Abu Bakar as-Shiddiq dilahirkan di kota Mekkah pada tahun 573 M, kira-kira dua tahun setelah kelahiran nabi Muhammad SAW. Sedangkan Umar bin Khattab berjulukan lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza. Salah satu gelar kebanggaan ia ialah al-Faruq (elang) yang diberikan oleh Rasulullah saw. Makalah ini membahas perihal Sistem Pemerintahan masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Nabi Muhammad SAW telah memimpin masyarakat Muslim kurang lebih selama 10 tahun. Pemerintahan nabi Muhammad SAW di Madinah telah berhasil memperlihatkan beberapa dasar aturan gres pada masyarakat Arab, baik pada sisi politik, sistem kemasyaratan, sistem aturan yang akan mengatur masyarakat Muslim pada masa selanjutanya.
Tampuk kepemimpinan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar, sepeninggal Rasulullah saw., sebagai pemimpin pertama pengganti Rasulullah. Tentu ada banyak perbedaan corak kepemimpinan antara Rasulullah saw. Dengan kepemimpinan Abu Bakar yang disebabkan semakin heterogennya masyarakat Muslim. Dinamika sosial yang semakin berwarna lebih terlihat pada masa pemerintahan Umar bin Khattab pengganti Abu Bakar. Berbagai fondasi kemajuan peradaban Islam diletakkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Makalah ini akan mengkaji perihal perdaban Islam pada masa pemerintahan dua Khalifah rasyidah tersebut.
II. Abu Bakar Khalifah Rasyidah Pertama (632-634 M/11-13 H)
Abu Bakar as-Shiddiq dilahirkan di kota Mekkah pada tahun 573 M, kira-kira dua tahun setelah kelahiran nabi Muhammad SAW. Ayahnya berjulukan Utsman bin Amar bin La’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab yang bergelar dengan Abu Quhafah. Dari silsilah inilah Abu Bakar r.a, baik dari pihak ayahnya maupun ibunya mempunyai pertalian dengan keluarga nabi Muhammad saw, yang bertemu silsilahnya pada Murrah bin Ka’ab.[1]
Beliau ialah salah seorang sobat Rasulullah saw, yang mempunyai rasa sosial yang tinggi. Beliau pernah membebaskan tujuh budak muslim yang tersiksa, salah satunya ialah Bilal, Amir bin Quhairoh dan lain sebagainya. Beliau juga mempunyai sebuah baitul mal yang berada di Sunh yang selalu ia tempati sebelum hijrah ke Madinah, kemudian setelah hijrah ke Madinah, ia tetap tidak mendapatkan usulan untuk menempatkan penjaga di baitul mal tersebut. Beliau tetap membiarkannya sebagai temapt terbuka dan persinggahan bagi orang-orang hingga rumah itu habis isinya. Beliau juga pernah menginfakkan hartanya sebanyak 4000 dinar untuk kepentingan Islam, padahal harta itu ia semuanya ia dapatkan dari usahanya berdagang.[2]
A. Proses Pengangkatan Abu Bakar r.a
Dalam catatan sejarah, pengangangkatan Abu Bakar r.a sebagai kahlifah mengalami polemik di kalangan para sahabat, hal ini diamping bahwa Ali bin Abi Thalib r.a tidak ikut dalam insiden Saqifah, ternyata Ali bin Abi Thalib juga tidak mau membaiat Abu Bakar hingga enam bulan lamanya.[3]
Dalam proses pemilihannya terjadi hal-hal yang kurang tenang antara kaum Anshor dan Muhajirin. Kaum Anshor sebagai penduduk orisinil mengklaim bahwa mereka mempunyai lebih banyak andil dalam menyiarkan Islam dan mempunyai sumber daya insan yang tidak kalah kualitasnya dibandingkan kaum Muhajirin. Dengan demikian mereka melaksanakan musyawarah di suatu tempat di Bani Sai’dah untuk menentukan dan membaiat Sa’id bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku Khazraj.[4]
Dengan diplomasi dan kolaborasi antara Abu Bakar r.a dan Umar bin Khattab r.a dan Abu Ubaidah bin Jarrah, maka Umar bin Khattab r.a mengangkat tangan Abu Bakar r.a serta mengucapkan baiatnya setianya kepada Abu Bakar r.a sebagai pemimpinnya, kemudian hal yang serupa juga dilakukan oleh Ubaidah bin Jarrah. Terobosan dan spekulasi mereka ini ternyata menghasilkan nilai positif untuk keberhasilan gagasan mereka dalam mengangkat Abu Bakar r.a sebagai khalifah.[5]
Abu Bakar r.a kemudian dibaiat secara umum pada ke-esokan harinya di masjid Nabawi. Pada kesempatan ini ia mengucapkan pidato pertamanya sebagai khalifah. Maka semenjak ketika itu kepimimpinan ummat berada di tangan Abu Bakar r.a dengan gelar kahlifah Rasulullah (pengganti rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut sebagai khalifah saja. Khalifah ialah pemimpin yang diangkat setelah nabi wafat untuk menggantikan ia melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin ada dan kepala pemrintahan.[6]
B. Dinamika Pemerintahan Abu Bakar
1. Dinamika agama.
Ada beberapa tanda-tanda yang sungguh umum yang terjadi tidak usang setelah kematian Muhammad saw. Beberapa dari kalangan yang bukan Arab Quroisy kemudian menyatakan kemerdekaan mereka lantaran menganggap bahwa ketundukan itu hanyalah berlaku kepada Muhammad saw, sang rasul. Pembangkangan-pembakangan yang terjadi pada masa Abu Bakar r.a ini juga dibarengi dengan munculnya beberapa orang yang mengaku sebagai nabi gres dan mendakwakan agama ke kaumnya. Selain itu juga muncul juga gerakan untuk mogok bayar zakat, dengan anggapan bahwa zakat itu hanya wajib apabila Muhammad ada.
Masalah kematian Rasulullah saw, memang telah membawa dampak yang sungguh besar dalam ke-imanan seseorang kala itu. Krisis ini tidak hanya menerpa mereka yang memang jauh dari Madinah, atau jauh dari Rasulullah, akan tetapi juga dialami beberapa sahabat.
Masyarakat muslim kala itu memang tidaklah se-heterogen bila dibandingkan pada masa selanjutnya, akan tetapi beberapa elemen penyusun dasar masyarakat sudah mulai bervariasi. Otomatis tingkat kepatuhan, keyakinan, minat terhadap Islam, motivasi untuk memeluk agama Islam pada masa Rasulullah niscaya berbeda-beda. Bisa jadi ada yang motivasinya hanyalah evakuasi diri dari serangan-serangan Arab, atau juga sanggup jadi hanya menghindari beban upeti kepada mereka.[7]
Kemudian dengan meninggalnya nabi Muhammad saw, anggapan bahwa zakat tidak perlu lagi dibayar serta mertapun muncul. Meskipun beberapa kejadian ini mempunyai indikasi lain yang tidak kalah pentingnya, yakni hanya sebuah perjuangan supaya tidak membayar pajak, akan tetapi kedoknya ialah benar-benar agama, hingga mereka yang melancarkan gerakan nabi palsu, mogok zakat dan lain sebagainya disebut sebagai murtad.[8]
Ada beberapa kelompok yang melakoni gerakan riddah ini, mereka adalah:[9]
- Bani Amir dan Hawazan dan Sulaim.
