-penulis Islam sendiri teologi memiliki kesamaan dengan ilmu Kalam. Beberapa istilah yang memiliki keterkaitan dengan teologi/ilmu kalam di antaranya ialah istilah tawhid, kalam dan ushul al din. Awal mula lahirnya ilmu kalam menumbuhkan beberapa aliran teologi sebagai akhir dari dilema politik yang muncul pada ketika pengangkatan Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman bin Affan sebagai khalifah. Pada perkembangannya aliran-aliran teologi tersebut hanya beberapa yang bertahan hingga kini seiring dengan perkembangan pemikirannya masing-masing.

Islam sebagai sumber kepercayaan memperlihatkan kebebasan kepada nalar untuk memahami ajaran-ajaran Islam. Aliran-aliran teologi Islam juga menggunakan kekuatan nalar untuk memahami pemikiran Islam. Aliran-aliran utama dalam teologi Islam di antaranya yakni aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah yang masing-masing memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan terhadap pemikiran-pemikiran paham mereka. Beberapa pendekatan untuk meneliti aliran-aliran teologi ini di antaranya yakni pendekatan historis (sejarah), pendekatan bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi), pendekatan studi tokoh, dan pendekatan komparatif.

Tokoh-tokoh dalam aliran teologi tersebut meskipun berada dalam satu aliran tetap saja berbeda dalam pokok-pokok ajarannya yang risikonya menjadikan perpecahan. Seperti aliran Maturidiah terpecah menjadi Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Beberapa tokoh telah menghasilkan beberapa karya yang ditulis dalam sebuah kitab biar pemikirannya maupun ajaran-ajarannya sanggup terus dikembangkan oleh tokoh-tokoh sesudah mereka.

Daftar Kepustakaan
  • A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980
  • ------------, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1977
  • Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap wacana dan Mudah Harun Nasution, Jakarta: Ciputat Pers, 2001
  • Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
  • Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur. Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991
  • Al-Syahrastani, Al Milal wa al Nihal, Mesir: Musthafa al Baby al Halaby, 1967
  • Ahmad Amin, Dhuha al Islam, Mesir: al Nahdhah al Mishriyyah, 1936
  • Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999
  • Cyril Glasse, The Concise Ensyclopedia of Islam (Ensiklopedi Islam Ringkas), Terjemahan Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
  • Dawam Rahardjo, Umat Islam dan Pembaharuan Teologi; dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1985
  • Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1992
  • Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi wacana Fundamentalisme Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
  • --------------------, Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
  • Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1983
  • -----------------, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992
  • ------------------- Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,Jakarta: UI-Press, 1985
  • Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam; bag. Kesatu&dua, Terjemahan: Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
  • Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
  • Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta: Rajawali Pers, 1993
  • Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
  • Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu Kajian Komprehensif, Jakarta: Rajawali Pers, 1988
  • Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
  • Saiful Muzani, Islam Rasional; Sejarah dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995
  • Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern Yogyakarta: LESFI, 2002
  • Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994
  • Taufik Abdullah….(et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
  • ---------------------, Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka firdaus, 1987

Footnote
-----------

1 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), h. 11.
2 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1983), h. ix.
3 Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 23.
4 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. xii.
5 Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, h. 24.
6 A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h. 12.
7 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), h. 1-2.
8 A. Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 10-12.
9 Ibid, h. 5.
10 Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 6.
11 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. ix.
12 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. xv.
13 Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap wacana dan Mudah Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), h. 121. Lihat juga: Harun Nasution. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II, h. 31.
14 Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 4.
15 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. xvi.
16 Harun Nasution, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 746-7.
17 Taufik Abdullah….(et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 236&238.
18 Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 112.
19 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi wacana Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 69.
20 Dawam Rahardjo, Umat Islam dan Pembaharuan Teologi; dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, (Jakarta: LEPPENAS, 1985), cet. I. h. 119.
21 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 189-190.
22 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 45&46.
23 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 23.
24 Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu Kajian Komprehensif, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), h. 8.
25 Fazlur Rachman, Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 133.
26 Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu Kajian Komprehensif, h. 14.
27 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 157.
28 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 7-8.
29 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam; bag. Kesatu&dua, Terjemahan: Ghufron A. Mas’adi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 159.
30 Cyril Glasse, The Concise Ensyclopedia of Islam (Ensiklopedi Islam Ringkas), Terjemahan Ghufron A. Mas’adi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 202.
31 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 9.
32 Saiful Muzani, Islam Rasional; Sejarah dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), h. 129.
33 A. Hanafi, Pengantar Thaology Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), h. 104.
34 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Ibid, h. 10.
35 Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka firdaus, 1987), h. 105.
36 Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah, alih bahasa: Drs. Shobahussurur. (Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1991), h. 75.
37 Al-Syahrastani, Al Milal wa al Nihal, (Mesir: Musthafa al Baby al Halaby, 1967), h. 74.
38 Ahmad Amin, Dhuha al Islam, (Mesir: al Nahdhah al Mishriyyah, 1936), h. 328.
39 A. Hanafi, Pengantar Thaology Islam, h. 70.
40 Ibid, h. 75.
41 Ibid, h. 110.
42 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 122-123.
43 Ibid.
44 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 76.
45 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 128-129.
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.