BAB I
A. PENDAHULUAN
Latar belakang
Kegiatan berguru mengajar merupakan satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan berguru ialah kegiatan primer yang mengacu pada kegiatan siswa, sedangkan kegiatan mengajaradalah kegiatan sekunder yang mengacu pada kegiatan guru. Dalam kegiatan berguru mengajardiperlukan kegiatan siswa dalam setiap kegiatan yang dilakukan sehingga kegiatan berguru mengajar menjadi efektif. Materi pengukuran merupakan materi yang dibutuhkan untuk mempelajari fisika lebih lanjut.
Untuk sanggup memahami materi pelajaran, siswa dituntut lebih aktif dalam setiap kegiatan berguru mengajar yang berlangsung. Untuk itu, perlu diciptakan kondisi yang menyenangkan sehingga siswa lebih gampang untuk mendapatkan pelajaran. Kenyataan yang terjadi di lapangan, kegiatan berguru mengajar masih didominasi oleh guru dengan metode ceramah, sedangkan siswa lebih banyak menyimak klarifikasi guru, mencatat hal hal yang diangap penting dan mengerjakan kiprah – kiprah yang diberikan oleh guru.
Dalam sebuah teori pembelajaran, stimulus dan respon sangat besar lengan berkuasa terutama ketika anak dalam proses pembelajaran. Stimulus ialah lingkungan berguru anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons ialah jawaban atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan sikap S-R (stimulus-Respon). Teori koneksionisme ini berperan dalam proses pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswanya untuk ikut di dalamnya. Pada mata pelajaran fiqh yang membahas wacana cara mengumandangkan azan di sini menuntut siswa untuk terus mencoba, biar nantinya dirinya sudah terbiasa dengan hal tersebut.
BAB II PEMBHASAN
Penerapan Teori Koneksionisme Pada Pembelajaran Fiqh Kelas V Min Medan
B. Sejarah Singkat Thorndike
Awal karir Thorndike dibidang psikologi dimulai ketika ia tertarik terhadap pada buku William James yang berjudul “Principles of Psychology, dimana ia masih menjadi mahasiswa di Universitas Wesleyan. Oleh lantaran itu, ia tetapkan untuk mengambil mata kuliah James di Universitas Harvard. Hubungan Thorndike dengan James sangat dekat, tidak hanya sebatas dosen dengan mahasiswa. Hal ini terbukti dengan beberapa santunan yang diberikan James terhadap Thorndike, antara lain mengijinkan Thorndike untuk tinggal di basementnya dan melaksanakan eksperimen di laboratoriumnya.
Setelah ia menuntaskan kuliah di Universitas Harvard, Thorndike bekerja di “Teacher’s College of Columbia” dibawah pimpinan James Mc.Keen Cattell. Disinilah minatnya yang besar timbul terhadap proses belajar, pendidikan dan inteligensi. Diawal penelitian, Thorndike memakai anak ayam sebagai materi penelitiannya, kemudian diganti dengan kucing, tikus, anjing, ikan, monyet dan orang dewasa. Sebenarnya ia juga memakai gorilla, tetapi tidak berlangsung usang lantaran ia tidak punya uang untuk membeli dan merawatnya.
Beberapa buku yang pernah ditulis, antara lain :
- Animal Intelligence : An Experimental Study of Asociation Process in Animal – 1898 (saat Thorndike berusia 24 tahun)
- Buku ini berisi penelitian Thorndike terhadap tingkah laris beberapa jenis hewan, yang mencerminkan prinsip dasar dari proses berguru yang ia anut yaitu asosiasi
- Educational Psychology (1903)
- Buku ini merupakan penerapan prinsip transfer of pembinaan di bidang pendidikan. Berkat buku ini dan prestasinya yang lain, Thorndike diangkat menjadi guru besar di “Teacher’s College of Columbia”.
- Animal Intelligence – 1911. Sebenarnya buku ini merupakan disertasi doktornya (1898) yang dikembangkan bersama dengan penelitian-penelitiannya yang lain.