- Musailamah yang mengaku sebagai nabi baru.
- Penduduk Bahrain.
- Penduduk Oman dan Mahrah.
- Penduduk Yaman dalam dua kali gelombang.
- Penduduk Hadramaut dan Kinda
Abu Bakar sibuk untuk mengurusi masalah-masalah yang menyerupai ini yang semuanya berlangsung pada tahun awal pemerintahannya yakni tahun 11 H, hingga ia tidak sempat memikirkan perluasan ke luar kecuali hanya sedikit, selain memang masa kepemimpinan ia memang yang paling singkat dibanding para penerusnya. Tapi kesannya Abu Bakar berhasil meredam seluruh gerakan ini dengan mengirimkan pasukannya. Karena memang riddah dalam keyakinan ummat Islam ialah harus dibunuh hingga mati atau kembali ke dalam Islam maka begitu juga dengan perintah Abu Bakar r.a kepada para pemimpin pasukan.
2. Dinamika Sosial.
Sebenarnya masyarakat muslim, yang terdiri dari banyak element dan suku terancam hancur persatuannya pada insiden Saqifah. Sejumlah kalangan pengungsi dari Mekkah dan beberapa klan lemah di Madinah juga beberapa orang yang melepaskan diri dari klannya bersatu untuk memikirkan suksesi Abu Bakar r.a dan menghalangi kalan Khazraj untuk menentukan pemimpin sendiri lantaran hal ini akan sangat rentan dengan munculnya permusuhan di kalangan elit politik dan masyarakat.[10]
Selain itu dalam beberapa kisah, yang coba diabaikan beberapa kalangan, disebutkan bahwa terjadi ketegangan antara bani Hasyim dengan Abu Bakar dan suksesornya Umar bin Khattab.[11] Dalam beberapa riwayat menyerupai yang dituturkan oleh Muhammad Haikal disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khattab mendatangi Ali bin Abi Thalib dengan membawa sekelompok pasukan untuk meminta baiat Ali bin Abi Thalib. Aka tetapi Ali bin Abi Thalib dan beberapa anggotanya menghadap mereka dengan pedang di tangannya, hingga terjadi langgar fisik antara Ali bin Abi Thalib r.a dan Umar bin Khattab r.a.[12]
Abu Bakar r.a ialah salah satu figur yang dihormati oleh masyarakat, selain lantaran ia termasuk sobat paling bersahabat dengan nabi, ia juga termasuk salah satu orang yang paling pertama memeluk Islam dan mertua Rasulullah saw, akan tetapi Ali bin Abi Thalib r.a sedikitpun tidak kalah wibawanya dibandingkan Abu Bakar r.a, ia ialah sepupu nabi, bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib ialah orang yang paling pertama kali masuk Islam, ia juga ialah menantu Rasulullah saw. Dua figur yang sangat dihormati di Madinah ini dan mempunyai banyak pendukung tentu saja melahirkan paling sedikit dua blok masyarakat, yang mendukung Abu Bakar r.a dan yang mendukung Ali bin Abi Thalib r.a. Tentu saja ini melahirkan suatu dilema tersendiri bagi masyarakat.
3. Politik.
Kestabilan politik yang telah dirintis oleh Rasulullah saw, berangsur-angsur memburuk setelah kematian beliau. Ini terbukti dengan terjadinya beberapa pemberontakan di luar Madinah, baik itu pemberontakan yang dimotivasi oleh impian melepaskan diri dari kekuasaan Islam ataupun pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh kaum-kaum murtad.
Selain itu di Madinah, menyerupai yang kita sebutkan diatas, muncul dua blok kekuasaan politik, satu pihak ialah Abu Bakar r.a yang telah diangkat menjadi khalifah, di pihak lain ialah Ali bin Abi Thalib r.a-yang dalam pandangan beberapa sarjanawan disebutkan bahwa ia beropini dan disetujui oleh pengikutnya sebagai orang yang lebih berhak untuk menduduki posisi kepemimpinan.[13]
Anggapan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a ialah orang yang lebih berhak untuk mendapatkan tampuk kepemimpinan diawali dengan mengedepankan hadist Ghadir Khum yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a ialah pewaris nabi Muhammad saw. Peristiwa Saqifah yang tidak dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib r.a yang kala itu sibuk dengan mengurusi mayit Rasulullah saw, dimata beberapa kalangan merupakan awal perampasan kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib r.a. Kesekongkolan antara Umar bin Khattab r.a, Abu Bakar r.a dan Abu Ubaid bin Jarrah dianggap sebagai salah satu perjuangan untuk tidak menggabungkan kepemimpinan politik dan agama pada Bani Hasyim.[14]
Ada banyak versi yang menceritakan pertikaian politik antara dua blok politik terbesar di Madinah. Akan tetapi ada juga riwayat yang menafikan pertikaian politik tersebut, menyerupai riwayat shahih yang diceritakan oleh at-Thabari.[15] Selain itu Haikal juga menuturkan bahwa riwayat-riwayat yang menyebutkan terjadinya pertikaian politik gres muncul jauh setelah berakhirnya ke-khalifahan Abu Bakar r.a yakni pada masa Abbasyiah.[16]
a. Stabilitas Negara.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a, tercatat beberapa pemberontakan yang membahayakan bagi kesatuan negara Islam. Beberapa diantaranya ialah gerakan-gerakan riddah yang muncul tidak usang setelah kematian Rasulullah saw. Pemberontakan-pemberontakan itu sanggup dilatari beberapa alasan baik alasan politik, ekonomi ataupun agama. Beberapa pemberontakan dan gerakan yang mengancam stabilitas negara itu sanggup kita sebutkan sebagai berikut:[17]
1. Pemberontakan Thulaihah yang mengklaim dirinya sebagai nabi sebelum wafatnya Rasulullah saw.
2. Pemberontakan Sajjah dan Malik bin Nuwairoh di dari Yamamah.
3. Perang Yamamah, dan Musailamah yang menyebut dirinya sebagai nabi.
4. Gerakan riddah di Baharain.
5. Gerakan riddah di Omman dan Muhrah.
6. Gerakan riddah di Hadramaut dan Kindah.
Semua gerakan riddah dan pemberotakan ini berhasil diredamkan baik dengan peperangan ataupun tidak.
b. Ekspansi.
