Makalah Sejarah Penyusunan Al Quran
Oleh: Ibrahim Lubis
A. Pengertian Al Quran
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) yaitu kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan epilog wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan pecahan dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW yaitu sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5[1].
Secara Etimologi Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an yaitu bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini sanggup juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu yaitu tanggungan Kami. (Karena itu,) kalau Kami telah membacakannya, hendaklah kau ikuti {amalkan} bacaannya”
Sedangkan secara terminologi berdasarkan Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Sedangkan Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW epilog para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dapat disimpulkan bahwa Al Alquran merupakan firman Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi muhammad SAW melalui malaikat Jibril AS dan membacanya merupakan suatu ibadah. Firman allah yang disampaikan selain kepada nabi muhammad saw ibarat kitab taurat (Nabi Musa), kitab Alkitab (Nabi Isa) dan kitab zabur (nabi Daud)tidak termasuk al Alquran dan tidak ibadah apabila membacanya.
B. Nama-nama lain Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang dipakai untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut yaitu nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
1. Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
2. Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
4. Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
5. Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
6. Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
7. Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
8. Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
9. At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
10. Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
11. Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
12. Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
13. Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
14. Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
15. An-Nur (cahaya): QS(4:174)
16. Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
17. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
C. Struktur dan pembagian Al-Qur'an
1. Surat, ayat dan ruku'
Al-Qur'an terdiri atas 114 pecahan yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat yaitu surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya mempunyai 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub pecahan lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
2. Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan berdasarkan tempat diturunkannya, setiap surat sanggup dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur relasi seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan setelah hijrah ini lebih tepat, lantaran ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.[rujukan?]
3. Juz dan manzil
Dalam sketsa pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 pecahan dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin merampungkan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 pecahan dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak mempunyai relasi dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
4. Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
a) As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
b) Al Miuun (seratus ayat lebih), ibarat Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
c) Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), ibarat Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
d) Al Mufashshal (surat-surat pendek), ibarat Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
D. Sejarah Al Alquran hingga berbentuk mushaf
Al-Qur'an memperlihatkan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil wangsit dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim bisa menciptakan sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
1. Penurunan Al-Qur'an
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai semenjak kejadian hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
2. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai ketika ini final dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
3. Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang dipakai ketika itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat eksklusif menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
4. Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang menjadikan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang ketika itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh goresan pena Al-Qur'an yang ketika itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan kiprah tersebut. Setelah pekerjaan tersebut final dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, alhasil diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari kawasan berbeda-beda. Hal ini menyebabkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk menciptakan sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang dipakai hingga ketika ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah ancaman laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:“ Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik perihal Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu perihal isu qira'at ini? Saya menerima gosip bahwa sebagian mereka menyampaikan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku beropini semoga umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." ”
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini memperlihatkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka semoga menyalin dan memperbanyak mushaf, dan kalau ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish lantaran Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran orisinil kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
E. Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam banyak sekali bahasa. Namun demikian hasil perjuangan tersebut dianggap sebatas perjuangan insan dan bukan perjuangan untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang orisinil dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
1. Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an yaitu hasil perjuangan penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan perjuangan interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal dihentikan dianggap sebagai arti bekerjsama dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an memakai suatu lafazh dengan banyak sekali gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang kala untuk arti hakiki, kadang kala pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
· Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
· Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
· An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
· Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
Terjemahan dalam bahasa Inggris antara lain:
· The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
· The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa kawasan Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
· Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
· Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
· Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
· Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
· Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
· Al-Amin (bahasa Sunda)
· Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)
2. Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang semenjak semasa hidupnya Nabi Muhammad, ketika itu para sobat tinggal menanyakan kepada sang Nabi kalau memerlukan klarifikasi atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga ketika ini perjuangan menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang dipakai juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.
F. Adab terhadap Al-Qur'an
Ada dua pendapat mengenai aturan menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, wanita haid dan nifas. Pendapat pertama menyampaikan bahwa kalau seseorang sedang mengalami kondisi tersebut dihentikan menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua menyampaikan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, lantaran tidak ada dalil yang menguatkannya.
1. Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain: 56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini yaitu bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an yaitu salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an yaitu sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan aturan pada beberapa negara berpenduduk secara umum dikuasai Muslim, eksekusi untuk hal ini sanggup berupa penjara kurungan dalam waktu yang usang dan bahkan ada yang menerapkan eksekusi mati.
2. Pendapat kedua
Pendapat kedua menyampaikan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang sanggup menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini yaitu tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa dihentikan menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang higienis dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya perihal firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”[3] Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, lantaran orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[4]
Daftar Pustaka dan Footnote
- · Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
- · Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
- · Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
- · Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
- · Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
- · ------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
- · Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
- · al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
- · al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
- · Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
- · al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
- · al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
- · ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
- · ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
- · Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
- · -----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
- · Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.
____________________
[1] Al-A'zami, M.M., Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu hingga Kompilasi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
[2] A Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung: Penerbit Mizania, 2007
[3] Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih.
[4] Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan saya dalam keadaan junub, kemudian saya menyingkir pergi dan segera saya mandi kemudian saya tiba (menemui beliau), kemudian dia bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka saya tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak higienis (suci)”. Maka dia bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain dia bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).