Thorndike dianggap sebagai aktivis di beberapa bidang, antara lain
- learning theory
- educational practice
- verbal behavior
- comparative psychology
- intelligence testing
- nature-nurture problem
- transfer of learning
- application of quantitatives measures to sociopsychological problems
Produktivitas ilmiah Thorndike sulit untuk dipercaya. Sampai tahun 1947, ia telah menulis sebanyak 507 buku, monographs dan artikel jurnal. Dalam otobiografinya tertulis bahwa ia telah menghabiskan waktu sebanyak 20.000 jam untuk membaca an mempelajari buku ilmiah dan jurnal.
C. Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike
Menurut Thorndike, berguru merupakan insiden terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus ialah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari ialah sembarang tingkah laris yang dimunculkan lantaran adanya perangsang.
Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai relasi antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk menentukan respons yang sempurna serta melalui perjuangan –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari berguru ialah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung berdasarkan hukum-hukum tertentu. Oleh lantaran itu teori berguru yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori berguru koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh aktivis dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang populer dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya sanggup dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa berguru itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan menciptakan salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus gres ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga sanggup digambarkan sebagai berikut:
tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke R S1 R1 dst.
Dalam percobaan daerah makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan sehabis kurang lebih 10 hingga dengan 12 kali, kucing gres sanggup dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Tokoh paling populer dari teori koneksionisme ialah Edward Lee Thorndike. Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laris insan tidak lain dari suatu relasi antara stimulus-respons. Belajar ialah pembentukan relasi stimulus respons sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai relasi stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang cendekia atau yang berhasil dalam belajar. Pembentukan relasi stimulus-respons ini dilakukan melalui ulangan-ulangan.[1]
Thorndike ialah seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Menurutnya, berguru merupakan insiden terbentuknya asosiasi (koneksi) antara insiden yang disebut dengan Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus ialah perubahan dari lingkungan exsternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi/berbuat. Sedangkan respon ialah sembarang tingkah laris yang dimunculkan lantaran adanya perangsang.
Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Teori berguru koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949), berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini memakai hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Eksperimennya berguru pada binatang yang juga berlaku bagi insan tersebut, disebut Thorndike dengan “trial and error”.
Menurut teori trial and error ( mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organsime bila dihadapkan dengan situasi gres akan akan melaksanakan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam perjuangan mencoba-coba itu secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan kebetulan cocok itu kemudian “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melaksanakan perbuatan yang cocok itu makin usang makin efisien.
Ciri-ciri berguru dengan trial and error :
- Ada motif pendorong aktivitas
- Ada banyak sekali respon terhadap situasi
- Ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
- Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
Sebagai teladan kami kemukakan di sini percobaan Thorndike dengan seeokor kucing yang dibentuk lapar dimasukkan ke dalam kandang. Pada sangkar itu dibentuk lubang pintu yang tertutup yang sanggup bila suatu pasak dipintu itu tersentuh. Di luar sangkar diletakkan kuliner sepiring kuliner (daging). Bagaimana reaksi kucing itu? Mula-mula kucing itu bergerak ke sana kemari mencoba-coba hendak keluar melalui banyak sekali jeruji sangkar itu. Lama-kelamaan pada suatu ketika secara kebetulan tersentulah pasak lubang pintu oleh salah satu kakinya. Pintu sangkar terbuka, dan kucing itu pun keluarlah menuju makanan.
Percobaan diulang lagi. Tingkah laris kucing itupun pada mulanya sama menyerupai percobaan pertama. Hanya waktu yangdiperlukan untuk bergerak kesana kemari samapai sanggup terbuka lubang pintu menjadi, menjadi kuliner singkat. Setelah diadakan percobaan berkali-kali, akhirnya kucing itu tidak perlu lagi kian kemari mencoba-coba, etapi pribadi menyentuh pasak pintu dan terus keluar mendapatkan makanan.