Meskipun Abu Bakar r.a tidak banyak melaksanakan perluasan kawasan kekuasaan, akan tetapi ia berhasil menaklukkan beberapa wilayah:[18]
1. Penaklukkan Iraq, menyerupai Mahdhor, Ullais, Nahrud Dain, Anbar dan Ain Tamar oleh Khalid bin Walid (12 H).
2. Penaklukkan Syam oleh Khalid bin Walid (13 H), yang sebelumnya telah ditekan oleh Khalid bin Sa’id bin Ash.
Dua penaklukan ini ialah penaklukan besar yang terjadi pada masa Abu Bakar r.a meskipun bahwasanya Syam berhasil ditaklukkan pada masa awal pemerintahan Umar bin Khattab r.a.
c. Kebijakan Politik Abu Bakar r.a
Dalam perjalanan Abu Bakar r.a, ia telah memutuskan beberapa kebijakan dalam politik, beberapa kebijakan penting ia selain menumpas pemberontakan dan melaksanakan perluasan adalah:
1. Menjadikan Hirroh sebagai pusat militer untuk penyerangan selanjutnya ke Syam.
2. Menaklukkan daerah-daerah yang berpeluang untuk membantu melawan Kaisar.
3. Menempatkan Khalid bin Sa’id bin Ash dan pasukannya sebagai pasukan cadangan di Taima, yakni perbatasan wilayah kekuasaan negara Islam dengan Syam. Tekanan-tekanan yang diberikan oleh Khalid bin Sa’id te;ah memperlihatkan Kontribusi besar dalam penaklukkan Syam, meskipun kesannya mereka kalah.
4. Pemindahan baitul mal dari Sunuh ke Madinah.
5. Mengurusi janda-janda perang di Madinah.
6. Pengangkatan al-Mutsanna bin Haritsah menggantikan Khalid bin Walid di Iraq.
7. Penunjukan Umar bin Khattab r.a sebagai penggantinya sebagai Khalifah. Beberapa pendapat menyampaikan bahwa ia menghawatirkan keadaan akan menjadi kritis lagi bila seorang pemimpin tidak menunjuk orang yang akan menggantikannya.
8. Mengampuni beberapa kepala pemberontak.
Selain itu ia juga mengangkat beberapa orang sebagai pemerintah di kota-kota tertentu. Abu Bakar r.a mengangkat Umar bin Khattab r.a menjadi hakim di Madinah, Abu Ubaidah menjadi pengurus baitul mal, Ali bin Abi Thalib r.a, Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris, Uttab bin Usaid sebagai amir kota Mekkah, Utsman bin Abi al-Ash sebagai amir di Thaif, al-Muhajir bin Abi Umayyah di Shun’a, Ziyad bin Lubaid di Hadramaut, Abu Musa di Zubaid dan Rima’, Muadz bin Jabal di Jund, al-Ala’ bin al-Hadramiy di Bahrain, Jarir bin Abdullah di Najran, Abdullah bin Tsaur di Jurasy, Iyadh bin Ghanm di Daumatuljandal, Khalid bin Walid sebagai jendral besar pemimpin pasukan penakluk Syam.[19]
4. Intelektual.
Sedangkan dalam bidang intelektual Abu Bakar r.a, kebijakan yang paling terkenal ialah pengumpulan Quran al-Karim setelah perang Yamamah. Gagasan untuk mengumpulkan Quran al-Karim ini bahwasanya tiba pertama kali dari Umar bin Khattab r.a, lantaran ia melihat banyaknya para penghapal Quran yang meninggal dalam peperangan terutama pada peperangan Yamamah
Pada mulanya Abu Bakar r.a merasa ragu untuk menjalankan gagasan tersebut, lantaran Rasulullah saw, sendiri tidak pernah melaksanakan hal tersebut. tetapi setelah berembuk dengan para sobat lain iapun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menuliskan Alquran.
Beliau juga merupakan orang pertama yang memisahkan pemerintahan pusat dengan forum peradilan, meskipun mungkin dalam tahap sederhana. Kepala pemerintahan sendiri dipegang oleh Abu Bakar r.a, sedangkan Qadhi Madinah ialah Umar bin Khattab yang berada dibawah kepala pemerintahan.
C. Kontribusi Pemerintahan Abu Bakar.
Selain beberapa bantuan yang telah kita sebutkan diatas menyerupai perluasan daerah, pemulihan stabilitas negara dan lain sebagainya, pemerintahan Abu Bakar r.a juga telah memperlihatkan Kontribusi lain untuk kepentingan pemerintahan Islam selanjutnya.
Sebenarnya, salah satu keberhasilan Rasulullah saw. dalam kepemimpinannya ialah mengganti sistem politik bangsa Arab yang dahulunya terpecah belah di bawah naungan klan. Seseorang tidak sanggup mengklaim bahwa dirinya ialah seorang yang merdeka bila ia tidak bernaung dibawah sebuah klan. Kemudian Rasulullah saw. menggantikan sistem ini dengan kesatuan politik yang berjulukan Ummah, yakni kesatuan seluruh ummat Islam.[20]
Sedangkan pada masa Abu Bakar r.a, kesatuan politik bangsa-bangsa Arab yang terpecah belah dibawah beberapa kekuasan politik telah dirancang untuk disatukan dibawah kekuasaan negara Islam. Kesatuan ini menjadi sistem pemerintahan negara yang oleh bangsa Arab sebelumnya tidak diperhatikan.
Selain itu, Abu Bakar r.a juga telah merintis sistem pengmbilan keputusan dengan keputusan syura. Lain halnya dengan Rasulullah saw. yang keputusannya ialah mutlak lantaran memang ia menjadi wadah peserta wahyu. Pada pengambilan keputusan-keputusan genting, ia sering memanggil orang-orang yang menurutnya berkompeten untuk didengar pendapatnya, yakni pada ketika itu ialah sahabat-sahabat Rasulullah saw. dengan begitu ia telah mulai merintis pembangunan dasar-dasar pemerintahan imperium Islam.[21]
D. Kematian Abu Bakar r.a
Setelah menderita sakit demam selama lima belas hari kesannya Abu Bakar r.a meninggal dunia pada hari senin, 21 Jumadil Akhir 13 H (22 Agustus 634 M) pada usia 63 tahun. Riwayat yang paling kuat mengenai lantaran sakitnya ia ialah riwayat yang berasal dari putrinya yang menyebutkan bahwa ia sering mandi malam. Sedangkan pemerintahan ia berjalan selama dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam.[22]
Selama sakitnya ia tidak sanggup mengimami shalat jama’ah hingga ia digantikan oleh Umar bin Khattab r.a. selain itu juga ia selalu memikirkan kasus ummat Islam yang akan ia tinggalkan. Beberapa motivasi dan penyebab mendorongnya untuk menunjuk orang yang menggantikannya setelah berbincang-bincang dengan para sobat besar lainnya, yang membulatkan tekad ia untuk menunjuk Umar bin Khattab r.a sebagai penggantinya.
