Makalah Mahabbah Dalam Pengendalian Diri

I. Pendahuluan
Tasawuf atau sufisme yaitu satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia yaitu kebudayaan Islam yang lahir kemudian sehabis Rasulullah wafat.

Sufisme yaitu bab dari syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka pedoman Islam, yaitu iman, Islam dan ihsan. Oleh alasannya yaitu itu, sikap sufi tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam. Al-Qusyairi menyatakan: “seandainya kau melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kau melihat bagaimana ia menjalankan perintah, meninggalkan larangan menjaga aturan yang ada”.

II. Permasalahan
Sebagai akhir modernisasi dan industrialisasi, kadang insan mengalami degradasi moral yang sanggup menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern menyerupai kini ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi bahan yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut yaitu al-hirsh, yaitu impian yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh sikap menyimpang, menyerupai korupsi dan manipulasi. Sifat kedua ialah al-hasud, yaitu menginginkan biar nikmat orang lain sirna dan beralih kepada dirinya. Sifat riya’, yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan diri, dan sebagainya dari banyak sekali sifat hati.

III. Pembahasan
Allah membuktikan diri-Nya sebagai Yang Lahir dan Yang Batin (QS. Al-Hadid/57 : 3). Dunia dan isinya yaitu pancaran dan alamat dari nama-nama dan sifat-sifat Nya, semua realitas dunia mempunyai aspek lahir dan aspek batin.

Demikian pula dengan kehidupan manusia, kehidupan lahir memang tidak sia-sia, namun berpuas diri semata-mata dengan duduk kasus lahiriah, merupakan pengingkaran terhadap kodrat insan yang sebenarnya, alasannya yaitu dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melaksanakan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.

Bagi kaum sufi, pendalaman dan pengalaman batin yaitu sesuatu yang paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan hasil usaha dan usaha (mujahadah) yang tidak henti-hentinya, sebagai cara sikap perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia dan senantiasa merasa dihadapan Allah Swt. Pencapaian kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pendidikan dan latihan mental (riyadhah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dari pendisiplinan tingkah laris yang ketat.

Al-Ghazali mengumpamakan jiwa insan bagaikan cermin, cermin yang mengkilap bisa saja menjadi hitam pekat kalau tertutup oleh noda-noda hitam maksiat (dosa) yang diperbuat insan (QS. Al-Muthaffifin/83 : 14). Apabila seseorang senantiasa menjaga kebersihannya, maka titik noda itu akan hilang dan pasti cermin itu simpel mendapatkan apa-apa yang bersifat suci dari pancaran Nur Ilahi, dan bahkan lebih dari itu, jiwa tadi akan mempunyai kekuatan yang besar dan luar biasa.

Memang diakui oleh para tasawuf bahwa insan dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf : 53). Agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh nalar yang telah menerima bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan banyak sekali cara, menyerupai riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pencucian dan penggosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).

Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama yaitu mengetahui dan menyadari, betapa jelek sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang (QS. Asy-Syams/91 : 9-10).

Sifat-sifat tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), takabur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan Allah).

Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan menghayati akidah (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang tepat untuk itu, serta melaksanakan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a kepada Allah Swt.

Jenjang kedua ialah tahalli, yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan sopan santun karimah. Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya bahan ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), nrimo (beramal alasannya yaitu Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang baik) , zuhud (sikap mental lebih mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’ (menjaga diri dari hal-al yang tidak terang kekhalalannya) sabar (tabah), faqr (merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri sehabis berusaha) dan sebagainya.

Setelah seorang bisa menguasai dirinya, sanggup menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan rasa. Ini yaitu puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul qalb.

Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri insan juga sanggup dihilangkan dengan memakai cara teori mahabbah. Mahabbah yaitu cinta, dan yang dimaksud yaitu cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut:

1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3. Menggosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.

Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) bab dari maqamat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian sufi, dimana keseluruhan jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.

Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji Tuhan.

2. Cinta orang yang siddiq (الصديق), yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

3. Cinta orang yang ‘arif (العارف), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta menyerupai ini timbul dikarenakan telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Al-Junaidi saat ditanya ihwal cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.

Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an, umpamanya:

...فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ...

“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mengasihi mereka dan merekapun mencintai-Nya…”.

Juga ada hadits yang membawa paham demikian, misalnya:

وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا

“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.

Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah ialah:

1. Dengan cara mengenali semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah

2. Berfikir ihwal ciptaan Allah, dengan cara memikirkan segala ciptaan-Nya maka pasti kita akan menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Dengan cara merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah.

Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya yaitu seorang sufi perempuan yang berjulukan Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan ia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta yaitu dekat dengan Tuhan. Ia menyampaikan “aku mengabdi kepada Tuhan bukan alasannya yaitu takut terhadap neraka, bukan pula alasannya yaitu ingin masuk surga, tapi saya mengabdi alasannya yaitu takut kepada-Nya”. Ia bermunajat “Tuhanku kalau saya puja Engkau alasannya yaitu takut kepada neraka bakarlah alasannya yaitu engkau”.

Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya sehingga ia menolak semua anjuran kawin, dengan alasan bahwa dirinya yaitu milik Tuhan tang dicintainya, dan siapa yang ingin kawin dengan ia haruslah meminta izin dari Tuhan.

Penulis sufi menetapkan beberapa tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu keikhlasan, perenungan, training spiritual, interaksi diri terhadap kematian meskipun tahap cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang sanggup dicapai oleh spesialis yang menyelaminya. Termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridho mewakili pada satu sisi ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintainya. Al-hujwiri membagi empat golongan insan yang ridho kepada Allah.

1. Mereka yang ridho dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat

2. Mereka yang ridho kebahagiaan, yaitu dunia ini

3. Mereka yang ridho terhadap penderitaan

4. Mereka yang ridho menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.

Syauq yaitu kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih, dan uns yaitu hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu.

Adapun cinta berdasarkan Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:

1. Cinta Ilahiyah: yang pada satu sisi ialah cinta khaliq kepada makhluk dimana ia membuat dirinya, yakni menerbitkan bentuk daerah ia mengungkapkan dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk kepada khaliqnya yang tidak lain yaitu hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk rindu untuk kembali pada Dia, sehabis ia merindukan sebagai makhluk yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah obrolan kekal antara pasangan ilahi manusia.

2. Cinta spiritual: terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangnya ia cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu yaitu ia sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain cukup sang kekasih.

3. Cinta alami: yang berhasrat untuk mempunyai dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.

Cinta dan pengampunan Allah kepada insan yaitu rahmat. Sedangkan cinta insan kepada Allah yaitu suatu kualitas yang dimanifestasikan di dalam hati para mukmin. Sehingga ia akan selalu berusaha memuaskan kekasihnya, merasa serentak dan tanpa henti-hentinya untuk sanggup memandang Allah serta tidak sanggup dialihkan kepada siapapun kecuali Allah. Akan selalu merasa erat dengan mengingat-ingatnya dan bersumpah tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.

Para mukmin yang mengasihi Allah terdapat dua macam:

1) Mereka yang menganggap bahwa kebaikan dan kedermawanan Allah kepada mereka dan dibimbing oleh anggapan tersebut untuk mengasihi sang dermawan

2) Bagi mereka yang tertawan hatinya oleh cinta dimana mereka beropini bahwa semua kebaikan-kebaikan Allah bagaikan sebuah hijab dan menganggap Allah sebagai senang memberi akan membimbing pada perenungan kebaikan-kebaikan Allah.


IV. Analisis
Uraian di atas menjelaskan bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela menyerupai hasud, hirsh, takabur, ghadhab, riya’, sum’ah, ujub, dan syirik dan sebaginya, yaitu dengan cara pembinaan melalui tiga tahapan, yaitu takhalli, tahalli, tajalli. Selain ketiga tahapan tersebut, sanggup juga dengan cara menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Dengan adanya rasa cinta kepada Allah, maka apapun perbuatan yang kita lakukan semata-mata alasannya yaitu Allah. Jadi, untuk berbuat atau melaksanakan hal-hal yang tercela kita akan berfikir bahwa perbuatan tercela itu dibenci oleh Allah, maka alasannya yaitu rasa cinta kita kepada Allah kita akan menjauhi perbuatan tercela itu. Dan atas dasar rasa cinta kita kepada Allah, kita akan lebih merasa dekat dengan Allah dan rasa syukur kita akan apa yang diberikan Allah semakin bertambah. Kita akan merasa apa yang diberikan Allah kepada kita yaitu karunia dan cobaan yang diberikan kepada kita itu atas dasar Allah masih sayang kepada kita dan masih memperhatikan kita.

DAFTAR PUSTAKA

  • Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
  • ___________, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
  • Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1999
Share on Google Plus

About Raden

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.