Jadi, proses berguru berdasarkan teori Torndike melalui proses:
1) Trial and Error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan)
2) Law of effect; yang berarti bahwa segala tingkah laris yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.[2]
Sedangkan segala tingkah laris yang berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau dilupakannya. Tingkah laris ini secara otomatis. Otomatisme dalam berguru sanggup dilatih dengan syarat-syarat tertentu, pada binatang juga pada manusia.
Karena adanya law of effect terjadilah relasi (connection) atau asosiasi antara tingkah laku/reaksi yang sanggup mendatangkan sesuatu dengan hasilnya (effect). Karena adanya koneksi antara reaksi dengan hasilnya itu maka teori Torndike disebut juga Connectionism.
Teori berguru intinya merupakan klarifikasi mengenai bagaimana terjadinya berguru atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran peserta didik. Berdasarkan suatu teori belajar, suatu pembelajaran diharapkan sanggup lebih meningkatkan perolehan peserta didik sebagai hasil belajar.[3]
Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan bila bentuk paling dasar dari berguru ialah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung berdasarkan hukum-hukum tertentu.[4]
Selanjutnya, Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum berguru sebagai berikut:
1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laris tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme ialah berguru suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, bila anak merasa bahagia atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan berguru menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan. Prinsip pertama teori koneksionisme ialah berguru suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, bila anak merasa bahagia atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan berguru menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama aturan law of readiness ialah bila kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melaksanakan tindakan lain.
Masalah kedua, bila ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melaksanakan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya ialah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melaksanakan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.[5]
2) Hukum Latihan (Law of Exercise).
yaitu semakin sering tingkah laris diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya relasi stimulus dan respons. Implikasi dari aturan ini ialah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu.
Prinsip law of exercise ialah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat lantaran latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip memperlihatkan bahwa prinsip utama dalam berguru ialah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3) Hukum Akibat (Law of Effect).
yaitu relasi stimulus respon cenderung diperkuat bila jadinya menyenangkan dan cenderung diperlemah bila jadinya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya relasi stimulus dan respons tergantung kepada jawaban yang ditimbulkannya. Implikasi dari aturan ini ialah apabila mengharapkan biar seseorang sanggup mengulangi respons yang sama, maka harus diupayakan biar menyenangkan dirinya. Belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang lebih baik.[6]
Contohnya dengan memperlihatkan hadiah atau pujian. Sebaliknya, apabila yang diharapkan dari seseorang ialah untuk tidak mengulangi respons yang diberikan, maka harus diberi sesuatu yang tidak menyenangkannya, contohnya dengan memberi hukuman.
Selanjutnya Thorndike menambahkan aturan suplemen sebagai berikut:
a. Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response)
Hukum ini menyampaikan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan eror yang pertanda adanya beragam respon sebelum memperoleh respon yang sempurna dalm memecahkan duduk kasus yang dihadapi.
b. Hukum Sikap ( Set/Attitude)
Hukum ini menjelaskan bahwa prilaku berguru seseorang tidak hanya ditentukan oleh relasi stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotensi of Element).
Hukum ini menyampaikan bahwa individu dalam proses berguru memperlihatkan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
d. Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini menyampaikan bahwa individu dalam melaksanakan respon pada situasi yang belum pernah dialami lantaran individu bekerjsama sanggup menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi usang yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e. Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum ini menyampaikan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan bertahap unsur gres dan membuang bertahap unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :
1. Hukum latihan ditinggalkan lantaran ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat relasi stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun relasi stimulus respon belum tentu diperlemah.
2. Hukum jawaban direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laris ialah hadiah, sedangkan eksekusi tidak berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya relasi stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4. Akibat suatu perbuatan sanggup menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan Menurut Thorndike ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses penidikan disekolah, antara lain:
1) Sesuai dengan teorinya, sekolah harus mempunyai tujuan-tujuan penididikan yang dirumuskan dengan jelas.
2) Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kemampuan siswa.
3) Bahan pengajaran harus terbagi-bagi berdasarkan unit-unit, sehingga guru sanggup memanipulasi berdasarkan beragam situasi. Misalnya situasi yang menyenangkan, tidak menyenangkan dan lain-lain.