Ada berapa hal yang mungkin sangat kuat terhadap keputusan Abu Bakar r.a untuk menentukan sendiri orang yang akan menggantikannya. Salah satunya ialah perdebatan yang pernah terjadi di Saqifah Bani Saidah setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, selain itu juga masukan-masukan positif perihal Umar bin Khattab r.a dari sahabat-sahabat besar lainnya.[23]
Di lain pihak, Jafri menuturkan bahwa penunjukan ini juga salah satu bentuk penghalangan Ali bin Abi Thalib r.a dari posisi ke-khalifahan. Sangat tidak mengherankan bila Umar bin Khattab r.a tidak menentukan Ali bin Abi Thalib r.a yang tidak mau membaiatnya hingga lima hingga enam bulan pemerintahannya. Tentu saja Umar bin Khattab r.a yang juga merupakan pioner pengangkatan Abu Bakar r.a sebagai khalifah pada insiden Saqifah akan mendapatkan kepercayaan Abu Bakar r.a untuk menjadi khalifah.
Menurut Jafri bahwa penghalangan Ali bin Abi Thalib r.a dari ke-kahlifahan berlanjut pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a, yakni ketika ia menentukan enam orang sobat sebagai ahlul hilli wal aqdi yang bertugas untuk menentukan penggantinya, akan tetapi keputusan final diberikan kepada Abdurrahman bin Auf yang merupakan sobat bersahabat Utsman bin Affan. Selain itu juga oleh Abdurrahman bin Auf juga menyaratkan kesanggupan untuk mengikuti tata cara (sunnah) Rasulullah saw. dan dua orang pendahulunya dalam menjalankan pemerintahan. Tentu saja Ali bin Abi Thalib r.a tidak akan menyanggupinya,yang lain halnya dengan Utsman yang menyatakan bahwa ia akan menyanggupi syarat tersebut.[24]
Terlepas dari yang manakah pendapat yang paling mendekati kebenaran, paling tidak kita mengetahui beberapa perbedaan pendapat dalam problem ini.
III. Umar bin Khattab Khalifah Ke-Dua (634-644 M/13-24 H)
Beliau ialah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza. Salah satu gelar kebanggaan ia ialah al-Faruq (elang) yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada beliau.[25] Beliau dilahirkan empat tahun sebelum kelahiran Rasulullah saw. Umur ia ialah 63 tahun dan beberapa bulan.[26]
A. Proses Pengangkatan Umar bin Khattab.
Seperti yang telah kita sebutkan diatas bahwa Umar bin Khattab r.a diangkat dan dipilih sendiri oleh Abu Bakar r.a untuk menggantikannya dalam ke-khalifahan. Oleh Abdul Wahhab an-Nujjar, cara pengangkatan menyerupai ini disebut dengan thariqul ahad, yakni seorang pemimpin yang menentukan sendiri panggantinya setelah mendengar pendapat yang lainnya, barulah kemudian dibaiat secara umum.[27]
Pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a, sang khalifah dipanggil dengan sebutan khalifah Rasulullah. Sedangkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a, mereka disebut dengan Amirulmu’minin. Sebutan ini sendiri diberikan oleh rakyat kepada beliau. Salah satu lantaran penggantian ini hanyalah makna bahasa, lantaran bila Abu Bakar r.a dipanggil dengan khalifah Rasulullah (pengganti Rasulullah), otomatis penggantinya berarti khalifah khalifah Rasulullah (pengganti penggantinya Rasulullah), dan begitulah selanjutnya, setidaknya begitulah berdasarkan Haikal. Selain itu lantaran wilayah kekuasaan Islam telah meluas, hingga ke daerah-daerah yang bukan kawasan Arab, yang tentu saja memerlukan sistem pemerintahan yang terperinci, sementara ia tidak mendapatkan sistem pemerintahan terperinci dalam Quran al-Karim dan sunnah nabi, lantaran itu ia menolak untuk dipanggil sebagai khalifatullah dan khalifah Rasulullah. [28]
Terdapat perbedaan dalam proses pengangkatan Abu Bakar dan Umar, bila Abu Bakar dipilih oleh beberapa wakil kalangan elit masyarakat, Umar dipilih dan ditunjuk eksklusif oleh Abu Bakar untuk menggantikannya. Ada beberapa faktor yang mungkin sangat kuat terhadap penunjukan eksklusif ini:
1. kemungkinan besar Abu Bakar khawatir akan terjadi perpecahan dalam badan ummat Islam bila pemilihan diserahkan kepada masyarakat menyerupai yang hampir terjadi pada dirinya.
2. bagaimanapun juga, Umar ialah suksessor Abu Bakar dalam pemilihan menjadi Khalifah.
3. sementara beberapa pendapat lain menyampaikan bahwa ke-khawatiran Abu Bakar akan terpilihnya Ali bin Abi Thalib memotivasi dirinya untuk menentukan eksklusif penggantinya.[29]
B. Dinamika Pemerintahan Umar bin Khattab.
1. Agama.
Penaklukan-penaklukan yang terjadi pada masa Umar menimbulkan orang ramai-ramai memeluk agama Islam[30] namun meskipun demikian tentu tidak ada paksaan terhadap mereka yang tidak mau memeluknya. Maka masyarakat ketika itu ialah masyarakat beragam yang terdiri dari banyak sekali agama, dan hal ini tentu saja kuat tehadap masyarakat Islam, mereka mengenal ajaran-ajaran selain Islam menyerupai Nasrani, Yahudi, Majusi Shabiah dan lainnya. Masyarakat muslim otomatis akan berguru toleransi terhadap pemeluk agama lainnya, dan kemajemukan beragama menyerupai ini akan aman untuk melahirkan faham-faham gres dalam agama yang positif maupun negatif meskipun pada masa Umar bin Khattab r.a belum ada dongeng perihal munculnya faham menyerupai ini.
Selanjutnya kehomogenan rakyat negara juga tentu saja akan menuntut suatu prinsip-prinsip agama yang fleksibel, yang gampang difahami, lantaran rakyat tidak hanya terbentuk dari orang-orang Arab, akan tetapi juga beberapa bangsa lainnya menyerupai Persia yang telah dahulu mengenal agama selain Islam, juga bangsa Afrika yang sebelumnya tidak mengenal Islam. Maka sesuatu yang esensial dari agama Islampun otomatis harus ditemukan supaya sanggup diaplikasikan pada kehidupan orang-orang selain bangsa selain Arab.
Meskipun begitu acara ini tidak terlalu menonjol, lantaran memang lebih banyak didominasi masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a dihabiskan untuk melaksanakan ekspansi-ekspansi. Kebanyakan praktek-praktek agama yang dibawa oleh lebih banyak didominasi pasukan Islam yang berbangsa Arab ialah paduan antara praktek-praktek dan prinsip Islam dengan praktek dan aturan adat orang-orang pada umumnya.[31]
2. Dinamika Sosial.
Keadaan sosial juga mulai berubah, perubahan-perubahan ini sangat terlihat pada masyarakat yang hidup diwilayah taklukan-taklukan Islam, mereka mengenal adanya kelas sosial meskipun Islam tidak membenarkan hal itu. Tetapi kebijakan-kebijakan perihal pajak, hak dan kekayaan yang terlalu jauh berbeda telah membuat jurang sosial, ditambah lagi bahwa memang sebelum datangnya Islam mereka telah mengenal kelas sosial ini.
Seperti kebijakan pajak yang berlaku pada masa Umar bin Khattab telah membagi masyarak kepada dua kelas, yaitu:
a. Kelas wajib pajak: buruh, petani dan pedagang.
b. Kelas pemungut pajak: pegawai pemerintah, tentara dan elit masyarakat.[32]
Hal ini akan mengakibatkan rakyat cenderung untuk menjadi tentara sebagai profesi.
Meskipun pajak itu memang digunakan untuk kepentingan sosial menyerupai pembangunan sarana-sarana sosial tapi pajak itu tetap lebih banyak dirasakan oleh elit masyarakat dan penakluk. Pada masa Umar hak atas properti rampasan perang, posisi-posisi istimewa diberikan kepada pembesar-pembesar penakluk.[33] Meskipun Umar ialah orang yang sangat sederhana, lain dengan sahabat-sahabatnya yang mempunyai kekayaan, seperti:
a. Zubair yang mempunyai kekayaan hingga 50.000.000. dirham.
b. Abdur Rahman bin Auf mewariskan 80.000-100.000 dirham.
c. Sa’ad Ibn Waqqash yang punya villa di bersahabat Madinah.
d. Thalhah yang mempunyai 2.200.000 dirham dan 200.000 dinar juga lahan safiyah seharga 30.000.000.dirham.[34]
Terlepas apakah itu harta yang hak atau tidak, tentu akan membuat iri masyarakat terutama mantan-mantan bangsawan Mekkah yang kebanyakan ialah Bani Umayyah. Pemerintahan pusat mengirimkan gubernur, hakim dan lain-lain ke wilayah taklukan, dengan begitu daerah-daerah yang tadinya hanya merupakan pedesaan menjelma kota yang padat penduduknya dan mempunyai mobilitas sosial dan ekonomi yang tinggi.[35] Pembangunan-pembangunan infrastruktur berkisar pada jalan raya, irigasi dan bendungan, masjid dan benteng.[36]
3. Dinamika Ekonomi.
a. Perdagangan, Industri dan Pertanian.
Meluasnya daerah-daerah taklukan Islam yang disertai meluasnya imbas Arab sangat kuat pada bidang ekonomi masyarakat ketika itu. Banyak daerah-daerah taklukan menjadi tujuan para pedagang Arab maupun non Arab, muslim maupun non muslim, dengan begitu kawasan yang tadinya tidak begitu menggeliat mulai memperlihatkan aktifitas-aktifitas ekonomi, selain menjadi tujuan para pedagang juga menjadi sumber barang dagang. Maka peta perdagangan ketika itupun tentu berubah menyerupai Isfahan, Ray, Kabul, Balkh dan lain-lain.
Sumber pendapatan rakyatpun bermacam-macam mulai dari perdagangan, pertanian, pengerajin, industri maupun pegawai pemerintah. Industri ketika itu ada yang dimiliki oleh perorangan ataupun negara atau kawasan untuk kepentingan negara,[37] industri-industri ini ialah menyerupai industri rumah tangga yang mengolah logam, industri pertanian, pertambangan dan pekerjaan-pekerjaan umum pemerintah menyerupai pembangunan jalan, irigasi, pegwai pemerintah dan lain-lain.
Pembangunan irigasi juga sangat kuat dalam pertanian, perkebunan-perkebunan yang luas yang dimiliki oleh perorangan maupun negara atau kawasan banyak menghasilkan, lahan-lahan menyerupai ini ialah hasil rampasan perang yang sebagian menjadi milik perorangan.[38]
b. Pajak.
Seluruh hal-hal diatas tentu saja akan kuat terhadap pajak. Pajak ketika itu ditetapkan berdasarkan profesi, penghasilan dan lain-lain. Sistem pajak yang diberlakukan di suatu kawasan intinya ialah sistem yang digunakan di kawasan itu sebelum ditaklukkan. Seperti di Iraq yang diberlakukan sistem pajak Sasania. Tapi jika kawasan itu belum mempunyai satu sistem pajak yang baku, maka sistem pajak yang diberlakukan ialah hasil kompromi elit masyarakat dan penakluk. Yang bertugas mengumpulkan pajak tersebut ialah elit masyarakat yang selanjutnya diserahkan kepada pemerintah kawasan untuk diserahkan ke pemerintah pusat.[39]
Pajak yang ditanggung oleh masyarakat ialah :
1) Pajak jiwa, pajak ini berdasar jumlah masyarakat dan dipikul bersama. Yang bertugas melaksanakan penghitungan ialah tokoh masyarakat juga.
2) Pajak bumi dan bangunan, tanah wajib pajak ialah seluas 2400 m2 jumlahnya tergantung pada kualitas tanah, sumber air, jenis pertanian, hasil pertanian dan jarak ke pasar.[40]
4. Dinamika Politik dan Adminstrasi.
Serangkaian penaklukan bangsa Arab dipahami secara terkenal dimotivasi oleh hasrat akan terhadap harta rampasan perang, dan termotivasi oleh agama yang tidak menganut keyakinan perihal bangsa yang terpilih, layaknya Yahudi. Salah satu prinsip agama Islam ialah berbagi ajarannya kepada orang lain, lain halnya dengan Yahudi yang menganggap bangsanyasendirilah yang terpilih dan menganggap bangsa lain ialah domba-domba yang sesat.[41] Keyakinan inipun otomatis juga kuat kepada lancarnya beberapa perluasan pada masa Umar bin Khattab r.a.
Motivasi apapun yang terlibat di dalam beberapa penaklukan tersebut, semuanya merupakan perluasan yang telah terpola dengan baik oleh pemerintahan Umar bin Khattab r.a, meskipun sebagian kecilnya berlangsung secara kebetulan.
Beberapa wilayah yang akan ditaklukkan dilihat dari kesuburan tanahnya, kestrategisannya dalam dunia perdagangan dan kestrategisannya untuk menjadi basis-basis penaklukan berikutnya. Seperti kota Mesir yang ditaklukkan, kota ini merupakan lumbung besar bagi Kostantinopel, selain itu kota ini juga dengan Hijaz, pelabuhan yang sangat penting dan supaya sanggup menjadi basis penaklukan selanjutnya ke Afrika.
Kostantinopel mulai mengalami kekalahan dalam peperangannya dengan pasukan-pasukan muslim setelah Mesir jatuh ketangan negara Islam. Sedangkan untuk menaklukkan Sasania, pasukan muslim tidaklah mengalami kesulitan, lantaran selain dari sisi kekuatan politis imperium ini yang telah melemah dan hancurnya adiministrasi, juga relasi baik antara negara-negara kecil yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan mereka, juga lantaran Iraq telah jatuh ke tangan pasukan muslim, pada masa sebelumnya.