4) Proses berguru bertahap, dimulai dari yang sederhana hingga pada yang kompleks.
5) Motivasi tidak ditimbulkan melainkan dalam relasi menentukan ‘apa yang menyenangkan bagi siswa’ oleh lantaran tingkah laris ditentukan oleh “eksternal reward” dan bukan oleh “intrisic motivasi”.
6) Buat situasi berguru menyerupai dengan kehidupan kasatmata sebanyak mungkin, sehingga sanggup terjadi transfer dari kelas ke lingkungan kehidupan yang nyata.
7) Pendidikan yang baik ialah memperlihatkan pelajaran disekolah yang sanggup dipakai di luar sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.
8) Bila siswa berguru baik segera diberi hadiah, bila siswa berbuat salah haruslah di tegur/diperbaiki.[7]
Belajar pada insan (human learning)
Walaupun data utama yang diperolehnya dari percobaan dengan binatang, Thorndike tetap menaruh perhatian terhadap berguru manusia. Belajar pada insan masih terdiri dari :
a) Manusia sanggup bereaksi terhadap instruksi dan keragamannya lebih luas dalam satu situasi sehingga menciptakan berguru pada insan lebih umum dari pada binatang.
b) Tingkah laris insan masih merupakan kebiasaaan tetapi tidak isominasi oleh situasi latihan yang orisinil sepeti terjadi pada binatang.
c) Perbedaan insan dan binatang dalam berguru bahwa situasi lebih berpartisipasi secara aktif didalam berguru mengenai pemilihan semua elemen yang paling kritis dan penting.
Kelemahan dari teori Thorndike yaitu:
Terlalu memandang insan sebagai mekanisme dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun hanya tingkah laris insan yang otomatis, tetapi tidak selalu tingkah laris insan itu sanggup dipengaruhi secara trial and eror. trial end eror juga tidak berlaku bagi manusia.
Memandang berguru hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respons. Sehingga yang dipentingkan dalam berguru ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan yang terus-menerus.
Karena proses berguru berlangsung secara mekanistik, maka “pengertian” tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan “pengertian” sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
Pelajaran bersifat teacher-centered. Yang terutama aktif ialah guru. Dialah yang melatih bawah umur dan menentukan apa yang harus diketahui oleh anak-anak.
Anak-anak pasif artinya kurang didorong untuk aktif berpikir, tak turut menentukan materi pelajaran sesuai dengan kebutuhannya.[8]
Kelebihan dari teori Thorndike yaitu:
Memberi kesempatan siswa untuk mencoba sesuatu tersebut
Bila siswa berguru baik segera diberi hadiah, bila siswa berbuat salah haruslah di tegur/diperbaiki.
Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran PAI
Pada ketika menerapkan pendekatan koneksionisme perlu diperhatikan prinsip-prinsip Pembelajaran. Oleh lantaran itu, dalam membuatkan kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa prinsip kegiatan pembelajaran[9], sebagai berikut:
Berpusat pada siswa: setiap siswa intinya berbeda, dan telah
ada dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara berguru (learning style) yang berbeda antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Begitu juga kemampuan siswa dalam belajar, siswa tertentu lebih gampang berguru dengan mendengarkan dan membaca, siswa lain dengan cara menulis dan menciptakan ringkasan, siswa lain dengan melihat, dan yang lain dengan cara melaksanakan berguru secara langsung. Oleh lantaran itu guru harus mengorganisasikan kegiatan pembelajaran, kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, media dan sumber berguru dan cara evaluasi yang di sesuaikan dengan karakteristik individual siswa. Karenanya kegiatan berguru yang dikembangkan oleh guru harus mendorong siswa biar sanggup membuatkan potensi, talenta serta minat yang dimilikinya secara optimal dan maksimal.