Selain itu, beberapa alasan yang mendukung keberhasilan serangkaian penaklukan ini ialah tidak terjalinnya relasi baik antara pemerintah dengan rakyat. Dalam beberapa masalah hal ini sungguh penting, lantaran orang-orang Katolik Arab yang merupakan kepingan imperium yang ditaklukkan lebih mendapatkan dan bergabung dengan pasukan muslim. Lebih jauh lagi migrasi orang-orang Arab badui juga ikut menjadi alasan keberhasilan ini.
Untuk tujuan mengorganisasi orang-orang Badui ini, dan supaya tidak membuat problem kepada penduduk lokal, maka Umar bin Khattabpun membangun beberapa mishr. Mishr ini menjadi basis tempat orang-orang badui. Selain itu juga mishr-mishr ini juga berperan sebagai basis-basis militer dengan tujuan penaklukan selanjutnya.
Beberapa kampung-kampung militer terbesar yang dibangun pada masa Umar bin Khattab ialah Bashrah yang bertujuan untuk mempermudah komunikasi dengan Madinah, ibu kota negara dan juga menjadi basis penaklukan menuju Iran Selatan. Kufah dibangun untuk menjadi basis pemerintahan untuk manajemen untuk Iraq Utara Mesopotamia dan kepingan Timur dan Utara Iran.
Selain menjadi basis militer dan pemerintahan, amshar juga menjadi pusat distribusi dan manajemen pajak. Dengan begitu sistem yang diterapkan oleh Umar bin Khattab ialah sistem desentralisasi. Gaji para pasukan yang diambil dari pajak, upeti dan zakat dibayarkan melalui pusat-pusat manajemen ini. [42]
Pemerintahan Umar bin Khattab intinya tidak memaksakan sebuah sistem manajemen gres di wilayah taklukan mereka. Sistem adaministrasi yang berlaku ialah janji antara pemerintah dengan elit lokal wilayah tersebut. Dengan begitu, otomatis tidak ada kesamaan manajemen suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Tampaknya hal ini tidaklah menjadi problem penting pada ketika itu.
a. Ekspansi-Ekspansi Pemeritahan Umar bin Khattab.
Adapun rangkaian penaklukan yang terjadi pada masa Umar bin Khattab adalah:[43]
1. Penaklukkan Syam (13 H), meskipun memang awal serangan dimulai pada masa Abu Bakar, akan tetapi kota ini gres sanggup ditaklukkan pada masa awal pemerintahan Umar bin Khattab. Penaklukan ini dipimpin oleh Khalid bin Walid, yang kemudian dipecat oleh Umar bin Khattab r.apada hari kemenangannya.
2. Penaklukkan Damasqus oleh Abu Ubaidah yang diteruskan ke Baalbek, Homs dan Hama (13 H).
3. Yerussalem (638).
4. Caesaria (640) yang berlanjut ke Selatan Syiria, Harran, Edessa dan Nabisin.
5. Mesir oleh Amr bin Ash (641 H/20 H) termasuk Heliopolis dan Babylonia, sedangkan Alexandria gres ditaklukkan pada tahun (643).
6. Syiria ditaklukkan pada perang Qadisiyah (637 M/14 H).
7. serangkaian penaklukan lainnya ialah Mosul (641 M/16 H), Nihawan, Hamadazan (21 H), Rayy (22 H), Isfahan dan kota-kota Utama Iran Barat (644 M), Khurasan (22 H).
8. Pasukan lainnya menguasai Ahwaz (Khuzistan) (640 M/17 H).
9. Sijistan dan Kerman (23 H)
Maka wilayah kekuasaan Umar bin Khattab pada ketika itu meliputi: benua Afrika hingga Alexandria, Utara hingga Yaman dan Hadramaut, Timur hingga Kerman dan Khurasan, Selatan hingga Tabristan dan Haran.
b. Kebijakan Politis dan Administratif.
1. Ekspansi dan penaklukkan.
2. Desentralisasi administrasi.
3. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum, menyerupai Masjid, jalan dan bendungan.
4. Pemusatan kekuatan militer di amshar-amshar.
5. Memusatkan para sobat di Madinah, supaya kesatuan kaum muslimin lebih terjaga.
6. Aktivitas haji tahunan sebagai wadah laporan tahunan para gubernur terhadap khalifah.[44]
7. Membangun kota Kufah dan Bashrah.
8. Pemecatan Khalid bin Walid dari kepemimpinannya.
9. Pembentukan beberapa jawatan:
a. Diwan al-Kharaj (jawatan pajak) yang bertugas mengelola manajemen pajak negara.
b. Diwan al-Ahdats (jawatan kepolisian) yang bertugas memlihara ketertiban dan menindak pelaku penganiayaan untuk kemudian diadili di pengadilan.
c. Nazarat an-Nafi’at (jawatan pekerjaan umum) yang bertanggung jawab oelaksanaan pembangunan fasilitas-fasilitas umum.
d. Diwan al-Jund (jawatan militer) yang bertanggung jawab atas pengelolaan manajemen ke-tentaraan.
e. Baitul Mal sebagai forum perbendaharaan negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan kas negara. Beberapa tugasnya ialah memperlihatkan pertolongan (al-‘atha) yang merata kepada seluruh rakyat secara merata baik sipil maupaun militer, tapi tentu saja pertolongan ini tidak sama jumlahnya.[45]
f. Menciptakan mata uang resmi negara.
g. Membentuk ahlul hilli wal aqdi yang bertugas untuk menentukan pengganti khalifah.
5. Dinamika Intelektual.
Selain dari memutuskan tahun hijriah yang dihitung dari semenjak berhirahnya nabi Muhammad saw. ke Madinah, pada masa Umar bin Khattab r.a juga tercatat ijtihad-ijtihad baru. Beberapa sebab-sebab munculnya ijtihad gres di masa awal Islam berkataitan dengan Quran maupun sunnah.
Di dalam Quran al-Karim pada ketika itu sudah mulai ditemukan kata-kata yang musytarak, makna lugas dan kiasan, adanya kontradiksi nash, juga makna tekstual dan makna kontekstual. Sedangkan perihal sunnah itu sendiri, lantaran ternyata para sobat tidak mempunyai pengetahuan yang merata perihal sunnah nabi, lantaran kehati-hatian para sobat untuk mendapatkan suatu riwayat, terjadinya perbedaan nilai hadist, dan adanya sunnah yang bersifat kondisional.[46]
Selain beberapa alasan diatas, tentu saja faktor lainnya ikut mewarnai beberpa kemunculan ijtihad pada masa Umar bin Khattab, menyerupai faktor militer, yakni dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, faktor sosial yang semakin heterogennya rakyat negara Islam, dan faktor ekonomi.
Berapa ijtihad ia pada ketika itu ialah keputusan bahwa mua’llaf tidak mendapatkan zakat, padahal di salah satu ayat dikemukakan bahwa mereka berhak mendapatkan zakat.[47] Akan tetapi Umar bin Khattab beropini bahwa hal ini juga dilakukan Rasulullah saw. pada masa Islam masih lemah.
Pada masalah lain ialah perihal pemotongan tangan bagi pencuri.[48] Pada beberapa masalah ternyata Umar bin Khattab r.a tidak melaksanakan sanksi ini, terutama pada masa animo kemarau yang berkepanjangan pada tahun 18 H, dimana mereka hampir kehabisan bekal makanan. Selain itu dalam beberapa kisah dikatakan bahwa dua orang budak telah terbukti mencuri unta, akan tetapi Umar bin Khattab r.a tidak menjatuhinya aturan potong tangan lantaran alasan bahwa mereka mencuri lantaran kelaparan, sebagai gantinya ia membebankan ganti harga dua kali lipat dengan barang yang mereka curi.[49]
Ijtihad Umar b. Khattab ini, yang berbasis atas keberanian intelektual selanjutnya kuat kepada dua mazhab besar dalam memutuskan hukum, yakni ahl ra’yi yang berbasis di Baghdad dan ahl hadist yang berbasis di Madinah. Keberanian Umar ini menjadikannya sebagai pola dan imam tauladan bagi para penganut mazhab ahl ra’yi, yang kemudian pada tingkat yang lebih besar dipimpin oleh Abu Hanifah, sementara ahl hadist lebih mencontoh Abdullah putra Umar b. Khattab, yang selanjutnya dipimpin oleh Imam Malik di Madinah.
Dalam bidang peradilan, Umar bin Khattab r.a juga terkenal dengan risalah qodhonya, yakni surta yang berisi aturan program peradilan meskipun masih sederhana. Surat ini ia kirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi qadhi di Kufah.[50] Dalam mata kuliah Sistem Peradilan Islam dan yang semacamnya, surat Umar bin Khattab ini dipandang sebagai aturan program pengadilan tertulis pertama dalam Islam.
C. Akhir Pemerintahan: Kematian Umar bin Khattab r.a
Banyak keputusan-keputusan gres yang harus diambil oleh oleh khalifah ke-II Umar Bin Khattab (634-644 M). Penyebaran agama Islampun dilaksanakan seiring dengan perluasan wilayah Islam. Banyak orang yang takluk dibawah Islam memeluknya sebagai agama meskipun ada sebahagian dari mereka yang membenci Islam ataupun bangsa Arab yang merupakan penjajah. Umar memerintah dengan tegas dan disiplin, rakyat maupun pegawainya akan dieksekusi bila terbukti bersalah. Pada final pemerintahannya timbul gejala-gejala ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakannya yang disuarakan pertama kalinya oleh mereka yang membeci Islam ataupun bangsa Arab. Hal yang paling menonjol ialah pembagian hasil rampasan perang yang dinilai tidak adil. Tetapi hingga final hayatnya tidak ada yang berani mengutarakan secara terang-terangan.
Benarkah terjadi ketidak-puasan terhadap pemerintahan Umar bin Khattab, sanggup jadi benar. Salah satu bukti yang memperlihatkan hal tersebut ialah pembunuhan Umar bin Khattab sendiri, ia dibunuh Abu Lu’luah, seorang Nasrani. Ia megutarakan keberatannya atas pajak yang ia nilai terlalu besar untuknya yang berprofesi sebagai tukang kayu, pelukis, dan pintar besi, ia harus membayar dua dirham setiap hari. Akan tetapi meskipun Umar bin Khattab r.a mendengar keluhannya, ia tidak mengurangi pajak tersebut lantaran kabarnya ia juga akan membuka penggilan tepung dengan angin.
Abu Lu’luah ternyata berlalu dengan rasa tidak puas dengan keputusan beliau, hal ini disimpulkan dari jawabannya atas keputusan Umar bin Khattab r.a: “kalau begitu bekerjalah untukku dengan penggilingan itu!”, yang kemudian dijawab: “kalau kau selamat maka saya akan bekerja untukmu”. Tiga hari kemudian ia berhasil membunuh beliau.[51]
Akan tetapi bila hanya bukti ini yang diajukan untuk mengutarakan bahwa final pemerintahan Umar bin Khattab r.a terjadi beberapa ketidak-puasaan terhadapa kebijaksaanan beliau, maka itu terlalu dilebih-lebihkan. Tapi meskipun begitu, memang faktanya ada yang merasa tidak puas dengan Umar bin Khattab r.a.
Beliau meninggal pada umur 63 tahun. Adapun ke-khalifahannya berjalan selama 10 tahun, 6 bulan dan 8 hari.
Ada indikasi yang menyatakan bahwa perseturuannya dengan Ali bin Abi Thalib r.a mulai memudar-kalau memang mereka berseteru-, yakni Umar bin Khattab r.a menikahi salah satu putri Ali bin Abi Thalib r.a yakni Ummi Kaltsum, selain itu Ali bin Abi Thalib r.a ialah salah seorang yang turun ke makam beliau, lain halnya ketika Fathimah binti Rasulullah meninggal dunia, baik Abu Bakar r.a dan Umar bin Khattab r.a tidak tiba kepemakamannya atau ketika Abu Bakar r.a meninggal dunia dimana Ali bin Abi Thalib r.a tidak tiba kepemakamannya.[52]
Beberapa pendapat menyampaikan bahwa salah salah satu perjuangan untuk meredakan perseteruannya dengan Bani Hasyim ialah dengan mengangkat para pemuka Bani Hasyim sebagai pemimpin pasukan dan mengirimkannya ke medan perang, supaya mereka tidak terlalu memikirkan siapakah bahwasanya yang berhak untuk menjadi khalifah, disamping ia juga memang menikahi putri Ali bin Abi Thalib r.a.
D. Kontribusi Pemerintahan Umar bin Khattab.
Sepanjang sejarah khilafah rasyidah, perluasan terluas yang pernah tecapai ialah pada masa Umar bin Khattab r.a. Pada ketika ia meninggal kekuasaannya telah mencapai Alexandria, Najran, Kerman, Khurasan, Rayy, Tabriz dan seluruh Syiria.
Selain itu dalam bidang administrasi, ia banyak mengadaptasi sistem-sistem pemerintahan dari Sasania, Kostantinopel dan Bizantium. Hal ini memang akhir persentuhannya dengan tiga imperium besar tersebut, dan juga akhir meluasnya wilayah kekuasaan yang memerlukan suatu pengaturan yang lebih rapi.
Mata uang resmi demi memudahkan manajemen negarapun ditetapkan. Selain itu juga sistem tahun hijriah juga ia tetapkan.
Dalam bidang hukum, ia juga telah memutuskan qadi-qadi di setiap wilayah, dan juga memutuskan aturan program peradilannya. Selain itu, Umar bin Khattab r.a ialah orang yang terkenal dengan kekritisannya, banyak munjul ijtihad-ijtihad ia pada masa pemerintahannya. Peta Jazirah Arab,[53] kekuasaan Umar bin Khattab r.a berujung di Alexandria, Najran, Kerman, Sijistan, Khurasan, Rayy, Tabriztan, Armenia, hingga Syiria.