b. Pembalikan makna belajar: dalam konsep tradisional berguru hanya diartikan penerimaan informasi oleh peserta didik dari sumber berguru dalam hal ini guru. Akibatnya pembelajaran sering diartikan merupakan transfer of knowledge. Dalam kurikulum bebasis kompetensi makna belajat tersebut harus dibalik dimana berguru diartikan merupakan proses kegiatan dan kegiatan siswa dalam membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi dan atau pengalaman. Dan intinya proses membangun pengetahuan dan pemahaman sanggup dilakukan sendiri oleh siswa dengan persepsi, pikiran (entering behavior) serta perasaan siswa. Konsekuensi logis pembalikan makna berguru dalam kegiatan pembelajaran menghendaki partisipasi guru dalam bentuk bertanya, meminta kejelasan, dan bila dibutuhkan menyajikan situasi yang bertentangan dengan pemahaman siswa dengan keinginan siswa tertantang untuk memperbaiki sendiri pemahamannya. Konsekuensi lain dari pembalikan makna berguru ini, guru lebih banyak berperan membimbing siswa dalam berguru serta menempatkan diri sebagai fasilitator pembelajaran dengan menempatkan siswa yang harus bertanggung jawab dalam membangun pengetahuannya sendiri.
c. Belajar dengan melakukan: pada hakikatnya dalam kegiatan berguru siswa melkaukan aktivitas-aktivitas. Aktivitas siswa akan sangat ideal bila dilakukan dengan kegiatan kasatmata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan menemukan serta mempraktekkannya sendiri. Dengan cara ini siswa tidak akan gampang melupakan apa yang diperolehnya dengan cara mencari dan menemukan serta mempraktekkan sendiri akan tertanam dalam hati sanubari dan pikirannya siswa lantaran ia berguru secara aktif dengan cara melakukan. Dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, materi sholat dan praktek ibadah yang lainnya akan efektif dan berkesan bagi siswa bila dipraktekkan secara pribadi ketimbang dengan mengharuskan siswa untuk menghafal tatacara sholat atau ibadah yang lainnya. Siswa sebaiknya dihadapkan pada situasi kasatmata yang sesungguhnya, kalau mustahil dibentuk situasi buatan dan bila tidak memungkinkan sanggup dilakukan dengan audio-visual (dengar-pandang) dengan memakai film strif atau video casset atau CD.
d. Mengembangkan kemampuan sosial, kognitif, dan emosional: dalam
kegiatan pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam suasana interaksi dengan orang lain menyerupai antar siswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan masyarakat. Dengan interaksi yang intensif siswa akan gampang untuk membangun pemahamannya. Guru dituntut untuk sanggup menentukan banyak sekali seni administrasi pembelajaran yang menciptakan siswa melaksanakan interaksi denagn orang lain, contohnya dengan diskusi, sosiodrama, berguru secara kelompok dan sebagainya. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan guru harus mendorong terjadinya proses sosialisasi pada diri siswa mesingmasing, dimana siswa berguru saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan (pendapat, sikap, kemampuan maupun prestasi). Pembelajaran juga dikembangkan biar siswa bisa bekerjasama serta bisa membuatkan tenggang rasa sehingga siswa terdorong untuk saling membangun pengertian yang diselaraskan dengan pengetahuan dan tindakannya.
e. Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah bertuhan: siswa terlahir dengan mempunyai rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah bertuhan. Rasa ingin tahu dan imajinasi yang dimiliki siswa merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif. Sedangkan fitrah bertuhan merupakan cikal bakal insan untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan pemahaman menyerupai diatas, maka kegiatan pembelajaran perlu membuatkan dan memperhatikan rasa ingin tahu dan imajinasi siswa serta diarahkan pada pengakuan rasa keagamaan sesuai dengan tingkatan usia siswa.
f. Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah: dalam kehidupan
sehari-hari setiap orang akan dihadapkan kepada banyak sekali permasalahan yang harus dipecahkan. Karenanya dibutuhkan keterampilan dalam memecahkan masalah. Untuk terampil dalam memecahkan duduk kasus seseorang harus berguru melalui pendidikan dan pengajaran. Salah satu tolak ukur keberhasilan berguru siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya dan kecerdasannya dalam memecahkan masalah. Karena itu, dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang kepada siswa untuk mencari dan menemukan masalah, serta melaksanakan pemecahan dan mengambil kesimpulan. Agar siswa terampil memecahkan duduk kasus guru sanggup memakai pendekatan ketrampilan proses dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan pendekatan keterampilan proses siswa diarahkan untuk sanggup memperoleh ketrampilan dasar pemecahan duduk kasus yaitu: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan. Disamping ketrampilan dasar pemecahan duduk kasus siswa diharapkan juga memperoleh keterampilan pemecahan duduk kasus secara terintregasi yang meliputi: mengidentifikasi variabel, mendefinisikan variabel secara operasional, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan mengolah data, menciptakan tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk distribusi frekuensi, grafik histogram atau poligon, menghubungkan antar variabel, analisis terhadap data penelitian, merancang penelitian serta melaksanakan atau melaksanakan percobaan.
g. Mengembangkan kreatifitas siswa: siswa mempunyai potensi untuk berbeda. Perbedaan siswa terlihat dalam pola berfikir, daya imanjinasi, fantasi (pengandaian) dan hasil karyanya. Karena itu, kegiatan pembelajaran perlu dipilih dan di rancang biar member kesempatan dan kebebasan berkreasi secara berkesinambungan dalam rangka membuatkan kreatifitas siswa. Kreativitas siswa merupakan kemampuan mengkombinasikan atau menyempurnakan sesuatu berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang sudah ada. Secara lebih luas kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang intinya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatannya.
Hasil kreativitas sanggup berbentuk produk seni, kesusastraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis. Pembelajaran yang menuntut siswa berfikir kreatif, yaitu kemampuan-berdasarkan data dan informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu duduk kasus di mana penekanannya ialah kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban. Ciri-ciri pembelajaran yang mendorong kreativitas seseorang sebagai berikut: timbul dorongan rasa ingin tahu yang besar, tertarik terhadap tugas-tugas yang beragam yang dirasakan sebagai tantangan, berani mengambil resiko untuk menciptakan kesalahan atau dikritik oleh orang lain, tidak gampang putus asa, menghargai keindahan, mempunyai rasa humor, ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, sanggup menghargai baik diri sendiri maupun orang lain, dan sebagainya.
h. Mengembangkan kemampuan memakai ilmu pengetahuan dan teknologi: ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan untuk memudahkan insan dalam menjalankan kehidupannya. Agar ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah diproduksi insan sanggup dimanfaatkan oleh insan pada umumnya serta siswa pada khususnya, siswa perlu mengenal dan bisa memakai ilmu pengetahuan dan teknologi semenjak dini, serta tidak gagap terhadap perkembangan ilmu dan teknologi.
Dengan demikian kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memperlihatkan kesempatan dan peluang kepada siswa memperoleh informasi dari sumber berguru dan media pembelajaran yang memakai teknologi. Siswa juga diarahkan untuk mengenal dan bisa memakai multi media yang sanggup dipakai dalam penyajian materi pembelajaran. Salah satu cara yang sanggup dipakai biar siswa mengenal dan bisa memakai teknologi ialah dengan cara memperlihatkan kiprah yang mengharuskan siswa berafiliasi pribadi dengan teknologi, contohnya menciptakan laporan wacana materi tertentu dari televisi, radio, atau bahkan internet. Atau mempresentasikan kiprah yang telah dengan memakai minimal OHP dan bila memungkinkan memakai kamera in focus.
I. Penerapan teori koneksionisme pada pembelajaran fiqh
Dalam kajian teori Torndike, inovasi yang telah dilakukannya pada sebuah binatang. Dalam kesempatan ini penulis menciptakan goresan pena wacana penerapan dari teori koneksionisme pada pembelajaran fiqh kelas V MIN Medan.
Seorang guru ketika hendak melaksanakan sebuah pembelajaran haruslah memakai RPP yang telah ada, lantaran RPP merupakan sebuah persiapan guru dalam memperlihatkan pengajaran kepada siswa-siswanya. Pada pembelajaran fiqh ini siswa diberi kesempatan oleh guru untuk sanggup melaksanakan/memperaktikkan wacana bagaimana cara azan dengan bunyi yang merdu dan sesuai dengan ilmu Tajwidnya.