IV. Penutup.
Masa pemerintahan Abu Bakar r.a ialah masa transisi dari kepemimpinan seorang rasul yang menerima bimbingan wahyu dan mempunyai keabsulatan keputusan mutlak kepada seorang sobat biasa. Maka masa pemerintahan ia ini diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan dan geraka-gerakan riddah di beberapa wilayah.
Kesulitan dalam menumpas semua gerakan yang merongrong kestabilan negara telah menarik perhatian dan waktu Abu Bakar r.a, hingga tidak sanggup berbuat banyak dalam urusan perluasan wilayah, disamping umur pemerintahan ia yang relatif singkat. Akan tetapi masa transisi ini ialah salah satu masa terpenting dalam sejarah Islam, lantaran inilah masa pertama dimana kepemimpinan negara Islam diambil oleh seorang yang bukan rasul, dan mereka (Abu Bakar r.a dan rakyatnya) berhasil dengan gemilang.
Setelah masa transisi ini berhasil dilalui, dan keamanan sudah relatif lebih tenang, maka khalifah selanjutnya, Umar bin Khattab r.a, sanggup lebih leluasa untuk memikrkan perluasan wilayah. Dalam sepuluh tahun pemerintahannya ia berhasil menaklukkan beberapa wilayah-wilayah penting bagi beberapa imperium besar. Selain itu juga ia telah berhasil meletakkan sistem manajemen negara, hukum, dan politik yang mapan untuk ukuran ketika itu. Semoga Allah SWT menunjuki kita untuk sanggup mengkaji sejarah yang lebih bersahabat kepada faktanya. Amien.
Daftar Pustaka
- Ali, K, Study of Islamic Story. Delhi: Idarah Adabiyah, 1980.
- Atsir, Ibn, Al-Kamil Fi At-Tarikh, jil. II. Beirut: Daar Ashwar, 1965
- ________, Al-Kamil Fi At-Tarikh, jil. III. Beirut: Daar Ashwar, 1965.
- Bacharah, Jere L, A Middle East Studies Handbook. London: Universty Of Washington Press, 1974.
- Bakhsh, Khuda, Politics In Islam. India: Idarah Adabiyah Delli, 1975.
- Haikal, Husain, Abu Bakar al-Shiddiq, terj. Abdul Kadir Mahdawi. Solo: Pustaka Mantiq, 1994.
- Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. I. Chicago: Chichago University Press, 1974.
- Jafri, S.H. M, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
- Ja’far, Abu, Tarikh at-Thabari, jil. III,. Daar Maarif: Kairo, 1963.
- _________, Tarikh at-Thabari, jil. IV. Daar Maarif: Kairo, 1963.
- Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron, bag. I dan II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
- Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan. Jakarta: Mizan, 1996.
- Nadwi, Abul Hasan, Kehidupan Nabi Muhammad,terj Yunus Ali Muhdhar. Semarang : as-Syifa, 1992.
- Nasution, Harun, e.d, Ensikopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
- Nujjar, Abdul Wahhab, al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Beirut: Daar al-Qalam, 1986.
- Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar bin Khattab. Jakarta: Rajawali Press, 1991.
- Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press, 1971.
- Shidqi, Hasbiy, Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PN Bulan Bintang, 1970.
- Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
[1] Harun Nasution, e.d, Ensikopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 34.
[2] Ibn Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), jil. II, h. 422.
[3] Husain Haikal, Abu Bakar al-Shiddiq, terj. Abdul Kadir Mahdawi (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 54.
[4] Abu Ja’far, Tarikh at-Thabari, jil. III, h. 218. lihat juga K. Ali, Study of Islamic Story (Delhi: Idarah Adabiyah, 1980), h. 81.
[5] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron, bag. I dan II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 57
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 35.
[7] Ira M. Lapidus menyatakan bahwa itulah tujuan umum dari munculnya gerakan-gerakan ini. Ira, Sejarah Sosial, h. 57.
[8] Baik oleh Ibnu Atsir dan At-Thabari gerakan ini disebut Riddah, lih. Ibnu Atsir, al-Kamil, h.576. dan Abu Ja’far, Tarikh, h. 230.
[9] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 342-378.
[10] Ira, Sejarah, h. 56.
[11] Husein Muhammad Haikal, Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, terj. Abdul Qadir Mahdamy (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 71. lihat juga S.H. M Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 95.
[12] Ibid. S.H.M. Jafri juga menuliskan dongeng yang sama, Dari Tsaqifah, h. 100.
[13] Haikal, Abu Bakar, h. 71. juga Jafri, Dari Tsaqifah, h. 95.
[14] Jafri, ibid.
[15] Abu Ja’far, Tarikh Thabari, h. 218.
[16] Haikal, Abu Bakar, h. 76.
[17] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 342-378.
[18] Ibid, h. 402.
[19] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 420.
[20] Ira, Sejarah Sosial, h. 29.
[21] Haikal, Abu Bakar, h. 329.
[22] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 419.
[23] Haikal, Abu Bakar r.a, h. 347.
[24] Jafri, Dari Saqifah, h. 95.
[25] Abu Ja’far, Tarikh At-Thabari (Daar Maarif: Kairo, 1963), jil. IV, h. 195.
[26] Ibn Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), jil. III, h. 53.
[27] Abdul Wahhab al-Nujjar, al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Beirut: Daar al-Qalam, 1986), h. 23.
[28] Haikal, Abu Bakar r.a, h. 329.
[29] S. H. M. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 39.
[30] Ira.M.Lapidus, Sejarah, h. 37.
[31] Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press, 1974)
jil. I, h. 328, lihat juga Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971), h. 17.
[32] Ibid. hal 45.
[33] Ibid. hal 55
[34] Khuda Bakhsh, Politic In Islam, Idarah Adabiyah Delli, India, 1975. hal 12.
[35] Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial, hal 45.
[36] Ibid.hal 45.
[37] Abul Hasan An-Nadwi, Kehidupan Nabi Muhammad,terj Yunus Ali Muhdhar, (Semarang : as-Syifa, 1992), hal 577.
[38] Khuda Bakhsh, Politics, hal 29.
[39] Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial, h. 67.
[40] ibid. hal 44.
[41] Marshall, The Venture, h. 315.
[42] Ira, Sejarah Sosial, h. 63.
[43] Abu Ja’far, Tarikh at-Thabari (Kairo: Daar Ma’arif, 1973), jil. IV, h. 112.
[44] Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Jakarta: Mizan, 1996), h. 124.
[45] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h.128.
[46] ibid, h. 118.
[47] Qs at-Taubah: 60.
[48] Qs al-Maidah: 38.
[49] Amiur Nuruddin, Ijtihad, h. 151.
[50] Hasbiy as-Shidqi, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PN Bulan Bintang, 1970), h. 26.
[51] Ibnu Atsir, al-Kamil, jil. IV, h. 50.
[52] Ibid.
[53] Peta ini dikutip dari Jere L. Bacharah, A Middle East Studies Handbook (London: London University Pres, 1974), h. 91.