Seorang anak di sini mencoba berusaha mengumandangkan azan dengan tajwid dan bunyi yang merdu. anak yang mempunyai bunyi yang standart di sini harus bisa mempraktikkan bagaimana cara azan yang benar. Dalam hal ini seorang guru harus ikut dalam membantu siswanya dalam melakukannya. dengan terus mencoba-cobanya usang kelamaan hasilnya akan bagus. Sehingga dalam teori ini bisa membentuk siswa menjadi berani dalam melakukannya dan terbimbing dalam proses pembelajannya. Rangsangan yang baik yang diberikan guru kepada muridnya nanti sanggup mencerminkan diri siswa tersebut berani dan mempunyai semangat yang tinggi.
J. Implikasinya
teori ini sangat mendorong siswa untuk berpacu untuk mencoba terhadap apa yang ia dapati ketika dalam berguru tersebut. Keinginan dirinya untuk melakukannya itu sangat mendorong teman-temannya untuk ikut ke dalam proses pembelajaran tersebut. Misalkan: Seorang anak yang yang sedang berguru untuk mengumandangkan azan. Dengan bunyi yang standart ia ingin terus berguru biar nantinya suaranya tersebut bisa mendapatkan hasil tersebut. Seperti kata pepatah bilang; lancar kaji lantaran diulang.
BAB III
Kesimpulan
Thorndike ialah seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Menurutnya, berguru merupakan insiden terbentuknya asosiasi (koneksi) antara insiden yang disebut dengan Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus ialah perubahan dari lingkungan exsternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi/berbuat. Sedangkan respon ialah sembarang tingkah laris yang dimunculkan lantaran adanya perangsang.
Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Teori berguru koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949), berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini memakai hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Eksperimennya berguru pada binatang yang juga berlaku bagi insan tersebut, disebut Thorndike dengan “trial and error”.
Menurut teori trial and error ( mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organsime bila dihadapkan dengan situasi gres akan akan melaksanakan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam perjuangan mencoba-coba itu secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan kebetulan cocok itu kemudian “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melaksanakan perbuatan yang cocok itu makin usang makin efisien.
Jadi, kaiatannya terhadap pembelajaran fiqh ini siswa dituntut untuk sanggup melaksanakan azan, walaupun ia tidak mempunyai bunyi yang bagus, sehingga dalam teori ini siswa untuk terus mencobanya.
Daftar Pustaka dan Footnote
- Muchith M. Saekhan , Pembelajaran Kontekstual, Semarang,: Rasail Media Group, 2009.
- Muhammad Zainur, Rozikin, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang : Averroes Press, 2007
- Nana Sudjana, Teori Belajar, Jakarta: Lembaga Penerbit F. Ekonomi UI, 1991.
- Nana Syaodi Sukmadinata,, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
- Nasution. S, Didakatik Asas-asas Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.
- Purwanto Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
- Qowaid, Dkk. Inovasi pembelajaran PAI. Jakarta: Pena Citrasatria, 2007.
- Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis – Mudah dan Implementasinya, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007.
- Nasution. S, Didakatik Asas-asas Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.
______________________
[1]. Sukmadinata, Nana Syaodi, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),h.168.
[2] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007). h. 98-99
[3]. Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis – Mudah dan Implementasinya, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), h. 12.
[4]. Roziqin, Muhammad Zainur, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, (Malang : Averroes Press, 2007), h. 64.
[5] M. Saekhan Muchith, Pembelajaran Kontekstual, (Semarang: Rasail Media Group, 2009). hal, 51
[6]. Sukmadinata, h. 169.
[7] Nana Sudjana, Teori Belajar, (Jakarta: Lembaga Penerbit F. Ekonomi UI, 1991), H. 63-64
[8] S. Nasution, Didakatik Asas-asas Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 39
[9] Qowaid, Dkk. Inovasi pembelajaran PAI. Jakarta: Pena Citrasatria, 2007. Hlm. 2